Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Makalah Ijtihad (2): Definisi Ijtihad


Menurut bahasa, kata ijtihad yang mengikuti wazan ifti’al diderivasi dari kata jahd (huruf jim­-nya dibaca fathah) dan kata juhd (huruf jim-nya dibaca dlammah). Kata jahd dan juhd merupakan isim masdar yang berasal dari kata jahada – yujahidu. Kata jahd dan juhd mempunyai arti taqah (kemampuan, kekuatan). Dari arti etimologi kata jahd dan juhd tersebut, Ibnu Mandzur mengartikan kata ijtihad dan tajahud dengan mencurahkan segala kemampuan, kekuatan dan kesanggupan.[1]
Kata ijtihad sepadan dengan kata al-wus’ (kesanggupan), al-thaqat (kekuatan) dan al-masyaqqat (berat).[2] Sedangkan secara bahasa ini, kata ijtihad diartikan berbeda oleh para ulama, seperti al-Fayumi menjelaskan bahwa ijtihad secara etimologi adalah pengerahan segala kesanggupan dan kekuatan intelektual mujtahid dalam melakukan pencarian supaya sampai pada sesuatu yang dituju dan selesai hingga ujungnya.[3]
Senada dengan al-Fayumi, al-Syawkani menjelaskan bahwa secara etimologi ijtihad adalah istilah mengenai pengerahan dalam mengerjakan pekerjaan apa saja.[4] Definisi ini, lebih jelas disampaikan oleh Muhammad Salam Madkur bahwa ijtihad secara etimologi adalah pengerahan kemampuan dalam menyelesaikan sesuatu yang berat.[5]
Dengan melihat dari beberapa arti secara etimologi tersebut dapat dikatakan bahwa ijtihad secara etimologi adalah suatu kemampuan, kesanggupan dan kerja keras untuk mendapatkan sesuatu. Pernyataan ini menunjukkan adanya pekerjaan yang sangat sulit dan berat untuk dilakukan. Menurut al-Ghazali (w. 505 H./1111 M.) menyatakan bahwa kata ijtihad hanya dapat dipakai dalam konteks perbuatan yang di dalamnya mengandung kesulitan dan hal yang berat. Oleh karena itu dapat dibenarkan apabila dikatakan “ijtahada fi haml hajar al-raha” (seseorang berusaha keras untuk membawa batu penggiling). Namun tidak dibenarkan apabila dikatakan “ijtihada fi haml khardalah” (seseorang berusaha keras untuk membawa biji-bijian).[6]
Pandangan tentang arti ijtihad yang demikian ini juga disampaikan oleh al-Razi. Menurutnya, kata ijtihad hanya dapat dihubungkan dengan sesuatu yang berat. Sehingga dikatakan “istafragha wus’ahu fi haml al-saqil” (seseorang daya upaya untuk membawa sesuatu yang berat), dan tidak dibenarkan apabila dikatakan “istafragha wu’ahu fi haml al-nawah” (seseorang mencurahkan kemampuannya untuk membawa biji-bijian).[7]
Dalam pengertian seperti inilah, kata itjihad dan yang se-musytaq dengannya dipakai dalam hadits Nabi, yang diantaranya adalah:
عن ابن عباس قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: واما السجود فاجتهدوا فى الدعاء فقمن ان يستجاب لكم (رواه مسلم) [8]
Artinya : Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah Saw bersabda: dan pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah kalian dalam berdoa, karena dengan demikian doa kalian layak untuk dikabulkan (HR. Muslim).

Adapun pengertian ijtihad  secara terminologi telah banyak disampaikan pada ulama. Dari berbagai pengertian yang ada, menurut Nadiyah al-Imari dapat diketahui karakteristik perbedaanya melalui dua sudut pandang. Pertama, dari segi pemakaian kata dan kedua, dari segi ada dan tidaknya kata yang dijadikan qayyid (batasan) dalam definisi.[9]
Dari sudut pandang pertama ada dua bentuk titik tekan yang berbeda. Kelompok pertama memandang ijtihad dengan lebih menitiktekankan pada perbuatan mujtahid. Hal ini terlihat dari kata yang digunakan yaitu kata badzal (بذل) dan istifragh (استفراغ), atau kata yang semakna dengannya, yang memiliki arti pencurahan. Dalam pemakaiannya, ada yang memilih salah satu dan ada yang menggabungkan kedua kata tersebut.
Kata badzal ini dipakai oleh al-Ghazali dalam mendefinikan ijtihad. Menurut al-Ghazali, ijtihad adalah badzal al-mujtahid wus’ahu fi thalab al-‘ilm bi al-ahkam al-syar’iyah (pencurahan segala kemampuan seorang mujtahid untuk mencari pengetahuan tentang hukum-hukum syara’).[10] Pemakaian kata badzal ini juga diikuti oleh ulama lain, seperti Ibn Qudamah, al-Zarkasyi, dan ulama lainnya. Sedangkan yang ulama yang memilih menggunakan kata istifragh dalam mendefinisikan ijtihad seperti al-Razi (w.606 H./1209 M.), al-Amidi (w.631 H./1233 M.), al-Baydlawi (w.685 H/1286 M). Adapun yang menggabungkan kedua kata tersebut al-Syayrazi (w. 476 H./1083 M.) Sementara Ibn Hazm (w. 456 H./1063 M.) memilih kata istinfad (استنفاد) dan bulugh (بلوغ), artinya menggapai. [11]
Kelompok kedua memandang ijtihad bukan sebagai perbuatan mujtahid, melainkan sebagai suatu malakah (sifat yang melekat dalam jiwa mujtahid). Pemahaman terhadap definisi semacam ini dapat ditemukan dalam kitab ahli hadis dan golongan Syiah. Mereka mendefinisikan ijtihad dengan suatu makalah yang dapat menghasilkan hujjah untuk menggali hukum-hukum syara’ atau tugas-tugas yang bersifat praktis, baik yang berhubungan dengan syara’ secara langsung atau hanya bersifat amaliah belaka.[12]
Ada juga sebagian ulama yang menyatakan bahwa ijtihad itu disejajarkan dengan qiyas. Sehingga ulama tersebut mendefinisikan ijtihad adalah qiyas. Namun pendapat ini ditolak oleh al-Ghazali, sebab itu bisa mempersempit makna ijtihad, karena ijtihad lebih umum dari pada qiyas dan qiyas bagian dari ijtihad.[13]   
Adapun pengertian terminologi yang dilihat dari segi ada dan tidaknya qayyid (batasan), maka dapat ditemukan beberapa model definisi. Di antaranya definisi ada yang dikaitkan dengan pelakunya seperti mujtahid dan faqih. Dan ada yang tidak dihubungkan dengan pelakunya. Sedangkan bila dilihat dari tujuan pelaksanaan ijtihad, ada yang dikaitkan dengan kata ilm, dzann dan ada yang tidak dikaitkan dengan kedua kata tersebut, serta ada yang dikaitkan dengan keduanya.[14]
Berdasarkan penelitian terhadap bebagai definisi ijtihad, al-Imari lebih setuju dengan definisi yang dikemukakan oleh Ibnu al-Humam dengan catatan menghilangkan kata faqih yang terdapat di dalamnya. Sehingga definisi ijtihad menurunya adalah mencurahkan kemampuan untuk menghasilkan hukum syara’, baik yang ‘aqli maupun naqli, qath’i maupun dzanny. Definisi ini menunjukkan kejelasan dan lebih luas wilayah ijtihad. Karena disamping mencakup ijtihad terhadap nash yang qath’i dan lainnya, juga memasukkan ijtihad kolektif dan individual.
Memperhatikan pengertian yang diungkapkan oleh ulama usuliyun, terlihat ada sebuah batasan. Karena ada pernyataan obyek ijtihad hanyalah dalam lapangan hukum syara’, yang kemudian dispesifikasikan menjadi hukum fiqih. Sedangkan hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah i’tiqadiyat atau kalam dan akhlak tidak menjadi wilayah ijtihad. Pendapat ini didukung oleh Ibrahim Hosen yang menegaskan bahwa jika ada pendapat yang menyatakan ijtihad secara istilah juga berlaku dalam lapangan akidah atau akhlak jelas tidak dapat dibenarkan.[15]
Berbeda dengan Ibrahim Hosen, Harun Nasution memaknai ijtihad dalam arti yang lebih luas lagi, tidak terbatas hanya dalam masalah fiqih saja, melain juga dalam bidang tasawuf, dan lainnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Taymiyah. Dia menjelaskan bahwa pemikiran yang dimunculkan oleh para sufi, fuqaha’, dan mutakallimin yang melahirkan perdebatan sengit dan mengundang berbagai komentar penilaian, baik memuji maupun mencela, semuanya termasuk ijtihad dalam rangka taat kepada Allah. Meskipun ada yang salah, ada yang berdosa kemudian bertaubat, dan ada yang tidak mau bertaubat, serta ada yang mendzalimi diri sendiri.[16]
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Muhammad al-Ruwayh yang menjelaskan bahwa akhir-akhir ini timbul berbagai pendapat tentang Islam, di barat maupun di timur yang terjadi pada orang Arab dan orang Islam sendiri. Pendapat orang Islam ijtihad merupakan, baik secara perorangan maupun koletif, yang akan mendapatkan pahala sesuai dengan benar dan salahnya ijtihad.[17]
Menanggapi dua kubu yang memaknai ijtihad secara sempit dan luas tersebut, Jalaluddin Rahmat cenderung memperluas arti ijtihad. Menurutnya ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan untuk mengeluarkan hukum syara’, baik yang amaliyat, i’tiqadiyat dan khuluqiyat dari dalil-dalil yang terperinci.[18]
Memperhatikan pengertian yang telah dijelaskan oleh para ulama yang telah dipaparkan di atas terlihat bahwa para ulama memiliki perbedaan dalam definisi dan batasan ijtihad. Dampak dari perbedaan pengertian dan definisi ini akan berujung pada syarat-syarat ijtihad yang melekat pada seorang mujtahid, hukum melakukan ijtihad dan wilayah kebolehan melakukan ijtihad serta hal-hal yang lain berkaitan dengan ijtihad.



[1] Selengkapnya baca Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, Juz IV, Mesir: al-Dar al-Misriyah, t.th., hlm. 107-109. Bandingkan juga di Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997, hlm. 217.
[2] Ahmad Ibn Ahmad Ibn Ali al-Muqri al-Fayumi, al-Mishbah al-Munir fi Gharib al-Syarah al-Kabir li al-Rafi’i, Beirut: al-Maktab al-Ilmiyah, t.th., Juz I, hlm. 112. Lihat pula Nadiyah al-Imari, al-Ijtihad fi al-Islam, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1981,  hlm. 18. Arti ijtihad yang diambilkan dari kata al-jahd atau al-juhd  yang berarti al-masyaqqat sebagaimana dalam ayat “وأقسموا بالله جهد أيمانهم”, lihat QS. An-Nahl: 38, QS. An-Nur: 53, QS. Fathir: 42., selengkapnya lihat Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 271, 356, dan 439.
[3] Ibid.
[4] Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad sl-Syawkani, Irsyad al-Fukhul ila Tahqiq al-Haqq min Ilm al-Ushul, Riyadh: Dar al-Fadhilah, 2000, hlm. 1070.
[5] Muhammad Salam Madkur, al-Ijtihad  fi al-Tasyri’ al-Islami, Kairo: Dar al-Nahdlah al-‘Arabiyah, 1984, hlm. 28. Lihat pula Jaih Mubarok, Ijtihad Kemanusiaan di Indonesia, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005, hlm. 2-3.
[6] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Mustasyfa min Ilm al-Usul, Juz II, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-Arabi, 1997, hlm. 170.
[7] Al-Razi, al-Mahsul fi Ushul al-Fiqh, Juz II, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th., hlm. 489.
[8] Abi al-Husayn Muslim bin Al-Hajjaj al-Naysaburi, Shahih Muslim, Juz I, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1992, hlm. 348.
[9] Penjelasan lengkap bisa dilihat di Nadiyah al-Imari, op.cit. hlm. 19-22.
[10] Selengkapnya lihat Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, op.cit., hlm. 170.
[11] Ilyas Supena dan M Fauzi, Dekonstruksi dan Rekontruksi Hukum Islam, Yogyakarta: Gama Media, 2002, hlm. 179.
[12] Ibid, hlm. 180.
[13] Lihat di Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, op.cit., hlm. 96. Lihat pula dalam Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz. II, Damaskus: Dar al-Fikr, 2005, hlm. 340.
[14] Selengkapnya baca Ibid., hlm. 180-181
[15] Ibrahim Hosen, “Mencerahkan Permasalahan Hukum Baru”, dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri (ed), Ijtihad dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1996, hlm. 23.
[16] Ilyas Supena dan M. Fauzi, op.cit., hlm. 181.
[17] Ilyas Supena dan M. Fauzi, op.cit., hlm. 182.
[18] Jalaluddin Rahmat, “Ijtihad Sulit: Tapi Perlu”, dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri (ed), op.cit., hlm. 183.



Baca Selengkapnya Makalah Ijtihad di sini:




Share:

1 komentar:

  1. Why a casino is a game changer - DrmCD
    And what's the key 경주 출장샵 to a casino? The rise of 광주광역 출장안마 online gaming in recent years has given 문경 출장안마 us a new way to bet on the casino 당진 출장마사지 games. 논산 출장마사지

    BalasHapus

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Archives

Makalah

Info

Opini