Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Tampilkan postingan dengan label Makalah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Makalah. Tampilkan semua postingan

Tata Cara Menghitung Zakat Profesi


Zakat penghasilan atau zakat profesi (al-mal al-mustafad) adalah zakat yang dikenakan pada setiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendirian maupun bersama dengan orang/lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) halal yang memenuhi nisab (batas minimum untuk wajib zakat). Contohmya adalah pejabat, pegawai negeri atau swasta, dokter, konsultan, advokat, dosen, makelar, seniman dan sejenisnya.

Hukum zakat penghasilan berbeda pendapat antar ulama fiqih. Mayoritas ulama mazhab empat tidak mewajibkan zakat penghasilan pada saat menerima kecuali sudah mencapai nisab dan sudah sampai setahun (haul), namun para ulama mutaakhirin seperti Syekh Abdurrahman Hasan, Syekh Muhammad Abu Zahro, Syekh Abdul Wahhab Khallaf, Syekh Yusuf Al Qardlowi, Syekh Wahbah Az-Zuhaili, hasil kajian majma' fiqh dan fatwa MUI nomor 3 tahun 2003 menegaskan bahwa zakat penghasilan itu hukumnya wajib.
Share:

Makalah Ijtihad (10) : Pembatalan Ijtihad


Hasil ijtihad yang telah ditetapkan oleh seorang mujtahid memungkinkan akan adanya revisi bahkan pembatalan. Hal ini terjadi karena ada beberapa faktor yang seakan mengharuskan para mujtahid untuk merevisi pendapat mereka dan juga merombak ketetapan mereka. Sebelum melangkah lebih jauh tentang pembahasan ini, alangkah baiknya bila terlebih dahulu dikemukakan pendapat para ulama mengenai hukum ta’addud qaul al-mujtahid (dualisme pendapat mujtahid) dan taghoyyur al- ijtihad (revisi ijtihad). 
Dengan kata lain, bolehkah seorang mujtahid mencetuskan dua pendapat dalam satu permasalahan dalam waktu yang sama? Bolehkah pula melakukan revisi ijtihad?. Dalam permasalahan ini pemakalah mengambil pendapatnya Wahbah al-Zuhaili dalam kitab Ushul al-Fiqh al-Islami.
Share:

Makalah Ijtihad (9) : Limitasi Ruang Ijtihad


Melihat definisi tersebut terlihat batasan ruang ijtihad, karena ada pernyataan yang menunjukkan bahwa obyek ijithad hanya dalam lapangan hukum syara’, yang kemudian dispesifikkan mennjadi hukum amali (fikih). Sedangkan hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah i’tiqat (kalam) dan akhlak tidak menjadi wilayah. Pendapat ini ditegaskan oleh Ibrahim Hosen yang menyatakan bahwa tidak ada pendapat yang ijithad berlaku dalam lapangan akidah atau akhlak jelas tidak dibenarkan.
Pandangan lebih luas lagi seperti yang disampaikan oleh Harun Nasution, menurutnya ijtihad dalam arti yang luas bahwa tidak hanya terbatas dalam masalah fikih saja, melainkan juga dalam biang tasawuf dan lain sebagainya.[1] Sementara itu, Jalaludin Rahmat memperluas lagi ruang lingkup ijtihad, menurutnya ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan untuk mengeluarkan hukum syara’, baik yang amaliyat, i’tiqadiyat, dan khuluqiyat dari dalil-dalil yang rinci.[2]
Share:

Makalah Ijtihad (8) : Problematika Qath’i dan Dzanny sebagai Wilayah Ijtihad


Memperhatikan dari beberapa pandangan tersebut maka ada sekat bahwa yang kajian dalam persoalan qath’i dan dhanny ini adalah ayat-ayat yang menjelaskan tentang hukum, wilayah yang lain seperti i’tiqadiyat dan ibadat tidak masuk di dalamnya. Namun berkaitan dengan nash al-Qur’an yang qath’i dan dhanny ini ada beberapa pendangan yang lain selain pandangan yang disampaikan oleh ulama-ulama di atas.
1.     Tidak ada Nash Qath’i secara Mandiri
Berkiatan dengan nash-nash al-Qur’an, al-Syathibi dalam kitab al-Muwafaqat menulis tentang persoalan ini qath’i al-dalalah dan dhanny al-dalalah. Al-Syathibi mengatakan “Tidak atau jarang sekali ada sesuatu yang pasti (qath’i) dalam dalil-dalil syara’ yang sesuai dengan penggunaan yang populer”.[1] Menurutnya, bila dalil-dalil syara’ tersebut berdiri sendiri (bersifat ahad) maka tidak dapat memberikan kepastian, karena ahad bersifat dhanny. Apabila dalil tersebut mutawatir lafalnya, maka untuk menarik makannya yang pasti dibutuhkan muqaddimat (premis-presmis) yang tentunya harus bersifat qath’i pula. Dalam hal ini premis-presmis tersebut harus bersifat mutawatir. Padahal ini sulit ditemukan karena kenyataan membuktikan bahwa premis tersebut kesemuanya atau sebagian besarnya bersifat dhanny. Sebab sesuatu yang bersandar pada hal yang dhanny tentunya menghasilkan yang dhanny pula.
Share:

Makalah Ijtihad (7) : Wilayah Ijtihad


Wacana wilayah yang diperbolehkan melakukan ijtihad sebagaimana yang disinggung dalam definisi dalam makalah ini terlihat belum ada kesepakatan di kalangan ulama. Dalam hal ini al-Ghazali berpendapat bahwa objek ijtihad (al-mujtahid fiih) adalah setiap hukum syara’ yang tidak ada dalil qath’i-nya. Dengan demikian, menurut al-Ghazali dalam masalah ‘aqliyat dan kalam tidak bisa menjadi wilayah ijtihad, termasuk juga yang tidak bisa menjadi obyek ijtihad adalah segala permasalahan yang sudah disepakati oleh seluruh umat yang berdasarkan pada syara’ yang sudah jelas. Di mana kesepakatan itu lahir dari sebuah pemahaman dari dalil yang qath’i seperti kewajiban shalat lima waktu, kewajiban zakat dan sebagainya.[1]
Share:

Makalah Ijtihad (6) : Klafisikasi Mujtahid


Sebagaimana yang dalam ketentuan syarat-syarat ijtihad, di mana ijtihad merupakan upaya optimal seseorang ahli fiqih untuk mendapatkan solusi hukum terhadap suatu masalah yang digali dari sumber-sumbernya. Untuk dapat melakukan hal itu, sebagaimana yang sudah dijelaskan, bahwa seorang bisa disebut mujtahid harus menguasai syarat-syarat yang telah ditentukan oleh para ulama.
Apabila seseorang telah dapat memenuhi persyaratan tersebut, ia dapat melakukan ijtihad dan disebut mujtahid. Sebaliknya, orang yang tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad tersebut disebut muqallid (orang bertaqlid),[1] yakni mengikuti apa yang telah diijtihadkan oleh mujtahid.[2] Berangkat dari sini kemudian mujtahid diklasifikan oleh para ulama menjadi beberapa klasifikasi.
Share:

Makalah Ijtihad (5) : Syarat Ijtihad (Menjadi Mujtahid)


Ijtihad merupakan tugas suci keagamaan yang bukan sebagai pekerjaan mudah, tetapi pekerjaan berat yang menghendaki kemampuan dan persyaratan tersendiri. Sehingga ijtihad ini tidak dapat dilakukan oleh tiap orang. Memang Islam tidak memilah-milah para pemeluk Islam dalam kelas-kelas tertentu, dan menyangkut ijtihad pun setiap orang berhak melakukannya, tetapi masalahnya bukan di situ. Karena ijtihad suatu bentuk kerja keras yang memerlukan kemampuan tinggi. Oleh sebab itu, tidak semua orang akan dapat melakukannya, sekalipun mereka tetap memiliki hak untuk itu.
Dalam kaitannya ijtihad ini dalam kajian ushul fiqih, para ulama telah menetapkan syarat-syarat tertentu bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad. Menurut al-Ghazali, seorang mujtahid memiliki syarat sebagai berikut:[1]
Share:

Makalah Ijtihad (4) : Hukum Melakukan Ijtihad


Melihat kompleksitas pengertian dari ijtihad di atas, perlu kiranya membahas tentang hukum melakukan ijtihad. Dalam membicarakan hukum ijtihad, para ulama melihatnya dari dua sudut pandang. Pertama, dilihat dari kaca mata syari’, dan kedua, dari segi hasil ijithad yang berkaitan dengan benar dan salahnya dalam melakukan ijtihad tersebut.[1]
Hukum ijtihad apabila dilihat dari kaca mata syari’ dalam konteks ini adalah hukum melakukan ijtihad, menurut al-Syahrastasi (w. 548 H/1153 M) berpendapat bahwa hukum ijtihad termasuk fardlu kifayah, dan bukan fardlu ‘ain. Di sini, al-Syahrastani hanya menyebut satu bentuk hukum saja dan tidak membuka kemungkinan bentuk hukum yang lain. Sedangkan al-Nawawi (w. 676 H/1277 M) menambahkan ketentuan hukum lain dengan dikaitkan perbedaan kondisi. Menurutnya, pada awalnya hukum ifta’ (memberi fatwa) adalah fardlu kiyafah, namun ketika ada orang yang dimintai fatwa dan pada saat itu hanya dialah yang tahu tentang masalah yang ditanyakan, maka hukum ifta’ baginya fardlu ‘ain, apabila ada orang lain yang sama-sama hadir saat itu maka hukumnya fardlu kiyafah.[2]
Share:

Makalah Ijtihad (3) : Dasar Hukum Ijtihad


Kegiatan ijtihad merupakan hal yang paling mendasar dari dasar-dasar syari’ah. Sebab dari sinilah yang kemudian melahirkan hukum-hukum yang ada di dalam hukum Islam. Sebagaimana yang diungkapnya oleh Wahbah al-Zuhaili dalam Kitab Ushul al-Fiqh al-Islami yang menyatakan bahwa banyak sekali dalil yang menunjukkan bolehnya melakukan ijtihad, baik secara eksplisit maupun secara implisit.[1]
Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa’: 105.
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ ۚ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا) ١٠٥ (
Artinya     : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat” (QS. An-Nisa: 105).[2]
Share:

Makalah Ijtihad (2): Definisi Ijtihad


Menurut bahasa, kata ijtihad yang mengikuti wazan ifti’al diderivasi dari kata jahd (huruf jim­-nya dibaca fathah) dan kata juhd (huruf jim-nya dibaca dlammah). Kata jahd dan juhd merupakan isim masdar yang berasal dari kata jahada – yujahidu. Kata jahd dan juhd mempunyai arti taqah (kemampuan, kekuatan). Dari arti etimologi kata jahd dan juhd tersebut, Ibnu Mandzur mengartikan kata ijtihad dan tajahud dengan mencurahkan segala kemampuan, kekuatan dan kesanggupan.[1]
Kata ijtihad sepadan dengan kata al-wus’ (kesanggupan), al-thaqat (kekuatan) dan al-masyaqqat (berat).[2] Sedangkan secara bahasa ini, kata ijtihad diartikan berbeda oleh para ulama, seperti al-Fayumi menjelaskan bahwa ijtihad secara etimologi adalah pengerahan segala kesanggupan dan kekuatan intelektual mujtahid dalam melakukan pencarian supaya sampai pada sesuatu yang dituju dan selesai hingga ujungnya.[3]
Share:

Makalah Ijtihad (1): Urgensi Ijtihad dalam Fiqih


Al-Qur’an dan hadits merupakan dua sumber utama dalam pemikiran hukum Islam. Hukum Islam tersebut hadir untuk menjawab semua problematika yang dihadapi dan diselesaikan oleh umat Islam. Apabila di dalam al-Qur’an ditemukan ketentuan hukum yang jelas, maka hukum itu yang harus diambil. Namun apabila tidak ditemukan maka dicari dalam hadits. Jika di dalam kedua sumber hukum tidak ditemukan ketentuan hukum, atau hanya disinggung secara samar, maka pencarian hukumnya melalui ijtihad atau ra’y.[1]
Pasca Nabi Muhammad Saw. wafat wahyu yang berupa al-Qur’an dan hadits telah final dan berhenti. Namun polemik kehidupan yang terus bermunculan. Semua persoalan yang muncul banyak sekali yang belum diberikan solusi hukumnya oleh al-Qur’an dan hadits. Atau keduanya memang telah memberikan ketentuan secara jelas, namun apabila diaplikasikan ada sahabat pada saat itu menghasilkan keputusan yang kurang adil.
Share:

Sosiologi Hukum; Dari Formalisme Ke Anti Foralisme


Sosiologi Hukum; Dari Formalisme Ke Anti Foralisme
Metode dalam mempelajari sesuatu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu yang bukan berarti meninggalkan metode yang lama digantikan metode yang baru, melainkan metode lama diperkaya dengan munculnya metode-metode lain.
Metode Transcendental
Ketidakadaan tatanan yang diartikulasikan secara publik dan positif, mengakibatkan memahami hukum tidak memiliki rujukan yang positif-konkret, melainkan tatanan yang “tertulis dalam pikiran dan sanubari manusia”. Maka metode yang dipakai juga dituntut untuk mengantar pada “wujud hukum” yang demikian, yaitu metode transendental-spekulatif.
Hukum sebagai peraturan yang berasal dari akal untuk kebaikan umum. Konseptualisasi seperti itu menunjukkan adanya latar belakang yang transpositif, yaitu diluar dunia kita ini ada tatanan ideal yang menjadi acuan dari tatanan di dunia ini berupa akal tatanan ketuhanan. Sehingga digunakanlah akal manusia sebagai metode untuk dapat masuk ke dalam fenomena hukum yang transendental.
Share:

Meninjau Kembali Problematika Teori Sosial

MENINJAU KEMBAALI PROBLEMATIKA TEORI SOSIAL
Bab-bab sebelumnya telah memperlihatkan, dan telah ditegaskan kembali oleh bab ini, bahwa masalah metode, tatanan, dan kemodernan itu berhubungan erat. Solusi lengkap terhadap masalah salah satu dari masalah-masalah itu mensyaratkan solusi terhadap masalah-masalah yang lain.
v  Masalah Metode
Masalah metode mencakup empat hal pokok:
1.      Kemungkinan bagi sebuah alternatif terhadap logika dan sebab-akibat, yang mampu mengatasi ketidaklayakan rasionalisme maupun historisisme.
2.      Hubungan antara metode yang ketiga ini dengan kausalitas.
3.      Hubungan antara makna suatu tindakan bagi pelakunya dengan makna tindakan itu bagi pengamat.
4.      Hubungan teori sistematis dengan pemahaman sejarah.
v  Masalah Tatana Sosial
Share:

Hukum dan Modernitas

HUKUM DAN MODERNITAS
v  Perspektif Modernitas
Unger berpendapat bahwasannya setiap teoritisi sosial klasik bekerja menurut perspektif modernisasi. Peradaban yang ada merupakan hasil pemisahan revolusioner dengan peradaban-peradaban pendahulunya, sebuah pemisahan yang benar-benar baru dalam dunia sejarah.
Dalam analisis dasar sistem pembandingan masyarakat, Unger membedakan tiga bentuk kehidupan sosial yaitu kehidupan sosial kesukuan, liberal, dan aristokratis. Adalah merupakan komponen-komponen terpenting dalam kerangka studi komparatif mengenai bentuk-bentuk kehidupan sosial. Dimana masyarakat sebagai individu berinteraksi dengan dua konteks yaitu orang dalam dan orang luar.
Share:

Problematika Teori Sosial




"Beban Masa Lalu" Dalam Teori Sosial
Setidaknya, eksistensi para tokoh besar meninggalkan beban bagi generasi mereka. Akibatnya, generasi seakan menghadapi dilema, antara menjadi sekedar pelestari karya yang diwariskan oleh para tokoh sebeblumnya, ataukah berbekal hasrat akan kemandirian. Selain itu, para peniru (epigone) dapat menjadi peneliti dan penafsir teks-teks klasik. Sebagai alternatif agar terhindar dari pembandingan dengan para pendahulu, mereka menekuni spesialisasi dengan resiko terjerumus ke dalam semacam minoritas intelektual permanen.
Nama-nama seperti Marx, Durkheim, dan Weber, paling banyak mendapat sorotan. Pemikiran sosial setelah mereka, dibedakan antara ulasan mengenai doktrin-doktrin mereka atau spesialisasi menurut tradisi-tradisi yang mereka bangun. Lambat laun, bidang-bidang yang di spesialisasikan ini kian jauh dari cita-cita para pendirinya semula. Semakin bidang-bidang tersebut diupayakan berdalih sebagai kebebasan ilmiah, semakin sedikit pencerahan yang diberikan.
Share:

Metode Tarjih dalam Memahami Mukhtaliful Hadits

METODE TARJIH

1.  Pengertian Metode Tarjih
Secara bahasa, tarjih ترجح  berarti mengeluarkan. Konsep ini muncul ketika terjadinya pertentangan secara lahir antara satu dalil dengan dalil yang lainnya yang sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan cara al-jam’u wa al-taufiq. dalil yang dikuatkan disebut dengan rajih, sedangkan dalil yang dilemahkan disebut marjuh.[1]
Metode tarjih (mengunggulkan salah satu hadis dari hadis yang berlawanan maksudnya), dalam metode ini harus disertai dengan pengetahuan faktor-faktor pengunggul (wujuh al-tarjih). Dan jika metode ini tidak dapat ditempuh maka sebagai alternatif adalah al-tawaquf (ditangguhkan) dan lebih dahulu terus dilakukan pengkajian terhadap hadis-hadis yang kontroversial sehingga statusnya dapat meningkat apakah dapat ditarjih atau dinasakh.
Adapun yang dimaksud tarjih sebagaimana dirumuskan oleh para ulama adalah membandingkan dalil-dalil yang tampak bertentangan untuk dapat mengetahui manakah di antaranya yang lebih kuat dibandingkan dengan lainnya. Mentarjihkan salah satunya dengan segala jalan tarjih ditempuh bila usaha menjama’ atau menasakhkan tidak berhasil.[2] Tarjih merupakan jalan terakhir yang ditempuh untuk menyelesaikan problema hadits mukhtalif setelah menempuh jalan al-jam’u dan jalan nasakh. Tarjih merupakan jalan terakhir dilakukan sebelum Tawaqquf.[3]



2.  Macam-Macam Tarjih
Menurut para ulama’ ushul fiqih, cukup banyak metode yang bisa digunakan untuk mentarjihkan dua dalil yang bertentangan apabila tidak mungkin dilakukan melalui cara at-jam’u baina at-ataufiq dan nasakh. Namun cara pentarjihan tersebut dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu :[4]
a.    Tarjih bain al-Nushush (النصوص بين الترجح)
Untuk mengetahui kuatnya salah satu dari nash yang saling bertentangan, ada beberapa cara yang dikemukakan para ulama’ ushul fiqh, yaitu dari sisi sanadnya, matannya, dari segi hukum yang dikandung dalam nash, dan pentarjihan dengan menggunakan faktor dalil lain di luar nash.
1)    Tarjih ditinjau dari segi sanad
a)    Hendaklah dipilih sanad yang banyak rowinya dari pada yang sedikit.
b)    Hendaklah dipilih rowi-rowinya yang ahli fiqh dari pada yang bukan.
c)    Hendaklah dipilih rowi-rowi yang banyak  hafalannya.
d)    Hendak dipilih rowi yang ikut serta dalam sesuatu kejadian yang diceritakannya karna ia lebih mengetaui.
e)    Hendaklah dipilih hadis atau riwayat yang diceritakan.
f)     Hendaknya dipilih rowi-rowi yang banyak bergaul dengan Nabi saw.

2)    Tarjih ditinjau dari segi matan hadis
Untuk memilih mana matan yang lebih kuat dari pada lainnya, ada beberapa jalan sebagai berikut:
a)    Hendaklah dipilih mana matan yang bermakna hakikat dari pada majaz.
b)    Hendaklah memilih yang isinya khash dari pada yang umum.
c)    Hendaklah dipilih yang menunjukkan pada maksud dua jalan daripada satu jalan.
d)    Hendaklah mendahulukan yang mengandung larangan dari pada suruhan.
e)    Hendaklah mendahulukan yang mengandung perinyah dari pada kebolehan.
f)     Hendaklah mendahulukan yang mengandung isyarat hukum dari pada tidak.

3)    Tarjih ditinjau dari segi isi hadis
a)    Mendahulukan isi yang mendekati ihtiath (berhati-hati).
b)    Mendahulukan yang menetapkan hukum dari pada yang meniadakannya.
c)    Mendahulukan yang mengandung membatalkan hukuman had (yang tertentu) dari pada yang menetapkannya.
d)    Mendahulukan yang hukumnya ringan dari pada yang berat.
e)    Mendahulukan yang menetapkan hukum ashal atau bara’ah ashliyah.
4)    Tarjih ditinjau dari segi hal-hal diluar hadis.
a)    Didahulukan hadis yang dibantu oleh dalil lain.
b)    Didahulukan hadis qouliyah dari pada fi’liyah
c)    Didahulukan hadis riwayat yang lebih menyerupai dhahir Qur’an.

b.    Tarjih bain al-Aqyisah (الأقيسة بين الترجح )
Imam al-Syaukani mengemukakan tujuh belas macam pentarjihan dalam persoalan qiyas yang saling bertentangan, namun Wahbah Zuhaily meringkasnya menjadi:
1)  Dari segi hukum asal, yaitu dengan menguatkan qiyas yang hukum asalnya qath’i dari qiyas yang hukum asalnya bersifat zhanni, karena yang qath’i lebih kuat dari pada yang zhanni. Lalu yang selanjutnya menguatkan landasan dalilnya adalah ijma’ dari qiyas yang landasan dalilnya nash, karena nash bisa di takhsis, di ta’wil dan di nasakh. Sedanglan ijma’ tidak bisa di khususkan, dita’wilkan dan dibatasi.
2)  Dari segi hukum  furu’ (cabang), yaitu dengan menguatkan hukum furu’ yang kemudian dari asalnya (qiyas) yang hukum furu’nya lebih dahulu dari hukum asalnya, kemudian juga dikuatkan hukum furu’ yang illat nya diketahui secara qath’i dari hukum furu’ yang illat nya bersifat zhanni.
3)  Dari segi illat, yaitu salah satunya dengan menguatkan illat yang disebutkan dalam nash atau illat yang disepakati dari illat yang tidak disebutkan dalam nash atau tidak disepakati keberadaannya sebagai illat, dan lain-lain.
4)  Pentarjihan qiyas melalui faktor luar, yaitu dengan menguatkan qiyas yang didukung oleh sejumlah illat dari qiyas yang hanya didukung satu illat. Lalu yang selanjutnya harus dikuatkan qiyas yang didukung oleh fatwa sahabat.[5]

3.  Contoh Penerapan Hadits Mukhtalif dengan Metode Tarjih
Meringkas dari karya Zuhad, contoh penerapan metode tarjih yaitu tentang buang kotoran orang Arab di Masjid. Abu Daud dalam Sunan kitab Thaharah, meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa seorang Arab buang kotoran di Masjid, lalu Rasulullah saw bersabda:[6]
صبوا عليه سجلا من ماء اوقال ذنوبا من ماء
Tuangkan atau siramkan padanya (bekas baul) satu timba atau ember air, atau timba yang penuh berisi air.

خذوا ما بال عليه من التراب فألقوه وأهريقوا على مكانهه ماء
Ambillah debu atau lemah yang dipakai buang kotoran kemudian lemparkan, lalu tuangkan atau tumpahkan air pada tempat itu.

Kata Ibnu Qutaibah bahwa perbedaan yang terjadi dalam teks di atas disebabkan oleh periwayatan perawi. Hadits Abu Hurairah dinilai lebih shahih dibanding hadits Abdullah Ibn Ma’qal, karena Abu Hurairah waktu itu menyaksikan sendiri peristiwa itu dan hadir dalam majelis serta melihat langsung. Sementara Abdullah Ibn Ma’qal tidak termasuk jajaran sahabat dan bukan orang yang pernah berjumpa dengan Nabi. Oleh sebab pernyataan Abdullah Ibn Ma’qal tidak sebanding perkataan orang-orang yang hadir itu dan menyaksikan peristiwa secara langsung. Ayah Abdullah Ibn Ma’qal, yaitu Ma’qal Ibn Muqarran Abu Amarah al-Muzanni termasuk yang meriwayatkan dari Nabi. Sementara Abdullah, anaknya tidak diketahui ia meriwayatkan dari Nabi.[7]
Contoh lain penerapan metode tarjih yaitu permasalahan Shalat Dhuha. Imam Bukhari meriwayatkan hadits Aisyah:[8]
ما رأيت رسول لله سبحّ سبحة الضحى وإنى لأسبحها

Saya tidak melihat Rasulullah melakukan shalat tasbih atau sunat dhuha, aku pasti akan melakukannya (shalat sunat itu).

Imam Muslim meriwayatkan dari jalur Syaqiq dari Aisyah:
أكان النبى ص.م يصلى الضحى قالت لا, إلا ان يجئ من مغيبة

Apakah Nabi melakukan shalat dhuha? katanya: tidak, kecuali jika beliau datang dari ketidakhadiran atau pergi

Kemudian Imam Muslim dari jalur Mu’adzah dari Aisyah:

انها سألت عائسة كم كان رسول الله يصلى صلاة الضحى قالت اربع ركعات ويزيد ماشاء
Ia bertanya kepada ‘Aisyah, berapa rakaat Rasulullah melaksanakan shalat dhuha? ia berkata: empat rakaat dan menambah sesuai kehendaknya.

Hadits pertama menafikan atau meniadakan secara mutlak penyaksian Aisyah terhadap Nabi dalam melakukan shalat dhuha. Pada hadits kedua pembatasan peniadaan penyaksian Aisyah terhadap shalat dhuha Nabi, selain kedatangan beliau bepergian (ketidakhadiran). Dan pada hadits ketiga penetapan secara mutlak tindakan Nabi melakukan shalat dhuha.
Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi riwayat-riwayat di atas. Mayoritas ulama dan Ibn Abdil Barr cenderung menguatkan atau merajihkan hadits yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim, selain yang diriwayatkan Muslim sendirian. Mereka berkata, ketiadaan penyaksian Aisyah terhadap shalat dhuha yang dilakukan oleh Nabi, tidak mengharuskan tidak terjadinya peristiwa shalat dhuha itu. Oleh sebab itu, maka lebih didahulukan periwayatan yang menetapkan adanya shalat dhuha. Sementara ulama yang lain lebih suka melakukan kompromi.Al-Baihaqi berkata, bahwa maksud perkataan “ma raituhu sabbaha” artinya terus-menerus dilakukannya. Dan perkataannya “wa ini lausabbihuha” artinya akan melaksanakan terus-menerus. Ada kemungkinan yang dinafikan Aisyah tentang shalat dhuha yang dikenal saat itu dengan gerakan (hai’ah) tertentu, bilangan tertentu, pada waktu yang tertentu pula. Dan bahwa Nabi melaksanakan shalat dhuha jika beliau kembali dari bepergian, tidak dengan hitungan tertentu dan lainnya, sebagaimana ia nyatakan “beliau shalat empat rakaat dan menambah menurut kehendaknya.”[9]





[1] Nasroen Haroen, Ushul Fiqh I, Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 1997. Hlm. 195.
[2]Ali Hasballah, op.cit., Hlm. 236.
[3] Daniel juned, op.cit., Hlm. 102-103
[4] Moh. Rifa’, usul fiqih, Bandung:  PT. al-Ma’arif, 1973, hlm. 157.
[5] Moh. Rifa’,loc.cit.
[6] Zuhad, op.cit., Hlm. 85-56.
[7] Zuhad, loc.cit.
[8] Zuhad, op.cit., Hlm. 99.
[9] Zuhad, op.cit., Hlm. 100.
Share:

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Makalah

Info

Opini