Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Peran Mahasiswa untuk Bangsa



Mahasiswa merupakan sekelompok elemen masyarakat yang unik. Sebab ada sesuatu yang tidak berubah pada diri mahasiswa, yaitu semangat dan idealisme. Walaupun zaman selalu menuntut perubahan. Terbukti dengan perjuangan bangsa Indonesia yang tidak lepas dari campur tangan mahasiswa.
Menengok ke belakang, kebangkitan bangsa Indonesia ketika melawan penjajahan Belanda dimotori oleh para mahasiswa kedokteran STOVIA. Di waktu lain, ketika pemerintahan Bung Karno labil. Karena situasi politik yang memanas pada tahun 1966, mahasiswa tampil memberikan semangat bagi pelaksanaan Tritura. Inilah segelintir dari sekian banyak perjuangan idealisme mahasiswa untuk bangsa.
Akan tetapi, ada tuduhan yang menyatakan bahwa mahasiswa sekarang hanya bisa bicara. Tak ada tindakan nyata atas gagasan yang ditawarkan oleh mahasiswa. Tentu tuduhan tersebut ada benarnya juga, jika mahasiswa hanya mementingkan kebutuhan dirinya. Tanpa memberikan konstribusi terhadap bangsa. Maka dari itu, hendaklah mahasiswa sadar akan status yang diemban. Dalam hal ini, mahasiswa dituntut untuk memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
Berbekal kekuatan dan potensi yang dimilikinya, berupa semangat dalam menyuarakan dan memperjuangkan nilai-nilai kebenaran. Serta keberanian dalam menentang segala bentuk ketidakadilan. Maka mahasiswa menempati posisi yang penting dalam upaya pemberantasan ketidakadilan.
Pemberantasan ketidakadilan, dapat dilakukan dengan menyebarkan informasi atau tanggapan atas kebijakan pemerintah yang menyengsarakan bangsa. Seperti mengadakan jumpa pers, opini publik, diskusi terbuka dengan pihak-pihak yang berkompeten. Dan dengan jaringan luas yang dimiliki mahasiswa, mereka dapat saling berkoordinasi. Baik antar mahasiswa, maupun dengan lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Sehingga tercipta kekuatan yang besar untuk menekan pemerintah, agar pemerintah mengambil keputusan yang ideal untuk bangsa.
Inilah sebenarnya kekuatan mahasiswa. Di satu sisi, mahasiswa mampu mendorong dan menggerakan masyarakat untuk bertindak atas ketidakadilan sistem, termasuk di dalamnya penyelewengan jabatan. Di sisi lain, mahasiswa sebagai faktor penekan bagi penegakan hukum serta pengawal terciptanya kebijakan publik yang berpihak kepada kepentingan masyarakat banyak.
Share:

Curug Lawe Medini 22 April 2012












Share:

Tafsir Ayat Tentang Anjuran Menikah dan Larangan Melacur (Al-Nur: 32-34)




MAKALAH

OLEH:
MUHAMAD ZAINAL MAWAHIB (092111127)
MAHASISWA FAKULTAS SYARI'AH
IAIN WALISONGO SEMARANG

TAFSIR AYAT TENTANG
ANJURAN MENIKAH DAN LARANGAN MELACUR
(AL-NUR: 32-34)

PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Pernikahan adalah ikatan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri. Ia merupukan pintu gerbang kehidupan berkeluarga yang mempunyai pengaruh terhadap keturunan dan kehidupan masyrakat. Keluarga yang kokoh dan baik menjadi syarat penting bagi kesejahteraan masyarakat dan kebahagiaan umat manusia pada umumnya. Agama mengajarkan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang suci, baik, dan mulia. Pernikahan menjadi dinding kuat yang memelihara manusia dari kemungkinan jatuh ke lembah dosa yang disebabkan oleh nafsu birahi yang tak terkendalikan.
Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam pernikahan, antara lain Pernikahan dapat menciptakan kasih sayang dan ketentraman. Manusia sebagai makhluk yang mempunyai kelengkapan jasmaniah dan rohaniah sudah pasti memerlukan ketenangan jasmaniah dan rohaniah. Keutuhan jasmaniah perlu dipenuhi dan kepentingan rohaniah perlu mendapat perhatian. Ada kebutuhan pria yang pemenuhnya bergantung kepada wanita. Demikian juga sebaliknya. Pernikahan merupakan lembaga yang dapat menghindarkan kegelisahan. Pernikahan merupakan lembaga yang ampuh untuk membina ketenangan, ketentraman, dan kasih sayang keluarga.
Sebagaimana firman Allah: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”(Al-Rum:20).
Dengan melihat idealnya hikmah dari pernikahan, maka Allah melalui ayat yang lain yaitu ayat 32-34 pada surat An-Nur. Dimana didalamnya menjelaskan tentang anjuran menikah dan larangan melacur. Berdasakan hal tersebut, penulis akan memaparkan penjelasan dalam rangka mengupas secara mendetail kandungan ayat tersebut. Dengan tujuan agar kita dapat memahami secara mendalam dan komprehensif tentang pemahaman yang terdapat di dalam ayat tersebut. Karena ayat tersebut merupakan salah satu ayat ahkam yang ada di dalam al-Qur’an.
  1. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok utama dalam pembahasan makalah ini adalah membahas anjuran menikah dan larangan melacur pada surat An-Nur;32-34. Pembahasan tersebut dapat dibentuk dalam sebuah rumusan masalah sederhana agar mempermudah dalam memahami. Adapun rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana makna global dalam ayat tersebut serta munasah ayat dengan ayat sebelumnya?
2.      Bagaimana analisis hukum dan hikmat al-tasyri’ yang terkandung dalam ayat tersebut?
PEMBAHASAN
Firman Allah dalam surat Al-Nur: 32-34:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (۳۲) وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا وَآَتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آَتَاكُمْ وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَنْ يُكْرِهُّنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ (۳۳) وَلَقَدْ أَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ آَيَاتٍ مُبَيِّنَاتٍ وَمَثَلًا مِنَ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ (۳۴)
Artinya:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”(32).
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan merek], jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu”(33).
Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa”(34).
  1. Ma’na al-Mufradat
الْأَيَامَى : merupakan jama dari kata أيّم yang berarti orang yang belum beristri atau belum bersuami, baik statusnya itu perawan/perjaka maupun sudah janda/duda. Dalam bahasanya orang Arab الْأَيَامَى: mereka yang tidak berpasanganan, baik dari laki-laki maupun perempuan.
عِبَادِكُمْ : berarti budak
وَاسِعٌ : Dzat yang memiliki kekayaan luas yangmana Allah memberikan rezeki tersebut kepada orang yang Dia kehendaki dari hamba-Nya.  
عَلِيمٌ : Maha mengetahui segala kebutuhan manusia dan sesuatu yang baik bagi mereka. Maka Dialah yang melimpahkan rezeki serta membagikan kepada mereka.
وَلْيَسْتَعْفِفِ : sebuah perintah untuk untuk menjauhan diri (العفة), bahasanya orang Arab العفة : menahan diri dari sesuatu yang tidak halal dan tidak baik. Ada juga yang mengartikan sabar dan menjauhkan/membersikan dari sesuatu.
الْكِتَابَ : Az-Zamakhsyari berkata الكتاب والمكاتبة كالعتاب والمعاتبة, yaitu seseorang berkata kedapa budaknya: “saya menggantikan kamu dengan seribu dirham, jika kamu sudah menjalankan maka kamu bebas/merdeka”.[1]
خَيْراً : kata الخير digunakan yang berhubungan dengan harta, sebagai dalam ayat "ان ترك خيرا الوصية للوالدين", tapi pendapat ini lemah, ada juga yang menghubungkan dengan perbuatan. Adapun lebih shahih adalah berarti: kebaikan, kejujuran dan kesetiaan. Maksudnya: jika kalian mengatahui kapasitas penghasilan, kesetiaan dan kejujuran mereka, maka mukatabah-lah atas kemerdekaan diri mereka.
فَتَيَاتِكُمْ : merupakan jama’ dari فتاة (pemuda), Al-Alusi berkata: setiap kata dari “ فتى” dan “ فتاة ” itu adalah kinayah masyhurah dari “العبد  dan  الأمة
الْبِغَاءِ : bentuk jama’nya بغايا : pelacur, maksudnya: memaksa budak untuk melacur/berzina. Dalam hadits: “نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن مهر البغي ”.
تَحَصُّناً : bermakna تعففاً, sebagaimana dalam penjelasan العفة.
عَرَضَ الْحَيَاةِ : harta kehidupan, yaitu keperawanan.
آَيَاتٍ مُبَيِّنَاتٍ : ayat-ayat yang memberikan penerangan/penjelasan.
  1. Al-Ma’na al-Ijmali
Nikahkanlah orang-orang yang belum bersuami atau belum beristri. Tegasnya, berikanlah pertolongan kepada mereka sehingga mereka dapat melaksanakan pernikahan.
Nikahkanlah juga budak-budakmu, baik laki-laki maupun perempuan yang sanggup berumah tangga, sanggup memenuhi haknya, sehat badan, bekecukupan serta dapa melaksanakan hak-hak agama yang wajib bagi mereka. Janganlah kamu melihat kemiskinan orang yang meminang atau kemiskinan orang yang akan kamu nikahi. Karena Allah mempunyai keluasan dan kekayaan. Tidak ada penghabisan bagi keutamaan-Nya dan tidak ada batasan bagi kodratnya. Dia bisa memberi rezeki yang cukup kepada suami istri tersebut. Serta Allah juga Maha mengetahui. Dia memberi rezeki yang lapang kepada siapa yang Dia kehendaki dan Dia menyempitkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki.
Bgai mereka yang tidak memperoleh jalan yang memungkinkan untuk menikah, hendaklah mengguhkan niatnya sampai mempunayi kemampuan untuk itu.
Apabila budakmu yang ingin memerdekakan diri secara mukatabah, dengan cara membayar uang tebusan sesuai perjanjian, maka penuhilah keinginan mereka dan jadikanlah mereka orang yang merdeka setelah mereka memenuhi apa yang telah diperjanjikan. Serta Allah juga mendorong para tuan (pemilik) budak yang bersangkutan untuk memberikan sebagian hartanya kepada budak yang dimilikinya untuk dapat dipergunakan membayar tebusan atas dirinya.
Janganlah memaksa budak perempuanmu supaya mereka melacurkan diri untuk mencari kekayaan, sedangkan mereka sesungguhnya tidak mau malakukannya. Perempuan yang dipaksa melacur akan diampuni dosanya oleh Allah dan dosa itu dipikul oleh orang yang memaksanya.
 Kami (Allah) telah menurunkan kepadamu ayat-ayat al-Qur’an yang nyata, yang menjelaskan segala apa yang kamu perlukan. Sebagaimana Allah telah menurunkan kisah-kisah umat terdahulu dan berbagai macam pelajaran yang menjadi ibarat atau contoh bagi semua orang yang bertaqwa.
  1. Asbabul Nuzul Ayat
Untuk lebih memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an, kiranya diperlukan pengetahuan latar belakang turunnya (Asbabul Nuzul) ayat tersebut. Imam Al-Wahidi berpendapat bahwa mengetahui tafsir suatu ayat al-Qur’an tidaklah mungkin tanpa mengetahui latar belakang peristiwa dan kejadian turunnya ayat tersebut. Ibnu Daqiqil ‘Id berpandangan bahwa mengatehui keterangan tentang kajadian turunnya suatu ayat merupakan cara yang paling baik untuk memahami makna ayat tersebut. Begitu juga Ibnu Taimiyyah mengemukakan bahwa mengetahui asbabul nuzul suatu dapat menolong kita dalam memahami makna ayat tersebut.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa tidak semua ayat al-Qur’an mempunyai asbabul nuzul. Dari tiga ayat al-Qur’an dalam pembahasan tentang anjuran menikah dan larangan melacur ini, hanya ada satu ayat yang mempunyai asbabul nuzul yaitu ayat: 33. Berikut inilah beberapa riwayat asbabul nuzul ayat tersebut:[2]
1.      Diriwayatkan oleh Ibnu Sakan dalam kitab Ma’rifatush Shahabah dari Abdullah bin Shuhaibah yang bersumber dari bapaknya.
Dikemukakan bahwa Shubaih, hamba sahaya Huwaithib bin ‘Abdil ‘Uzza, meminta dimerdekakan dengan perjanjian tertentu. Akan tetapi permohonannya ditolak, maka turunlah ayat ini (Q.S. An-Nur:33).
2.      Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sufyan yang bersumber dari Jabir bin ‘Abdillah.
Dikemukakan bahwa Abdullah bin Ubay menyuruh jariahnya (hamba sahaya wanita) melacur dan meminta bagian dari hasilnya. Jariah tersebut bernama Masikah dan Aminah yang mengadukan kepada Rasulullah tentang hal tersebut. Lanjutan dari ayat ini (Q.S. An-Nur:33) berkenaan dengan peristiwa tersebut.
3.      Diriwayatkan oleh al-Hakim dari Abuz Zubair yang bersumber dari Jabir.
Dikemukakan bahwa Masikah itu jariah milik seorang Ansar. Ia mengadu kepada Rasulullah bahwa tuannya memaksa untuk melacur.
4.       Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan Ath-Thabarani dengan sanad yang sahih, yang bersumber dari Ibnu Abbas.
Dikemukakan bahwa Abdullah bin Ubay mempunyai seorang jariah yang suka disuruh melacur sejak zaman jahiliah. Ketika zina diharamkan, jariah tersebut tidak mau lagi melakukannya.
5.      Diriwayatkan oleh sa’id bin Manshur dari Sya’ban, dari Amr bin Dinar yang bersumber dari Ikrimah.
Dikemukakan bahwa Abdullah bin Ubay mempunyai dua orang jariah, Mu’adzah dan Masikah. Keduanya dipaksa untuk melacurkan diri. Berkatalah salah seorang di antara kedua jariah itu: “sekiranya perbuatan itu baik, engkau telah memperoleh hasil banyak dari perbuatan itu, namun sekiranya perbuatan itu tidak baik, sudah sepantasnya aku meninggalkannya”.
  1. Munasabah Ayat
Dalam ayat-ayat sebelumnya Allah telah memperingatkan kita untuk berhati-hati dari pelacuran dan tindakan yang tidak bermoral. Kemudian allah melarang perbuatan zina dan segala motif yang bisa mengantarkan pada perbuatan zina, seperti melihat perempuan, bercampur dengan mereka, membuka aurat, memperlihatkan perhiasan, memasuki rumah tnapa ada izin dan sebgainya. Dimana hal tersebut dapat merusak akhlak serta mendatangkan kerusakan.[3]
Sedangkan dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa menikah sesuatu yang yang disukai oleh-Nya. Allah juga memerintah untuk membantu dalam mempermudahh jalannya pernikahan tersebut. Karena nikah merupakan sesuatu yang baik bagi orang mukmin untuk menjauhkan diri dan mencegah dari perbuatan zina, serta menjauh dari perbuatan yang tidak halal, sebab nikah satu-satunya cara untuk melanggengkan keturunan manusia. Berdasarkan hal tersebut, maka ayat ini mendorong pemuda dan pemudi dengan melalui pernikahan dan mengajak mereka untuk menghapuskan segala hambatan yang menghambat jalannya pernikahan, baik itu berupa yang bersifat fasilitas maupun tidak. Inilah gambaran munasabah dengan ayat-ayat sebelumnya.[4]
  1. Analisis Kandungan Hukum
Ada beberapa kandungan hukum yang ada di dalam ayat tersebut. Adapun rinciannya sebagai berikut:
1.      Ayat tersebut ditujukan kepada siapa?
Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat ini bersifat umum, maksudnya hai orang mukmin nikahkanlah orang yang belum berpasangan dari laki-laki da perempuan yang merdeka. Ada pendapat lain bahwa ini ditujukan kepada wali merdeka saja, seperti orang tuanya,  pendapat ini diikuti oleh Al-Qurtubi.[5] Bahkan ada yang berpendapat bahwa ini ditujukan pada para suami dengan alasan merekalah yang diperintah untuk menikah.[6]
2.      Apakah menikah itu wajib atau sunnah?
Dalam hal ini para ulama fiqih berbeda pendapat:
a.       Mazhab Al-Dhahiriyah: menikah itu wajib, maka akan mendapat dosa apabila ditinggalkan.
Dengan dalil dalam ayat tersebut menggunkan shighat amar (perintah) “وانكحوا” dan amar ini menunjukkan arti wajib, maka nikah hukumnya wajib. Serta dengan pernikahan ini dapat menghindarka diri dari keharaman, “suatu hal yang dapat menjadikan ketidaksempurnaan kecuali dengan hal itu,  maka hal tersebut juga wajib”.
b.      Mazhab Syafi’i: menikah itu mubah dan tidak dosa apabila ditinggalkan.
Denga dalil karena menikah itu suatu perbutan untuk memperoleh kesenagan dan syahwat, maka hal tersebut mubah seperti halnya makan dan minum.
c.       Mazhab Jumhur (al-Malikiyah, al-Ahnaf dan al-Hanabilah): menikah itu  مستحب  dan  ومندوب, tidak wajib.
Dengan dalil:
1.      Tidak dapat diingkari pada masa nabi dan seluruh masa sesudahnya, terdapat banyak laki-laki dan perempuan yang tidak menikah, dan nabi tidak mengingkari hal itu.
2.      Hadits Nabi: أحب فطرتي فليستن بسنتي وإن من سنتي النكاح
3.      Hadits Nabi: من رغب عن سنتي فليس مني
Al-Qurtubi berpendapat bahwa perbedaan pendapat tersebut karena perbedaan di lihat dari keadaan orang mukmin itu snediri. Jika ia takut akan kerusakan dalam agamanya atau dunianya maka menikah hukumnya wajib. Dan jika ia mampu mengendalikan diri (tidak takut akan agamanya) serta ada keluasan untuk menikahi orang merdeka, maka sunnah baginya. Sedangkan orang yang tidak keluasan maka sebisa mungkin ia menahan diri meskipun berpuasa, karena berpuasa adalah pemutus baginya.[7]
Hasbi Ash-Shiddieqy juga memberi penjelasan bahwa perintah yang dikandung dalam ayat ini merupaka anjuran, bukan suatu keharusan, kecuali apabila hal itu telah diminta oleh si perempuannya sendiri. Dasarnya kita menetapka bahwa perintah ini bukanlah wajib karena kenyataan pada masa nabi sendiri terdapat orang-orang yang dibiarkan hidup membujang. Tetapi dapat dikatakan perintah di sini adalah wajib apabila dengan tidak menikah mereka yang bujang itu dikhawatirkan akan timbul fitnah.[8]
3.      Dalam ayat وَلْيَسْتَعْفِفِ الذين لاَ يَجِدُونَ نِكَاحاً sebagai dalil larangan nikah mut’ah.
Apabila kita perhatikan susunan ayat-ayat ini dan dengan sebelumnya, Allah mula-mula menyuruh kita memelihara diri dari fitnah dan maksiat, yaitu seperti memjamkan mata dari melihat bagian tubuh lawan yang dilarang. Sesudah itu Allah menyuruh kita menkah untuk memelihara agama dan berikutnya menyuruh kita menahan diri dari hawa nafsu.Pada akhirnya Allah menyuruh kita menahan syahwat ketika kita tidak sanggup menyediakan keperluan yang dibutuhkan oleh suami istri sehingga mereka mendapatkan kesanggupan. Dengan begitu Allah memerintah kita untuk bersabar dari menikah, jika tidak mampu memberikan belanja keperluan rumah tangga nantinya.[9]
Dengan demikian bagi seseorang yang sudah berkeinginan kuat untuk menikah, sedangkan ia belum mempunyai harat maka bersabarlah menahan syahwatnya, bukan nya melakukan nikah mut’ah. Sebagaimana hadit Nabi:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
4.      Larangan melacur
Dalam firman Allah وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ, maksudnya janganlah kamu sekalian memaksa budak perempuanmua supaya mereka melacurka diri untuk mencari kekayaan, sedangkan mereka sesungguhnya tidak mau. Firman Allah ini tidak memberi pengertian bahwa larangan memaksa mereka melacur diri adalah jika mereka tidak menyukainya. Sebenarnya, walaupun mereka menyukainya, kita tetap tidak boleh menyuruh mereka untuk melacurkan diri. Sebagai dalam riwayat asbabul nuzul ayat ini diturunkan.[10]
Ibnu Mardawaih mengeluarkan riwayat dari Ali karamallu wajhah, bahwa pada masa jahiliah, orang-orang memaksa budak-budak wanitanya utnuk berzina atau melacur agar mereka dapat mengambil upahnya, lalu Islam turun melarang mereka berbuta demikian dan kahirnya turun hal tersebut.[11]
5.      Bagaimana yang dimaksud dengan pemaksaan untuk melacur di sini dan apakah dihilangkan hadnya sebab dipaksa bagi laki-laki dan perempuan?
Dalam firman Allah وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ bahwa pemaksaan di sini adalah sesuatu yang dapat mendatangkan kerusakan pada jiwa, seperti mengancam akan dibunuh atau juga sesuatu yang dapat merusak anggota tubuh. Adapun jika pemaksaan tersebut bersifat ringan maka itu tidak bisa dikatakan pemaksaan.
Sesungguhnya pemaksaan dapat menggugurkan pentaklifan bagi manusia dan dosa patut diberika kepada orang yang dipaksa. Dimana orang yang dalam keadaan dipaksa untuk melakukan zina maka dia sama halnya dipaksa untuk mengucapkan kalimat kufur. Dalam firman Allah إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بالإيمان, maksudnya jika seseorang itu dipaksa untuk melacur, tapi dia merasa senang maka itu tidak bisa dikatakan pemaksaan.
Sedangkan dalam penghilangan had, menurut Jumhur ulama mengatakan bahwa penghilangan had bagi laki-laki dan perempuan seperti dihilangkannya dosa dalam ayat di atas, karena hukumnya seorang laki-laki sama dengan hukumnya seorang perempuan. Ini berdasarkan hadits Nabi:
 عن أمتي الخطأ ، والنسيان ، وما اسْتُكرهوا عليه
Dalam hal ini Abu Hanifah menambahi bahwa jika seorang laki-laki dipaksa seorang perempuan maka itu juga tidak bisa dikatakan pemaksaan yang maksud di sini.
  1. Hikmat al-Tasyri’
Allah mensyari’atkan pernikahan itu untuk mengatur manusia dengan tujuan mulia dan manfaat yang besar. Dan Allah memerintah untuk memudahkan jalannya pernikahan karena pernikahan cara yang tepat untuk mereproduksi keturunan, sehingga tersebar luas penduduk bumi dengan keturunan yang benar. Allah tidak menghendaki ada kekacauan di antara laki-laki dan perempuan, yang saling meninggalkan dan melantarkan seperti yang terjadi pada binatang. Tetapi dengan meletakkan peraturan tepat yang melindungi martabat manusia dan melestarikan kehormatan. Sehingga tercipta hubungan laki-laki dan perempuan dengan hubungan yang bersih dan murni atas dasar saling ridla. Dengan ini wanita akan merasa dilindungi dan aman.
Dengan cara ini merupakan cara yang paling aman untuk memuaskan dan memenuhi naluri dan syahwat yang bebas dari gangguan. Sebagaimana Allah mengizinkan mereka dan ini ditujukan dalam ayat:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”(An-Nur: 22)
Pernikahan merupakan cara yang terbaik untuk memiliki anak, memperbanyak keturunan dan melanjutkan kehidupan dengan tetap menjaga garis keturunan. Rasulullah menggambarkan bahwa pernikahan adalah harta yang paling baik di kehidupan ini. “الدنيا متاعٌ وخيرُ متاعها المرأةُ الصالحة”. Bahkan Nabi juga pernah menyatakan bahwa wanita shalihah adalah harta yang tersimpan.
ألا أخبركم بخير ما يكنز المرء؟ المرأة الصالحة إن نظر إليها سرته ، وإن أمرها أطاعته ، وإن غاب عنها حفظته في نفسها وماله.
Islam memerintah untuk memudahkan jalannya pernikahan agar kehidupan ini berjalan pada normalnya. Dan juga Islam memerintah menghilangkan semua hambatan dari berbagai segi, termasuk keuangan yang menjadi hambatan yang paling utama dalam membentuk rumah tangga. Maka dari itu Allah memperingatkan untuk tidak boleh berpaling dari pernikahan bagi orang miskin. Karena rezeki dibawah kekuasaan Allah, walaupun ia memilih untuk menahan diri. Maka dari itu, semua umat harus membantu mereka dalam proses pernikahannya dan juga membantu dalam menyediakan lapangan pekerjaan agar mereka tetap menjadi satu anggota kemasyarakatan yang tidak lumpuh.
Al-Qur’an memberikan kesempatan menikah bagi pemuda yang sudah siap, bagi yang belum siap Allah memerintahkan untuk menahan diri dari hal-hal yang haramm. Sebagaimana dalam ayat
  وَلْيَسْتَعْفِفِ الذين لاَ يَجِدُونَ نِكَاحاً حتى يُغْنِيَهُمُ الله مِن فَضْلِهِ.
Di bawah ini dikemukakan beberapa hikmah pernikahan dan larangan pelacuran:
1.      Pernikahan dapat menciptakan kasih sayang dan ketentraman
2.      Pernikahan dapat melahirkan keturunan secara sah dan terhormat
3.      Dengan pernikahan agama dapat terpelihara
4.      Pernikahan dapat memelihara ketinggian martabat seorang wanita
5.      Pernikahan dapat menjauhkan perzinahan
KESIMPULAN
Dari penjelasan ayat-ayat tersebut dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa ayat-ayat tersebut mengandung anjuran menikah dan menikahkan orang-orang yang tidak bersuami dan tidak beristri, termasuk juga budak-budak yang sudah layak dan sudah cukup usia hendaklah dibantu dalam melaksanakan keinginannya. Apabila mereka belum mampu untuk menikah maka bersabarlah dengan  menahan dir dari hawa nafsu.
Dalam ayat tersebut juga mencakup tentan hukum larangan kepada orang-orang yang memiliki hamba sahaya wanita memaksakan untuk melacurkan diri untuk mencari keungtungan dan memperoleh penghasilan dari melacur mereka ini, padahal mereka itu ingin mempertahankan kesuciannya. Akan tetapi, firman Allah ini tidak memberi pengertian bahwa larangan memaksa mereka melacur diri adalah jika mereka tidak menyukainya. Walaupun mereka menyukainya, kita tetap tidak boleh menyuruh mereka untuk melacurkan diri.
PENUTUP
Demikianlah pembahasan yang dapat kami sampaikan tentang tafsir ayat 32-34 yang terdapat dalam surat An-Nur tentang anjran menikah dan larangan melacur. Mudah-mudahan bisa menambah wawasan dan bahan pertimbangan untuk kita semua dalam melangkah ke depan. Dan semoga bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya. Kami juga sangat menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak sekali kekurangan dan kesalahan dari berbagai segi. Oleh karena itu, kami akan selalu membuka kritik dan saran yang bersifat konstruktif untuk kesempurnaan makalah ini. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad Mushthofa, Tafsri Al-Maraghi (Edisi Terjemahan), Semarang: Toha Putra, 2000.
Al-Qurtubi, Muhammad Ibn Abi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, t.t. Juz. 12, hal. 238.
Al-Shabuni, Muhammad Ali, Tafsir Ayat Al-Ahkam min Al-Qur’an Al-Karim, (Beirut: Dar Ibn Abbud, 2004)
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Juz. 18, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000.
Az-Zamakhsyari, Mahmud bin Umar, Tafsir Al Kasysyaf, t.t.
Bahreisy, H. Salim, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir, jilid. 5, Surabaya: Bina Ilmu, 1990.
K.H.Q. Shaleh dkk, Asbabul Nuzul; Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2007.
Maktabah Syamila 6888, Tafsir Ayat Al-Ahkam, t.t.


[1] Mahmud bin Umar Az-Zamakhsyari, Tafsir Al Kasysyaf, t.t. Juz III, hal. 188.
[2] K.H.Q. Shaleh dkk, Asbabul Nuzul; Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2007, hal. 384-385.
[3] Muhammad Ali Al-Shabuni, Tafsir Ayat Al-Ahkam min Al-Qur’an Al-Karim, (Beirut: Dar Ibn Abbud, 2004), hal 131. Lihat Juga Maktabah Syamila 6888, Tafsir Ayat Al-Ahkam, t.t.
[4] Ibid.
[5] Lebih jelasnya lihat Muhammad Ibn Abi Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, t.t. Juz. 12, hal. 238.
[6]Muhammad Ali Al-Shabuni, loc.cit.
[7] Muhammad Ibn Abi Al-Qurtubi, op.cit. hal. 239.
[8] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Juz. 18, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), hal. 2820-2821.
[9] Ibid. hal. 2822.
[10]Ibid. 2823.
[11] Ahmad Mushthofa Al-Maraghi, Tafsri Al-Maraghi (Edisi Terjemahan), (Semarang: Toha Putra, 2000), hal. 191.
Share:

Hukum Wakaf: Benda Bergerak dan Pengelolaannya



MAKALAH


OLEH:
MUHAMAD ZAINAL MAWAHIB (092111127)
MAHASISWA FAKULTAS SYARI'AH
IAIN WALISONGO SEMARANG

HUKUM WAKAF
(BENDA BERGERAK DAN PENGELOLAANNYA)


PENDAHULUAN
A.    Abstrak
Perwakafan atau wakaf merupakan pranata dalam keagamaan Islam yang sudah mapan. Dalam hukum islam, wakaf tersebut termasuk ke dalam ketegori ibadah kemasyarakatan (ibadah ijtima'iyyah). Sepanjang sejarah islam, wakaf merupakan saranan dan modal yang amat penting dalam memajukan perkembangan agama.[1]
Di Indonesia, perwakafan pernah diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agrarian dan Peraturan Pemerintah, yaitu PP No. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Peraturan ini mempunyai kemiripan dengan KHI (Kompilasi Hukum Islam), hanya saja di PP No, 28 terbatas pada perwakafan tanah milik, sedangkan dalam KHI memuat tentang perwakafan secara umum. Peraturan dalam KHI tidak hanya terbatas pada benda tidak bergerak, tetapi juga mencakup benda bergerak yang mempunyai daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.[2]
Sebagaimana yang termuat dalam KHI, pasal 215 ayat (4) dikemukakan "Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut Islam"
Disyaratkannya harta wakaf yang memiliki daya tahan lama dan bernilai agar benda wakaf tersebut dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang, tidak hanya sekali pakai. Dan benda tersebut tidak hanya terbatas pada benda yang bergerak, tetapi termasuk juga benda yang bergerak. Demikian pula karena watak wakaf yang lebih mementingkan manfaat benda tersebut, yaitu untuk mengekalkan pahala wakaf meskipun orang yang berwakaf sudah meninggal.
Selaian itu, sebagai salah satu sumber dana yang penting dan besar sekali manfaatnya bagi kepentingan agama dan umat serta untuk pembinaan kehidupan, terutama bagi orang-orang yang tidak mampu, maupun cacat mental/fisik, sert orang yang sudah lanjut usia. Dimana mereka sangat membutuhkan bantuan dari dana, seperti wakaf.
Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan yang juga penting adalah perawatan, pengembangan, pelestarian, pengelolaan, pengolahan, pemanfaatan dan pengaturan yang baik  dan adil untukkesejahteraan umat.
B.     Rumusan Masalah
Bertolak dari abstrak di atas, maka dalam makalah ini akan membahas tentang hukum wakaf benda bergerak terlebih dahulu. Kemudian dilanjutkan dengan pengelolaannya. Pembahasan tersebut dapat dibentuk dalam sebuah rumusan masalah sederhana agar mempermudah dalam memahami. Adapun rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pandangan-pandangan hukum yang ada tentang hukum wakaf benda bergerak?
2.      Bagaimana pengelolaan harta wakaf yang bergerak tersebut agar manfaatnya bisa maksimal dalam rangka mensejahterakan umat?
PEMBAHASAN
A.    Hukum Wakaf Benda Bergerak
Landasan hukum yang menganjurkan wakaf, antara lain:
"Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya." (QS. Ali Imran: 92).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
"Apabila manusia wafat maka terputuslah semua amal perbuatannya, kecuali tiga hal, yaitu ssedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang berdoa untuk orang tuanya".(HR. Muslim).
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَأَمَرَ بِبِنَاءِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ يَا بَنِي النَّجَّارِ ثَامِنُونِي فَقَالُوا لَا نَطْلُبُ ثَمَنَهُ إِلَّا إِلَى اللَّهِ
"Diriwayatkan dari Anas RA. Nabi tiba di Madinah dan beliau memerintah membangun Masjid dan bersabda: "Hai Bani Hajar, kalian kalkulasilah padaku", mereka menjawab: "Demi Allah, kami tidak menuntut harganya kecuali kepada Allah". (HR. Bukhari).
Itulah beberapa dalil yang mendasari disyari'atkannya wakaf sebagai tindakan hukum, dengan cara melepaskan hak kepemilikan atas asal barang dan menyedekahkan manfaatnya untuk kepentingan umum dengan maksud memperoleh pahala dari Allah. Kepentingan umum tersebut, baik berupa kepentingan sosial dan maupun kepentingan keagamaan. Menurut Abu Zahrah bahwa para sahabat telah mempraktekkan tindakan wakaf.[3]
Dalam pendefinisian wakaf itu sendiri antara ulama satu dengan yang lain berbeda beda. Sedangkan redaksi yang tecantum dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 215 jo. Pasal 1 (1) PP. No. 28/1977: "Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam."[4]
Dalam pendefinisian wakaf tersebut ditegaskan bahwa yang diwakafkan berupa benda tetap dan bermanfaat dan tidak menyebutkan harus berupa benda bergerak atau tidak bergerak. Para yurisprudensi Islam berbeda pendapat tentang wakaf benda bergerak. Ada tiga pendapat besar[5], yaitu
1.      Para Pengikut Mazhab Hanafiah (Ulama Hanafiyah)
Mazhab Hanafiyah Berpendapat bahwa pada dasarnya benda yang diwakafkan adalah benda tidak bergerak. Karena obyek wakaf itu harus  bersifat tetap 'ain (dzat/pokok) nya yang memungkinkan dapat dimanfaatkan terus menerus.
Abu Zahrah mengatakan dalam kitabnya al Mudlarat fi al Awqaf bahwa menurut mazhab Hanafi banda bergerak dapat diwakafkan dalam beberapa kondisi:
a.       Hendaknya benda bergerak itu selalu menyertai banda tetap. Hal seperti ini ada dua hal: Pertama, hubungannya sangat erat dengan benda tetap, seperti bangunan dan pepohonan. Kedua. Sesuatu yang khusus disediakan untuk kepentingan benda tetap, misalnya alat untuk membajak tanah.
b.      Boleh mewakafkan benda bergerak berdasarkan astar (perilaku) sahabat yang membilehkan mewakafkan senjata, baju perang dan binatang yang digunakan untuk perang.
c.       Boleh mewakafkan benda bergerak yang mendatangkan pengetahunan dan merupakan sesuatu yang sudah biasa dilakukan berdasarkan 'urf (tradisi), seperti mewakafkan kitab-kitab dan mushhaf al-Qur'an.
Menurut mazhab Hanafi, untuk menggantikan benda wakaf yang dikhawatirkan tidak kekal adalah memungkinkan kekalnya manfaat, seperti mewakafkan tempat memanaskan air, sekop untuk bekerja dan lain sebagainya.
2.      Ulama Pengikut Mazhab Maliki
Mereka berpendapat boleh mewakafkan benda bergerak dengan syarat dapat dimanfaatkan untuk selamanya atatu dalam jangka waktu tertentu. Pendapat ini berdasarkan kepada tidak adanya persyaratan dalam mewakafkan benda tidak bergerak maupun bergerak. Jika dibolehkan mewakafkan benda untuk selamanya, berarti boleh mewakafkan benda sementara.
Wahbah Zuhaili dalam bukunya, Al Fiqh al Islami wa Adillatuha: 169, menyatakan bahwa mazhab Maliki membolehkan wakaf makanan, uang dan benda bergerak lainnya. Pendapat ini berdasarkan pada sabda Nabi SAW:
احبس اصلها وسبل ثمرتها (رواه النسائي وإبن ماجه)
"Tahanlah asal (pokok) nya, dan jalankanlah manfaatnya" (HR. Al Nasa'I dan Ibnu Majah).
Dan juga  hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas bahwa ia berkata: "suatu ketika Rasulullah SAW ingin menunaikan ibadah haji, ada seorang wanita berkata kepada suaminya:"Apakah engkau menghajikan aku bersama Rasulullah SAW?, suaminya menjawab: "tidak, aku tisak mengizinkanmu", si wanita itu berkata lagi: "apakah engkau membolehkan aku berjanji bersama seseorang mengedarai untamu? Ia berkata: "hal itu adalah wakaf di jalan Allah SWT. Maka datanglah RAsulullah menghampiri seraya bersabda: "jika engkau menghajikan dengan mengendarai untamu sesungguhnya itu adalah ibadah di jalan Allah SWT". (HR. Abu Dawut).  
3.      Mazhab Imam Syafi'I dan Mazhab Hambali.
Mazhab Syafi'I membolehkan wakaf berupa benda bergerak apapun dengan syarat barang yang diwakafkan haruslah benda yang kekal manfaatnya, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Sedangkan Mazhab Hambali menyatakan boleh mewakafkan harta, baik bergerak maupun tisak bergerak, seperti mewakafkan kendaraan, senjata untuk perang, hewan ternak dan kitab-kitab yang bermanfaat dan benda yang tidak bergerak, seperti rumah, tanaman, tanah dan benda tetap lainnya.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh para fuqaha' bahwa barang yang diwakafkan haruslah bersifat kekal atau paling tidak dapat beratahan lama. Pandangan seperti ini, merupakan konskuensi logis dari konsep bahwa wakaf adalah sedekah jariyah. Sebagai sedekah jariyah yang pahalanya terus menerus mengalir sudah barang tentu barang yang diwkafkan bersifat kekal atau bertahan lama. Namun demikian, mayoritas ahli yuriprudensi islam justru menekankan pada aspek manfaatnya, bukan sifat fisiknya.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa macam-macam harta wakaf[6] adalah:
1.      Benda tidak bergerak[7], seperti tanah, sawah dan bangunan. Benda macam inilah yang sangat dianjurkan agar diwakafkan, karena mempunyai nilai jariyah yang lebih lama. Ini sejalan dengan wakaf yang dipraktekkan sahabat Umar bin Khattab atas tanah Khaibar atas perintah Rasulullah SAW. Demikian juga yang dilakukan oleh bani al-NAjjar yang mewakafkan bangunan dinding pagarnya kepada Rasul untuk kepentingan masjid.
2.      Benda bergerak[8], seperti mobil, sepeda motor, binatang ternak, atau benda lainnya. Yang terakhir ini juga dapat diwakafkan. Anmun, nilai jariyahnya terbatas hingga benda tersebut dapat dipertahankan. Bagaimanapun juga, apabila benda-benda itu tidak dapat lagi dipertahankan keberadaannya, maka selesailah wakaf tersebut. kecuali apabila masih memungkinkan diupayakan untuk ditukar atau diganti dengan benda baru yang lain.
Sementara ulama ada yang membagi benda wakaf kepada benda berbentuk masjid dan bukan masjid. Yang berbentuk masjid, jelas termasuk benda yang tidak bergerak. Untuk yang bukan berbentuk masjid, dibagi seperti pembagian di atas, yaitu benda tidak bergerak dan benda bergerak.[9] 
B.     Pengelolaan Harta Wakaf
Pada zaman kejayaan Islam, wakaf juga pernah mencapai kejayaan walaupun pengelolaannya masih sangat sederhana. Pada abad ke-8 dan abad ke-9 H dipandang sebagai zaman keemasaan perkembangan wakaf.[10]
Tidak bisa dipungkiri, bahwa suatu perwakafan tidak dapat dipisahkan fdari keberdaan Nadzir. Hal ini disebabkan karena berkembang tidaknya harta wakaf, salah satu di antaranya sangat tergantung pada Nadzir wakaf. Walaun para mujtahid tidak menjadikan Nadzir sebagai salah satu tukun wakaf, namun para ulama sepakat bahwa wakif harus menunjukkan Nadzir Wakaf. Mengingat pentingnya Nadzir dalam pengelolaan wakaf.
Untuk membahas mengenai pengelolaan wakaf ini perlu kiranya member gambaran tentang pengelolaan wkafa yang telah dilakukan oleh Negara yang lembaga wakafnya sudah berkembang, seperti Mesir dan beberapa pemikir wakaf yang dikembangkan oleh pemikir-pemikir ekonomi Islam akhir-akhri ini.
Diman peraturan perundang-undangan mengenai perwakafan di Meisr juga selalu dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi serta tetap berdasarkan Syariat Islam. Sehingga pada tahun dibentuk suatu Badan Wakaf yang khusus menangani wakaf, sesuai dengan Qanun No. 80 Tahun 1971. Badan Wakaf ini juga menguasai pengelolaan wakaf dan mempenyai wewenang untuk membelanjakan dengan sebaik-baiknya. Agar wakaf dapat lebih berkembang dan dapat meningkat perekonomian masyarakat, maka Badan Wkaf Mesir juga membuat beberapa kebijakan, antara lain:
1.      Badan Wakaf menitipkan hasil harta wakaf di bank (bank Islam) sehingga dapat berkembang.
2.      Badan Wakaf memalui wizarotul auqaf berpatisipasi dalam mendirikan bank-bank Islam.
3.      Badan Wakaf memalui wizarotul auqaf mendakan kerjasama dengan beberapa perusahaan.
4.      Departemen perwakafan memanfaatkan tanah-tanah kosong  sebagai investor untuk dikelola secara produktif, yaitu mendirikan lembaga perekonomian.
5.      Departemen perwakafan juga membeli saham dan obligasi dan perusahaan penting.
1.      Pedoman Pengelolaan Wakaf
a.      Aspek Kelembagaan Wakaf
Pembentukan suatu badan atau lembaga yang mengkoordinir secara nasional bernama Badan Wakaf Indonesia (BW). Bertugas mengembangkan wakaf secara produktif dengan memberikan binaan kepda Nadzir secara nasional sehingga wwkafa berfungsi untuk menigkatkan taraf hidup masyarakat. Disamping itu , BWI harus menggarap wilayah tugas;
1)      Merumuskan kembali fikih baru di Indonesia agar wakaf dapat dikelola lebih praktis, fleksibel dan modern tanpa menghilangkan wataknya sebagai lembaga Islam yang kekal.
2)      Membuta kebijakan dan strategi pengelolaan produktif dan mensosialisasikan bolehnya benda bergerak dan sertifikat tunai kepda masyarakat.
3)      Menyusun dan mengusulkan kapada pemerintah regulasi bidang wakaf kepada pemerintah.
b.      Aspek Operasional Akuntasi dan Auditing Lembaga Wakaf
Aspek akuntansi, berdasarkan tujuan dasar dan pola operasi sebuah enttitas, akuntansi dapat dipilah menjadi dua, yakni akuntansi untuk organisasi yang bermotif mencari laba dan akuntansi untuk organisasi nirlaba. Bentuk yang pertama, diwakili oleh peruhasaan-perusahaan komersial, baik bersifat menjual jasa (transportasi, perbankan dan sebagainya), perdagangan dan perusahaan manufaktur (yang berfingsi merubah bahan baku manjadi bahan produk jadi. Bentuk kedua diwakili oleh organisasi pemerintah di segala tingkatan, lembaga pendidikan pada umumnya dan organisasi massa serta sosial kemasyarakatan.
c.       Kehumasan (Pemasaran)
Kehumasan mempunyai peran penting dalam mengelola wakaf, fungsi tersebut dimsudkan untuk :
1.      Memperkuat image bahwa wakaf yang dikelola Nazhir betul-betul dapat dikembangkan dan hasilnya untuk keseajhteraan umum
2.      Menyakinkan wakif bahwa harta wakafnya akan dikelola secara baik dan menyakinkan orang yang tadinya enggan melaksanakan wakaf menjadi mau melaksanakan wakaf
3.      Memperkenalkan wakaf, bahwasanya wakaf bukan saja berorientasi pada pahala saja akan tetapi untuk mensejahterakan umat manusia khususnya yang kurang mampu.
Pengelolaan dana wakaf ini juga harus disadari merupakan pengelolaan dana publik. Untuk itu tidak saja pengelolaannya yang harus dilakukan secara profesional, akan tetapi budaya transparansi serta akuntabilitas merupakan satu faktor yang harus diwujudkan. Dengan adanya budaya pengelolaan yang professional, transparansi dan akuntabilitas, maka beberapa hak konsumen (wakif) dapat dipenuhi, yaitu:
1)       Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/ jasa
2)       Hak untuk didengar dan keluhannya atas barang/jasa yang digunakan
3)       Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
Dalam melakukan pengelolaan wakaf diperlukan sebuah institusi yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
1)      kemampuan akses kepada calon wakif
2)      kemampuan melakukan investasi dana wakaf
3)      kemampuan melakukan administrasi rekening beneficiary
4)      kemampuan melakukan distribusi hasil investasi dana wakaf
5)      mempunyai kredibilitas di mata masyarakat, dan harus dikontrol oleh hukum/regulasi yang ketat.[11]
Dengan begitu, disadari atau tidak, tingkat kreativitas dan kejeliaan serta profesinalitas Nadzir inilah yang sangat mempengaruhi perkembangan harta wakaf. Sebagaimana yang dijelaskan Undang-undang tentang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004 menyokong wakaf dikelola secara profesional. Pasal 11 Undang-undang wakaf menjelaskan tugas nazir adalah; melakukan pengelolaan hata benda wakaf, mengurus dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai tujuan dan fungsinya, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf serta melaporkan pelaksanaan tugas kepada BWI.
Manakala pasal 12 mengatur bahwa pengurus harta benda wakaf boleh menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang banyaknya tidak melebihi 10%. Aturan ini membuka peluang pengelolaan harta benda wakaf secara profesional. Karena dibolehkannya nadzir menggunakan hasil pengelolaan dan pengembangan harta wakaf maksimum sebesar 10%, nadzir akan lebih fokus dan profesional mengurusi dan mengembangkan harta benda wakaf.
Uraian di atas, Nazir tidak lagi sekadar pekerjaan sisa waktu saja, tetapi benar-benar mengerusi serta menjalankan tugas, oleh karena itu nazhir patut diberi hak-hak yang pantas sebagaimana mereka bekerja secara professional.
PENUTUP
Demikianlah pembahasan yang dapat kami sampaikan tentang Hukum Wakaf: Benda Bergerak dan Pengelolaannya. Mudah-mudahan bisa menambah wawasan dan pengetahuan. Dan semoga bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya. Kami juga sangat menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini banyak sekali kekurangan dari berbagai segi. Oleh karena itu, kami akan selalu membuka kritik dan saran yang bersifat konstruktif untuk kesempurnaan makalah ini. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, al Mudlarat fi al Awqaf, Mesir: Dar al-Fikr al-Araby, 1971.
Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdillah, Hukum Wakaf, terjemahan dari Ahkam al-Waqf fi Al-Syari'ah Al-Islamiyah, Jakarta: IIMaN Press, 2003.
Al-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islâmi wa  Adillatuhu, Juz 10, Damsyiq: Dar al-Fikr, t.t.
Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Jakarta: Depag, 2006.
________, Pedoman: Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf,  Jakarta: Depag RI, 2006.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Cet, III, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998.
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, Cet. IIBandung: CV. Nuansa Aulia, 2009.


[1] Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Depag, 2006, hal. 1
[2] Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Pedoman: Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf,  Depag RI, Jakarta, 2006, hal. 38.
[3] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Cet, III, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998, hal. 486.
[4] Ibid, hal. 491, lihat juga Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, Cet. IIBandung: CV. Nuansa Aulia, 2009., hal. 115.
[5] Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Pedoman: Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, op. cit. 43-45. Lihat juga Muhammad Abid Abdillah Al-Kabisi, Hukum Wakaf, terjemahan dari Ahkam al-Waqf fi Al-Syari'ah Al-Islamiyah, Jakarta: IIMaN Press, 2003, hal. 271-271.
[6] Ahmad Rofiq, op. cit. hal. 505. Lihat Kompilasi Hukum Islam op. cit. hal. 120, Undang-Undang  No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf, pasal 16 ayat (1) bahwa harta benda wakaf terdiri dari: a) benda tidak bergerak dan b) benda bergerak.
[7] Lihat pasal 16 ayat (2) yang menjelaskan tentang benda tidak bergerak, Kompilasi Hukum Islam, loc. cit..
[8] lihat pasal 16 ayat (3) yang menjelaskan tentang benda bergerak, termasuk hak atas kekayaan inteletual. Ibid.
[9] Ahmad Rofiq, loc. cit.
[10]Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Pedoman: Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, op. cit. hal. 87
[11] Ibid. hal.128-129.
Share:

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Archives

Makalah

Info

Opini