Hasil ijtihad yang telah
ditetapkan oleh seorang mujtahid memungkinkan akan adanya revisi bahkan
pembatalan. Hal ini terjadi karena ada beberapa faktor yang seakan mengharuskan
para mujtahid untuk merevisi pendapat mereka dan juga merombak ketetapan
mereka. Sebelum melangkah lebih jauh tentang pembahasan ini, alangkah baiknya
bila terlebih dahulu dikemukakan pendapat para ulama mengenai hukum ta’addud
qaul al-mujtahid (dualisme pendapat mujtahid) dan taghoyyur al- ijtihad
(revisi ijtihad).
Dengan kata lain, bolehkah seorang
mujtahid mencetuskan dua pendapat dalam satu permasalahan dalam waktu yang
sama? Bolehkah pula melakukan revisi ijtihad?. Dalam permasalahan ini pemakalah
mengambil pendapatnya Wahbah al-Zuhaili dalam kitab Ushul al-Fiqh al-Islami.
1.
Ta’addudu Qaul Al-Mujtahid (Dualisme Pendapat Mujtahid)
Para ulama sepakat bahwa seorang
mujtahid tidak diperbolehkan mencetuskan dua hukum yang berbeda pada satu
permasalahan dalam waktu yang sama, karena satu sama lain akan terjadi
pertentangan dan pembatalan. Di samping itu, seandainya dalil-dalil yang
dijadikan pijakan memiliki kekuatan yang sama dan tidak ada jalan untuk
kompromi, juga tidak mungkin untuk dilakukan tarjih, maka mujtahid
tidak diperbolehkan memberikan fatwa dengan dalil-dalil tersebut, karena
dalil-dalil yang ada saling kontradiktif dan berkekuatan hukum yang sama. Jika
ia mampu mengkompromikan dalil-dalil yang kontradiktif tersebut maka itulah
yang harus dilakukan. Apabila salah satunya lebih akurat daripada yang lain,
maka pendapat itulah yang harus diadopsi sebagai penetapan hukumnya.[1]
Berkaitan dengan permasalahan ini, bagaimana
dengan Imam al-Syafi’i, seorang Imam mujtahid ternama yang telah disepakati
kapasitas keilmuannya yang ternyata juga berpendapat ganda dalam menyikapi
lebih dari 17 permasalahan. Berkaitan dengan ini Wahbah al-Zuhaili mengambil
pendapatnya al-Amidi bahwa dualisme pendapat imam pendiri madzhab ini bisa
diarahkan pada beberapa kemungkinan. Pertama, ada kemungkinan beliau
hanya menyampaikan pendapat-pendapat ulama terdahulu untuk menunjukkan bahwa
dalam permasalahan tersebut tidak terjadi ijma’. Dengan demikian, sebenarnya al-Syafi’i tidaklah
mengeluarkan pendapat ganda. Kedua, barangkali pendapat ganda yang
dikeluarkan Imam al-Syafi’i hanyalah sekedar menjelaskan adanya kebebasan untuk memilih di antara dua
hukum dalam sebagian kasus, atau barangkali menjelaskan keraguan al-Syafi’i
terhadap hukum-hukum yang telah ia cetuskan. Seperti keraguan al-Syafi’i dalam
permasalahan basmalah, apakah termasuk awal setiap surat atau bukan?
Berdasarkan kemungkinan-kemungkinan tersebut tidak diperbolehkan menisbatkan
pendapat ganda tersebut kepada Imam al-Syafi’i.[2]
Jika demikian, yang harus dilakukan
adalah tashhih, semisal ungkapan al-Syafi’i “fi al-mas’alah qaulani”
(dalam masalah ini terdapat dua pendapat) diarahkan pada suatu kondisi bahwa
dalam suatu permasalahan, beliau menemukan dua dalil yang saling bertentangan
dan tidak mungkin untuk dilakukan tarjih. Karenanya, maksud dari pendapat ganda
yang dikeluarkan mujaddid abad kedua ini adalah adanya dua ihtimal
(kemungkinan untuk diarahkan pada penyelesaian dengan salah satu dalil).
Pembahasan mengenai pendapat ganda
yang dilakukan seorang mujtahid ini, hanya berlaku ketika terjadi di waktu yang
sama. Jika dualisme pendapat tersebut muncul dalam waktu yang berbeda, maka
penyelesaiannya mudah, artinya pendapat kedua diposisikan sebagai pembantah
atas pendapat yang pertama. Dan pendapat kedua inilah yang dijadikan acuan
hukumnya. Dan pendapat pertama dianggap telah dicabut. Ketentuan ini tentunya
jika di antara dua pendapat telah diketahui mana yang lebih dahulu, maka
tindakan yang harus diambil ialah menisbatkan salah satu pendapat tersebut
kepada seorang mujtahid dan menganggap pendapat yang lain telah dicabut.
Namun apabila tidak diketaui dalam
keadaan seperti ini kedua pendapat tersebut tidak boleh untuk diamalkan, karena
ada kemungkinan pendapat yang diamalkan justru merupakan pendapat yang telah
dicabut.[3]
2.
Taghayyur al-Ijtihad (Revisi
Ijtihad)
Kemungkinan mengenai taghayyur
al-ijtihad, bolehkah ini terjadi pada diri seorang mujtahid. Dengan
pertimbangan-pertimbangan bahwa aktivitas ijtihad tidak dapat terlepaskan dari
argumentasi dan dalil dan ketika seorang mujtahid menemukan bukti-bukti baru
yang lebih akurat, semestinya bukti baru itulah yang harus dijadikan sebagai
acuan pemutusan hukumnya. Maka revisi ijtihad adalah hal yang lumrah terjadi
pada diri seorang mujtahid.
Pandangan ini diperkuat oleh surat
Umar bin Al-Khattab kepada penguasa Kufah, Abu Musa al-‘Asy’ari. Dalam surat tersebut Umar berpesan, “Janganlah
keputusanmu saat ini menghalangimu untuk melakukan peninjauan ulang. semoga
engkau mendapatkan tuntutan pada sebuah petunjuk kebenaran. Sesungguhnya
kebenaran telah ada terlebih dahulu, dan kembali kepada kebenaran adalah lebih
baik dari pada melanggar kebatilan”. Dari sini, jelaslah bahwa revisi ijtihad
adalah hal yang diperbolehkan bagi seorang mujtahid.[4]
3.
Naqdl al-Ijtihad (Pembatalan
Ijtihad)
Pemaparan di atas adalah revisi
ijtihad dalam tataran wacana. Jika hal itu terjadi dalam tataran praktik, ada
beberapa konsekuensi dari revisi ijtihad seorang mujtahid ini, berkaitan dengan
amaliyah keseharian, aktivitas fatwa dan putusan peradilan. Misalnya,
seorang mujtahid yang memberikan fatwa dengan suatu hukum atau menjatuhkan
putusan tertentu di antara dua pihak yang bersengketa, kemudian setelah
menemukan dalil-dalil lain yang menurutnya lebih argumentatif, mujtahid atau
hakim tersebut berubah pikiran, berbeda dengan pendapat sebelumnya. Akankah
pendapat terakhir harus dijadikan pegangan, ataukah pendapat awal? Ada
pemilahan mengenai hal ini, antara statusnya sebagai hakim atau sekedar sebagai
mujtahid.[5]
Bila ia hanya seorang mujtahid,
bukan hakim, yang harus dijadikan pegangan adalah pendapat terbarunya, karena
adanya perubahan pendapat tentu berdasarkan dalil yang dianggap lebih
argumentatif atau metode penyimpulan yang dirasanya lebih akurat. Karenanya,
kesimpulan hukum terbarulah yang diamalkan. Misalnya, seorang mujtahid yang
memiliki pendapat keabsahan nikah tanpa wali, menikah dengan seorang perempuan
tanpa wali. Selang beberapa waktu kemudian, ia berubah pendapat bahwa akad
nikah tidak sah tanpa menyertakan wali. Maka dia harus segera berpisah dengan
isterinya tersebut, karena menurut anggapan terbarunya, akad nikah yang pernah
dilakukannya tidak sah. Hal ini bila
tidak ada sangkut-pautnya dengan putusan hakim. Artinya, bila hakim telah
memutuskan keabsahan nikah sebelum mujtahid berubah pendapat, maka perubahan
pendapat mujtahid tidak berpengaruh apapun.
Karena putusan hakim tidak dapat diganngu gugat.
Kemudian jika status mujtahid adalah
sebagai hakim, bagaimana jika pendapatnya berubah, berbeda dengan pendapat
pertama? Mengingat adanya keterkaitan
putusan hakim pertama yang tidak sedikit konsekuensinya, maka putusan hakim
dalam menyelesaikan sebuah persengketaan dengan acuan hasil ijtihad pertama
tidak dapat dibatalkan dengan munculnya pendapat terbaru. Karena dengan pembatalan putusan hakim stabilitas
hukum syara’ akan terganggu, dan akan menimbulkan ketidakpercayaan publik akan
putusan-putusan hakim. Dan ini bertentangan dengan kemaslahatan dan tujuan
ditegakkannya peradilan. Karena peradilan ditegakkan untuk menyelesaikan segala
persengketaan. Jika sebuah putusan dibatalkan, maka pembatalan putusan itu bisa
jadi dibatalkan dengan putusan yang lain, dan demikian seterusnya. Akibatnya,
timbullah instabilitas hukum, tidak adanya kepastian hukum dan tentunya
persengketaan akan terus berlangsung, pertikaian senantiasa terjadi.[6]
[1] Wahbah al-Zuhaili, Ushul
al-Fiqh al-Islami, Juz. II., op.cit., hlm. 394. Lihat pula di Muhammad
Ali al-Syaukani, op.cit., hlm. 1075.
[2] Wahbah al-Zuhaili, Ushul
al-Fiqh al-Islami, Juz. II., loc.cit. lihat juga Muhammad Ali
al-Syaukani, loc.cit.
[3] Selengkapnya baca Wahbah
al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz. II, op.cit. hlm. 394-395.
Lihat pula Forum Karya Ilmiah PP. Lirboyo, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, Kediri:
Purna Siswa Aliyah MHM. PP. Lirboyo, 2004, hlm. 359.
[4] Selengkapnya baca Wahbah
al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz. II., op.cit. hlm. 395.
[5] Selengkapnya baca Wahbah
al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz. II, op.cit. hlm. 396.,
baca juga Muhammad Ali al-Syaukani, op.cit. hlm. 1076.
[6] Selengkapnya baca Wahbah
al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz. II, op.cit. hlm.
396.-397. Lihat pula Forum Karya Ilmiah PP. Lirboyo, op.cit., hlm. 360.
Baca Selengkapnya
Makalah Ijtihad di sini:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar