Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Pendidikan Anak-anak Syiah Terabaikan

Oleh: Kelompok Pertama Peserta Workshop Sejuk 4-6 Juli 2013 di UMM In, Malang*

Ruang terbuka nan kecil, berada di sela bangunan berlantai lima, tepatnya di teras Rusun (Rumah Susun) Puspa Agro, Sidoarjo. Di tempat sempit inilah dengan beralaskan karpet anak-anak warga Syiah Sampang meluapkan keinginan untuk belajar maupun sedakar bermain bersama teman-temannta yang lain.
Di dinding tembok, terlihat beberapa lembar kertas hasil kreasi gambar mereka yang turut menghiasi ruang itu. Terdapat satu papan tulis yang berukuran 1x2m berdiri tegap, yang bagian separuhnya ditempel Poster Huruf  Abjad dan Angka. Sedangkan separuhnya lagui, masih terdapat bekas coretan-coretan yang berupa angka dan tulisan.
Begitulah kondisi ruang kegiatan belajar anak-anak Syiah sejak mereka direlokasikan ke Sidoarjo(20/6). Anak-anak Syiah yang berjumlah + 60 dirasa tidak dipedulikan nasib mereka. Bahkan anak-anak terpaksa harus menikmati hari-harinya dengan bermain. Permainan pun begitu, dengan bermodalkan benda seadanya yang ada di lingkungan Rusun tersebut mereka melampiaskan kebersamaan untuk menghilangkan kejenuhan. Serta mengisi kegiatan belajar di tempat ala kadarnya.
Pada sore itu, sekitar pukul 14.30 WIB, ketika semua peserta dan panitia Workshop Jurnalisme Kebergaman yang diadakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) berkunjung ke tempat tersebut. Terlihat sebagian anak-anak ada yang bermain Karet dan sebagian ada yang nonton TV bersama, bahkan juga ada yang berlari-larian di halaman.
Zakiyya (24 tahun), ibu dari Israfil salah satu anak Syiah yang tinggal di Rusun menuturkan pada awal-awal sejak dipindahkan ke Rusun ini, anak-anak kegiatannya setiap hari hanya bermain dan nonton TV. Setelah sekitar seminggu berlalu, mereka mulai mendapatkan kegiatan belajar. Kegiatan belajar rutin ini dimulai pukul 08.00-10.00 WIB anak diajak untuk belajar membaca dan menulis serta bermain dan setelah shalat Maghrib, mereka juga diajak untuk  ngaji (belajar agama).
Dalam melakukan kegiatan belajar mengajar, anak-anak didampingi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), salah satunya Yakkum Emergency Unit. LSM ini turut terjun ke lapangan untuk mendampingi proses pendidikan yang sifatnya non formal ini. Pihak Yakkum dengan LSM dan relawan yang lain melakukan pembinaan terhadap beberapa pengungsi. Pada nantinya kader binaan tersebut yang akan melanjutkan upaya pembelajaran kepada para pengungsi.
“Ini pembinaan terhadap beberapa warga yang layak untuk mendampingi belajar kami bina dan kami ajak mendampingi bersama diharapkan ke depannya ada yang mendampingi anak-anak belajar ketika kami tidak ada”, tutur Rani Ayu Hapsari, Perwakilan dari LSM Yakkum Emergency Unit.
Dengan nada sedih, raut muka yang seperti menyimpan keresahan, Siti Rohmah (15), salah kader binaan yang bertugas memberikan pembelajaran mengungkapkan bahwa dengan seadanya kami mendampingi anak di sini belajar untuk mengisi kegiatan agar tidak kosong. “Ya tidak hanya belajar, kadang diisi dengan bermain, menggambar dan juga menyanyi”, jelasnya.
Selain untuk anak-anak, kegiatan belajar membaca dan menulis juga diperuntukkan bagi para orang tua. Rohmah menjelaskan bahwa kegiatan ini dilakukan karena memang kebanyakan para orang tua belum bisa baca dan tulis. Lebih dari itu, sebagian besar dari mereka masih kesulitan untuk berdialog dengan menggunakan bahasa Indonesia. Rata-rata hanya bisa berbicara dengan bahasa Madura. “Lucu kalau melihat ibu-ibu sedang belajar membaca, kalau ibu-ibu salah baca, anak-anak menyahuti”, ujar Irfan Setyanudin, Koordinator Kedaruratan dan Logistik, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Pendidikan Formal
Sebenarnya anak-anak Syiah ingin sekolah formal, namun mereka juga tidak ingin terisolasi dari anak-anak di luar kelompok mereka. “Waktu anak-anak ditanya apa mau sekolah lagi, mereka menjawab mau, tapi mereka lebih memilih sekolah di SD dibandingkan Madrasah,” jelas Irfan.
Jawaban dari anak-anak tersebut memang dirasa cenderung berlawanan dengan kebiasaan orang-orang di sekitar tempat mereka tinggal dahulu. Rata-rata orang Syiah Sampang hanya ada sebagian kecil yang mau sekolah di SD. Setelah itu dilanjutkan dengan menempuh jalur pendidikan di Pondok.
Akan tetapi keinginan untuk kembali memakai seragam sekolah bukan tanpa halangan. Pada waktu penyerangan terhadap warga Syiah yang terjadi di Sampang, terpaksa warga Syiah harus merelakan ijazah dan akta kelahiran anak-anak mereka hilang ikut terbakar ketika peristiwa penyerangan di Sampang (26/08/2012). Padahal kedua lembar kertas yang dikeluarkan oleh institusi formal tersebut memiliki kuasa yang agung. Pada nantinya menjadi mata rantai bagi pemenuhan kebutuhan administrasi. Ketika telah lenyap, maka melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi hanya akan menjadi impian. Hal tersebut pada akhirnya membuat para orang tua dan para relawan cukup resah.
Pemerintah pun rupanya tidak tinggal diam terhadap hak pendidikan formal anak. “Akta-akta yang hilang itu sedang dalam proses pengurusan, tapi pemerintah juga mengupayakan kebijakan agar mereka mendapatkan keringanan bersekolah tanpa ijazah”, ungkap Irfan.
Menurut Mukhlisin, salah satu remaja Syiah menyatakan bahwa dua hari yang lalu (02/07), pihak Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Sidoarjo berkunjung ke lokasi Rusun. Disdikpora berencana akan memberikan pendidikan yang layak dengan menempatkan anak-anak ke sekolah yang ada di sekitar Rusun.
“Kemarin ada  tawaran dari Dinas Pendidikan yang menempatkan anak-anak bersekolah di sekolah sekitar Rusun, namun ini masih dipertimbangkan oleh para orang tua mengingat mereka tidak ingin anaknya menjadi korban ejekan ketika nanti bersekolah di formal yang ada di sekitar Rusun”, jelas Mukhlisin, salah satu anak warga Syiah Sampang yang sekarang menginjak kelas 9 di salah satu sekolah Madrasan Aliyah yang ada di Jember.
Namun menurut penuturan Rani anggota LSM Yakkum bahwa ada informasi baru dari Gubernur Jatim, bahwa akan didirikan sekolah khusus bagi pengungsi Syiah di Rusun mulai dari jenjang SD, SMP sampai SMA. “Harapanya ya semoga kami diperhatikan oleh pemerintah, termasuk nasib pendidikan anak-anak karena kami juga warga Indonesia”, tegas Mukhlisin.
Harapan ini maklum apabila disampaikan oleh warga Syiah, mengingat sejak dipengungsian, tepatnya di GOR Sampang, pendidikan anak-anak Syiah kurang dipedulikan. Mareka terpaksa belajar bersama sambil berdesak-desakkan di sebuah tenda untuk belajar. Selama kurang lebih 10 bulan di GOR, kegiatan belajar ini pun kurang efektif dan tidak berjalan dengan baik. Tidak jarang apabila banyak anak yang tidak ikut belajar. “Dulu waktu di GOR, anak-anak ada kegiatan belajar dan itu dilaksanakan di dalam tenda, ya makanya banyak anak-anak yang bosan”, lanjut Mukhlisin ketika diajak berdialog santai di teras lantai dasar, Rusun Puspa Agro, Sidorjo.


*Hasil Kunjungan ke Rusun Puspa Agro Sidoarjo yang merupakan tempat relokasi warga Syiah Sampang. Kontributor Kelompok Pertama:  Muhamad Zainal Mawahib (LPM Justisia IAIN Walisongo Semarang), Muhammad Riza (Himpunan Abiasa Bandung), Revina Violet (LPM Bestari UMM), Nur Romdlon (LPM Pendapa UST Yogyakarta), Dina Mustika Rini (LPM Manifest UNEJ) dan Dieqy Hasbi Widhana (LPM Ideas Fakultas Sastra UNEJ).

Share:

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Makalah

Info

Opini