Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Keajaiban Gerakan Shalat; Sebuah Pengalaman Pribadi.


Siang itu, tepatnya pada pukul 11.490 WIB, tanggal 24 Desember 2015, saya mendapatkan pesan singkat dari teman kuliah saya, Alamsyah namanya. Dia mengajak main futsal di Golden, Krapyak, Kota Semarang. Seperti biasa, saya dengan teman-teman kuliah main futsal bersama seminggu sekali untuk sekadar menggerakkan badan.
Jam 14.00 WIB saya berangkat ke lokasi futsal. Karena masih nunggu kedatangan temena-temen, akhirnya kita main pukul 14.30 WIB. Jumlah hanya 9 orang, jadi mainnya 4 lawan 5. Bukan banyaknya jumlah gol yang kita inginkan, namun kebersamaan dan mencari keringat serta menggerakkan badan.
Dengan keterbatasan jumlah pemain sehingga mengharuskan kita main tanpa ada pengganti. Kita pun sampai kelelahan dan biar tambah semangat dan tambah tenaga, kita pun sambil minum air putih yang kita bawa dari kost. Pemainan berjalan, kita main futsal kurang lebih 1 (satu) jam.
Di tengah-tengah permainan, saya mengalami kesleo kaki di bagian lutut kanan. Kejadian ini saya alami ketika hendak menendang bola dengan keras, namun karena salah nendang sehingga kaki mengalami kesakitan. Kaki pun sulit untuk berjalan, apalagi untuk menendang. Hingga akhir permainan rasa sakit semakin terasan.
Permainan selesai, saya pun pulang ke kost. Di kost saya urut-urut kaki yang kesleo dengan minyak urut seraya saya gerak-gerakkan kaki dan saya latih untuk berjalan. Namun masih juga terasa sakit.
Waktu sudah menunjukkan pukul 16.40 WIB, namun saya belum shalat. Akhirnya saya putuskan untuk mandi sambil berjalan menahan kesakitan ketika kaki kanan menginjakkan di tanah. Saya pun berjalan ke kamar mandi dengan membawa peralatan mandi dan menahan kesakitan. Saya paksa meski sakit.
Baju sudah rapi saya pakai dan saya pun menggelas sajadah untuk shalat. Dalam batin saya, "saya nanti pasti merasakan kesakitan ketika bergerak untuk rukuk, sujud dan duduk". Saya pun akan siap kesakitan. Saya pun langsng takbir dan melakukan gerakan-gerakan shalat seperti biasa.
Dalam gerakan rukuk, sujud dan duduk saya pelan-pelan menggerakkan kaki sambil menahan rasa sakit. Namun terus saya paksakan hingga shalat berakhir. Karena dalam pikiran saya apa yang saya lakukan dalam gerakan shalat ini seperti melatih lutut yang sedang kesleo. Shalat ashar pun sudah selesai saya jalannkan.
Hal yang tidak terduga, ketika saya meua berdiri untuk mengambil minyak urut yang mau saya pakai untuk ngurut kaki, terasa kaki sudah tidak terasa sakit ataupun nyeri. Saya pun semakin aneh apa yang saya rasakan ini. Untuk meyakinkan saya pun menggerakkan kaki kanan dan juga saya buat berjalan. Meski masih sedikit rasa nyerinya, namun sudah berasa tidak terasa sakit. Bahkan beberapa saat kemudian sudah tidak terasa sakit. Dan saya pun semakin semakin heran. "Apakah ini manfaat dari gerakan shalat?", pertanyaan itu yang muncul dalam benakku.
Alhamdulillah, itu yang terucap dari mulut ini. Dalam pikiran saya, memang betul dan saya pun menambah semakin yakin bahwa gerakan dalam shalat bukanlah sebuah gerakan yang dilakukan ketika menjalankan ritual sebagai orang muslim saja, namun gerakannya bisa membuat badan semakin sehat dan menggerakan otot-otot dengan baik.
Maka dari itu, marilah kita menjalankan ibadah shalat dengan ikhlas dan kyusu'. Insya Allah kita tidak hanya akan mendapatkan pahala, tetapi kita akan merasakan kesehatan dalam tubuh kita. Terlebih di bagian otot-otot yang harus digerakkan agar otot-otot tidak terasa kakku.


Di eLSA
Perum Bukit Walisongo Permai.

Semarang, 24 Desember 205.
Share:

Bersama

Hidup hanya sekali
Menjalani jejak tak bertepi
Kadang ramai dan kadang sepi
Berbagai rasa akan dilalui

Makan untuk menikmati
Tak melihat apa yang tersedia di panci
Rasa enak yang dicari
Oleh lidah yang mencicipi

Tidur untuk istirahat
Menghapuskan segala penat
Memanjakan badan agar sehat
Harus menyisihkan waktu meski padat

Minum untuk menepis kehausan
Menjaga keteraturan di dalam diri badan
Memberikan kekuatan dalam setiap tetesan
Dari air yang mengandung kebersihan

Waktu terus berjalan
Tanpa memandang tujuan
Bergulir selalu menghadap ke depan
Dalam setiap detiknya ada peluang yang ditawarkan

Itu semua
Akan dilalui oleh setiap manusia
Sendirian atau bersama
Namun ku ingin melaluinya

Dengan engkau yang selalu didamba
Dalam sebuah payung yang meski sederhana
Dengan segala yang apa adanya
Namun sangat begitu terasa
Dalam menikmati dan menjalani bersama


Catatan

24 September 2015

Share:

Sebuah Harapan

Aku yakin , , ,
Semua ini adalah ciptaan-Nya
Semua yang terjadi di dunia atas kehendak-Nya
Sekecil apa pun dan sebesar apa pun adanya

Termasuk perasaan ini yang selalu tumbuh
Menuntunku pada hati untuk berlabuh
Karena perasaan ini yang membeningkan air yang keruh
Karena perasaan yang membahagiakan jiwa yang sedih

Betapa indahnya hidup ini
Betapa bahagianya dunia ini
Bisa merasakan cinta pada yang dicintai
Bisa bersama cinta pada yang diingini

Aku pun memiliki rasa cinta
Semoga cintaku jatuh pada yang diridloi
Semoga cintaku tumbuh bersamanya
Hanya padanya lah yang selalu di hati

Wahai bidadari surgaku
Engkau adalah detak jantungku
Engkau adalah jiwaku
Engkau adalah nafasku
Engkau adalah udaraku
Engkau adalah sinarku
Engkau adalah semangatku

Keyakinanku
Perasaanku
Harapanku
Usahaku
Menuju padamu

Akan aku berikan seluruh hariku padamu
Akan aku abdikan diriku padamu

Dengan mencintaimu
Dengan hidup bersamamu

Aku yakin , , ,
Kehadiranmu akan mendekatkanku pada Tuhanku
Engkaulah harapanku
Engkaulah hidupku
Engkaulah doaku

Wahai bidadari surgaku
Yang diberi nama indah nan menawan
Semoga harapan ini menjadi sebuah kenyataan seperti yang kita harapkan.

Aamiin
Aamiin
Aamiin

Yaa Rabbal 'alamiin




Catatan
24 Agustus 2015

Share:

Info Terlengkap Beasiswa Diktis Kemenag

Kementerian Agama Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam menyelenggarakan banyak program beasiswa, baik beasiswa studi di dalam negeri maupun di luar negeri. 
Selain itu juga ada program yang berupa pengembangan bahasa asing yang ditujukan untuk calon penerima beasiswa ke luar negeri. Semuanya ini untuk menunjang program pemerintah untuk mencetak 5000 doktor.

Untuk lebih lengkapnya silahkan lihat langsung infonya di sini.
                
1.      Program 5000 Doktor



Share:

Melangkah Menuju Impian

Setiap manusia pasti memiliki impian dan harapan. Impian di masa depan yang harus diraih olehnya. Apabila dia belum memiliki impian atau harapan, segeralah membuat impian dan harapan tersebut.
Namun impian bukanlah sekadar impian, namun sebuah yang ingin diraihkan. Dalam meraihnya tentu ada langkah-langkah konkrit yang harus dilaluinya. Sebelum melalui langkah-langkah tersebut tentu kita harus tahu langkah-langkah apa yang akan kita lalui dan harus dilalui untuk mencapai impian tersebut.
Selain itu juga, setelah kita mengetahui langkah-langkah yang akan dilalui maka kita harus mempersiapkan bekal yang nantinya dijadikan pegangan untuk menghadapinya. Bekal ini harus disiapkan betul sebagai langkah kedua setelah memiliki impian.
Dalam memikirkan impian yang paling sering dilupakan adalah memikirkan langkah-langkah dan bekal untuk mencapai impian tersebut. Kedua hal ini harus dipikirkan bersamaan ketika memikirkan impian. Dengan demikian bercita-cita harus dilengkapi dengan pengetahun yang berupa langkah-langkah dan bekal untuk meraihnya.
Apabila dalam impian tidak memikirkan langkah-langkah dan mempersiapkan bekal, maka kita akan sangat kesulitan meraih impian tersebut. Sebab kita tidak tahu jalan yang menuju ke impian dan kita tidak punya bekal yang melewati jalan yang belum kita ketahui. Ibaratnya kita berjalan di hutan tanpa membawa alamat tujuan dan bekal, yang dibawa hanyakah kata "sukses".
Ada salah satu syair dalam ilmu mantiq yang cocok untuk menggambarkan kondisi ini:
"Fain turid tarkibahu murakkiba # muqaddimatihi 'ala ma wajaba"
Artinya: apabila ingin menyusun sesuatu maka susunlah layaknya orang yang menyusun tahapan-tahapan awal yang wajib.

Dari syair tersebut maksudnya adalah ketika ingin merencanakan segala sesuatu apapun, maka susunlah tahapan-tahapan awal yang harus dilakukan untuk meraih rencana tersebut. Sebab tidak ada suatu rencana yang tanpa dilalui sebuah tahapan-tahapan yang bisa sampai pada rencana tersebut.
Share:

Menyoal Pendidikan Agama di Sekolah Umum

Pendidikan menjadi kebutuhan yang sangat mendasar bagi setiap manusia. Pendidikan jenis apa pun, termasuk pendidikan agama. Sebab dengan pendidikan ini manusia dapat berkomunikasi dan berkembang dengan baik, serta tercipta manusia yang terdidik.
Sedangkan peran pendidikan agama bagi manusia tak lain membentuk kepribadian yang berke-Tuhan-an. Sehingga manusia memiliki budi pekerti yang baik dan taat dengan apa yang ia yakini.
Sesuatu yang diyakini yaitu agama atau kepercayaan inilah yang mengajarkan kebaikan. Sebab setiap agama atau keyakinan pasti misinya untuk mengajarkan kebaikan kepada pengikutnya. Sebaliknya, apabila ada agama atau kepercayaan yang mengajarkan ketidakbaikan maka itu bukan agama, namun "musuh" agama.
Implementasi pendidikan agama sangat cocok diterapkan di lembaga pendidikan swasta atau lembaga pendidikan yang di dalamnya semua anak didik beragama sama. Dengan anak didik yang beragama atau berkeyakinan sama makan akan mudah dalam pembelajarannya. Hal ini bisa dilakukan tidak hanya di dalam lembaga pendidikan formal, tetapi juga di non formal.
Adapun problem dari pengajar pendidikan agama ini tidak lain ketika diterapkan di lembaga pendidikan umum atau sekolah umum. Dimana pendidikan atau sekolah umum tersebut anak didiknya tidak hanya terdiri dari satu agama, melainkan banyak agama bahkan kepercayaan. Hal ini karena pendidikan umum memang dari awal didesain untuk memberikan fasilitas pendidikan untuk semua orang, tanpa melihat latar belakang agama atayu keyakinan tertentu.
Kesulitannya dalam pendidikan agama dalam suatu kelas yang anak didiknya terdiri dari banyak agama atau keyakinan adalah pendidikan agama yang mana yang hendak digunakan. Tentu ketika menggunakan satu agama tertentu, akan menjadikan kecemburuan sosial dalam kelas tersebut. Hal ini bisa menjadikan problem di dalam kelas tersebut.
Dengan demikian, desain pendidikan agama di pendidikan umum bukanlah mengajarkan pendidikan agama atau keyakinan tertentu. Namun dapat dilakukan dengan mengenalkan agama atau keyakinan yang ada selama ini. Dalam pengajarannya harus ditekankan bahwa setiap agama atau keyakinan itu mengajarkan kebaikan dan kebajikan.
Di sinilah peran pendidikan umum, selain pendidikan umum menjadi tempat mendidikan segala macam dan bentuk anak didik, namun pendidikan umum juga bisa menaburkan cinta kasih dengan cara memperkenalkan agama dan keyakinan yang ada. Bahkan ini akan menjadi benteng munculnya diskriminasi atau tindak kekerasan atas nama agama.
Share:

Call for Paper : Dinamika Bisnis Islam


Share:

Kebenaran; Antara Relatif dan Absolut

Sejenak menenangkan segala aktifitas, merenungkan sesuatu yang ada di sekitar kita, sebab keberadaan sesuatu yang ada bukan tanpa ada awalan dan proses. Dulu para filosof untuk mengisi waktu dan merenungkan alam semesta ini berawal dari diskus-diskusi kecil yang mereka pertanyaan dalam sebuah pertanyaan yang singkat.
Dalam mengawali diskusi dari pertanyaan yang sangat sederhana, "apa bahan utama alam semesta ini?" Itulah pertanyaan yang dilontarkan. Meski pertanyaannya sederhana, namun jawaban para filosof berbeda-beda, hingga kemudian mewacanakan sesuatu yang ada dan yang tidak ada, sesuatu yang relatif dan sesuatu yang absolut.

Mengapa demikian, dari sini muncullah sebuah pertanyaan Apakah yang tidak ada (metafisik) itu diada-adakan yang ada (fisik), atau yang tidak ada yang mengadakan sesuatu yang ada dari sesuatu yang tidak ada. Sesuatu yang ada bisa kita melihat dan kita ukur, kerena wujudnya nyata adanya dan nampak dan bisa dirasakan oleh indera.
Sedangkan sesuatu yang tidak ada kita tak mampu membuktikannya secara inderawi, yang pada akhirnya kita pun hanya bisa meyakini dan mengimani. Dari sini kemudian lahir wacana teologi (ilmu kalam) yang didiskusikan pada mutakallimin atau para teolog, baik di timur maupun di barat.
Pada akhirnya para teolog atau mutakallimin antara satu dengan yang lain memiliki pemikiran tersendiri dalam memahami sesuatu yg tidak ada (tidak wujud). Perbedaan pemikiran dalam sesuatu yang tak terindera (tidak wujud) yang demikian merupakan hal yang wajar pada sesuatu yang tidak ada (tidak wujud). Sebab sesuatu yang ada (yang wujud) saja terkadang masih diperselisihkan, apalagi yang tidak ada, yang tentu semakin diperselisihkan.
Terus kemudian siapa yang benar dari perbedaan pemikiran terhadap sesuatu yang tak terindera ini? Apakah salah semua pemikirannya, atau betul semu? Atau ada yang betul satu dan yang lain salah semuanya?. Menjawab ini tak semudah yang kita bayangkan, sebab juri yang menilai benar-salah ini tak ada.
Kalau pun ada juri dari klompok pemikir itu tentu keputusannya tak dapat dibenarkan, sebab jurinya sendiri tak mampu mengindera sesuatu yang tak wujud itu. Meskipun kdbenaran ini tak mampu dibuktikan, sdtidaknya para pemikir saling toleran dan saling memahami, bahwa itulah cara mereka memahami yang tak wujud
Sehingga bagi para teolog, perbedaan dalam pemikiran sudah menjadi sebuah keniscayaan dan toleransi dalam pemikiran menjadi sebuah keharusan. Para teolog tahu bahwa yang mereka lakukan adalah berusaha mencapai kebenaran itu dengan akal yang ia miliki. Selain itu, bagi para teolog kebeneran hakiki dikembalikan pada Dzat Yang Maha Mengadakan sesuatu yang tak terindera dan yang terindera.
Itulah diskusi yg hanya diawali sbuah prtanyaan yg sederhana "apa bahan utama alam semesta ini?" #Selamat Malam Minggu dan Selamat Berkencan.



Malam Minggu, 28 Nopember 2015.
Share:

Sikap Kritis terhadap Berita

Perkembangan teknologi di era globalisasi semakin pesat. Dunia yang luas, seakan menjadi kecil dan bisa digenggap di dalam satu tangan, sehingga jarak pada era sekarang ini tak menjadi sebuah halangan. Bahkan luar angkasa pun sudah mulai dijelajahi dengan memanfaatkan teknologi.

Salah satu dampak dari perkembangan teknologi dalam dunia media adalah pemberitaan atau informasi yang tertulis di media massa. Pemberitaan sebuah peristiwa atau informasi semakin cepat. Kecepatan berita ini yang awalnya tercetak dalam sebuah kertas, sekarang menjadi lebih cepat penyebarannya melalui media online.

Bahkan kecepatan berita di media online update setiap menit, bahkan setiap detik. Dalam menampilkan berita pun tak hanya berupa tulisan semata, namun disertai dengan foto yang semakin canggih dan bagus. Sehingga segala bentuk tulisan dan gambar mudah untuk dipublikasi kapan pun dan dimana pun serta oleh siapa pun saja.

Perkembangan media massa tersebut, tak mungkin kita bendung keberadaannya. Media massa online akan semakin cepat dan cepat tersebar. Manfaatnya informasi di belahan dunia akan semakin cepat kita terima dan banyak pula informasi yang kita baca.

Namun, kecepatan informasi yang diberikan oleh media akan membuat daya pikir kritis kita semakin rendah. Sebab kita hanya disuruh membaca apa yang mereka tulis. Banyaknya informasi yang tersaji, membuat kita untuk membaca, tanpa harus mengalisisnya. Akhirnya kita pun akan terbawa dengan informasi tersebut. Sebab kita tidak memiliki waktu untuk melakukan analisis ataupun mengkritisinya.

Secara tidak langsung kita pun terbawa dan semakin hilang daya kritis kita. Tentu, inilah salah satu yang diharapkan perkembangan media sekarang ada. Ia hadir untuk menggerakkan pola pikir manusia dengan media literasi. Dengan begitu bagi pembaca akan digiring untuk sependapat dengan informasi atau tulisan yang ada di dalam media.

Tentu tidak begitu yang kita harapkan. Apa pun informasi yang kita terima, janganlah diterima dengan mentah-mentan. Kritisi dan pamahami apa yang ada di dalam tulisan tersebut. Kalaupun perlu, membandingkan dengan informasi yang lain. Sehingga kita akan mengetahui arah tujuan dari informasi tersebut.

Sebab apapun informasi yang diberikan kepada pembaca, pasti dia memiliki tujuan. Tujuan tersebut searah dengan tujuan yang diharapkan oleh media tersebut. Ini yang perlu dipahami bersama bagi kita yang hidup di dunia literasi yang semakin pesat dan cepat.




Semarang, 1 Nopember 2015.
Share:

Problematika Teori Qath'y dan Dzanny

Al-Qur’an dan hadits merupakan dua sumber utama dalam pemikiran hukum Islam. Hukum Islam tersebut hadir untuk menjawab semua problematika yang dihadapi dan diselesaikan oleh umat Islam. Apabila di dalam al-Qur’an ditemukan ketentuan hukum yang jelas, maka hukum itu yang harus diambil. Namun apabila tidak ditemukan maka dicari dalam hadits. Jika di dalam kedua sumber hukum tidak ditemukan ketentuan hukum, atau hanya disinggung secara samar, maka pencarian hukumnya melalui ijtihad atau ra’y.[1]
Pasca Nabi Muhammad Saw. wafat wahyu yang berupa al-Qur’an dan hadits telah final dan berhenti. Namun polemik kehidupan yang terus bermunculan. Semua persoalan yang muncul banyak sekali yang belum diberikan solusi hukumnya oleh al-Qur’an dan hadits. Atau keduanya memang telah memberikan ketentuan secara jelas, namun apabila diaplikasikan ada sahabat pada saat itu menghasilkan keputusan yang kurang adil.
Salah satu contohnya ijtihad Umar bin Khaththab yang berani mengambil keputusan yang bertentangan ketentuan hukum yang secara jelas digariskan oleh al-Qur’an dan hadits. Meskipun al-Qur’an secara tegas (qath’i) menentukan bahwa hukuman bagi pencuri adalah potong tangan[2], namun Umar meniadakan hukuman ini dalam kondisi paceklik yang pernah terjadi pada masanya.[3]
Melihat langkah Umar tersebut, berarti ijtihad bukanlah hanya menggali hukum yang ada ketentuan nashnya sama sekali, atau nasnya masih dhanny (samar) saja, melainkan hukum-hukum yang sudah ditentukan secara jelas dan tegas (qath’i) tetap memerlukan ijtihad. Namun pada sisi yang lain, ada sebuah kaidah “Laa masaagha li al-ijtihad fimaa fih nash sharih qath’i” (Tidak ada peluang berijtihad dalam hukum-hukum yang telah ada nashnya secara jelas dan qath’i).[4] Kaidah tersebut merupakan larangan berijtihad terhadap hukum yang ditunjukkan oleh nash qath’i. Sedangkan hukum Islam dituntut untuk selalu hadir dan mampu menjawab tantang zaman dan shalih li kull zaman wa makan.




[1] Sumber hukum Islam secara global diklasifikasikan menjadi dua, (1) Nash atau wahyu yang meliputi al-Qur’an dan sunah, (2) Ijithad (ra’y atau akal) yang meliputi ijma’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah, ‘urf, istishhab, mazhab sahabi dan syar’ man qablana.  Sumber ijithad dipilah lagi menjadi yang disepakati yakni ijma’ dan qiyas, sedangkan yang lain sumber hukum yang diperselisihkan yakni istihsan, maslahah mursalah, ‘urf, istishhab, mazhab sahabi dan syar’ man qablana. Selengkapnya lihat Abd al-Wahhab al-Khallaf, ‘Ilmu Usul al-Fiqh, Indonesia: al-Haramain, 2004, hlm. 21-22.
[2] QS. al-Ma’idah: 38, Lihat Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Syaamil Cipta Media, 2005, hlm. 114.
[3] Selengkapnya lihat Muhammad Abdul Aziz al-Halawi, Fatwa dan Ijithad Umar Bin Khaththab, diterjemahkan oleh Zubeir Suryadi Abdullah dari Fatawa wa Aqdhiyah Amiril Mu’minin Umar bin al-Khaththab, Surabaya: Risalah Gusti, 2003, hlm. 260-261.
[4] Abd al-Wahhab al-Khallaf, op. cit., hlm. 216.
Share:

Kajian Jarh wal Ta'dil dan Kritik Sanad dan Matan Hadits

A.     Pengertian al-Jarh wa al-Ta’dil
Secara bahasa, kata al-jarh artinya cacat atau luka. Dan kata al-ta’dil artinya mengadilkan.[1] Jadi, kata ilmu al-jarh wa al-ta’dil adalah ilmu tentang kecacatan dan keadilan seseorang.
Sedangkan menurut muhadditsin, jarh adalah menunjukkan sifat-sifat cela rawi sehingga mengangkat atau mencacatkan ‘adalah atau kedhabitannya. Sedangkan ta’dil adalah kebalikan dari jarh. Yaitu menilai bersih terhadap seorang rawi dan menghukuminya bahwa ia ‘adil atau dhabith.[2]
Seseorang dapat dikatakan memiliki sifat adil apabila:
1.      Taqwa : tidak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan maksiat, syirik, fasiq, dan bid’ah.
2.      Muru’ah : membersihkan diri dari segala macam perangai-perangai yang kurang baik.[3]
Sedangkan sifat-sifat yang menggugurkan keadilan seseorang ada lima. Yaitu dusta, tertuduh dusta, fusuq, jahalah, dan menganut bid’ah.[4] Jadi, Ilmu al-jarh wa al-ta’dil ini bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat di terima atau harus di tolak sama sekali. Apabila seorang rawi dinilai oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, periwayatannya harus di tolak dan apabila seorang rawi dipuji sebagai seorang yang adil, niscaya periwayatannya diterima selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadis terpenuhi.

B.     Syarat al-Mujarrih dan al-Muaddil
Adapun syarat bagi orang yang men-jarah-kan dan men-ta’dil-kan yaitu :
1.      Berilmu pengetahuan
2.      Takwa
3.      Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, subhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat)
4.      Jujur
5.      Menjauhi fanatik golongan
6.      Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-tarjih-kan.[5]

C.      Lafal-Lafal al-Jarh wa al-Ta’dil
Lafal-lafal yang digunakan untuk men-tarjih dan men-ta’dil-kan itu bertingkat. Ibnu Hajar menuyusunnya menjadi enam tingkatan sebagai berikut:[6]
Tingkatan pertama, segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan, dengan menggunakan lafal-lafal yang af’alu al-ta’dil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian sejenis :
اوثق الناس, اثبت الناس حفظا وعادلة, اليه المنتهى في الثبت,ثقة فوق ثقه.
Tingkatan kedua, memperkuat ke-tsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat yang menunjukkan keadilan dan kedhabitannya, baik sifatnya yang dihubungkan itu selafal (dengan mengulangnya) maupun semakna. Misalnya: ثبت ثبت, ثقة ثقة, حجة حجة, ثبت ثقة, حافظ حجة, ضابط متقن.
Tingkatan ketiga, menunjukkan keadilan dengan suatu lafal yang mengandung arti kuat ingatan. Misalnya ثبت, متقن, ثقة, حافظ, حجة.
Tingkatan keempat, menunjukkan keadilan dan ke-dhabit-an tetapi dengan lafal yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil. Misalnya :
صدوق, مأمون. لابأس به.
Tingkatan kelima, menunjukkan kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui adanya ke-dhabit-an. Misalnya:
محلة الصدوق, جيد الحديث, حسن الحديث, مقارب الحديث.
Tingkatan keenam, menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat tersebut diatas yang diikuti dengan lafal “insyaallah” atau lafal tersebut di tasghirkan atau lafal tersebut dikaitkan dengan suatu pengharapan, misalnya:
صدوق إنشاءالله, فلان ارجوبأن لابأس به, فلان صويلح, فلان مقبول حديثه.
Kemudian, tingkatan dan lafal-lafal untuk mentarjih rawi-rawi yaitu:[7]
Tingkatan pertama, menunjuk pada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan menggunaan lafal-lafal yang berbentuk af’al al-tafdil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian sejenisnya, misalnya:
اوضع الناس, اكذب الناس, اليه المنتهى في الوضع.
Tingkatan kedua, menunjukkan sangat cacat dengan menggunakan lafal-lafal berbentuk sighat mubalaghah, misalnya: كذاب, وضاع, دجال.
Tindakan ketiga, menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong, atau sebagainya, misalnya:
فلان متهم بالكذب, اومتهم بالوضع, فلان فيه النظر, فلان ساقط, فلان ذاهب الحديث, فلان متروك الحديث.
Tingkatan keempat, menunjukkan sangat lemahnya, misalnya:
مطروح الحديث, فلان ضعيف, فلان مردودالحديث.
Tingkatan kelima, menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya, misalnya:
فلان لايحتج به,فلان مجهول, فلان منكرالحديث, فلان مضطرب الحديث, فلان واه.
Tingkatan keenam, menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tetapi sifat-sifat itu berdekatan dengan adil. Misalnya
ضعف حديثه, فلان مقال فيه, فلان فيه خلف,فلان لين, فلان ليس بالحجة, فلان ليس بالقوي.
D.     Pertentangan antara jarh dan ta’dil
Apabila terdapat perlawanan atau ta’arudh antara jarh dan ta’dil pada seorang rawi, yakni sebagian ulama’ men-ta’dil-kan dan sebagian ulamak lain men-tarjih-kan terdapat beberapa pendapat:
1.      Jarh di dahulukan secara mutlak walaupun muaddilnya lebih banyak dari pada jarh-nya. Sebab bagi jarih mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh muaddil dan kalau jarih dapat membenarkan muaddil tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja.
2.      Ta’dil di dahulukan dari jarh, karena dalam mengabaikan rowi kurang tepat dalam hal sebab pencacatannya apalagi kalau dipengaruhi rasa benci. Sedang muaddil tidak serampangkan men-ta’dil-kan seseorang.
3.      Ta’dil didahulukan jika jumlah muaddil lebih banyak dari pada jarih-nya. Lebih banyak dipandang lebih kuat.
4.      Tetap dalam ta’arudh bila tidak ditemukan yang merajihkan.[8]
Adapun pendapat yang shahih adalah yang dikutip oleh al-Khatib al-Baghdadi dari jumhur ulama’ dan disahkan oleh Ibnu al-Shalah dan Muhaddis yang lain serta sebagian ulama’ ushul. Mereka berkata bahwa jarh di dahulukan atas ta’dil meskipun yang men-ta’dil-kan itu lebih banyak. Ini karena orang yang menta’dil hanya memberitakan karakteristik yang tampak baginya, sedangkan orang yang men-jarh memberitakan karakteristik yang tidak tampak dan samar bagi orang yang men-ta’dil.[9] Akan tetapi, kaidah الجرح مقدم على التعديل ini tidak menunjukkan kemutlakan harus di dahulukannya jarh. Kita dapatkan kadang-kadang mereka mendahulukan ta’dil atas jarh dalam banyak kesempatan.

E.      Kritik Sanad
Penelitian sanad merupakan penelitian atau kritik yang hanya dilakukan terhadap sanad. Di sini sanad diartikan sebagai jalur yang menyampaikan kepada sumber riwayat, terdiri dari sekumpulan perawi yang masing-masing mengambil riwayat dari perawi sebelumnya dan menyampaikannya kepada perawi setelahnya sampai kepada orang yang men-takhrij hadis (mukharrij).[10] Jadi, kritik sanad dapat dipahami sebagai upaya meneliti satu persatu perawi atau periwayat yang terlibat dalam jalur periwayatan hadis, meliputi kualitas pribadi periwayat (‘adalah), kapasitas intelektualnya (dhabith), serta persambungan sanadnya (ittishal al-sanad).
Obyek studi kritik sanad / naqd al-sanad difokuskan pada 3 komponen sebagai berikut :
1.      Nama-nama periwayat yang terlibat dalam periwayatan hadits serta biografinya.
2.      Tata cara periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat dalam meriwayatkan hadits, seperti sami’tu, akhbaroni, an, anna dan lain-lain.
3.      Kualitas para periwayat dengan memberikan penilaian terhadap para periwayat tersebut, dilengkapi dengan komentar para kritikus terhadap kebenaran para periwayat, berdasarkan kehidupan dan karakter mereka.[11]
Dengan melakukan penelitian terhadap obyek diatas, maka akan dapat diketahui apakah kredibilitas para periwayat dalam hadis tersebut diakui dan apakah istilah-istilah yang digunakan dalam menerima dan menyampaikan hadis atau yang lazim dikenal dengan adat at-tahammul wa al-ada’[12]nya menunjukkan bahwa itu otentik hadis Nabi.
Untuk mengetahui sumber dan kualitas suatu hadis, terlebih dahulu uraian perlu membahas takhrij, yang menjelaskan asal usul sumber hadis berikut proses menilai kualitas hadisnya.
Yang dimaksud takhrij adalah penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadis yang bersangkutan, yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadis yang bersangkutan.[13] Dari takhrij di sini, suatu hadis dapat diketahui asal usulnya, di kitab apa saja hadis dimuat dan diriwayatkan melalui jalur sanad siapa.     
Adapun metode takhrijul hadits ada dua macam, yaitu:
a.       Metode Takhrijul Hadits bil Lafzi.
Yaitu metode penelusuran hadis melalui lafal.  Penelusurannya menggunakan kitab kamus hadis yang disusun oleh Tim Dr. A.J. Wensink, yang sekarang sudah ditahqiq ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi dengan judul al-Mu’jam al-Mufahras Li al-Fadz al-Hadis al-Nabawi. Kitab ini mampu memberi informasi kepada pencari matan dan sanad hadis, sepanjang sebagian dari lafal matan yang dicarinya itu telah diketahui.
b.      Metode Takhrijul Hadits bil maudlu’.
Metode ini adalah penelusuran hadits melalui topik masalah. Kitab kamus yang digunakan adalahمفتاح كنوز السنة  yang juga susunan dari Dr.A.J. Wensinck dkk.
Penelitian sanad ini dilakukan untuk mengetahui kualitas nilai sanad suatu hadis. Setelah memperoleh hasil takhrij, Berikut langkah-langkah selanjutnya:
1.      Melakukan i’tibar sanad atau meneliti riwayat rawi dari sanad lain. Hal ini dilakukan untuk mengetahui adanya rawi yang bersatatus penguat atau tidak. Biasanya dikenal dengan istilah syahid/syawahid (apabila dari kalangan sahabat) dan tabi’/tawabi’ (apabila dari kalangan yang bukan sahabat). Untuk mempermudah proses ini, hasil i’tibar sanad disajikan dalam bentuk skema.
Dalam pembuatan skema, ada tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian, yakni pertama, jalur seluruh sanad, kedua, nama-nama periwayat untuk seluruh sanad, ketiga, metode periwayatan yang digunakan oleh masing – masing periwayat.[14]
Dalam penentuan syawahid dan tawabi’, yang perlu diperhatikan adalah berkaitan dengan thabaqatur-ruwat[15]. Yaitu hal-hal, martabat-martabat atau derajat-derajat bagi para rawi. Dan yang dimaksud dalam ilmu hadits adalah persamaan beberapa rawi dalam satu urusan. Yang dikatakan urusan itu ada bermacam-macam, diantaranya:
a)     Bersamaan hidup dalam satu masa
b)     Bersamaan tentang umur, (kurang lebih)
c)      Bersamaan tentang menerima hadits dari syaikh-syaikh
d)     Bersamaan tentang bertemu syaikh.[16]
2.      Meneliti kualitas dan persambungan masing-masing perawi yang terlibat dalam jalur periwayatan hadis.
Dalam proses ini, peneliti dapat menelusuri pribadi perawi melalui kitab-kitab rijal hadis yang telah dihasilkan para ulama’ hadits sebelumnya atau yang biasa disebut Kutub Al-Rijal. Antara lain :
a.       Tahdzib Al-Kamal, karangan Al-Mizzy (-742H)
b.      Tahdzib At-Tahdzib, karangan Adz-Dzahaby (-748h)
c.       Al-Kaasyif Fi Ma’rifat Manlahu Riwayah Fi Kutubissittah, karangan Adz-Dzahaby.
d.      Tahdzib At-Tahdzib, karangan Ibnu Hajar Al-Asqalany (-852)
e.       Taqrib At-Tahdzib, karangan Ibnu Hajar Al-Asqalany
f.        Khulashot Tahdzib Tahdzib Al-Kamal, karangan Al-Khozrojy.[17]
Kitab-kitab di atas memaparkan nama lengkap perawi atau periwayat, kunyah dan laqabnya, nasab, thabaqat, guru dan murid perawi, serta penilaian ulama’ ahli hadis terhadap kualitas pribadi (‘adil) dan kapasitas intelektual (dhabith) periwayat.
Dalam rangka mempermudah proses ini, hasil penelusuran melalui kutub al-rijal dapat disajikan dalam bentuk tabel. Sehingga identifikasi terhadap kualitas dan ketersambungan masing-masing perawi dapat dilakukan dengan lebih cepat dan mudah.
3.      Meneliti metode periwayatan yang digunakan dalam menerima dan menyampaiakan hadis atau yang lazim dikenal dengan adat at-tahammul wa al-ada’. Ulama’ hadis telah menetapkan berbagai istilah atau kata-kata atau harf tertentu untuk menghubungkan periwayat dengan periwayat lain yang terdekat dalam sanad. Kata-kata atau pernyataan yang dipakai dalam periwayatan dapat dilihat di tabel (terlampir).
Menurut ilmu hadits, terdapat delapan cara atau bentuk periwayatan hadits. Yaitu:
a.       Sama’. Yaitu murid menghadiri kuliah seorang ahli hadits. Periwayatan hadits secara sederhana atau diikuti oleh pengimlaan (pendektean) baik dari hafalan atau catatan berupa buku dan lain-lain.
b.      Qira’ah. Yaitu murid membacakan hadits-hadits yang telah ia kumpulkan kepada guru hadits.
c.       Ijazah. Yaitu mendapat izin atau ijazah dari seorang ulama’ untuk menyampaikan atau meriwayatkan hadits yang telah dikumpulkan oleh ulama’ tersebut.
d.      Munawalah. Yaitu mendapat kumpulan hadits sekaligus izin dari si pengumpulnya untuk menyebarkan isinya kepada orang lain.
e.       Mukatabah. Yaitu menerima hadits-hadits secara tertulis dari seorang ulama’, baik secara langsung maupun melalui surat menyurat, dengan atau tanpa izin dari ulama’ tersebut untuk menarasikannya kepada orang lain.
f.        I’lam ar-rawi. Yaitu pernyataan seorang ulama’ hadits kepada seorang murid bahwa ia menerima sejumlah hadits tertentu atau buku-buku dari seorang otoritas tertentu, tanpa memberi izin kepada sang murid untuk meriwayatkan materi-materi tersebut.
g.       Washiyah. Yaitu memperoleh karya-karya seorang ulama’ hadits atas kehendaknya sendiri, pada saat ia meninggal.
h.      Wijadah. Yaitu menemukan sejumlah hadits tertentu dalam sebuah buku, mungkin setelah seorang ulama’ hadits meninggal, tanpa menerimanya dengan otoritas yang diakui.[18]
4.      Membuat natijah/kesimpulan.
Setelah langkah diatas selesai dilakukan, dapat ditarik sebuah kesimpulan untuk mengetahui kualitas nilai sanad hadis. Adapun, unsur-unsur kesahihan sanad hadis adalah:
a.       Sanad bersambung
b.       Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil
c.       Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith
d.       Sanad hadis terhindar dari syudzudz
e.       Sanad hadis terhindar dari illat.[19]

F.      Kritik Matan
Proses penelitian matan memiliki sasaran matan hadis.  Menurut Musfir al-Damini, matan hadis adalah kata-kata hadis yang dengannya terbentuk makna-makna, dan matan ini senantiasa terletak setelah ujung terakhir sanad.[20] Melalui kritik matan, kualitas nilai matan suatu hadis dapat diketahui.
Dibandingkan kritik sanad, kegiatan kritik matan memiliki tingkat kesulitan yang lebih besar. Adapun faktor-faktor yang menonjol penyebab sulitnya penelitian matan hadis adalah:
1.      Adanya periwayatan secara makna
2.      Acuan yang digunakan sebagai pendekatan tidak satu macam saja
3.      Latar belakang timbulnya petunjuk hadis tidak selalu mudah dapat diketahui
4.      Adanya kandungan petunjuk hadits yang berkaitan dengan hal-hal yang berdimensi supra rasional
5.      Masih langkanya kitab-kitab yang secara khusus membahas penelitian matan hadits.[21]
Meskipun demikian, Dr. Syuhudi Ismail mencoba mengajukan langkah-langkah metodologis kegiatan penelitian matan hadits sebagai berikut:
a.       Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya.
b.      Meneliti susunan lafal berbagai matan yang semakna
c.       Meneliti kandungan matan. [22]
Dengan kritik matan ini, kesalahan yang dibuat oleh seorang perawi dapat dikontrol dan penilaian seorang kritikus terhadap sebuah hadis dapat diferivikasi.[23] Unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu matan yang berkualitas shahih ada dua macam, yakni terhindar dari syuzuz (kejanggalan) dan terhindar dari illah (cacat).[24]  Para ulama’ hadis memberikan tanda-tanda tolok-ukur bagi matan hadis yang shahih.
Tolok-ukur penelitian matan yang dikemukakan oleh ulama’ tidak seragam. Salah satu versi tentang kaidah – kaidah yang harus diletakkan untuk kritik matan menurut Al-siba’i Adalah sebagai berikut[25] :
1)     Matan tidak boleh mengandung kata-kata yang aneh yang tidak pernah diucapkan oleh seorang ahli retorika atau penutur bahasa yang baik.
2)     Tidak boleh bertentangan dengan pengertian-pengertian rasional yang aksiomatik, yang sekiranya tidak mungkin ditakwilkan.
3)     Tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah umum dalam hukum dan akhlaq.
4)     Tidak boleh bertentangan dengan indera dan kenyataan.
5)     Tidak boleh bertentangan dengan hal yang aksiomatik dalam kedokteran dan ilmu pengetahuan.
6)     Tidak mengundang hal-hal yang hina, yang agama tertentu tidak membenarkannya.
7)     Tidak bertentangan dengan hal-hal yang masuk akal dalam prinsip-prinsip kepercayaan tentang sifat Allah dan para Rasulnya.
8)     Tidak bertentangan dengan sunnatulloh dalam alam dan manusia.
9)     Tidak mengandung hal-hal yang tak masuk akal yang dijauhi oleh mereka yang berpikir.
10)Tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an atau dengan sunnah yang mantap, atau yang sudah terjadi ijma’ padanya, atau yang diketahui dari agama secara pasti, yang sekiranya tidak mengandung kemungkinan takwil.
11)Tidak boleh bertentangan dengan kenyataan-kenyataan sejarah yang diketahui dari zaman nabi Muhammad SAW.
12)Tidak boleh bersesuaian dengan madzhab rawi yang giat mempropagandakan madzhabnya sendiri.
13)Tidak boleh berupa berita tentang peristiwa yang terjadi dengan kesaksian sejumlah besar manusia kemudian seorang rawi hanya dia seorang yang meriwayatkannya.
14)Tidak boleh timbul dari dorongan emosional yang membuat rawi meriwaytakannya.
15)Tidak boleh mengandung janji berlebihan dalam pahala untuk perbuatan kecil, atau berlebihan dalam ancaman yang keras untuk perkara yang sepele.
Menurut Al-Khatib Al- Baghdadi (wafat 463h/1072 M), suatu matan hadis barulah dinyatakan maqbul (yakni diterima karena berkualitas shahih), apabila:
a)      Tidak bertentangan dengan akal yang sehat.
b)     Tidak bertentangan dengan hukum Al-Qur’an yang telah muhkam.
c)      Tidak bertentangan dengan hadits mutawattir.
d)     Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama’ masa lalu (ulama’ salaf).
e)      Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti
f)       Tidak bertentangan dengan hadits ahad yang kualitas kesahihannya lebih kuat.[26]
Kaidah yang diletakkan untuk kritik matan menurut Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Tsabit adalah[27]
1.      Tidak bertentangan dengan rasio
2.      Tidak bertentangan dengan al-Qur’an
3.      Tidak bertentangan dengan sunnah mutawatirah
4.      Tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang berdasarkan sunnah mutawatirah
5.      Tidak bertentangan dengan dalil-dalil qath’i.
Dari kutipan di atas, setelah kita melakukan penelitian terhadap matan dengan menatap matan tersebut dari salah satu sudut pandang di atas, maka kondisi matan dapat dilihat secara jelas. Dari sudut pandang itulah, akhirnya suatu matan hadis dapat ditarik kesimpulannya.
Setelah langkah di atas selesai, sebagai hasil penelitian dapatlah ditarik suatu kesimpulan penelitian hadis (natijah). Apabila matan yang diteliti ternyata shahih dan sanadnya juga shahih, maka dalam natijah disebutkan bahwa hadis yang diteliti berkualitas shahih. Apabila matan dan sanadnya berkualitas dhaif, maka dalam natijah disebutkan bahwa hadis yang diteliti berkualitas dhaif. Apabila matan dan sanad berbeda kualitasnya, maka perbedaan tersebut harus dijelaskan.[28]
Kualitasnya dapat dinyatakan dengan menyebutkan kualitas sanad dan matannya masing-masing. Apabila sanad hadisnya hasan dan matan hadisnya shahih, maka dalam natijah disebutkan bahwa hadis yang diteliti berkualitas hasan shahih (hasan al-isnad dan shahih al-matan). Hal-hal tersebut dapat dijadikan pertimbangan dalam rangka menarik suatu kesimpulan dari suatu aktivitas penelitian hadis.



[1] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), hlm. 112.
[2] Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), hlm. 84.
[3] Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 229.
[4] Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits ..., hlm. 230.
[5]Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis ..., hlm. 162.
[6]Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis ..., hlm. 164-165.
[7]Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis ..., hlm. 166-167.
[8]Endang Soetari, Ilmu Hadits ..., hlm. 206.
[9]Nuruddin, Ulumul Hadis, (Bandung: PT. Remaja Rosada Karya, 2012), hlm. 92.
[10]Umma Farida, Paradigma Periwayatan dan Kritik Matan Hadis Perspektif Jamal al-Banna, (Yogyakarta: Idea Press, 2009), hlm. 59.
[11]Umma Farida, Naqd Al-Hadits, (Kudus: STAIN Kudus, 2009), hlm. 30
[12]Tahammul berarti mengambil atau menerima hadits dari seorang guru dengan metode tertentu. Sedangka ada’ berarti meriwayatkan hadits dan menyampaikannya kepada orang lain dengan menggunakan bentuk kata tertentu. Jadi, tahammul wa ada’ al-hadits adalah proses periwayatan hadits, baik menerima atau menyampaikannya secara sengaja dengan menggunakan teori dan metode tertentu demi terpeliharanya hadits. Lihat Muhammadiyah Amin, Ilmu Hadits, (Gorontalo: Sultan Amai Press, 2008), hlm. 87.
[13]Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), hlm. 43.
[14]M Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi ..., hlm. 52.
[15]Thobaqot dapat diartikan dengan kelompok beberapa orang yang hidup dalam satu generasi atau satu masa dan dalam periwayatan atau isnad yang sama atau sama dalam periwayatan saja. Maksud berdekatan dalam isnad adalah satu perguruan atau satu guru atau diartikan berdekatan dalam berguru. Jari, para gurunya sebagian periwayat juga menjadi para gurunya sebagian periwayat yang lain. Lihat Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 109.
[16]Ahmad Qadir Hassan, Ilmu Mustholah Hadits, (Bandung: Diponegoro, 2007), hlm. 391.
[17]Mahmud Al-Tohhan, Dasar-Dasar Ilmu Takhrij Dan Studi Sanad, (Semarang: Dina Utama, 1995), hlm. 164.
[18]Phil. H. kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadits, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2009), hlm. 22-23.
[19]Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1955), hlm. 126.
[20]Umma Farida, Paradigma Periwayatan dan Kritik Matan Hadis Perspektif Jamal al-Banna ..., hlm. 59.
[21]Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadits Nabi, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 69.
[22]M Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi ..., hlm.121-122.
[23]Phil. H. Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadits, (Jakarta: Hikmah, 2009), hlm. 57.
[24]M.Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi …, hlm. 124.
[25]Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 204-206.
[26]Salahuddin Bin Ahmad Al-Adlabi, Manhaj Naqdil Matan, (Beirut: Dar Al-Afaq Al-Jadidah, 1983), hlm. 126.
[27]Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Tsabit, Al-Kifayah fi Ilm al-Riwayah, (Madinah: Maktabah al-Ilmiyah, tth), hlm. 432.
[28]Umma Farida, Naqd al-Hadis ..., hlm. 206.


Share:

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Archives

Makalah

Info

Opini