Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Teka-Teki Jodoh di Bangku Kuliah

Kehidupan di bangku kuliah tidak sama dengan saat kita masih mengenyam pendidikan di tingkat sebelumnya. Model sistem pembelajaran pendidikan yang diberlakukan merupakan salah satu perbedaan yang menonjol. Ketika kita masih di bangku SLTA, SMP atau SD, guru yang lebih aktif dalam proses transfer pengetahuan. Seorang murid hanya mendengar penjelasan dari guru. Di bangku kuliah, justru sebaliknya mahasiswa dituntut untuk lebih aktif, dosen hanya memberikan materi-materi inti dan memandu jalannya diskusi.
Disadari atau tidak, secara tidak langsung mahasiswa dalam model pembelajaran seperti itu mahasiswa dituntut untuk lebih aktif mencari dan mempelajari materi mata kuliah. Mengapa demikian? Karena apabila mahasiswa tersebut aktif secara individu atau kelompok mengkaji mata kuliah tersebut di luar jam kuliah, maka dia akan bisa mudah mengikuti jalannya proses transfering pengetahuan dalam jam kuliah. Akibatnya, diskusi dalam jam kuliah akan terasa mengasyikkan.

Untuk mewujudkan hal tersebut, setidaknya mahasiswa tidak boleh anti dengan perpustakan. Sebab tempat berkumpulnya buku-buku itulah yang akan mengantarkan mereka ke dunia pengetahun yang lebih luas dan lebih kompleks dalam memahami suatu persoalan. Selain itu, sebagai penyeimbangkan bahan yang mungkin tidak di temukan di perpustakaan, mahasiswa bisa memanfaatkan dunia maya. Dimana dalam cyberspace, segudang ilmu pengetahuan di-share-kan dengan free.
Tak hanya itu, sebagai wujud aplikasi dari pengetahuan mereka ke dunia realita, maka mereka harus berani terjun ke dunia organisasi. Dalam organisasi ini, mahasiswa akan mengetahui korelasi antara konsep pengetahuan yang telah mereka ketahui dengan realita yang sedang dihadapi. Tak khayal, apabila bagi mereka yang belum terbiasa akan merasa kesulitan. Maka dari itu, sebagai bekal untuk menghadapi realita masyarakat yang nantinya kita hadapi, selayaknya mahasiswa menyisihkan sedikuta waktunya untuk memahami realita kehidupan. Model seperti inilah yang tepat dalam memahami realita, sebab dalam dalam bangku kuliah hanya memberikan sebuah teori atau konsep untuk menghadapi realita.
Melihat lika-liku mahasiswa seperti itu, maka mahasiswa haruslah sadar untuk serius dalam mengatur waktunya dengan sebagi-baiknya. Jika mereka tidak bisa mengatur waktu dengan baik, maka akan memungkin merusak kestabilan dalam menjalani pendidikan di bangku kuliah.
Teka-Teki Jodoh
Itu saja belum cukup, mahasiswa masih dihadapkan satu permasalahan lagi, yaitu mengenai permasalahan tentang jodoh. Seseorang yang sudah masuk di perguruan tinggi berarti mereka sedang memproses dirinya untuk menemukan jati diri untuk menuju kedewasaan. Penulis menyebut masa-masa ini adalah masa pra-dewasa. Dengan begitu, mahasiswa akan mulai mencari seseorang yang akan mendampingi di masa kedewasaan di kemudian hari.
Dari sekian banyak mahasiswa, tidak sedikit yang sudah mulai menjalani hubungan (baca: pacaran) dan yang berstatus lajang. Dalam memilih antara ingin menjalani hubungan atau tidak, tentu mereka memiliki alasan masing-masing. Sehingga tidaklah pantas bagi kaum intelektual muda memandang sebelah mata, apabila ada seorang mahasiswa yang minoritas di antara kita.
Bagi mahasiswa yang masih lajang, bukan berarti dia tidak laku di kalangan mahasiswi. Mereka ingin lebih fokus terlebih dahulu pada kuliahnya. Ada juga yang karena sebuah prinsip, seperti contoh dia tidak akan menjalani hubungan sebelum lulus kuliah atau sebelum mendapatkan pekerjaan. Bahkan ada juga yang merasa takut terumus ke dunia yang diharamkan oleh agama.
Berbeda lagi, bagi mereka yang sudah berani menjalani hubungan, mereka berargumen bahwa ini sebagai proses pembelajaran untuk melatih bagaimana memahami lawan jenis dalam sebuah hubungan. Sehingga dikemudian hari ketika sudah terikat oleh pernikahan, setidaknya ia sudah mengetahui sedikit tentang bagaimana menjalani hubungan dengan lawan jenis. Ada juga yang ingin mencari tulang rusuknya yang hilang.
Dalam menjalani hubungan, tidak lain adalah ada keikutsertaan perasaan hati antara lawan jenis di dalam. Ketika dalam hubungan tersebut tidak ada perasaan yang merasa dipermaikan ataupun disakiti maka hal itu tidak masalah, tapi masih tetap ada batasan-batasan yang mengaturnya. Apabila ada perasaan yang dipermaikan ataupun disakiti, inilah yang perhatikan. Karena ini berhubungan dengan perasaan maka ada kesambungan dengan jiwa yang kemudian dipikirkan oleh pikiran (otak). Maka tak heran, jika ada seseorang yang merasa dipermaikan perasaannya ia mengalami stress, bahkan ada yang berujung pada keberania untuk melakukan perbuatan nekat seperti bunuh diri dan sebagainya.

Sebagai bentuk mewujudkan rasa kemanusiaan kita, hendaklah dalam menjalani hubungan, kita saling menjaga perasaan masing-masing. Jangan sampai ada pihak yang merasa dipermaikan. Kalaupun ada ketidak cocokan, maka dapat diselesaikan dengan baik-baik. Begitulah teka-teki jodoh yang ada pada mahasiswa di tengah lika-liku keseharian mereka yang pebuh dengan kesibukan dalam menjalani kehidupan sebagai mahasiswa.
Share:

Karikatur RUU Ormas


Share:

Unifikasi Kalender Hijriah; Sebuah Catatan terhadap Konsep Penyatuan Kalender Hijriah

Entah sejak kapan perbedaan dalam penentuan awal bulan kamariah menjadi hal yang “wajar” (dan dinilai wajar?). Mengingat fenomena tersebut hampir setiap tahun ada di Indonesia, bahkan di internasional. Menanggapi problematika ini, tidak sedikit para pakar ilmu falak mengusung gagasan untuk menyatukan kalender hijriah. Tentu saja, hal tersebut bertujuan untuk menghilangkan perbedaan dalam menentukan awal bulan kamariah.
Perlu disebutkan, lahirnya gagasan unifikasi kalender hijriah ini, menurut saya, setidaknya ada dua kelompok. Kelompok pertama menghendaki adanya gagasan tersebut dan bahkan mereka optimis akan terwujud kalender hijriah. Mereka memandang bahwa kalender islam yang mapan merupakan “tuntutan peradaban”. Sedangkan menurut kelompok kedua hal tersebut menjadi tantangan yang sangat berat nan melelahkan hingga akhirnya mereka pesimis. Maklum, munculnya dua kelompok itu menjadi hal yang wajar, mengingat yang menjadi permasalahan adalah sesuatu yang bersifat multitafsir.
Semua para ilmu falak sepakat bahwa yang menjadi dasar hukum dalam menentukan awal bulan kamariah adalah al Qur’an dan Hadits. Dalam dasar hukum tersebut dijelaskna bahwa menentukan awal bulan kamariah yang menjadi patokan adalah “melihat hilal”. Berangkat dari sini muncullah berbagai tafsir hingga akhirnya ada gagasan penyatuan kalender hijriah.
Dengan adanya gagasan ini penulis termasuk orang yang pesimis terwujudnya ide ini. Setidaknya tiga alasan yang mendasar yang menjadi landasan penulis. Pertama, ide penyatuan kalender hijriah ini dianggap menjadi kemunduran orang Islam karena tidak dalam penentuan awal bulan hingga sekarang ini masih mengalami problematika. Namun yang perlu diperhatikan sistem yang digunakan dalam kalender hijriah adalah sistem peredaran bulan. sedangkan kalender masehi adalah sistem peredaran matahari. Apabila diperhatikan sebenarnya dalam menentukan awal bulan kamariah yang menggunakan sistem peresaran bulan tersebut tidak lepas dari peran pergerakan matahari juga. Sebab hilal yang akan muncul setelah matahari terbenam. Apabila terbenamnya bulan terjadi sebelum matahari terbenam maka hal itu bukan hilal namun bulan tua.
Pada fenomena tersebut tentu setiap tempat akan berbeda-beda. Bisa jadi di suatu tempat bulan terbenam setelah matahari terbenam namun ada juga tempat yang bulan terbenam lebih dahulu dari matahari. Padahal kewajiban orang muslim memulai puasa atau mengawali bulan kamariah itu adalah ditentukan oleh munculnya hilal. Pada akhirnya muncullah konsep mathla’ dalam menentukan awal bulan.
Kedua, diakui atau tidak selama ini dalam dunia tafsir banyak kita temui perbedaan penafsiran. Perbedaan dalam memahami agama islam muncul sejak dahulu, bahkan sejak masa Nabi. Ketika itu Nabi memerintah beberapa sahabat untuk ke suatu tempat dan Nabi juga berpesan untuk shalat ashar di tempat tujuan. Namun pada perjalanannya ada sahabat yang shalat di tempat tujuan dan juga ada sahabat yang menjama’ shalat. Perbedaan panafsiran pun terjadi hingga sekarang ini. Hal ini dibuktikan dengan produk fiqh yang antara ulama’ satu dengan ulama’ yang lain berbeda.
Berangkat dari hal itu, apabila terjadi perbedaan dalam menentukan awal bulan kamariah yang selama ini terjadi menjadi sebuah hal yang wajar. Bahkan hasil penafsiran tersebut memiliki pengikut dan produk fiqih terbut dijadikan landasan dalam menjalankan ibadah. Dalam menjalan ibadah tersebut seseorang pun harus yakin bahwa ia menjalankan ibadahnya pada waktu yang diwajibkan kepadanya. Sehingga dalam konteks ini ada sebuah keyakinan yang terdapat dapa dirinya. Dimana keyakinan seseorang pun tidak bisa dipaksakan untuk mengikuti keyakinan yang lain.
Ketiga, konsep negara yang digunakan setiap negara itu berbeda-beda. Dalam konteks Indonesia, negara mengikuti konsep negara demokrasi. Sehingga dalam negara demokrasi tersebut setiap orang berhak atas hak-hak mereka. dalam UUD 1945 pasal 28 E, ayat 1 berbunyi “setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memlilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali”. Selanjutnya ayat 2 disebutkan juga “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”.
Hal ini diperkuat dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tipa penduduk untuk memeluk agamanya maisng-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaan itu”. Keberadaan peraturan tersebut secara tidak langsung menghormati ketika ada perbedaan dalam menentukan awal bulan kamariah.

Dengan demikian, unifikasi kalender hijriah merupakan gagasan yang sangat baik sekali karena hal itu akan menjadikan kekompakan dalam internal orang Islam. Namun untuk mencapainya ada beberapa tantangan yang tentunya tidak mudah untuk dihadapi. Hemat penulis, sebelum unifikasi kelander hijriah itu terwujud, maka hal yang tepat untuk dilakukan sekarang ini adalah mengkampanyekan sikap toleransi dalam perbedaan penentuan awal bulan kamariah. Apabila sikap saling menghormati ini tertanam dalam masyarakat maka tenggang rasa dalam perbedaan berbuah keharmonisan. 
Share:

Kalian Adalah Harapanku

Aku memang seseorang yang pecundang
Aku memang seseorang yang pengecut
Aku memang seseorang yang kekanak-kanakan
Aku memang seseorang yang menyebalkan

Namun , , ,
Aku sadar akan kelemahan yang aku miliki
Aku sadar ingin merubahnya ini
Hingga , , ,
Aku menjadi lebih baik dari hari ke hari

Namun , , ,
Aku sadar
Aku hanya manusia biasa
Aku sadar
Aku membutuhkan lentangan kalian

Maukah kalian menjadi orang yang merelakan tanganmu untuk aku jabat agar aku tidak terjatuh dalam jurang keniscayaan?
Karena kalian adalah harapanku




* Semarang, 24 Nopember 2013
Share:

Teologi Perdamaian Sebuah Keniscayaan dalam Islam

Pada awal abad 19 kondisi agama banyak berubah dari sebelumnya, agama –terutama kristen pada saat itu- sering dijadikan kendaraan politik, bahkan alat kekuasaan untuk melakukan penindasan dan pembohongan terhadap publik. Agama tampak membunuh kesadaran manusia dan menghalangi manusia untuk maju. Bahkan sisa-sisa fanatisme agama hingga sekarang ini masih kita rasakan.
Meskipun demikian, agama begitu digandrungi tanpa alasan, walaupun efeknya secara sosial jelas tampak buruk. Maka salah satu fenomena ketidaksadaran manusia yang diakibatkan oleh doktrin agama bagi Karl Marz disebut sebagai “candu”. Agama yang seheharusnya memberikan ketenangan dan kedamaian bagi umatnya, namun justru terkadang memperlihatkankan wajah bengisnya ketika ditopang kepentingan.
Pandangan ini tidak jauh berbeda dengan Jose Casanova. Ia pernah mengatakan bahwa ambivalensi dalam penampakan agama pada ranah publik sebagai sesuatu yang “bermuka dua”. Di satu sisi terkadang agama menampilkan wajah garang dan pada di sisi yang lain agama menampakkan perdamaian.
Diakui atau tidak, kehadiran semua agama-agama yang ada di dunia selalu membawa misi untuk menciptakan tatanan masyarakat damai, termasuk agama islam yang membawa misi rahmatan lil ‘alamin. Sehingga agama yang menjadi sumber kedamaian tersebut tidak mungkin secara bersamaan menjadi sumber konflik yang merusak perdamaian masyarakat. Mengapa demikian? Apabila kekerasan dijadikan langkah untuk menciptakan perdamaian, maka bukan perdamaian lah yang terwujud namun justru kekerasan yang akan ditimbulkannya. Sebab perdamaian tidak mungkin tercipta dengan cara kekerasan.
Tentu kita masih mengingat dalam al-qawa’id a-fiqhiyah, terdapat kaidah yang menyatakan al-dlararu yuzalu (kemudaratan mesti dihilangkan). Tapi ada juga kaidah lain yang berbunyi al-dlarar la yuzal bi al-darar (kemudaratan tak boleh dihilangkan dengan kemudaratan yang lain). Dan patut diingat, dua kaidah tersebut mesti dipahami sebagai satu kesatuan.
Namun sejarah Islam telah mencatat, banyak sekali konflik horisontal yang terjadi akibat dari intoleransi dan menerima perbedaan. Apabila setiap individu atau kelompok tidak dapat menerima perbedaan dan bersikap toleransi dalam interaksi sosial maka tatanan sosial akan mengalami ketimpangan. Akibatnya kejadian saling menyalahkan, mengkafirkan dan sebagainya akan menjadi sesuatu yang tidak dapat terelakkan. Bahkan tidak segan-segan dijadikan mobilitas dalam melakukan tindak kekerasan untuk menguasai atau menjatuhkan kelompok lain.
Agama –dalam konteks ini adalah agama Islam- sering sekali menjadi landasan tindak kekerasan tersebut. Dengan bermodalkan penafsiran terhadap sumber agama kalangan yang disebut sebagai radikalisme secara tegas mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan juga merupakan perintah agama. Dari sini terjadi kontradiktif, pada satu sisi agama disimbolkan dengan perdamaian, namun pada sisi yang lain agama juga membawa wajah bengis.

Para pembaca yang budiman, untuk sekian kalinya Jurnal Justisia kembali hadir di hadapan anda. Pada kesempatan kali ini, diskursus yang kami angkat tergolong fundamental dalam memahami keberagamaan sebagai umat islam, lebih-lebih dalam menerima perbedaan. Nama agama menjadi terinjak-injak ketika setiap tindak kekerasan diatasnamakan agama –kata golongan radikalieme bahwa tindakan mereka mendapatkan legitimasi dari agama-, padahal agama tidak lain pembawa kedamaian seluruh umat, bahkan semesta alam (rahmatan lil ‘alamin). Akhirnya timbul pernyataan, Apakah agama menghendaki perdamaian dengan jalan kekerasan yang demikian ini?. Apakah kekerasan itu merupakan jalan satu-satunya dalam menciptakan perdamaian? Apakah perdamaian merupakan sesuatu yang khayal untuk dibumikan?. Maka untuk mengukuhkan perdamaian tersebut setiap individu maupun kelompok harus menanamkan teologi perdamaian dalam beragama Islam.
Share:

Pendidikan Anak-anak Syiah Terabaikan

Oleh: Kelompok Pertama Peserta Workshop Sejuk 4-6 Juli 2013 di UMM In, Malang*

Ruang terbuka nan kecil, berada di sela bangunan berlantai lima, tepatnya di teras Rusun (Rumah Susun) Puspa Agro, Sidoarjo. Di tempat sempit inilah dengan beralaskan karpet anak-anak warga Syiah Sampang meluapkan keinginan untuk belajar maupun sedakar bermain bersama teman-temannta yang lain.
Di dinding tembok, terlihat beberapa lembar kertas hasil kreasi gambar mereka yang turut menghiasi ruang itu. Terdapat satu papan tulis yang berukuran 1x2m berdiri tegap, yang bagian separuhnya ditempel Poster Huruf  Abjad dan Angka. Sedangkan separuhnya lagui, masih terdapat bekas coretan-coretan yang berupa angka dan tulisan.
Begitulah kondisi ruang kegiatan belajar anak-anak Syiah sejak mereka direlokasikan ke Sidoarjo(20/6). Anak-anak Syiah yang berjumlah + 60 dirasa tidak dipedulikan nasib mereka. Bahkan anak-anak terpaksa harus menikmati hari-harinya dengan bermain. Permainan pun begitu, dengan bermodalkan benda seadanya yang ada di lingkungan Rusun tersebut mereka melampiaskan kebersamaan untuk menghilangkan kejenuhan. Serta mengisi kegiatan belajar di tempat ala kadarnya.
Pada sore itu, sekitar pukul 14.30 WIB, ketika semua peserta dan panitia Workshop Jurnalisme Kebergaman yang diadakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) berkunjung ke tempat tersebut. Terlihat sebagian anak-anak ada yang bermain Karet dan sebagian ada yang nonton TV bersama, bahkan juga ada yang berlari-larian di halaman.
Zakiyya (24 tahun), ibu dari Israfil salah satu anak Syiah yang tinggal di Rusun menuturkan pada awal-awal sejak dipindahkan ke Rusun ini, anak-anak kegiatannya setiap hari hanya bermain dan nonton TV. Setelah sekitar seminggu berlalu, mereka mulai mendapatkan kegiatan belajar. Kegiatan belajar rutin ini dimulai pukul 08.00-10.00 WIB anak diajak untuk belajar membaca dan menulis serta bermain dan setelah shalat Maghrib, mereka juga diajak untuk  ngaji (belajar agama).
Dalam melakukan kegiatan belajar mengajar, anak-anak didampingi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), salah satunya Yakkum Emergency Unit. LSM ini turut terjun ke lapangan untuk mendampingi proses pendidikan yang sifatnya non formal ini. Pihak Yakkum dengan LSM dan relawan yang lain melakukan pembinaan terhadap beberapa pengungsi. Pada nantinya kader binaan tersebut yang akan melanjutkan upaya pembelajaran kepada para pengungsi.
“Ini pembinaan terhadap beberapa warga yang layak untuk mendampingi belajar kami bina dan kami ajak mendampingi bersama diharapkan ke depannya ada yang mendampingi anak-anak belajar ketika kami tidak ada”, tutur Rani Ayu Hapsari, Perwakilan dari LSM Yakkum Emergency Unit.
Dengan nada sedih, raut muka yang seperti menyimpan keresahan, Siti Rohmah (15), salah kader binaan yang bertugas memberikan pembelajaran mengungkapkan bahwa dengan seadanya kami mendampingi anak di sini belajar untuk mengisi kegiatan agar tidak kosong. “Ya tidak hanya belajar, kadang diisi dengan bermain, menggambar dan juga menyanyi”, jelasnya.
Selain untuk anak-anak, kegiatan belajar membaca dan menulis juga diperuntukkan bagi para orang tua. Rohmah menjelaskan bahwa kegiatan ini dilakukan karena memang kebanyakan para orang tua belum bisa baca dan tulis. Lebih dari itu, sebagian besar dari mereka masih kesulitan untuk berdialog dengan menggunakan bahasa Indonesia. Rata-rata hanya bisa berbicara dengan bahasa Madura. “Lucu kalau melihat ibu-ibu sedang belajar membaca, kalau ibu-ibu salah baca, anak-anak menyahuti”, ujar Irfan Setyanudin, Koordinator Kedaruratan dan Logistik, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Pendidikan Formal
Sebenarnya anak-anak Syiah ingin sekolah formal, namun mereka juga tidak ingin terisolasi dari anak-anak di luar kelompok mereka. “Waktu anak-anak ditanya apa mau sekolah lagi, mereka menjawab mau, tapi mereka lebih memilih sekolah di SD dibandingkan Madrasah,” jelas Irfan.
Jawaban dari anak-anak tersebut memang dirasa cenderung berlawanan dengan kebiasaan orang-orang di sekitar tempat mereka tinggal dahulu. Rata-rata orang Syiah Sampang hanya ada sebagian kecil yang mau sekolah di SD. Setelah itu dilanjutkan dengan menempuh jalur pendidikan di Pondok.
Akan tetapi keinginan untuk kembali memakai seragam sekolah bukan tanpa halangan. Pada waktu penyerangan terhadap warga Syiah yang terjadi di Sampang, terpaksa warga Syiah harus merelakan ijazah dan akta kelahiran anak-anak mereka hilang ikut terbakar ketika peristiwa penyerangan di Sampang (26/08/2012). Padahal kedua lembar kertas yang dikeluarkan oleh institusi formal tersebut memiliki kuasa yang agung. Pada nantinya menjadi mata rantai bagi pemenuhan kebutuhan administrasi. Ketika telah lenyap, maka melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi hanya akan menjadi impian. Hal tersebut pada akhirnya membuat para orang tua dan para relawan cukup resah.
Pemerintah pun rupanya tidak tinggal diam terhadap hak pendidikan formal anak. “Akta-akta yang hilang itu sedang dalam proses pengurusan, tapi pemerintah juga mengupayakan kebijakan agar mereka mendapatkan keringanan bersekolah tanpa ijazah”, ungkap Irfan.
Menurut Mukhlisin, salah satu remaja Syiah menyatakan bahwa dua hari yang lalu (02/07), pihak Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Sidoarjo berkunjung ke lokasi Rusun. Disdikpora berencana akan memberikan pendidikan yang layak dengan menempatkan anak-anak ke sekolah yang ada di sekitar Rusun.
“Kemarin ada  tawaran dari Dinas Pendidikan yang menempatkan anak-anak bersekolah di sekolah sekitar Rusun, namun ini masih dipertimbangkan oleh para orang tua mengingat mereka tidak ingin anaknya menjadi korban ejekan ketika nanti bersekolah di formal yang ada di sekitar Rusun”, jelas Mukhlisin, salah satu anak warga Syiah Sampang yang sekarang menginjak kelas 9 di salah satu sekolah Madrasan Aliyah yang ada di Jember.
Namun menurut penuturan Rani anggota LSM Yakkum bahwa ada informasi baru dari Gubernur Jatim, bahwa akan didirikan sekolah khusus bagi pengungsi Syiah di Rusun mulai dari jenjang SD, SMP sampai SMA. “Harapanya ya semoga kami diperhatikan oleh pemerintah, termasuk nasib pendidikan anak-anak karena kami juga warga Indonesia”, tegas Mukhlisin.
Harapan ini maklum apabila disampaikan oleh warga Syiah, mengingat sejak dipengungsian, tepatnya di GOR Sampang, pendidikan anak-anak Syiah kurang dipedulikan. Mareka terpaksa belajar bersama sambil berdesak-desakkan di sebuah tenda untuk belajar. Selama kurang lebih 10 bulan di GOR, kegiatan belajar ini pun kurang efektif dan tidak berjalan dengan baik. Tidak jarang apabila banyak anak yang tidak ikut belajar. “Dulu waktu di GOR, anak-anak ada kegiatan belajar dan itu dilaksanakan di dalam tenda, ya makanya banyak anak-anak yang bosan”, lanjut Mukhlisin ketika diajak berdialog santai di teras lantai dasar, Rusun Puspa Agro, Sidorjo.


*Hasil Kunjungan ke Rusun Puspa Agro Sidoarjo yang merupakan tempat relokasi warga Syiah Sampang. Kontributor Kelompok Pertama:  Muhamad Zainal Mawahib (LPM Justisia IAIN Walisongo Semarang), Muhammad Riza (Himpunan Abiasa Bandung), Revina Violet (LPM Bestari UMM), Nur Romdlon (LPM Pendapa UST Yogyakarta), Dina Mustika Rini (LPM Manifest UNEJ) dan Dieqy Hasbi Widhana (LPM Ideas Fakultas Sastra UNEJ).

Share:

Menanamkan Kepedulian Diri Sendiri

Di bungkus rokok, sudah jelas diberikan peringatan bahwa merokok dapat menyebabkan kangker, serangan jantung, impoten dan gangguan kehamilan dan janin. Namun peringatan tersebut sedikit sekali dipedulikan oleh para perokok, meskipun ia mengetahui sendiri akibat dari merokok dapat merusak kesehatan.
Keadana demikian ini tidak lain diakibatkan oleh zat kimia yang terkandung dalam rokok, diantaranya zat nikotin. Selain menyebabkan kecanduan, nikotin juga memberikan perasaan menyenangkan. Sehingga membuat seseorang yang sudah merokok meskipun coba-coba untuk kembali merokok. Dengan kondisi yang sudah kecanduan, maka tidak heran apabila seorang perokok yang sudah dalam waktu lama tidak merokok, ia ingin sekali untuk merokok. Akhirnya ia pun harus mengeluarkan uang lebih, yang harganya terkadang lebih mahal dari harga makannya.
Kepedulian atas diri sendiri harus ditanamkan dalam-dalam pada diri setiap orang. Bahwa kesehatan badan merupakan segala-segalanya dalam kehidupan ini. Kesehatan tidak lain sesuatu yang perlu kita jaga, bukan kita rusak agar menjadi sakit.

Benar apabila dikatakan bahwa melepaskan kebiasaan merokok itu sangat sulit sekali, namun kebiasaan tersebut dapat dihilangkan dengan sedikit demi sedikit. Dengan disertai pemahaman bahwa rokok dapat merusak kesehatan bagi orang yang merokok. Bahkan tidak hanya berdampak pada orang yang merokok, namun juga berdampak pada orang sekitar yang menghirup asap rokok tersebut.
Share:

Jika Itu yang Terbaik untuk Ku (bagian 3)

Malam itu, di rumahku begitu rame, saudara-saudara ibu bapakku pada sibuk menyiapkan acara lamaran untuk Kakakku, satu-satunya saudaraku. Pada saat itu aku mengajak bermain ponakan-ponakan. Saat-saat seperti inilah rasa kekeluargaan kami terasa sangat erat sekali, bisa kumpul bersama, guyonan bersama.  Tiba-tiba Hpku berbunyi, ada SMS masuk. Aku sendiri tidak tahu ini nomor siapa, karena ini Nomor baru. Langsung saja aku buka SMS itu.
“Ni bnar M. Zainal Mawahib dr Pndk Ath Thullab?”, begitulah isi SMS tersebut
Langsung saja aku balas, karena pada waktu itu aku masih lugu-lugunya membawa Hp. Jadi ketika ada SMS atau telphon, rasanya senang sekali.
“Ya bnr, Maaf ni sapa? da pa ya?”, jawabku.
“Sampean lo2s seleksi, oh ya knalkan q Mushthofa”, balasnya.
Aku mulai berpikir sejenak,
“Ini yang dimaksud lolos apa?”, dalam pikirku, kemudian aku baru ingat kalau minggu-minggu ini adalah pengumuman hasil tes seleksi beasiswa yang beberapa minggu lalu dilaksanakan tesnya.
Diriku masih belum percaya, rasa penasaranku masih membuatku bingung. Ku buka lagi Hpku dan aku balas lagi SMS dari Mushthofa.
“Sampean kok bs tahu?”
“Td siang q buka pengumuman di intrnet, d situ da nmmu, trus q k pndkmu, tp u gk d pndk katanya pulang k rmh, trs q mnta nmrmu”, jelasnya.
“Oh gitu, mksh ya infonya, eh nntr klo q dah di Kudus q ksh tw cra buka pngumannya, soalnya q gk bs buka he he , , ,”.
Keesokan harinya, setelah lamaran Kakakku, aku langsung diantarkan Lek  Sadi ke Kudus. Dalam hatiku masih diselimuti rasa tidak percaya karena memang aku belum tahu informasi itu sendiri dan juga dari pihak sekolah belum memberikan kabar ini.
Sesampainya di pondok, aku langsung menuju ke warnet untuk mengecek pengumuman tersebut. Karena aku tidak tahu menahu tentang dunia internet, aku mengajak temanku yang lebih tahu. Sesampainya di warnet, segera aku mengirim sms ke Mushthofa menanyakan alamat pengumuman. Pada saat itu pondok sudah membolehkan untuk kelas tiga membawa Hp. Namun dengan catatan tidak boleh digunakan sembarang, kecuali dalam keadaan penting dan digunakan di tempat yang adik-adik kelas tidak melihatnya.
“Alhamdulillah”, itulah kata-kata yang aku ucapkan setelah melihat hasil pengumuman hasil tes beasiswa di internet. Tidak lupa aku mengecek semua, mungkin saja yang dari TBS ada yang diterima selain aku. Dan ternyata, aku satu-satu yang diterima dari sekolahanku. Setelah melihat pengumumannya sendiri aku menjadi yakin dan mantap kalau aku lulus. Aku langsung menelfon ke orang tuaku dan memberitahukan kalau aku lolos seleksi tes beasiswa.
Pada saat itu aku teringat dengan kata-kata Kyai Hafidz, “Jika ini yang terbaik pada kalian semoga diterima dalam tes nanti, tapi jika ini tidak yang terbaik tidak usah disesali, karena Allah lebih mengetahui yang terbaik untuk kalian”. Kini aku menjadi yakin bahwa pendidikan akan aku jalani adalah yang terbaik untuk di kemudian hari. Semoga harapanku ini menjadi kenyataan.
***
“Hayo,,, pagi-pagi dah ngelamun, ngelamunin dia ya, ngaku saja Hib?”, seketika aku kaget dengan suara yang tiba-tiba datang. Lamunanku langsung hilang begitu saja. Suara yang datang itu sudah tidak asing di telingaku, suara yang telah mengganggu lamunanku, tidak salah lagi itu suaranya Umar, salah satu temenku dari Pasuruan yang juga mendapatkan beasiswa sama seperti aku di IAIN Walisongo Semarang.
“Ngawur, gak ya”, jawabku dengan singkat.
“Halah, ngeles terus pean iku Hib, itu kelihatan kalau lagi ngelamuni dia, ha ha”, gurau Umar pada ku sambil ia tertawa.
lagi merenung Mar”, tepisku kepada Umar, dengan sedikit senyum.
“Yuk Mar berangkat, teman-teman sudah pada yang berangkat ke Graha lho”, ajakku pada Umar.
“Yuk”, jawab Umar.
Aku dan Umar jalan kaki bersama menuju Graha Padma. Karena pada hari itu, aku sama teman-teman penerima beasiswa PBSB angkatan 2009 IAIN Walisongo mengadakan acara kumpul bareng di Perumahan Graha Padma dekat asrama kami. Kita kumpul untuk makan-makan bersama dan membahas konsep penampilan kami dalam acara Makrab CSS MoRA IAIN Walisongo menyambut angkatan baru, angkatan 2012.
“EXACTLY” itulah nama yang kami berikan untuk sebutan angkatan kami. Sejak kami seangkatan dipertemukan di Islamic Center, ketika itu pelaksanaan Orientasi Mahasiswa Baru (OMB), kami mulai kenal dan akrab. Keakraban yang kami jalani hingga sekarang ini, seperti layaknya keluarga sendiri. Kami menganggap inilah keluarga kami di Semarang. Kami selalu mengadakan acara-acara angkatan untuk merekatkan kekeluargaan kami. Kadang out bond, jalan-jalan, makan-makan dan sebagainya yang penting kami senang bersama. Karena sedih dan senang kami rasakan bersama.
 Namun keluarga Exactly terasa berkurang, semenjak meninggalnya Riska Sartika pada 2 tahun yang lalu, ketika kami menginjak semester 3. Dia adalah salah satu keluarga kami yang mahir dalam matematika. Kami selalu mengenang saat-saat kita bersama, sebuah kenangan yang kita ciptakan bersama untuk sebuah kenangan yang tak pernah kami lupakan. Semoga Sahabat kami, Riska Sartika engkau tenang di alam sana, do’a kami akan menyertai untukmu.
Harapan kami, semoga persahabatan dan kekeluargaan kita “EXACTLY” akan selalu terjalin hingga batas waktu. Amin.
Share:

Jika Itu yang Terbaik untuk Ku (bagian 2)

Dari sekian banyak murid kelas IX, ternyata banyak sekali yang minat untuk mengikuti beasiswa ini. Tidak sedikit yang mendaftarkan namanya, namun dari pihak sekolah hanya mengambil 20 murid. Dari sekian banyak murid yang mendaftarkan diri, akhirnya ditentukan 20 murid yang akan mengikuti tes beasiswa, salah satunya adalah aku. Dari pihak sekolah memilihnya 20 murid tersebut berdasarkan pertimbangan nilai rapot dan prestasi murid selama duduk di sekolah.
Bagi murid yang telah dipilih untuk mengikuti tes ini, diminta untuk melengkapi semua administrasi yang dibutuhkan sebagai persyaratan mengikuti tes. Semua temen-temenku yang dipilih oleh pihak sekolah serentak dan kompak mengumpulkan persyaratan bersama-sama. Setelah semua mengumpulkan berkas persyaratan administrasi, kemudian dikumpulkan ke Pak Qomari untuk didaftarkan ke Kemenag Kudus. Dari 20 murid yang didaftarkan ada satu murid yang tidak lolos administrasi, sehingga yang akan mengikuti dari sekolahku tes 19 murid.
Hingga saat itu, perasaanku masih biasa-biasa saja, karena dalam diriku belum ada niatan untuk melanjutkan ke bangku kuliah apalagi mengikuti tes beasiswa. Tidak lain karena aku masih berkukuh keras untuk melanjutkan ke dunia pesantren, dari pada melanjutkan ke bangku kuliah. Pikiran dulu seperti itu, karena dari cerita-cerita yang telah sampai ke aku, pendidikan di kuliah itu berbahaya sekali, karena dapat menghilangkan sifat ke-santri-an seseorang. Konon ada santri melanjutkan ke bangku kuliah. Hasil dari pendidikannya di bangku kuliah menjadikan pemikirannya menjadi “aneh”, tidak seperti waktu ia masih di tinggal di pondok pesantren.
Namun, pikiranku yang seperti itu masih dapat aku kendalikan dengan adanya restu dari pembina pondok. Akhirnya, aku pun memberitahukan kepada orang tuaku, kalau aku mau mengikuti tes seleksi beasiswa. Setelah mereka mendengar kabar ini, mereka  berdua sangat menyetujui. Mungkin karena aku dilahirkan dari keluarga yang petani yang dalam kehidupan sehari-hari dengan keadaan yang cukup dan sederhana. Tentu setiap orang tua menginginkan anaknya dapat menimba ilmu setinggi-tingginya.
“Nang, yang Ibu harapkan kamu ya lolos tes, biar kamu bisa melanjutkan sekolah lagi, nanti kalau pintar juga untuk dirimu sendiri, Ibu tidak sanggup membiayai sendiri seandainya Kamu ingin kuliah, di sini Ibu hanya bisa berdoa saja untuk Nang”, pesan Ibu kepadaku ketika aku pulang ke rumah untuk memberitahukan kabar ini. Di sini aku mulai sedikit merasa mempunyai niat untuk mengikuti tes beasiswa. Setelah pulang aku ke Demak, aku langsung balik lagi ke Pondok untuk mengikuti kegiatan seperti biasa di pondok.
Seperti biasa, tradisi yang ada di TBS, sebelum mengikuti tes terlebih dahulu kami silaturrahim ke rumah sesepuh-sesepuh TBS untuk minta pengestu. Dari sekian Sesepuh yang kami datangi, beliau-beliau memberikan restu. Ada satu kyai yang membuat kami terbuka akan kenyataan yang ada di bumi ini. Beliau adalah K.H. Abdullah Hafidz.
“Jika ini yang terbaik pada kalian semoga diterima dalam tes nanti, tapi jika ini tidak yang terbaik tidak usah disesali, karena Allah lebih mengetahui yang terbaik untuk kalian”, harapan sekaligus pesan Beliau kepada kami ketika bersilaturrahim ke ngalem-nya Beliau.
Pesan yang disampaikan oleh Kyai Hafidz membuatku terbuka. Dan inilah yang membuka pikiranku sehingga aku mulai yakin dan semangat untuk mengikuti tes beasiswa ini. Dalam pikiranku, “Aku tidak ingin menyesal di kemudian hari, yang penting sekarang aku berusaha mempersiapkan diri untuk menghadapi tes seleksi beasiswa yang tinggal beberapa hari lagi, untuk masalah hasil aku serahkan pada Allah, semoga itulah yang terbaik untukku”.
***
Detik-detik menjelang tes seleksi begitu terasa lama, kami berangkat dengan Pak Qomari dan Pak Charis dengan menggunakan mobil Elepht. Dapat dibayangkan, betapa sempitnya mobil yang muatannya untuk 19 orang, namun dinaiki 21 orang. Terpaksa 2 dari kami harus duduk di bawah. Kami berangkat dari Kudus jam 03.00 WIB dan sampai di Semarang jam 06:00 WIB. Sehingga kami masih ada waktu istirahat sebentar untuk sarapan dan cuci muka karena ujiannya dimulai jam 07:00 WIB.
Detak jantungku pun mulai membuat diriku sidikit tidak percaya diri. Siapa yang tidak minder, melihat semua peserta seleksi dari berbagai sekolah yang ada di Jawa Tengah yang kumpul menjadi satu di dalam satu ruangan, bahkan tes seleksi ini ternyata dilaksanakan di seluruh Indoensia. Untuk daerah Jawa Tengah tempat tes seleksinya dilaksanakan di Auditorium II Kampus III IAIN Walisongo Semarang.
“Kalau aku menjadi minder begini terus, ini akan membuat aku terganggu nanti dalam mengerjakan soal-soal ujian. Aku harus dapat mengendalikan diriku agar tetap terjaga dalam kondisi yang stabil”, pikirku dalam hati yang berusaha memberikan sugesti yang positif untuk diriku sendiri.
Ujian berlangsung tertib tidak ada halangan sedikit pun pada diriku, mulai pagi hingga sore hari. Materinya mencakup Dirosah Islamiyah, Bahasa Inggris, Bahasa Arab dan Skolastik. Namun, dari keempat materi tersebut, aku sendiri tidak yakin untuk materi Bahasa Inggris pada jawabanku, karena memang kompetensiku dalam bidang bahasa inggris sangat minim sekali. Karena waktu di bangku Aliyah, pelajaran Bahasa Inggris seperti pelajaran yang tidak penting. Ya sudah lah, yang penting aku sudah berusaha dengan maksimal dalam mengerjakan soal-soal tersebut, sekarang tinggal tawakkal pada Allah. “Semoga Allah memberikan jalan yang terbaik untukku”, harapanku dalam hati setelah ujian selesai.
Dalam perjalanan pulang, kami berbincang-bincang dengan teman-temanku yang lain tentang pelaksanaan tes ujian yang baru saja kami alami. Ternyata mereka juga ada yang kurang yakin pada jawabnya, ada yang kurang yakin dengan jawab soal Dirosah Islamiyah, ada yang Bahasa Arab dan sebagainya. Tapi ada juga yang yakin kalau dirinya akan lulus. Ya begitulah yang namanya bersama orang banyak, ada yang percaya diri dan ada yang kurang percaya diri.

Sebelum kembali lagi ke Kudus, kami mampir terlebih dahulu ke Masjid Agung Jawa Tengah. Meskipun hanya mampir sebentar untuk shalat dan melihat-lihat saja di sana. Namun ini dapat membuat refresh sedikit untuk kami setelah menempuh tes ujian. Tidak lama kami di sini, kira sekitar 2 jam. Kemudian kami melanjutkan perjalan lagi, meskipun dengan keadaan yang sempit dan panas di dalam mobil, kami tetap menikmati perjalanan. Namun, rasa capek kami tidak dapat ditahan lagi, akhirnya kami terbawa tidur selama diperjalanan. Termasuk aku juga terlelap di dalam mobil.
Share:

Masjid Hasil Akulturasi Jawa dan Tiongkok di Purbalingga

Bagi anda yang sedang melakukan perjalanan ke kota Purbalingga, sempatkanlah waktu anda sebentar untuk mengunjungi Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo. Pastinya tidak akan menyesal setelah melihat fenomena bangunan Masjid yang memperlihatkan bentuk bangunan yang unik nan indah.
Masjid dengan gaya bangunan yang khas seni arsitektur tradisional yang merupakan hasil akulturasi antara kebudayaan Jawa dan Tiongkok memberikan corak yang sangat berbeda, tidak seperti bangunan masjid-masjid pada umumnya yang ada kubah bulat di bagian atapnya.
Bahkan bentuk kubahnya seperti layaknya bentuk bangunan bagian atas Pagoda, sebut saja seperti bangunan Pagoda Avalokitesvara yang ada di Semarang. Dengan nuansa warna merah ala klentengnya umat Tionghoa, sehingga masjid ini mampu membuat rasa kagum dan haru bagi yang pertama kali melihatnya.
Masjid yang memiliki bentuk khas ini berada di sebelah kiri jalan kalau dari arah Purbalingga ke arah Pemalang, tepatnya di desa Selaganggeng, Kecamatan Mrebet kabupaten Purbalingga Jawa Tengah.
Awalnya, masjid ini mulai dibangun pada tahun 2005, tidak diketahui penyebab terhentinya pembangunan masjid tersebut. Pada tahun 2010 dilanjutkan kembali pembangunan tahap kedua masjid ini yang sempat berhenti beberapa tahun. Akhirnya diresmikan pada tanggal 5 Juli 2011. Adanya masjid ini menjadi suatu bukti bahwa terdapatnya keberagaman agama, suku maupun ras dalam kehidupan bermasyarakat di Purbalingga (www.infopurbalingga.com).
Pembangunan masjid tersebut diprakarsai oleh komunitas yang berupaya untuk mempersatukan umat muslim Tionghoa yang mengatasnamakan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) di Purbalingga.
“Saya sengaja memaksakan diri agar masjid dibangun dulu, untuk mempermudahkan kami-kami berkumpul, karena kawan-kawan itu orangnya sibuk sekali sama bisnisnya, akalu tidak ada sarana berkumpul, hanya di rumah salah satu anggota PITI, jarang maunya, kapan belajarnya?”, ujar Herry Susetyo, Ketua PITI Purbalingga (www.promosinews.com).
Selain sebagai tempat ibadah kaum muslim umum dan tempat berkumpul para muslim Tionghoa, masjid ini juga digunakan untuk belajar para muslim Tionghoa dalam mendalami agama islam, karena memang banyak para mualaf di daerah Purbalingga.“Jumlah muslim Tionghoa di Purbalingga ada sekitar 130-an orang yang tersebar di 18 kecamatan, sayangnya yang aktif berkumpul dan mengikuti bimbingan atau pengajian hanya sekitar 40 orang”, lanjut pria yang dikenal dengan nama panggilan Wa Kong (www.promosinews.com).
Untuk sebuah penghormatan, nama masjid ala klenteng ini pun diberi nama seorang tokoh leluhur muslim yang taat asal tiongkok yang melegenda sebagai pelaut hebat dari 1405 – 1433 dan penjajah dunia yang memiliki satu-satunya kapal kayu terbesar sepanjang sejarah masa yaitu laksamana Cheng Hoo sebagai nama besar masjid megah nan unik ini yang tertulis jelas di samping gapura masuk masjid ini. (Harian Pekalongan, 2/4/2013).
Share:

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Archives

Makalah

Info

Opini