Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Menyisihkan Waktu untuk Berpikir Sejenak

Manusia diciptakan dengan memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lain. Kekuatan akal yang mampu digunakan untuk berpikir inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk lemah namun ia mampu berkuasa. Akal ini sudah tertanam dalam diri manusia sejak ia dilahirkan di dunia.
Kekuatan akan akal pikiran seperti pisau, pisau awalnya hanya sebuah besi yang tidak mampu untuk digunakan memotong sesuatu. Besi ini ditempah dan membentuk sebuah alat yang tajam. Tidak cukup hanya itu saja, alat yang tajam ini juga membutuhkan tempat asah agar lebih tajam dalam memotong sesuatu. Semakin lama digunakan akan semakin tajam.
Namun, selama ini akal belum secara maksimal dimanfaatkan sesuai dengan fungsi. Sebagian manusia hanya menggunakan sedikit dari kemampuan akalnya. Ibaratnya kapasitasnya 100, namun baru digunakan 25 persen sajam. Misalnya akal hanya digunakan untuk berpikir sesuatu yang sifatnya harian, seperti memikirkan bagaimana menyelesaikan pekerjaan dan sebagainya.
Selama ini manusia lebih banyak melakukan sebuah tindakan. Tindakan yang dilakukan dalam keseharian. Akal pikirannya sedikit dipakai untuk digunakan. Maksud dalam penggunaan akal ini seperti untuk berpikir soal keilmuan. Misalnya mimikirkan ilmu fidh, ilmu matematika dan sebagainya.
Sifat manusia, apabila sudah sibuk dalam pekerjaan atau dalam sebuah tindakan yang dilakukan, maka ia akan semakin males berpikir, yang ada hanya pikiran bagaimana menyelesaikan pekerjaannya. Pada akhirnya ia pun tidak memiliki waktu untuk menggunakan akalnya untuk memikirkan sesuatu.
Tidak ada salahnya menggunakan akal secara maksimal. Karena memang itulah hakikat gunanya akal, sebab akal diposisikan sebagai alat berpikir. Sebagai alat yang harus digunakan manusia. Apabila akal selalu digunakan untuk memikirkan sesuatu, terutama dalam hal ilmu, maka akal itu akan semakin cepat merespon ketika menghadapi segala hal. Atau bahkan akan cepat menangkap dan paham dengan hal-hal yang ia dengar dan ia lihat.
Tentu penggunaan akal ini memang harus diperhatikan. Minimal sehari menyisihkan waktunya 1 jam untuk memikirkan sesuatu. Bahkan lebih banyak waktu lebih baik. Karenan memang itu lah kegunaan akal. Akal yang berfungsi untuk berpikir. Memikirkan sesuatu apa pun, semakin banyak berpikir, maka secara otomatis akan semakin banyak tahu hal. Dan manusia yang sering berpikir, maka ia akan merasa semakin bodoh. Sebab ia semakin berpikir yang berujung mengetahui, semakin banyak hal yang belum ia ketahui.

Kalau tidak dimulai sekarang, kapan lagi? Kalau tidak dari kita yang mulai, siapa lagi?.
Share:

Mimpi, Tak Menakuti

Mimpi

Sering orang menyebut impian
Impian yang ingin dicapai
Impian yang ingin didapati

Namun,
Impian kerap kali ditakuti
Impian kerap kali dijauhi
Impian tak lebihnya sebuah mimpi
Mimpi yang tak dapat digali

Mimpi panggal dari impian
Mimpi ujung dari impian

Ia sesosok intan permata
Setiap mata terpesona olehnya
Kecil bentuknya Mahal harganya

Impian kala ia akan diwujudkan
Hanya dua syarat yang diajukan
Syarat pertama usaha
Syarat kedua doa
Sang Pencipta pun mengiyakan

Kini, impian merasa sedih menyendiri
Manusia takut dengan mimpi

Mimpi menggalang aksi
Melakukan demo pada makhluk insani
"Kami bukan hantu", teriak mimpi



*Bukit Walisongo Permai, Pukul 15.30 WIB, 25_08_2014
Share:

Negara, Kekuasaan dan Wewenang

NEGARA, KEKUASAAN DAN WEWENANG
(Sebuah Pengantar Ilmu Politik)
Oleh: Muhamad Zainal Mawahib

Perkembangan diskursus politik (politics) selalu mengalami kemajuan yang sangat signifikan. Kemajuan ini tidak lepas dari tokoh-tokoh terdahulu yang peduli dalam kehidupan sosial. Benar apabila dikatakan ilmu politik dipandang semata-mata  sebagai salah satu cabang dari ilmu-ilmu sosial yang memiliki dasar, rangka, fokus dan ruang lingkup yang jelas, maka dapat dikatakan ilmu ini masih muda usianya, sebab ilmu politik ini lahir pada abad 19.[1] Akan tetapi, apabila ilmu ditinjau dalam skala yang lebih luas, yakni sebagai sebuah pembahasan secara rasional dari berbagai aspek negara dan kehidupan politik, maka ilmu ini dapat dikatakan tua umurnya. Dalam konteks ini, ilmu politik banyak bersandar pada sejarah dan filsafat.
Di Yunani Kuno misalnya, pemikiran tentang kenegaraan sudah dimulai pada tahun 450 SM. Hal ini dibuktidak dalam karya-karya ahli sejarah Herodotus atau filsuf-filsuf seperti Plato, Aristoteles dan sebagainya. Di Asia, berbagai tulisan politik bermutu muncul di India yang terkumpul dalam kesusastraan Dharmasastra dan Arthasastra yang berasal dari masa kira-kira 500 SM. Begitu juga di China yang terkenal Confucius + 350 SM, Mencius + 350 dan sebagainya. Dalam konteks Indonesia, kita dapati beberapa karya tulis yang membahas sejarah dan kenegaraan seperti misalnya Negarakertagama yang ditulis pada masa Majapahit sekitar abad 13.
Ilmu Politik
Ilmu politik sering diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang politik atau kepolitikan. Apabila ditelusuri kata politik itu berasal dari kata polis, bahasa Yunani yang artinya negara kota, kemudian diturunkan kata lain seperti polities artinya warga negara, politikos artinya kewarganegaraan atau civics).[2] Dalam bahasa Inggris politik berasal dari kata politic yang artinya bijaksana.[3] Sedangkan dalam bahasa Arab politik berasal dari kata al siyasah yang merupakan turunan (masdar) dari kata saasa yang memiliki arti melatih, mengatur, memimpin, memerintah, mengemudikan dan mengurus.[4]
Berangkat dari berbagai bahasa tersebut politik merupakan sebuah usaha untuk memimpin dalam sebuah negara. Mengenai pengertian politik secara terminologi banyak sekali dengan berbagai sudut pandang. Akan tetapi dari berbagai pengertian yang ada, makna politik dalam diringkas sebagai sebuah usaha untuk menggapai kehidupan yang baik. dalam konteks Indonesia kita kenal dengan pepatah gemah lipah loh jinawe. Begitu juga orang Yunani, terutama Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai  en dam onia atau  the good life.[5]
Spirit yang diusung dari ilmu politik ini sangat diharapkan oleh manusia. Terlebih manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa ada interaksi sosial dengan manusia yang lainnya. Dari keseluruhan interaksi antar manusia inilah kemudian disebut dengan masyarakat. Definisi ini seperti yang dilontarkan oleh Robert M. Mclver “society means a system of ordered relations”.[6]
Konsep Dasar Ilmu Politik
Dalam kajian politik banyak sekali konsep-konsep dasar sebagai acuan atau pun pondasi. Sebetulnya banyak sekali konsep dasar yang dapat kita gunakan dan sebagai pijakan dalam mengkaji tentang politik. Akan tetapi ada konsep dasar yang paling penting untuk dipahami sebagai bekal dalam mengkaji ilmu politik, yakni negara (state), kekuasaan (power) dan weenang (authority).
v  Negara (state)
Sebagaimana rumusan tentang makna politik itu sendiri, bahwa politik merupakan usaha untuk mewujudkan kesejahteraan dalam kehidupan antar individu. Hal yang perlu diketahui, bahwa dalam setiap individu dalam melakukan interaksi dengan individu yang lain tidak lepas dari dua sifat yang bertentangan satu sama lain. Sifat tersebut tidak lain adalah bekerjasama dan bertentangan. Untuk memenuhi keperluan dan kepentingan bersama yang mencakup semua elemen. Dari sinilah sangat diperlukan sebuah kebijakan yang menanganinya secara keseluruhan atau institusi pemerintahan yang sering disebut negara (state).
Terkait dengan proses terbentuknya sebuah negara banyak sekali teori yang menawarkan jawaban. Antara lain teori kontrak sosial (social contract), teori ketuhanan, teori kekuatan, teori organis, teori historis, teori kedaulatan hukum dan teori hukum alam. Pendekatan-pendekatan tersebut hanya untuk memetakan dan tidak lepas dari unsur politis. Walaupun demikian, tujuannya tetap sama yakni ingin mengorganisir obyek yang berupa manusia agar dapat hidup dengan baik dan sejahtera. Hal yang membedakan adalah dampak dari penerapan pendekatan tersebut. Dari sini lahirnya model kepemimpinan dalam bernegara, seperti oligarki, monarki dan demokrasi.
Terlepas dari perdebatan teori terbentuknya negara dan model kepemimpinan yang diberlakukan dalam sebuah negara tersebut, intitusi yang bernama negara ini adalah sebuah alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatu hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menerbitkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat.[7] Ini berarti negara memiliki kekuasaan untuk memaksa secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang menetapkan tujuan dari kehidupan bersama itu. Bahkan penggunaan kekerasan fisik pun dilegalkan, seperti yang diungkapkan oleh Max Weber, negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah.[8]
Negara sebagai institusi yang memiliki peran sentral dalam mewujudkan kesejahteraan manusia, maka ia memiliki sifat tertentu da khusus yang melekat pada dirinya. Sifat itu berupa 1) Sifat memaksa, agar peraturan perundang-undangan ditaati dan tindak anarkis dapat dicegah, maka negara memiliki sifat memaksa, ini dalam arti mempunyai kekuasaan untuk memakai kekerasan fisik secara legal. 2) Sifat monopoli, dalam hal ini negara mempunyai monopoli dalam menentapkan tujuan bersama dari masyarakat, maka dalam rangka itu negara dapat menyatakan bahwa suatu aliran kepercayaan atau aliran kelompok tertentu dilarang hidup dan disebarluaskan, karena dianggap bertentangan dengan tujuan masyarakat. Dan 3) Sifat mencakup semua, Dalam  kehidupan  kenegaraan   semua   peraturan   dan kebijakan negara berlaku untuk semua warga negaranya.[9]
Sifat-sifat ini melekat pada negara tidak lain bertujuan untuk menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya. Apabila tujuan negara ini tidak terwujud maka berarti institusi negara tersebut tidak menjalankan sifat-sifat yang melekat padanya pada tujuan yang mencakup semua elemen. Seperti yang dirumukan oleh Roger H. Soltau bahwa tujuan negara adalah memungkinkan rakyatnya untuk berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin.
Sedangkan dalam konteks Indonesia sebagaimana tercantum dalam Undang-undang 1945 yang berbunyi: “untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
v  Kekuasaan (power)
Kekuasaan menjadi kajian menarik dalam ilmu politik, bahkan politik identik dengan kekuasaan. Untuk memahami tentang arti kekuasaan ini, kita dapat mengambil perumusan sosiolog, Max Weber dalam bukunya Wirtschaft und Gessellshaft (1922). Bagi Weber, kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial melakukan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan dan apa pun dasar kemampuan ini.[10]
Pengertian ini tidak jauh berbeda dengan perumusan Barbara Goodwin (2003), seorang ahli kontemporer. Bagi Barbara, kekuasaan adalah kemampuan untuk mengakibatkan seseorang bertindak dengan sara yang oleh yang bersangkutan tidak akan dipilih, seandainya ia tidak dilibatkan. Dengan kata lain, memaksa seseorang untuk melakukan yang bertentangan engan kehendaknya.[11]
Berangkat dari seni dalam berkuasa, maka dalam menyelenggarakan kekuasaan banyak sekali model. Akan tetapi esensi dari kekuasaan adalah mengadakan sanksi. Bahkan upaya yang paling ampuh adalah kekerasan fisik (force). Misalnya seorang penjahat membawa celurit yang memaksa seseorang untuk menyerahkan barang miliknya, ini merupakan suatu contoh dari kekuasaan yang paling terbuka dan brutal. Kekuasaan juga diselenggarakan lewar koersi (coersion), yaitu sebuah ancaman berupa sanksi. Sedangkan upaya yang sedikit lunak adalah melalui persuasi (persuasion), yakni proses meyakinkan, berargumentasi atau menunjukka pada pendapat seorang ahli (expert advice).
Selain itu kekuasaan ini juga bisa dilakukan dengan tidak mengatakan denda, tetapi ganjaran (reward) atau imbalan, insentif, atau pun kompensasi. Misalnyadari pemberian imbalan ialah pemerintah yang berupaya untuk mengatasi masalah sampah dapat melakukan sanksi negatif dengan mendenda setiap pelanggar. Akan tetapi karena petugas pengawas sangat terbatas mungkin pemerintah cenderung memberikan sanksi positif, berupa hadiah kepada Rukun Tetangga (RT) yang paling bersih.
Dalam kekuasaan ini perlu kiranya untuk diketahui sumber yang menjadi kekuatan. Bertrand Russel (1988) diantaranya menyebutkan bahwa kekuasaan itu bersumber dari sumber ilahiah (Tuhan), ekonomi, pemikiran, dan nilai budaya. bahkan, untuk  jaman modern ini, teknologi dan kekuatan militer pun menjadi salah satu sumber kekuasaan yang bisa membantu manusia untuk menguasai orang atau kelompok lain.  Dengan variasi sumber kekuasaan ini, melahirkan adanya sejumlah teori tentang kekuasaan dalam ilmu politik.
Bailusy menyebutkan ada empat teori besar mengenai  teori kekuasaan,  yaitu teori kekuasaan Tuhan, teori  kekuasaan hukum, teori kekuasaan negara dan teori kekuasaan rakyat.[12] Apapun teorinya, namun dengan teori kekuasaan tersebut, seorang penguasa memiliki kemampuan untuk memaksa, memonopoli dan menetapkan sebuah peraturan atau kebijakan publik yang mengatur seluruh aspek kehidupan negara.
Kekuasaan yang bersumber pada Tuhan, memposisikan sumber-sumber normatif  keagamaan sebagai acuan utama. Manusia atau penguasa, posisinya hanya pelaku atas semua perintah  yang disuratkan (disiratkan) oleh  sumber otoritatif keagamaan.  Misalnya saja, Islam menyandarkan aturan hidup berbangsa dan bernegaranya pada al-Qur’an dan Sunnah. Dalam lingkungan agama Kristen,  Agustinus dikenal sebagai pemikiran teokrasi yang  menggagas teori kekuasaan Tuhan dalam konteks  politik.
Kekuasaan berdasarkan hukum, artinya bahwa setiap penguasa dalam pelaksaan kekuasaan, masyarakat wajib tunduk dan taat pada hukum negara.  dalam teori ini, diharapkan setiap warga negara memiliki kesadaran hukum atau kemelekkan hukum yang tinggi, sehingga negara dapat berjalan dengan baik. Ada tiga prinsip dasar dalam negara hukum, yaitu (a) pengakuan supremacy of law (hukum yang tertinggi), (b) equality of  before law (persamaan di depan hukum), dan (c) protection of human right (perlindungan terhadap hak asasi manusia)
Teori kekuasaan ketiga yaitu kekuasaan negara. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa negara memiliki kemampuan memaksa, memonopoli dan menguasai semua hal. Kewenangan yang sangat luas ini, sudah merupakan indikasi utama bahwa negara memiliki kekuasaan.
Kritik pemikiran terhadap kekuasaan negara, memunculkan adanya teori kekuasaan rakyat. Artinya, kekuasaan negara yang ada dan dimilikinya saat itu, pada dasarnya bukan sebuah identitas natural dari negara itu sendiri. kewenangan dan kekuasaan  yang dimiliki negara pada saat itu adalah kekuasaan yang bermula dari kontrak sosial individu atau masyarakat. Dengan kata lain, pemiliki kekuasaan itu sendiri adalah rakyat, bukan negara.
Selanjutnya perlu diketahui juga antara dua istilah yang menyangkut konsep kekuasaan ini, yakni scope of power (cakupan kekuasaan) dan domain of power (wilayah kekuasaan). Cakupan kekuasaan (scope of power) menunjuk pada kegiatan, perilaku, serta sikap dan keputusan yang menjadi obyek dari kekuasaan. Misalnya direktur perusahaan mempunyai kekuasaan untuk memecat seorang karyawan sesuai dengan ketentuan, akan tetapi tidak memiliki kekuasaan terhadap karyawan di luar hubungan kerja ini. Sedangkan wilayah kekuasaan (domain of power) ini menjawab soal siapa saja yang dikuasai oleh orang yang berkuasa. Misalnya seorang direktur perusahaan mempunyai kekuasaan atas semua karyawan dalam perusahaan, baik yang di pusat maupun yang di cabang-cabang.[13]
v  Wewenang (authority)
Dalam menjalankan kekuasaan dalam sebuah negara tidak akan berhasil manakala tidak ada wewenang yang diberikan. Sehingga dalam ilmu politik sangat penting untuk memahami tentang wewenang terlebih apabila dikaitkan dengan kekuasaan. Mengenai wewenang, Robert Bierstedt dalam karangannya An Analysis of Social yang mengatakan bahwa wewenang (authority) adalah institutionalized power (kekausaan yang dilembagakan).[14] Dengan nada berbeda, Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan dalam buku Power and Social bahwa wewenang adalah formal power (kekuasaan formal).[15] Dengan begitu bagi yang mempunyai wewenang  berhak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturan dan berhak untuk menharapkan kepatuhan terhadap peraturan-peraturannya.
 Bagi Max Weber, wewenang dipetakan menjadi tiga macam, yakni tradisonal, kharismatik dan rasional-legal.[16] Wewenang tradisional berdasarkan kepercayaan di antara anggota masyarakat bahwa tradisi lama serta kedudukan kekuasaan yang dilandasi oleh tradisi itu adalah wajar dan patut dihormati. Wewenang kharismatik berdasarkan kepercayaan anggota masyarakat pada kesaktian dan kekuatan mistis atau religius seorang pemimpin. Sedangkan wewenang rasiona-legal berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang melandasi kedudukan seorang pemimpi, sehingga yang ditekan bukan orangnya tetapi aturan-aturan yang mendasari tingkah laku.
Akan tetapi wewenang sulit sekali untuk dijalankan manakal tidak ada sebuah legitimasi (legitimady) atau keabsahan. Legitimasi ini sangat penting dalam sebuah sistem politik, terlebih pada perkembangan politik pada era sekarang ini. Sebab keabsahan adalah sebuah keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang pada seseorang, kelompok atau penguasa adalah wajar dan patut untuk dihormati. Kewajaran ini berdasarkan persepsi bahwa pelaksanaan wewenang itu sesuai dengan asas-asas dan prosedur yang sudah diterima secara luas dalam masyarakat dan sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang sah.
Jadi, mereka yang diperintah menganggap bahwa sudah wajar peraturan-peraturan dan keputusan yang dikeluarkan oleh penguasa untuk dipatuhi. Dalam hubungan ini dikatakan oleh David Easton bahwa keabsahan adalah keyakinan dari pihak anggota bahwa sudah wajar baginya untuk menerima baik dan menaati penguasa dan memenuhi tuntutan-tuntutan dari rezim itu.[17] Dari sudut pandang penguasa, A.M. Lipset memberikan gambaran bahwa legitimasi mencakup kemampuan untuk membentuk dan mempertahankan kepercayaan bahwa lembaga-lembaga atau bentuk-bentuk politik yang ada adalah yang paling wajar untuk masyarakat itu.[18]
Apabila dalam suatu sistem politik terdapat konsensus mengenai dasar-dasar dan tujuan-tujuan masyarakat, keabsahan dapat tumbuh dengan kukuh, sehingga unsur paksaan serta kekerasan yang dipakai oleh setiap rezim dapat ditetapkan sampai minimum. Maka dari itu pemimpin dari suatu sistem politik akan selalu mencoba membangun dan mempertahankan kebasahan di kalangan rakyat karena hal itu merupakan dukungan yang paling kuat.
Demikian tulisan yang singkat tentang konsep dasar dalam ilmu politik terkiat dengan negara (state), kekuasaan (power) dan wewenang (authority). Ini hanyalah sebagai pengantar dalam diskusi. Setidaknya dalam tulisan ini sangat terbatas. Maka dari itu sebagai langkah untuk mengembangkan dari konsep dasar ini perlu dikaji dan didiskusikan. Dengan adanya diskusi dan kajian yang selalu dilakukan maka lahir sebuah kritik. Tentu dengan adanya kritik dilontarkan akan menjadikan ilmu politik ini akan semakin berkembang.



[1] Hal ini berangkat dari persoalan apakah ilmu politik merupakan ilmu pengetahuan (science) atau tidak, lebih lanjut lagi apakah ilmu politik memenuhi syarat sebagai ilmu pengetahuan yang meliputi obyektif, metodis, sistematis dan universal. Pada abad ke-19 lahirlah berbagai pendekatan, seperti pendekatan perilaku (behavorial approach) tahun 1950-an, pendekatan ini pun menuai kritik karena kelompok behavioralis tidak memasukan nilai dalam analisis keadaan sosial. Akhirnya muncul kelompok post-behavioralist (tahun 1960-an) yang berpendapat bahwa nilai boleh masuk dalam analisis keadaan sosial. Dari sini berkembang pendekatan seperti pendekatan analisis struktural-fungsional (structural-functional analysis approach) dan pendekatan analisis sistem (systems analysis approach), selengkapnya lihat Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Prima Grafika, 2012, hal. 8-11.
[2] Chilisin, dkk, Dasar-dasar Ilmu Poitik, Yogyakarta: FISE UNY, 2006, hal 1.
[3] Lihat Kamus Bahasa Inggris.
[4] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia Lengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 2002, hal. 677.
[5] Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, , , hal. 13.
[6] Selengkapnya lihat Robert M. Mclver, The Web of Government, Now York: The MacMillan Company, 1961, hal. 22.
[7] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, , , hal. 47
[8] H.H. Gerth and C. Wright Mills, From Max Weber: Essays in Sociology, New York: Oxford University Press, 1958, hal. 78.
[9] Selengkapnya lihat Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, , , hal. 50-51
[10] Max Weber, Wirtschaft und Gessellshaft, Tubing: Mohr, 1922.
[11] Barbara Goodwin, Using Political Ideas, England: Barbara Goodwin, 2003, hal. 307.
[12] M. Kausar Bailusy, Teori Politik, Jakarta: Universitas Terbuka, 2001, hal. 6
[13] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, , , hal. 64
[14] Robert Biertedt, “An Analysis of Social Power”, American Sociological Reviwe, Volume Desember 1950, 732.
[15] Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, , , hal. 64, lihat juga Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan, Power and Social, New Haven, Yale University Press, 1950.
[16] S.N. Eisentadt, ed. Max Weber on Charisma and Institution Building, Chicago: University of Chicago Press, 1968, hal. 46.
[17] David Easton, A System Analysis of Political Life, New York: John Wiley and Sons, 1965, hal. 273
[18] A.M. Lipset, Political Man: The Social Base of Politics, Bombay: Vakils, Fetter and Simons Private Ltd., 1969, hal. 29. 
Share:

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Makalah

Info

Opini