Riuh rendah
euphoria budaya yang ditawarkan dunia baru ini. warna-warni citraan yang
disuguhkannya, gemerlap cahaya kesenangan dan kegairahan yang dijanjikannya,
semua itu menimbulkan rasa keterpesonaan bagi yang memperhatikaan. Keterpesoaan
tersebut terkadang dapat menghipnotis dan menjadikan keterlenaan seseorang.
Tak hanya
itu, dunia ini juga yang membawa kita menjelajahi berjuta pengembaraan, berjuta
kegairahan dan berjuta keterpesonaan. Sehingga dunia baru ini, menurut Yasraf
tidak ubahnya seperti sebuah hologram raksasa, yang menyuguhkan jutaan warna
dan jutaan citra yang tampak nyata. Namun, ketika kita berupaya menggapainya,
yang kita dapati tak lebih dari sebuah kehampaan. Kemudian orang-orang menyebut
fenomena ini tak lain sebagai globalisasi media.
Kendatipun
demikian, semua penjelajahan, tontonan dan keterpesonaan itu ternyata tidak
pernah memuaskan manusia. Sebenarnya jika kita perhatikan dengan teliti, apa
yang kita saksikan ini merupakan sebuah geografis realitas yang penuh retakan
dan sebuah arsitektur yang kontradiksi.
Disengaja
atau tidak, pengalaman manusia yang dialami sekarang ini telah terdistorsi oleh
representasi oleh budaya popular yang sedang berkembang. Representasi realitas
ini melalui media elektronik ataupun cetak yang dengan sendirinya menghegemoni
segala sikap dan tindakan yang kita inginkan.
Kita pun
merasa bergairah dan menyerahkan sepenuhnya kepercayaan kita kepada sang
perantara (media massa) untuk mendefinisikan realitas dunia yang kita jalani.
Fenomena perkembangan teknologi media tersebut tentu memungkinkan terjadinya
peluang yang sangat terbuka bagi penciptaa rekayasa citra untuk menciptakan
realitas yang semu.
Apakah
perkembangan teknologi ini salah? Tentu saja tidak ada yang salah dalam hal
ini. Sebab, terlalu naif rasanya kalau kita mau menghakimi semata. Memang
benar, dalam dunia yang mengajak kita untuk berkhayal ini seperti menciptakan
sajian yang serba cepat. Bahkan, ini menjadi saluran kebebasan hasrat di dalam
ruang yang membuka segala bentuk peluang.
Hanya saja,
perkembangan ini layaknya kita sikapi dengan pemanfaatan yang maksimal. Ini
ibarat pisau bermata dua. Satu sisi, pisau dapat menjadi senata yang mematikan
ketika pisau ini dipegang oleh seorang penjahat. Di sisi lain, pisau ini dapat
dipakai untuk meramu bahan masakan yang enak dan lezat untuk disantap. Sekarang
pertanyaannya, siapa yang akan memegang kendali?. Tapi perlu diingat,
kembalilah ke sifat awal, yaitu perkembangan teknologi hanya sebagai produk
ciptaan manusia, tidak lebih. Bukan sebaliknya, manusia sebagai
"produk" teknologi.
Terlebih
bagi mahasiswa yang disibukkan dengan tugas-tugas kampus. Mereka pun harus
mengerjakan itu semua. Tak khayal apabila mahasiswa lebih memilih jalan pintas
dalam menyelesaikan tugas mereka. Keterlenaan inilah yang dikhawatirkan di
zaman globalisasi teknologi. Maka dari itu paidai-pandailah mahasiswa dalam
memanfaatkan produk mereka, tanpa harus termanfaatkan oleh produk sendiri.