Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Status Anak Luar Pernikahan (Kajian Qawa’id Al-Fiqhiyah Terhadap Putusan MK)


PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Status anak di luar pernikahan memasuki babak yang baru pasca dikeluarkannnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang berbunyi: “anak yang dilahirkan di luar pernikahan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarganya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarganya”.[1]
Selama ini yang dikenal dalam ketentuan Pasal 43 UU Perkawinan, bahwa setiap anak yang dilahirkan di luar perkawinan dalam hal keperdataan secara yuridis normatif tidak mempunyai hubungan dengan ayah biologisnya, meskipun diketahui secara pasti siapa ayah biologisnya. Sehingga seorang anak tersebut tidak dapat menuntut hak-haknya secara keperdataan baik dalam hal nafkah, pendidikan maupun warisan. Di dalam akte kelahirannya pun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibunya selaku sesosok yang melahirkannya.
Pencantuman keterangan sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama ayahnya akan berdampak negatif baik dalam tatanan sosial mapun psikologis anak dan juga ibunya.
Namun, pasca putusan MK No. 46/PUU-VII/2010 yang dalam amar putusannya menyatakan bahwa anak di luar nikah mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya sepanjang dapat dibuktikan dengan teknologi atau alat bukti yang sah menutu hukum, sehingga kedudukan anak luar nikah seakan memasuki dunia yang akan mengayominya. Persoalan ini dalam beberapa waktu membuat greget dan geger lapisan masyarakat, khususnya orang islam.
B.     Rumusan Masalah
Berkaitan dengan persoalan status anak di luar nikah tersebut. Maka dari itu penulis bermaksud untuk menggali pemahaman tersebut dari perspektif fiqh dengan menggunakan qawa’id al-fiqhiyah.
1.      Bagaimana perspektif fiqh dengan menggunakan qawa’id al-fiqhiyah terhadap persoalan putusan MK tentang status anak di luar nikah?
PEMBAHASAN
A.     Pemahaman Anak di Luar Nikah
Apabila diperhatikan dengan seksama dalam putusan tersebut, maka ada kata-kata dalam teks yang mempunyai makna ambigu, yaitu kata-kata “anak yang di luar pernikahan”. Ada dua kemungkinan lingkup pengertian “anak di luar pernikahan” dalam putusan ini. Pertama, sesuai dengan konteksnya yaitu anak yang dilahirkan dari hasil nikah sirri yaitu pernikahan yang tidak dicatatkan. Kedua, anak yang dilahirkan dari hasil kumpul kebo.[2] Sedangkan menurut  Chatib Rasyid, selaku Ketua PTA Semarang mengatakan bahwa yang dimaksud di luar nikah dalam putusan MK ini adalah anak yang lahir dari pernikahan yang tidak dicatatkan. Sehingga ia membagi menjadi 2 jenis anak yang tidak sah, yaitu pertama anak yang sah secara materiil tapi tidak sah secara formil[3], yaitu anak yang lahir dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah tetapi tidak dicatatkan pada KUA atau Kantor Pencatatan Sipil. Kedua anak yang tidak secara materiil dan juga tidak sah secara formil, seperti anak yang dilahirkan dari hubungan antara laki-laki dengan perempuan tanpa ada ikatan perkawinan.[4]
Hal ini berdasarkan dari status pernikahan yang dilakukan oleh suami isteri, yaitu dicatatkan atau tidak pernikahan tersebut. Sebab definisi nikah para ulama’ fiqih adalah akad yang diatur oleh agama yang menjadikan kehalalan hubungan suami isteri.[5] Dan anak yang dihasilkan statusnya anak yang sah. Sedangkan menurut pemerintah bahwa pernikahan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang maha Esa.[6]
Perbedaan yang mendasar di antara kedua pandangan tersebut adalah dalam konsep agama nikah dengan syarat dan rukun tertentu yang sesuai dengan hukum agam yang menjadikan kehalalan hubungan suami isteri. Sementara dalam konsep negara, perkawinan dengan syarat administrasi yang telah diatur oleh negara menjadikan hubungan suami isteri telah resmi dan diakui oleh pemerintah. Sehingga akibat dari ini adalah istilah anak di luar pernikahan yaitu bisa jadi anak yang dilahirkan dari pernikahan tapi tidak dicatatkan atau memang anak yang tidak hasil dari pernikahan secara agama.
Mengingat putusan MK ini bersifat mengikat dan final, maka akibat hukum langsung dari putusan ini adalah adanya penegasan bahwa hubungan keperdataan anak yang lahir dari hubungan di luar pernikahan yang sebelumnya ditetapkan hanya dengan ibu dan keluarganya, pasca putusan ini juga dengan ayah biologis dan keluarganya. Termasuk hak keperdataan tersebut adalah relasi keperdataan yang lain seperti masalah hak nafkah, perwalian, kewarisan dan sejenisnya. Dalam islam ini sangat erat dengan norma agama.
Sedangkan dalam Islam, kita jumpai dari beberapa hadits yang menyebutkan anak zina yaitu anak yang lahir dari pernikahan yang tidak sah. Sehingga dalam Islam ada dua konsep anak yaitu anak yang yang lahir dari pernikahan yang sah dan anak yang lahir dari luar pernikahan yang sah, anak ini disebut dengan anak zina. seperti dalam hadits berikut;
قال النبي صلى الله عليه وسلم في ولد الزنا " لأهل أمه من كانوا" . رواه أبو داود[7]
B.     Status anak Luar Nikah
Pada dasarnya, semua anak yang terlahir ke dunia ini dalam kondisi suci dan tidak membawa dosa turunan apapun dari segala perbuatan orang tuanya atau pun orang lain, meskipun ia terlahir sebagai hasil zina (anak hasil pernikahan yang tidak sah).
عن ‏أبي هريرة ‏رضي الله عنه قال ‏‏قال النبي ‏صلى الله عليه وسلم ‏كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه  . رواه البخارى[8]
Dari Abi Hurairah ra ia berkata: Nabi saw bersabda: “Setiap anak terlahir dalam kondisi fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang yahudi, nasrani, atau majusi. (HR al-Bukhari)

وَلاَ تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلاَّ عَلَيْهَا وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُم مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ   (الانعام : ١٦٤)
Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan. (QS. Al-An’am : 164)

وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُم مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ (الزمر : ٧)
“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kembalimu lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang tersimpan dalam (dada)mu. (QS. Al-Zumar: 7)

Berdasarkan dari pemetaan anak yang di luar nikah di atas maka, di sini dibedakan antara anak dari pernikahan yang tidak dicatatkan dengan anak yang benar-benar tidak ada pernikahan secara agama. Untuk anak yang lahir dari pernikahan yang tidak dicatatkan maka anak tersebut nasabnya kepada ibu dan bapaknya. Dan hal yang seperti ini sejalan dengan syari’ah, meskipun tidak dicatatkan karena pencatatan nikah tidak merupakan syarat dan rukun akad nikah.
Sedangkan anak yang lahir tidak dari dari suatu pernikahan maka di sini jelas pula statusnya, yaitu dinasabkan kepada ibu dan keluarga ibunya. Dan mereka berhak mendapatkan perlakuan yang baik. Akan tetapi dalam realitas masyarakat anak hasil zina seringkali terlantar karena laki-laki yag menyebabkan kelahirannyya tidak bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, serta seringkali anak diangggap sebagai anak haram dan terdiskriminasi karena dalam akte kelahirannnya hanya dinisbatkan kepada ibunya.
Namun  dalam hadits terkait dengan status anak zina disebutkan bahwa anak hasil zina atau anak yang dilahirkan di luar pernikahan yang sah dinasabkan kepada ibunya.[9] Setiap anak zina tidak ada hubungan kewarisan dengan laki-laki yang mengakibatkan kelahirannnya. Akibatnya anak tersebut hanya saling mewarisi dengan ibunya. Sebagiaman hadits nabi
قال النبي صلى الله عليه وسلم في ولد الزنا " لأهل أمه من كانوا" . رواه أبو داود[10]
Nabi saw bersabda tentang anak hasil zina: “Bagi keluarga ibunya ...” (HR. Abu Dawud)

عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: " أيما رجل عاهر بحرة أو أمة فالولد ولد زنا ، لا يرث ولا يورث "  رواه الترمذى[11]
“Dari ‘Amr ibn Syu’aib ra dari ayahnya dari kakeknya bahwa rasulullah saw bersabda: Setiap orang yang menzinai perempuan baik merdeka maupun budak, maka anaknya adalah anak hasil zina, tidak mewarisi dan tidak mewariskan“. (HR. Al-Turmudzi)

Berdasarkan nash-nash yang jelas di atas bahwa jelas anak hasil zina dinasabkan kepada ibunya, bukan pada bapaknya. Dengan begitu, anak tersebut hanya ada hubungan nasab wariasan, wali nikah dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Dengan adanya nash yang menanggapi tentang suatu masalah maka tidak ada ijtijad tentang masalah tersebut. Karena dalam melakukan istinbath al-hukum terlebih dahulu melihat pada nash yaitu al-Qur’an Hadits, kemudian Ijtima’ para Ulama’ terkait dengan persoalan tersebut. Apabila sudah ada di dalam nash maka permasalahan tersebut dikembalikan pada nash. Ini sesuai dengan qawa’id al-ushuliyah
لا اجتهاد في مورد النص
“Tidak ada ijtihad di hadapan nash”

Putusan MK ini usaha untuk memberikan perlindungan kepada anak dengan cara memberikan status hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya. Memang ini dapat memberikan sedikit ruang kegembiraan. Akan tetapi apabila putusan ini diberlakukan kepada status anak zina juga, dalam artian ada hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya, maka akan mendatangkan madharat juga, seperti contoh anak yang merupakan hasil pemerkosaan.
Dalam kasus ini, pemberian hubungan keperdataan justru akan menyiksa anak dan ibunya. Hal lain, pemberian hubungan keperdataan antara anak di luar nikah dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya tidak hanya menyebabkan adanya tanggung jawab laki-laki pada anaknya, tetapi laki-laki tersebut dengan juga memiliki hak untuk mengasuh. Artinya dengan hubungan keperdataan tersebut, dia memiliki hak kuasa asuh yang bisa jadi justru melahirkan konflik dengan ibunya. Belum lagi dari perspektif hubungan anak dengan bapak, maka putusan ini bisa mengakibatkan ketidakadilan terhadap dalam menjalani keluarga, khususnya dalam hal kewarisan dan keperdataan lainnnya.
Tidak dipungkiri ini hal ini dapat mendatangkan mashlahah untuk menghilangkan madharat pada anak dan juga mengurangi beban ibu dalam mengurusi anak tersebut, tapi apabil hal itu diperhatikan dengan lebih luas maka hal ini juga dapat mendatangkan madharat, bahkan bisa dikatakan madharat-nya itu lebih banyak.
Selain itu juga, mempertimbangkan Maka
الضَّرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَر[12]
“Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan bahaya yang lain.”

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ[13]
“Menghindarkan mafsadat didahulukan atas mendatangkan maslahat.

إذا تعارضت المصلحة والمفسدة روعي أرجحهما[14]
“Apabila bertentangan antara mashlahat dan mafsadat maka dihindari yang paling rajih di antara keduanya”.

Atau dalam kaidah lain disebutkan,
إِذَا تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتَانِ أَوْ ضَرَرَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا[15]
"Apabila terdapat dua kerusakan atau bahaya yang saling bertentangan, maka kerusakan atau bahaya yang lebih besar dihindari dengan jalan melakukan perbuatan yang resiko bahayanya lebih kecil."

Apabila MK berupaya untuk melindungi anak, maka alangkah baiknya yang dimaksud dengan hubungan keperdataan ini tidak memasukkan di dalamnya nasab, wali nikah dan warisan. Sebab apabila ketiga hal ini masukkan maka hal ini bertentangan dengan norma agama yang telah dijelaskan dalam nash. Sehingga ini sebagai bentuk hukuman (ta’zir) dari pemerintah agar ayah biologisnya itu bertangung jawab atas akibat dari perbuatannnya, seperti dengan bentuk memberikan nafkah dan biaya untuk pendidikannnya. Dan kebijakan seperti ini akan mendatangkan mashlahat bagi anak dan ibu dalam perekonomian. Dan kebijakan ini bisa diberlakukan berdasarkan kaidah
تصَرُّفُ اْلإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصَلَحَةِ
Kebijakan imam (pemerintah) terhadap rakyatnya didasarkan pada kemaslahatan.”

KESIMPULAN
Status anak dalam persoalan ini dapat dipetakan menjadi tiga, yaitu anak yang sah menurut agama dan diakui oleh negara, anak yang sah menurut agama tapi tidak diakui oleh negara dan anak perzihanan yaitu anak yang lahir tidak dari suatu pernikahan secara agama.
Untuk status anak yang sah tidak ada persoalan, begitu juga anak yang lahir dari pernikahan yang sah secara agama secara agama mereka dinasabkan kepada bapak dan ibu. Sehingga nantinya ada hubungan wali nikah, nasab dan warisan. Dan ini berbeda dengan anak perzinahan dalam segi penasabannnya. Ketentuan status anak perzinahan atau anak yang lahir dari suatu pernikahan yang sah dalam Islam dinasabkan kepada ibunya dan keluarga ibunya. Karena ini sudah ada nash yang menjelaskan tentang hal itu. Meskipun ini akan membuat madharat kepada anak dan ibu.
Memang, apabila anak perzinahan dinasabkan juga kepada ayah biologis maka nasib anak ini bisa terjamin kehidupannya. Akan tetapi hal ini juga akan mendatangkan madharat juga bagi anak hasil pemerkosaan dan lain sebagainya. Sehingga dalam hal ini kembali kepada kaidah Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan bahaya yang lain.



PENUTUP
Demikianlah pembahasan yang dapat kami sampaikan tentang status anak di luar pernikahan dalam konteks fiqh. Mudah-mudahan bisa menambah wawasan dan bahan pertimbangan untuk kita semua dalam melangkah ke depan. Dan semoga bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya. Kami juga sangat menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak sekali kekurangan dan kesalahan dari berbagai segi. Oleh karena itu, kami akan selalu membuka kritik dan saran yang bersifat konstruktif untuk kesempurnaan makalah ini. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar al-Dimyati, I’anah al-Thalibin, juz. 2, t.t.
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Hadits Nomor 1930, Maktabah Syamilah.
Al-Jaziri, A. Rahman, Al-Fqih ‘Ala Mazhahib al-Arba’ah, jilid IV, t.t. 1-3.
Al-Lujjaji, Abdullah Ibn Sa’id, Al-Qawa’id sl-Fiqhiyah, Indonesia: Darul Al-Rohman, t.t.
Al-Thirmidzi, Sunan Al-Thirmidzi, Hadits Nomor 2039, Maktabah Syamilah.
Hakim,  Abdul Hamid, Al-Sullam, (Jakarta: Maktabah Sa’adiyah Putra, 2007
Imam Bukhari,  Shahih Bukhari, Hadits Nomor. 1296. Maktabah Syamilah.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, PDF yang didonwload pada tanggal 31 Mei 2012.
Rasyid, H. Chatib, Makalah yang disampaikan pada saat Seminar Nasional dengan tema “Status Anak Luar Nikah dan Hak-Hak Keperdataan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang diselenggarakan oleh IAIN Walisongo Semarang pada tanggal 10 April 2012.
Sholeh, Asrorun Ni’am, Perlindunagn Anak Terhadap anak di Luar Pernikahan, makalah ini disampaikan pada saat Seminar Nasional dengan tema “Status Anak Luar Nikah dan Hak-Hak Keperdataan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang diselenggarakan oleh IAIN Walisongo Semarang pada tanggal 10 April 2012.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. File berbentuk PDF yang didownload dari www.hukumonline.com pada tanggal 30 Mei 2012.



[1] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, PDF yang didonwload pada tanggal 31 Mei 2012.
[2] Asrorun Ni’am Sholeh, Perlindunagn Anak Terhadap anak di Luar Pernikahan, makalah ini disampaikan pada saat Seminar Nasional dengan tema “Status Anak Luar Nikah dan Hak-Hak Keperdataan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang diselenggarakan oleh IAIN Walisongo Semarang pada tanggal 10 April 2012.
[3] Sebagaimana dalam pasal 42 ayat (1) UU. No.1 Tahun 1974 yang berbunyi: perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing kepercayaannya itu”. Dan ayat (2) yang berbunyi: tiap-tiap perkawinan dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
[4] Lihat dalam makalah H. Chatib Rasyid yang disampaikan pada saat Seminar Nasional dengan tema “Status Anak Luar Nikah dan Hak-Hak Keperdataan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang diselenggarakan oleh IAIN Walisongo Semarang pada tanggal 10 April 2012.
[5] A. Rahman al-Jaziri, Al-Fqih ‘Ala Mazhahib al-Arba’ah, jilid IV, t.t. 1-3.
[6] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. File berbentuk PDF yang didownload dari www.hukumonline.com pada tanggal 30 Mei 2012.
[7] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Hadits Nomor 1930, Maktabah Syamilah.
[8] Imam Bukhari,  Shahih Bukhari, Hadits Nomor. 1296. Maktabah Syamilah.
[9] Abu Bakar al-Dimyati, I’anah al-Thalibin, juz. 2, t.t. hlm. 128.
[10] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Hadits Nomor 1930, Maktabah Syamilah.
[11] Al-Thirmidzi, Sunan Al-Thirmidzi, Hadits Nomor 2039, Maktabah Syamilah.
[12] Abdul Hamid Hakim, Al-Sullam, (Jakarta: Maktabah Sa’adiyah Putra, 2007), hlm. 72
[13] Ibid.
[14] Ibid, hlm. 73
[15] Abdullah Ibn Sa’id al-Lujjaji, Al-Qawa’id sl-Fiqhiyah, (Jakarta: Darul Al-Rohman, t.t.), hlm. 44.
Share:

Ijarah (Fiqih Muamalah)


PENDAHULUAN
Ijarah (sewa menyewa) merupakan mekanisme syariat dalam mengelola lahan yang dimiliki oleh negara atau milik pribadi untuk disewakan (dikontrakkan). Perjanjian dalam kontrak menyewa lahan ini harus ditentukan jangka waktunya dan ditentukan secara spesifik keperluannya.
Dalam masa kontrak lahan tersebut si pemilik kontrak tetap memiliki asset yang mereka (dia) bangun selama kontrak. Maka apabila kontrak berakhir, pengontrak tetap diperkenankan memiliki pohon yang telah ditanamnya atau bangunan yang dikembangkannya. Kecuali ada perjanjian sebelumnya dimana pengontrak dapat memindahtangankan bangunan dan pohon yang mereka tanam, si pemilik tanah dapat membongkar bangunan atau mencabut pohon yang ditanam di lahan tersebut di akhir periode kontrak jika pemilik tanah menghendaki, atau si pemilik tanah dapat membayar bangunan dan pohon yang ditanam tersebut.
Inilah salah satu contoh pelaksanaan akad Ijarah yang terkadang kita lihat di lingkungan sekitar kita.
Rumusan Masalah
Sebagaimana yang telah disinggung sedikit tentang mekanisme Ijarah (sewa-menyewa) yang sering dilakukan oleh masyarakat. Untuk mempermudah dalam pemahaman mekanisme akad Ijarah, kami dalam makalah ini akan membagi-bagi ke beberapa sub-bab dalam rumusan masalah. Adapun rumusan masalah tersebut bisa dilihat sebagai berikut:
Ø   Apa itu ijarah?
Ø   Apa dasar hukum ijarah  ?
Ø   Apa saja syarat dan rukun dalam akad ijarah?
Ø   Bagaimana sifat akad ijarah?
Ø   Apa saja jenis akad ijarah?
Ø   Kapan berakhirnya ijarah?

PEMBAHASAN
A.     Pengertian
Secara lughawi ijarah berarti upah, sewa, jasa atau imbalan. Sedangkan secara istilahi ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu dengan adanya pembayaran upah (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri[1]. Maksud dari manfaat tersebut adalah, sebuah benda yang memiliki nilai guna, dan setelah digunakan barang dari benda tersebut masih utuh. Maka tidak boleh menyewakan sebuah benda yang setelah digunakan nilai guna dari benda tersebut habis. Seperti menyewa apel untuk dimakan. Dibawah ini dikmukakan beberapa definisi ijarah menurut
pendapat beberapa ulama fiqih.
a). Ulama hanafiah
Artinya akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.
b). Ulama Asy-Syafi’iyah
Artinya akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolhan dengan penganti tertentu.
c). Ulama Malikiah dan Hanabilah
Artinya: Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.
Ada yang menerjemahkan sebagai upah mengupah. Ijarah terbagi menjadi dua bagian, yaitu ijarah atas jasa dan ijarah atas benda. Landasan syara’ Jumhr ulama berpendapat bahwa ijarah disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, As-sunah, dan Ijma’:
§ Al-qur’an
Artinya “jika mereka menyusukan anak- anakmu untukmu, maka berikanlah upahnya.”
§ As-sunah
Artinya “berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”  (HR. Ibu Majah dari ibnu Umar)
§ Ijma’
Umat islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.
Dalam konsep awalnya yang sederhana, akad ijarah adalah akad sewa sebagaimana yang telah terjadi di masyarakat pada umumnya. Hal yang harus diperhatikan dalam akad ijarah ini adalah bahwa pembayaran oleh penyewa merupakan imbal balik dari manfaat yang telah ia nikmati. Maka yang menjadi obyek dalam akad ijarah adalah manfaat itu sendiri, bukan bendanya. Benda bukanlah obyek akad ini, meskipun akad ijarah kadang-kadang menganggap benda sebagai obyek dan sumber manfaat. Dalam akad ijarah tidak selamanya manfaat diperoleh dari sebuah benda, akan tetapi juga bisa berasal dari tenaga manusia. Ijarah dalam pengertian ini bisa disamakan dengan upah-mengupah dalam masyarakat.
Dalam perkembangan selanjutnya, akad ijarah mengalami perluasan pemahaman. Dimana dalam akad ijarah yang terkait dengan pemanfaatan sebuah benda, seorang penyewa pada akhirnya tidak saja dapat mengambil manfaat atas bendanya, namun juga dapat memilikinya. Akad ini dapat dikenal dengan nama al-ijarah muntahiya bi al-tamlik. Akad ini daat ini banyak dipraktekkan dalam perbankan syari’ah.[2]
B.     Dasar Hukum Ijarah
Beberapa ayat al-Qur’an secara tersurat memperkenankan akad sewa ini :
÷bÎ)ur öN?Šur& br& (#þqãèÅÊ÷ŽtIó¡n@ ö/ä.y»s9÷rr& Ÿxsù yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ #sŒÎ) NçFôJ¯=y !$¨B Läêøs?#uä Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# $oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ׎ÅÁt/ ÇËÌÌÈ  
Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjaan”.

÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& ( (#rãÏJs?ù&ur /ä3uZ÷t/ 7$rã÷èoÿÏ3 ( bÎ)ur ÷Län÷Ž| $yès? ßìÅÊ÷ŽäI|¡sù ÿ¼ã&s! 3t÷zé& ÇÏÈ
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata : Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada hati), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja  (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.
Dari ayat di atas menunjukan adanya pembolehan al-Qur’an terhadap orang yang diberi upah karena bekerja untuk orang lain. Ayat pertama menggambarkan bahwa seseorang bisa dipekerjakan untuk menyusui anak orang lain, dan baginya sah mendapatkan upah atas pekerjaan menyusui anak orang lain tersebut. Sedangkan ayat kedua adalah merupakan rentetan cerita tentang Nabi Musa yang sedang mengembara keluar dari Mesir karena dimusuhi oleh para musuhnya. Singkat cerita, atas budi baik dan keteguhan Nabi Musa, salah satu dari wanita tersebut mengusulkan kepada ayah mereka untuk mengangkat Nabi Musa sebagai orang yang bekerja untuknya.
Ayat-ayat tersebut secara tersurat merupakan landasan yang jelas bahwa member upah kepada orang lainyang bekerja untuk dirinya diperkenankan. Dan prakterk seperti ini dalam fiqh muamalah dikenal dengan istilah Ijarah.
Di samping ayat al-Qur’an di atas, hadist Rasulullah SAW menegaskan :
قا ل رسول الله صلى الله عليه وسلم أعطوا الأجير أجره قبل أن يجف عرقه
“berikanlah upah kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringat mereka”[3]
            احتجم النبي صلى الله عليه وسلم وأعطى الحجام أجره ولم علم كراهية لم يعطه
“Ibnu Abbas berkata: Rasulullah SAW berbekam, lalu beliau membayar upahnya kepada orang yang membekamnya, jika nabi SAW tahu bahwa berbekam adalah pekerjaan yang dibenci, tentu beliau tidak memberikan upah (kepada tukang bekam)[4]
Hadist di atas menegaskan tentang praktek upah mengupah kepada seseorang yang bekerja untuk orang lain.
Atas beberap ayat dan hadits yang menerangkan tentang Ijarah, dapat disimpulkan bahwa akad Ijarah merupakan akad yang diakui keberadaannyaoleh hukum Islam.
C.      Syarat dan Rukun Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun al-ijarah itu hanya satu yaitu ijab (ungkapan menyewakan) dan qabul (persetujuan terhadap sewa menyewa). Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa rukun al-ijarah itu ada empat, yaitu :
a.       Orang yang berakad
b.      Sewa/imbalan
c.       Manfaat
d.       shighat (ijab dan qabul)
Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa orang yang berakad, sewa/imbalan, dan manfaat, termasuk syarat-syarat al-ijarah, bukan rukunnya.
Syarat akad ijarah dikaitkan dengan beberapa rukunnya diantaranya:
1.      Syarat yang terkait dengan Akid (pihak yang berakad/Mu’jir dan Musta’jir):
a.       Menurut madzhab Syafi’i dan Hanbali kedua orang yang berakad telah berusia akil baligh, sementara menurut madzhab Hanafi dan Maliki, orang yang berakad cukup pada batas mumayyiz dengan syarat mendapatkan persetujuan wali. Bahkan golongan syafi’iyah memasukkan persyaratan pada Akid termasuk rusyd. Yaitu mereka mampu melakukan sesuatu atas dasar rasionalitas dan kredibilitasnya. Maka, menurut imam Syafi’i dan Hanbali seorang anak kecil yang belum baligh, bahkan imam Syafi’i menambahkan sebelum rusyd tidak dapat melakukan ijarah. Berbeda dengan kedua imam tersebur, Imam Abu Hanifah membolehkan asalkan dia sudah mumayyiz dan atas seizin orang tuanya.
b.      Ada kerelaan pada kedua belah pihak atau tidak ada paksaan. Orang yang sedang melakukan akad ijarah berada pada posisi bebas untuk berkehendak, tanpa ada paksaan salah satu atau kedua belah pihak oleh siapapun.
2.      Syarat yang terkait dengan ma’qud alai (obyek sewa)
  1. Obyek sewa bisa diserah terimakan, artinya barang sewaan tersebut adalah milik syah mu’jir (orang yang menyewakan) dan jika  musta’jir (orang yang menyewa) meminta barang  tersebut sewaktu-waktu mu’jir dapat menyerahkan pada waktu itu.
  2. Mempunyai nilai manfaat menurut syara’, manfaat yang menjadi obyek ijarah diketaui sempurna dengan cara menjelaskan jenis dan waktu manfaat ada di tangan penyewa. Berkaitan dengan “waktu manfaat”, ada beberapa pandangan:
1.      Imam Syafi’i: waktu manfaat atas barang sewaan harus jelas dan tidak menimbulkan tafsir. Ia mencontohkan: apabila seseorang menyewa sebuah rumah satu tahun dengan akad per bulan, maka transaksi sewa tersebut mengalami ketidak jelasan dan dipandang batal. Oleh sebab itu, untuk keabsahannya, akad tersebut harus diulang setiap bulan.
2.      Berbeda dengan Imam Syafi’i, Jumhur Ulama berpendapat lebih menekankan pada aspek kejadian riilnya. Maka, akad di atas dipandang  sah dan mengikat untuk bulan pertama setelah dilakukan pembayaran. Sedangkan bulan berikutnya, jika terjadi pembayaran dianggap sah meski tanpa ada akad lagi, sebagaimana yang terjadi pada al-bay’ al-mu’athah.
  1. Upah diketahui oleh kedua belah pihak (mu’jir dan musta’jir).
  2. Obyek ijarah dapat diserahkan dan tidak cacat. Jika terjadi cacat, ilama fiqh sepakat bahwa penyewa memiliki hak khiyar untuk melanjutkan atau membatalkannya.
  3. Obyek ijarah adalah sesuatu yang dihalalkan syara’.
  4. Obyek bukan kewajiban bagi penyewa. Misal menyewa orang untuk melaksanakan shalat.
3.      Syarat yang terkait dengan shighat (akad/ijab qabul), pada dasarnya persyaratan yang terkait dengan ijab dan qabul sama dengan persyaratan yang berlaku pada jual beli, kecuali persyaratan yang menyangkut dengan waktu. Di dalam ijarah, disyaratkan adanya batasan waktu tertentu. Maka, sewa (ijarah) dengan perjanjian untuk selamanya tidak diperbolehkan.
D.     Sifat Akad al-ijarah
Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang sifat akad al-ijarah apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak. Ulama Hanafiyah berpendirian  bahwa akad al-ijarah itu bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat udzur dari salah satu pihak yang berakad, seperti salah satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan bertindak hukum. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa  akad al-ijarah itu bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang  itu tidak boleh dimanfaatkan. Akibat perbedaan pendapat ini terlihat dalam kasus apabila salah seorang meninggal dunia. Menurut ulama Hanafiyah apabila salah seorang yang berakad meninggal dunia, maka akad al-ijarah batal, karena manfaat itu tidak boleh diwariskan karena termasuk harta (al-mal).[5]
E.      Jenis Akad Ijarah
Dilihat dari sisi obyeknya, akad ijarah dibagi menjadi dua:
1.      Ijarah manfaat (Al-ijarah ala al manfa’ah), contoh sewa menyewa rumah, kendaraan, pakaian dll. Dalam hal ini mu’jir mempunyai benda –benda tertentu dan  dan musta’jir butuh benda tersebut dan terjadi kesepakatan antara keduanya, dimana mu’jir mendapatkan  imbalan tertentu dari musta’jir dan musta’jir mendapatkan manfaat dari benda tersebut.
2.      Ijarah yang bersifat pekerjaan (Al-ijarah ala al-a’mal) , dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan sesuatu. Mu’jir adalah orang yang mempunyai keahlian, tenaga, jasa dan lain-lain, kemudian musta’jir adalah pihak yang membutuhkan keahlian, tenaga atau jasa tersebut dengan imbalan tertentu. Mu’jir mendapatkan upah atas tenaga yang ia keluarkan untuk musta’jir dan musta’jir mendapatkan tenaga atau jasa dari mu’jir.[6]
F.      Berakhirnya Akad al-Ijarah
Para ulama fiqh menyatakan bahwa akad al-ijarah akan berakhir apabila :
a.       Obyek hilang atau musnah, seperti rumah terbakar atau baju yang dijahitkan hilang.
b.      Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telahberkhir. Apabila yang disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya, dan apabila yang disewa itu adalah jasa seseorang, maka ia berhak menerima upahnya. Kedua kesepakatan itu disepakati oleh ulama fiqh.
c.       Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad, karena akad al-ijarah, menurut mereka tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad al-ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad, karena manfaat menurut mereka boleh diwariskan dan al-ijarah sama dengan jual beli yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad.
d.      Menurut Ulama Hanafiyah, apabila ada udzur dari salah satu belah pihak seperti rumah yang disewakan disita negara karena terkait utang yang banyak, maka akad al-ijarah batal. Uzur-uzur yang dapat membatalkan akad al-ijarah itu menurut ulama Hanafiyah adalah salah satu pihak jatuh muflis, dan berpindah tempatnya penyewa, misalnya seseorang digaji untuk menggali sumur disuatu desa sebelum sumur itu selesai, penduduk desa itu  pindah ke desa lain. Akan tetapi menurut jumhur ulama, uzur yang boleh membatalkan akad akad al-ijarah itu hanyalah apabila obyeknya mengandung cacat atau manfaat yang dituju dalam akad itu hilang, seperti kebakaran dan dilanda banjir.[7]
G.     Ijarah Muntahiya Bi al-tamlik
Dalam akad ijarah juga dikenal dengan akad al-ijarah muntahiya bi al tamlik (sewa beli). Akad ini sekilas sama dengan ijarah yang tanpa mengenal waktu. Musta’jir sama-sama dapat mempergunakan obyek sewa untuk selamanya. Akan tetapi keduanya terdapat perbedaan. Perbedaan tersebut ada dalam akad yang dilakukan diawal perjanjian. Akad al-ijarah muntahiya bi al tamlik adalah sejenis perpaduan antara akad jual beli dan akad sewa, atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan penyewa atas barang yang disewa melalui akad yang dilaksanakan kedua belah pihak.[8]
Akad al-ijarah muntahiya bi al-tamlik dapat dikembangkan dalam bentuk yang bermacam-macam. Pengembangan ini misalnya terkait dengan barang yang disewa, nilai sewa, waktu pindahnya kepemilikan, dan lain-lain. Dari pengembangan ini kemudian bank dapat mendemonstrasikan teori ijarah untuk produk-produknya.
Bank dapat mempraktekkan akad ijarah ini dengan model leasing. Sebagai contoh, seseorang membutuhkan kendaraan mobil, dia datang ke bank untuk melakukan pembiayaan dalam pembelian mobil tersebut. Nasabah dan bank dapat melakukan transaksi ijarah (sewa) perbulan dan sekaligus   mencicil harga mobil yang harus dibayar perbulan selama beberapa tahun yang ditentukan mobil secara otomatis sudah menjadi milik nasabah.
Dalam akad ijarah, bank harus memperhatikan kemungkinan resiko yang akan terjadi diantaranya :
  1. Default, nasabah tidak membayar cicilan dengan senjata.
  2. Rusak, aset ijarah rusak sehingga menyebabkan biaya pemeliharaan bertambah, terutama bila disebutkan dalam kontrak bahwa pemeliharaan harus dilakukan oleh bank.
  3. Berhenti, nasabah berhenti di tengah kontrak dan tidak mau membeli aset tersebut. Akibatnya, bank harus menghitung kembali keuntungan dan mengembalikan sebagian kepada nasabah.
Untuk mengantisipasi beberapa resiko yang akan terjadi tersebut, dalam kontrak harus dicantumkan kesepakatan-kesepakatan yang dapat dijadikan landasan penyelesaiannya. Penyelesaian dari kemungkinan resiko yang akan terjadi tersebut tergantung atas kesepakatankedua belah pihak berdasarkan asas transparansi dan berkeadilan.
Untuk membuat kontrak sebagai antisipasi atas kemungkinan resiko yang akan terjadi dalam akad ijarah seperti diatas, perlu dipertimbangkan beberapa pendapat ulama fiqh dibawah ini :
a.    Jika terjadi kerusakan pada obyek ditangan musta’jir bukan karena kelalaian dan kesengajaan maka ia tidak boleh dituntut ganti rugi. Namun jika kerusakan tersebut atas kesengajaan musta’jir, mu’jir  punya hak untuk menuntut ganti rugi. Karena pada hakikatnya harta yang ada di tangan musta’jir masih milik mu’jir.
Berdasarkan pendapat di atas, dalam konteks perbankan, jika kerusakan tersebut atas kesengajaan nasabah (musta’jir), bank (berposisi sebagai mu’jir) punya hak untuk menuntut ganti rugi. Karena pada hakekatnya harta yang ada nasabah masih milik bank. Maka dalam kasus kemungkinan munculnya resiko seperti yang diungkapkan di muka, jika terjadi kerusakan pada harta pihak bank dapat mengenakan ganti rugi kepada nasabah selama kerusakan tersebut ada unsur kesengajaan dan kesembronoan. Demikian juga, jika tiba-tiba nasabah menghentikan “cicilan” tanpa sebab, harta yang ada di nasabah dapat dicabut oleh bank, dan masih milik bank.
b.    Penjual jasa untuk orang banyak, jika melakukan kesalahan  sehingga barang yang dikerjakan rusak, dikalangan ulama fiqh terdapat perbedaan pendapat masalah ganti ruginya:
·         Imam Abu Hanifah, Madzhab hanbali, dan Syafi’i : apabila kerusakan bukan karena kelalaian dan kesengajaan, maka penjual jasa tidak wajib dituntut ganti rugi
·         Imam Abu Yususf dan Hasan Al-Syabani: bahwa penjual jasa bertanggung jawab terhadap barang yang rusak baik disengaja maupun tidak, kecuali kerusakan tersebut diluar batas kemampuan.
·         Madzhab Maliki : jika pekerjaan tersebut bersifat membekas pada barang yang dikerjakan seperti pekerjaan binatu, juru masak, maka kerusakan baik disengaja maupun tidak, penjual jasa wajib bertanggung jawab[9].
H.    Kesimpulan
Pesan yang terkandung dalam beberapa pendapat ulama fiqh di atas adalah bahwa jika terjadi resiko atas barang yang memakai akad ijarah, maka pemilik barang (orang yang menyewakan) masih bertanggung jawab terhadap barang tersebut karena barang tersebut masih miliknya.
Hal ini juga berlaku pada akad ijarah muntahiya bi al-tamlik yang dipraktekkan oleh perbankan syari’ah. Bahwa pada hakekatnya, bank masih menjadi pemilik atas barang yang diakadkan dengan memakai akad ijarah muntahiya bi al-tamlik. Maka jika terjadi resiko seperti yang dijelaskan di depan, pihak bank masih memiliki hak atas barang tersebut.
PENUTUP
Demikianlah pembahasan tentang Ijarah yang bisa kami jelaskan. Mudah-mudahan bisa menambah wawasan dan bahan pertimbangan untuk kita semua dalam melangkah ke depan. Dan semoga bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya. Kami juga sangat menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak sekali kekurangan dan kesalahan dari berbagai segi. Oleh karena itu, kami akan selalu membuka kritik dan saran yang bersifat konstruktif untuk kesempurnaan makalah ini. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.

Daftar Pustaka
Al-jaziri, Abdurrahman, al-fiqh ala Madzahibi al-arba’ah.
Afandi, M.Yazid, 2009, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta: Logung Printika.
Haroen, Nasrun, 2007, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama.
Djuwaini, Dimyauddin, 2008, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dahlan , Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam,Cet. V (Jakarta: Ikhtiyar Baru Van Hove, 2001)
Abu al-Fath, Ahmad, Kitab al-muamalat fi Syari’ah al-Islamiyah wa al-qawanin al-Mishriyah, (Mesir : Mathba’ah al-Busfir, 1913).




[1] Abdurrahman al-jaziri, al-fiqh ala Madzahibi al-arba’ah, III: 74
[2] M.Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta: Logung Printika, 2009, hal 179 
[3] Hadist riwayat Ibn Majah dari al-Abbas ibn al-Walid al-Damsyqi dari wahb ibn Sa’id Ibn Athiyah al-Salamiy dari Abd al-rahman Ibn Zaid Ibn Aslam dari ayahnya dari Abdullah Ibn Umar. Abdullah Muhammad ibn Yazid al-Qazwaniy, ibn Majah, Maktabah Syamilah, Hadist nomor 2434
[4] Hadist diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Musaddad dari Yazid Ibn Zura’i dari Khalid dari ikrimah dari ibn Abbas RA. Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn Mughirah al-Bukhari, Shahih Bukhari, Maktabah Syamilah, Hadist nomor 2118
[5] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta, 2007, hal 236
[6] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hal160
[7] Ahmad Abu al-Fath, Kitab al-muamalat fi Syari’ah al-Islamiyah wa al-qawanin al-Mishriyah, (Mesir : Mathba’ah al-Busfir, 1913)
[8] Lihat: Abdurrahman al-jaziri, al-fiqh ... III: 101-102
[9] Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam,Cet. V (Jakarta: Ikhtiyar Baru Van Hove, 2001)  
Share:

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Makalah

Info

Opini