Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Mewaspadai Adu Domba di Tahun Pilkada

Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) telah menetapkan, bahwa tanggal pencoblosan Pilkada Serentak 2018 akan dilakukan pada tanggal 27 Juni 2018.
Di tahun politik ini, ada 171 daerah yang mengikuti Pilkada 2018. Dari 171 daerah tersebut, ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten yang akan menyelenggarakan Pilkada di 2018. Beberapa provinsi di antaranya adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan daerah yang lain.

Pemilihan bupati, walikota dan gubernur itu sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Namun sudah menjadi rutinitas yang selalu dilakukan setiap 5 tahun. Tujuannya tidak lain untuk memilih pemimpin yang terbaik dari calon-calon yang "baik". Agar bisa melanjutkan estafet pemerintahan ke depan yang lebih baik pula (jangan lupa nanti pilihlah calon yang bener-bener berkualitas dengan cara mengetahui perjalanan hidup dari masing-masing calon).
Share:

Metode Tarjih dalam Memahami Mukhtaliful Hadits

METODE TARJIH

1.  Pengertian Metode Tarjih
Secara bahasa, tarjih ترجح  berarti mengeluarkan. Konsep ini muncul ketika terjadinya pertentangan secara lahir antara satu dalil dengan dalil yang lainnya yang sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan cara al-jam’u wa al-taufiq. dalil yang dikuatkan disebut dengan rajih, sedangkan dalil yang dilemahkan disebut marjuh.[1]
Metode tarjih (mengunggulkan salah satu hadis dari hadis yang berlawanan maksudnya), dalam metode ini harus disertai dengan pengetahuan faktor-faktor pengunggul (wujuh al-tarjih). Dan jika metode ini tidak dapat ditempuh maka sebagai alternatif adalah al-tawaquf (ditangguhkan) dan lebih dahulu terus dilakukan pengkajian terhadap hadis-hadis yang kontroversial sehingga statusnya dapat meningkat apakah dapat ditarjih atau dinasakh.
Adapun yang dimaksud tarjih sebagaimana dirumuskan oleh para ulama adalah membandingkan dalil-dalil yang tampak bertentangan untuk dapat mengetahui manakah di antaranya yang lebih kuat dibandingkan dengan lainnya. Mentarjihkan salah satunya dengan segala jalan tarjih ditempuh bila usaha menjama’ atau menasakhkan tidak berhasil.[2] Tarjih merupakan jalan terakhir yang ditempuh untuk menyelesaikan problema hadits mukhtalif setelah menempuh jalan al-jam’u dan jalan nasakh. Tarjih merupakan jalan terakhir dilakukan sebelum Tawaqquf.[3]



2.  Macam-Macam Tarjih
Menurut para ulama’ ushul fiqih, cukup banyak metode yang bisa digunakan untuk mentarjihkan dua dalil yang bertentangan apabila tidak mungkin dilakukan melalui cara at-jam’u baina at-ataufiq dan nasakh. Namun cara pentarjihan tersebut dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu :[4]
a.    Tarjih bain al-Nushush (النصوص بين الترجح)
Untuk mengetahui kuatnya salah satu dari nash yang saling bertentangan, ada beberapa cara yang dikemukakan para ulama’ ushul fiqh, yaitu dari sisi sanadnya, matannya, dari segi hukum yang dikandung dalam nash, dan pentarjihan dengan menggunakan faktor dalil lain di luar nash.
1)    Tarjih ditinjau dari segi sanad
a)    Hendaklah dipilih sanad yang banyak rowinya dari pada yang sedikit.
b)    Hendaklah dipilih rowi-rowinya yang ahli fiqh dari pada yang bukan.
c)    Hendaklah dipilih rowi-rowi yang banyak  hafalannya.
d)    Hendak dipilih rowi yang ikut serta dalam sesuatu kejadian yang diceritakannya karna ia lebih mengetaui.
e)    Hendaklah dipilih hadis atau riwayat yang diceritakan.
f)     Hendaknya dipilih rowi-rowi yang banyak bergaul dengan Nabi saw.

2)    Tarjih ditinjau dari segi matan hadis
Untuk memilih mana matan yang lebih kuat dari pada lainnya, ada beberapa jalan sebagai berikut:
a)    Hendaklah dipilih mana matan yang bermakna hakikat dari pada majaz.
b)    Hendaklah memilih yang isinya khash dari pada yang umum.
c)    Hendaklah dipilih yang menunjukkan pada maksud dua jalan daripada satu jalan.
d)    Hendaklah mendahulukan yang mengandung larangan dari pada suruhan.
e)    Hendaklah mendahulukan yang mengandung perinyah dari pada kebolehan.
f)     Hendaklah mendahulukan yang mengandung isyarat hukum dari pada tidak.

3)    Tarjih ditinjau dari segi isi hadis
a)    Mendahulukan isi yang mendekati ihtiath (berhati-hati).
b)    Mendahulukan yang menetapkan hukum dari pada yang meniadakannya.
c)    Mendahulukan yang mengandung membatalkan hukuman had (yang tertentu) dari pada yang menetapkannya.
d)    Mendahulukan yang hukumnya ringan dari pada yang berat.
e)    Mendahulukan yang menetapkan hukum ashal atau bara’ah ashliyah.
4)    Tarjih ditinjau dari segi hal-hal diluar hadis.
a)    Didahulukan hadis yang dibantu oleh dalil lain.
b)    Didahulukan hadis qouliyah dari pada fi’liyah
c)    Didahulukan hadis riwayat yang lebih menyerupai dhahir Qur’an.

b.    Tarjih bain al-Aqyisah (الأقيسة بين الترجح )
Imam al-Syaukani mengemukakan tujuh belas macam pentarjihan dalam persoalan qiyas yang saling bertentangan, namun Wahbah Zuhaily meringkasnya menjadi:
1)  Dari segi hukum asal, yaitu dengan menguatkan qiyas yang hukum asalnya qath’i dari qiyas yang hukum asalnya bersifat zhanni, karena yang qath’i lebih kuat dari pada yang zhanni. Lalu yang selanjutnya menguatkan landasan dalilnya adalah ijma’ dari qiyas yang landasan dalilnya nash, karena nash bisa di takhsis, di ta’wil dan di nasakh. Sedanglan ijma’ tidak bisa di khususkan, dita’wilkan dan dibatasi.
2)  Dari segi hukum  furu’ (cabang), yaitu dengan menguatkan hukum furu’ yang kemudian dari asalnya (qiyas) yang hukum furu’nya lebih dahulu dari hukum asalnya, kemudian juga dikuatkan hukum furu’ yang illat nya diketahui secara qath’i dari hukum furu’ yang illat nya bersifat zhanni.
3)  Dari segi illat, yaitu salah satunya dengan menguatkan illat yang disebutkan dalam nash atau illat yang disepakati dari illat yang tidak disebutkan dalam nash atau tidak disepakati keberadaannya sebagai illat, dan lain-lain.
4)  Pentarjihan qiyas melalui faktor luar, yaitu dengan menguatkan qiyas yang didukung oleh sejumlah illat dari qiyas yang hanya didukung satu illat. Lalu yang selanjutnya harus dikuatkan qiyas yang didukung oleh fatwa sahabat.[5]

3.  Contoh Penerapan Hadits Mukhtalif dengan Metode Tarjih
Meringkas dari karya Zuhad, contoh penerapan metode tarjih yaitu tentang buang kotoran orang Arab di Masjid. Abu Daud dalam Sunan kitab Thaharah, meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa seorang Arab buang kotoran di Masjid, lalu Rasulullah saw bersabda:[6]
صبوا عليه سجلا من ماء اوقال ذنوبا من ماء
Tuangkan atau siramkan padanya (bekas baul) satu timba atau ember air, atau timba yang penuh berisi air.

خذوا ما بال عليه من التراب فألقوه وأهريقوا على مكانهه ماء
Ambillah debu atau lemah yang dipakai buang kotoran kemudian lemparkan, lalu tuangkan atau tumpahkan air pada tempat itu.

Kata Ibnu Qutaibah bahwa perbedaan yang terjadi dalam teks di atas disebabkan oleh periwayatan perawi. Hadits Abu Hurairah dinilai lebih shahih dibanding hadits Abdullah Ibn Ma’qal, karena Abu Hurairah waktu itu menyaksikan sendiri peristiwa itu dan hadir dalam majelis serta melihat langsung. Sementara Abdullah Ibn Ma’qal tidak termasuk jajaran sahabat dan bukan orang yang pernah berjumpa dengan Nabi. Oleh sebab pernyataan Abdullah Ibn Ma’qal tidak sebanding perkataan orang-orang yang hadir itu dan menyaksikan peristiwa secara langsung. Ayah Abdullah Ibn Ma’qal, yaitu Ma’qal Ibn Muqarran Abu Amarah al-Muzanni termasuk yang meriwayatkan dari Nabi. Sementara Abdullah, anaknya tidak diketahui ia meriwayatkan dari Nabi.[7]
Contoh lain penerapan metode tarjih yaitu permasalahan Shalat Dhuha. Imam Bukhari meriwayatkan hadits Aisyah:[8]
ما رأيت رسول لله سبحّ سبحة الضحى وإنى لأسبحها

Saya tidak melihat Rasulullah melakukan shalat tasbih atau sunat dhuha, aku pasti akan melakukannya (shalat sunat itu).

Imam Muslim meriwayatkan dari jalur Syaqiq dari Aisyah:
أكان النبى ص.م يصلى الضحى قالت لا, إلا ان يجئ من مغيبة

Apakah Nabi melakukan shalat dhuha? katanya: tidak, kecuali jika beliau datang dari ketidakhadiran atau pergi

Kemudian Imam Muslim dari jalur Mu’adzah dari Aisyah:

انها سألت عائسة كم كان رسول الله يصلى صلاة الضحى قالت اربع ركعات ويزيد ماشاء
Ia bertanya kepada ‘Aisyah, berapa rakaat Rasulullah melaksanakan shalat dhuha? ia berkata: empat rakaat dan menambah sesuai kehendaknya.

Hadits pertama menafikan atau meniadakan secara mutlak penyaksian Aisyah terhadap Nabi dalam melakukan shalat dhuha. Pada hadits kedua pembatasan peniadaan penyaksian Aisyah terhadap shalat dhuha Nabi, selain kedatangan beliau bepergian (ketidakhadiran). Dan pada hadits ketiga penetapan secara mutlak tindakan Nabi melakukan shalat dhuha.
Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi riwayat-riwayat di atas. Mayoritas ulama dan Ibn Abdil Barr cenderung menguatkan atau merajihkan hadits yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim, selain yang diriwayatkan Muslim sendirian. Mereka berkata, ketiadaan penyaksian Aisyah terhadap shalat dhuha yang dilakukan oleh Nabi, tidak mengharuskan tidak terjadinya peristiwa shalat dhuha itu. Oleh sebab itu, maka lebih didahulukan periwayatan yang menetapkan adanya shalat dhuha. Sementara ulama yang lain lebih suka melakukan kompromi.Al-Baihaqi berkata, bahwa maksud perkataan “ma raituhu sabbaha” artinya terus-menerus dilakukannya. Dan perkataannya “wa ini lausabbihuha” artinya akan melaksanakan terus-menerus. Ada kemungkinan yang dinafikan Aisyah tentang shalat dhuha yang dikenal saat itu dengan gerakan (hai’ah) tertentu, bilangan tertentu, pada waktu yang tertentu pula. Dan bahwa Nabi melaksanakan shalat dhuha jika beliau kembali dari bepergian, tidak dengan hitungan tertentu dan lainnya, sebagaimana ia nyatakan “beliau shalat empat rakaat dan menambah menurut kehendaknya.”[9]





[1] Nasroen Haroen, Ushul Fiqh I, Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 1997. Hlm. 195.
[2]Ali Hasballah, op.cit., Hlm. 236.
[3] Daniel juned, op.cit., Hlm. 102-103
[4] Moh. Rifa’, usul fiqih, Bandung:  PT. al-Ma’arif, 1973, hlm. 157.
[5] Moh. Rifa’,loc.cit.
[6] Zuhad, op.cit., Hlm. 85-56.
[7] Zuhad, loc.cit.
[8] Zuhad, op.cit., Hlm. 99.
[9] Zuhad, op.cit., Hlm. 100.
Share:

Metode Nasikh dan Mansukh dalam Memahami Mukhtaliful Hadits

METODE NASAKH DAN MANSUKH

1.  Pengertian Metode Nasakh dan Mansukh
Secara etimologi kata Nasikh adalah bentuk isim fa’il, dari madli نسخ yang mempunyai beberapa makna, yaitu الإزا لة  (meng-hilangkan) seperti kata نسخت الشمس الظلّ  (mata hari itu menghilangkan naunganya). Dan النقل (memindahkan) seperti kaliamat نسخت الكتاب  (aku memindahkan apa yang ada di dalam buku). Jadi Nâsikh itu menghilangkan yang mansukh atau memindakannya pada yang lain.[1] Sedangkan mansukh adalah hukum yang di angkat atau dihapuskan.
Sedangkan menurut istilah, nasakh berarti mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) syara’ yang lain. Adapun yang dimaksud dengan nasakh dalam hal ini adalah meneliti sejarah datangnya kedua hadits yang terjadi ta’arudh tersebut untuk ditetapkan yang datang kemudian sebagai nasikh (penghapus) terhadap yang datang lebih dahulu.[2]
Nasakh berarti diangkatnya suatu hukum syar’î yang telah lalu dengan dalil nash yang datang kemudian yang disertai dengan tenggang waktu antara keduanya. Atau dengan kata lain, naskh adalah pembatalan suatu ketentuan dengan ketentuan lain yang datang kemudian.[3]
Penyelesaian dalam bentuk ini dilakukan apabila tidak dapat dicapai kompromi antara hadits-hadits yang bertentangan. Ada beberapa indikator yang menunjukkan bahwa suatu hadits telah menasakh hadits yang lain, di antaranya adalah:[4]
a.    Adanya penjelasan dari Rasulullah bahwa suatu hadits itu telah dinasakh.
b.    Adanya petunjuk dari sahabat tentang hadits-hadits yang dinasakh.
c.    Telah diketahui tarikhnya.
d.    berdasarkan dalil Ijma’.

2.    Cara Mengetahui Nasakh Mansukh
Nasakh dapat diketahui melalui beberapa hal berikut:[5]
a.    Ditetapkan dengan tegas oleh Rasulullah SAW, seperti hadits ;
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ أَلاَ فُزُوْرَهَا
“semula aku melarangmu untuk berziarah ke kubur, tetapi (sekarang) berziarahlah “.

b.    Melalui pemberitahuan seorang sahabat, seperti hadits Jabir bin Abdullah r.a. ia berkata :
كَانَ اخِرَ الامْرَيْنِ مِنْ رَسُوْلِ اللَّهِ ص.م. تَرْكَ الْوُضُوْءِ مِمَّا مَسَّتِ النّأرُ
“dua perintah terakhir Rasulullah SAW adalah tidak perlu berwudhu karena memakan makanan yang tersentuh api”. (HR. Abu Dawud dan al Nasa’i )

c.    Melalui fakta sejarah, seperti hadits Syidad bin ‘Aus dan lainnya yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ        
“orang yang melakukan bekam dan orang yang dibekam batal puasanya”     

Dan hadits Ibnu Abbas r.a. ia berkata :
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ احْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ
“sesungguhnya Rasulullah SAW berbekam, padahal beliau sedang berpuasa “.

Dengan demikian, jelas bahwa hadits yang pertama hadits Syidad itu terjadi pada masa-masa penaklukan kota Makkah, yaitu pada tahun 8 Hijriyah dan hadits kedua hadits Ibnu Abbas terjadi pada waktu Haji Wada’, yaitu pada tahun 10 Hijriyah. Jadi, hadits yang kedua merupakan Nasikh bagi hadits yang pertama.

3.    Contoh Penerapan Metode Nasakh Mansukh dalam hadits Mukhtalif
Beberapa contoh hadits yang nasakh dan mansukh adalah tentang ziarah kubur. Sebagaimana yang diriwayatkan Abu Hurairah:[6]
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال رسول الله ص.م لعن الله زوّرات القبور
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a bahwa: Rasulullah SAW bersabda: Allah melaknat para perempuan berziarah kubur. (Turmidzi).

Hadits tersebut di mansukh oleh hadits berikut:

عن بريدة قال قال رسول الله ص.م قد كنت نهيتكم عن زيارة القبور فقد أذن لمحمّد في زيارة قبر أمّه فزوروها فإنّها تذكّر الآخرة

Diriwayatkan dari Buraidah, bahwa: Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya aku pernah melarang kalian ziarah kubur, sungguh telah diizinkan bagi Muhammad untuk menziarahi kubur ibunya. Maka sekarang ziarah kuburlah, sebab dengan ziarah kubur itu akan membangkitkan kesadaran akan kehidupan akhirat. (Turmidzi).

Ulama’ ahli hadits berpendapat bahwa larangan berziarah bagi perempuan itu sebelum adanya rukhshah (kemurahan atau kebolehan) untuk melakukan ziarah kubur. Setelah Rasulullah saw membolehkan untuk berziarah kubur, maka kebolehan itu berlaku secara umum bagi laki-laki dan perempuan. Sebagian ulama’ ada yang memandang makruh ziarah kubur bagi perempuan, dan mereka berkata bahwa kemakruhan ziarah kubur bagi perempuan itu disebabkan karena mereka kurang sabar dan banyak kegelisahannya.[7]
Dari hadis di atas diketahui juga bahwa dahulu hukum ziarah kubur itu dilarang, kemudian diperbolehkan, setelah adanya perintah Rasulullah saw, bahkan dalam riwayat yang kedua  Nabi menyebutkan sisi positif ziarah kubur yakni karena di dalam ziarah kubur banyak pelajaran yang bisa diambil, juga karena mengingatkan kematian.
Contoh lain tentang penerapan metode nasakh dan mansukh dalam hadits mukhtalif yaitu tentang hukum bekam:[8]

حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ مُحَمَّدٍ الرَّقِّيُّ وَدَاوُدُ بْنُ رَشِيدٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُعَمَّرُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بِشْرٍ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ
Dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang yang membekam dan yang dibekam semuanya batal"

Kemudian hadis di atas dinasakh dengan hadist yang muncul selanjutnya, yaitu:

كَانَ أَحَبَّ إِلَيَّ وَلَوْ احْتَجَمَ صَائِمٌ لَمْ أَرَ ذَلِكَ أَنْ يُفْطِرَهُ
“Jika orang yang berpuasa berhati-hati dan tidak berbekam itu lebih aku sukai, akan tetapi jika dia berbekam menurutku hal itu tidak membatalkan puasa”





Hadist ini juga diperkuat dengan hadist berikut, Hadis Ibnu Abbas r.a. ia berkata:
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ احْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ
“sesungguhnya Nabi saw berbekam, padahal beliau sedang berpuasa.






[1] Mahmud ath-Thakhan, op.cit., Hlm. 46.
[2]Ali Hasballah, Ushul al-Tasyri’ al-Islamy, Kairo: Darrul Ma’arif, 1970, Hlm. 212.
[3]Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Darrul Ma’arif, 1986. Hlm. 222.
[4] Mahmud ath-Thakhan, op.cit., Hlm. 60.
[5] Nuruddin ‘Itr, op.cit., hal. 348-349
[6] Izzudin Husain as-Syekh, Menyikapi Hadis-hadis yang Saling bertentangan: Hadis-hadis Nasikh dan Mansukh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004. Hlm. 76.
[7] Zuhad, op.cit., Hlm. 132.
[8] Nuruddin ‘Itr, op.cit., Hlm. 349.
Share:

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Makalah

Info

Opini