Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Hukum Kekeluargaan dalam Hukum Adat

HUKUM KEKELUARGAAN DALAM HUKUM ADAT
A.    Keturunan
Keturunan adalah ketunggalan leluhur, artinya ada hubungan darah antara seseorang dengan orang lain. Keturunan merupakan unsur yang penting bagi suatu clan, suku ataupun kerabat yang menginginkan dirinya tidak punah, yang menghendaki supaya ada generasi penerus. Maka apabila ada clan, suku ataupun kerabat yang tidak memiliki keturunan, pada umumnya melakukan pengangkatan anak (adopsi) untuk menghindari kepunahan.
Individu sebagai keturunan mempunyai hak dan kewajiban-kewajiban tertentu yang berhubungan dengan kedudukannya dalam keluarga, misalnya boleh ikut menggunakan nama keluarga, saling bantu membantu dan saling mewakili dalam suatu perbuatan hukum dengan pihak ketiga dan sebagainya.
Keturunan dapat bersifat:
a.       Lurus, apabila seseorang merupakan keturunan langsung, misalnya antara bapak dan anak sampai cucu disebut lurus ke bawah, sebaliknya dari anak, bapak dan kakek disebut lurus ke atas.
b.      Menyimpang atau bercabang, apabila kedua orang atau lebih terdapat adanya ketunggalan leluhur, misal bapak ibunya sama (saudara kandung), sekakek-nenek dan sebagainya.
Selain itu, sifat keturunan ada tingkatan-tingkatan atau derajat-derajatnya, misalnya sorang anak merupakan keturuan tingakat I dari bapaknya, cucu merupakan keturunan tingkat II dari kakeknya dan sebagainya. Tingkatan atau derajat demikian biasanya dipergunakan untuk kerabat-kerabat raja, untuk menggambarkan dekat atau jauhnya hubungan keluarga dengan raja yang bersangkutan.
Dikenal juga keturuanan garis bapak (keturunan patrilineal), yaitu hubungan darahnya dilihat dari segi laki-laki/ bapak. Dan keturuanan garis ibu (keturunan matrilineal), yaitu hubungan darahnya dilihat dari garis perempuan/ibu. Suatu masyarakat yang mengakui keturunan patrilineal (contoh di daerah Minangkabau) atau matrilineal (contoh di daerah Tanapuli) saja, disebut unilateral. Sedangkan yang mengakui keturunan dari kedua belah pihak disebut bilateral.
Lazimnya untuk kepentingan keturunannya dibuat “silsilah” yaitu bagan dimana digambarkan dengan jelas garis-garis keturunan dari seseorang dari suami/ isteri baik yang lurus ke atas maupun yang lurus ke bawah, ataupun yang menyimpang.
B.     Hubungan Anak dengan Orang Tua
Anak kandung memiliki kedudukan yang penting dalam keluarga yaitu: sebagai penerus generasi, sebagai pusat harapan orang tuanya dikemudian hari, sebagai pelindung orang tua kemudian haris apabila orang tuanya sudah tidak mampu baik secara fisik ataupun orang tuanya tidak mampu bekerja lagi.
Oleh karena itu, sejak anak itu masih dalam kandungan hingga ia dilahirkan, kemudian dalam pertumbuhan selanjutnya, dalam masyarakat adat diadakan banyak upacara-upacara adat yang sifatnya relegio-magis serta penyelenggaraannya berurut-urutan mengikuti perkembangan fisik anak yang semuanya itu bertujuan melindungi anak beserta ibunya dari segala macam bahaya dan gangguan-gangguan serta kelak anak dilahirkan, agar anak tersebut menjadi seorang anak dapat memenuhi harapan orang tuanya.
Wujud upacara setiap daerah berbeda satu dengan daerah yang lainnya. Misalnya upacara-upacara daerah Priangan, masyarakat adat Priangan mengadakan upacara secara kronologis sebagai berikut :
a.       Anak masih dalam kandungan : bulan ke 3, 5, bulan ke 7 dan ke 9, dan pada bulan ke 7 upacara adat khusus disebut “Tingkep”.
b.      Pada saat lahir : penanaman “bali” atau kalau tidak ditanam diadakan upacara penganyutan ke laut.
c.       Pada saat “tali ari” diputus, diadakan sesajen dan tali ari yang diputus disimpan di dalam “gonggorekan”-nya (kantong obat), serta pada saat itu juga pemberian nama kepada bayi.
d.      Setelah anak berumur 40 hari, upacara cukur yang diteruskan dengan upacara “nurunkeun” (pertama kalinya kaki bayi disentuhkan pada tanah).
Disamping itu, juga sangat diperhatikan hari-hari kelahiran anak, misalnya anak lahir pada hari kamis, maka tiap hari kamis diadakan “sesajen” demi keselamatan anak.
Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah antara suami dan istri adalah hal yang normal. Tetapi dalam kenyataan, tidak semuanya berjalan dengan normal seperti berikut:
1.      Anak Lahir di Luar Perkawinan
Bagaimana pandangan masyarakat adat terhadap peristiwa ini dan bagaimana hubungan antara si anak dengan wanita yang melahirkan dan bagaimana dengan pria yang bersangkutan?
Pandangan beberapa daerah tidak sama, ada yang menganggap biasa (Mentawai, Timor, Minahasa dan Ambon); yang mencela dengan keras di buang di luar persekutuan, bahkan dibunuh dipersembahkan sebagai budak (seperti di daerah kerajaan-kerajaan dahulu). Dilakukan pemaksaan kawin dengan pria yang bersangkutan (oleh rapat marga di Sumatra), atau mengawinkan dengan laki-laki lain, dengan laki-laki lain dimaksudkan agar anak tetap sah seperti di Jawa disebut nikah tambelan dan di suku Bugis disebut pattongkog sirig. Meskipun demikian, anak tersebut di Jawa disebut anak haram jadah dan di Bali disebut astra.
2.      Anak Lahir karena Hubungan Zinah
Apabila seorang isteri melahirkan anak karena hubungan gelap dengan seorang pria lain bukan suaminya, maka menurut hukum adat, laki-laki itu menjadi bapak dari anak tersebut.
3.      Anak Lahir setelah Perceraian
Anak yang dilahirkan setelah perceraian, menurut hukum adat mempunyai bapak bekas suami si ibu yang melahirkan tersebut, apabila terjadi masih dalam batas-batas waktu mengandung. Hubungan anak dengan orang tua (anak bapak atau anak ibu) menimbulkan akibat hukum sebagai berikut:
a.       Larangan kawin antara anak bapak atau anak ibu.
b.      Saling berkewahiban memelihara dan memberi nafkah
C.    Hubungan Anak dengan Keluarga
Pada umunya hubungan anak dengan keluarga ini sangat tergantung dari keadaan social dalam masyarakat yang bersangkutan. Seperti yang telah diketahui di awal bahwa di Indonesia ini terdapat persekutuan yang susunan berlandaskan tiga macam garis keturunan yaitu keturunan ibu, keturunan bapak, dan keturunan ibu bapak.
Maksudnya dalam garis keturunan bapak dan ibu (bilateral), hubungan anak dengan pihak bapak dan ibu sama eratnya, derajatnya ataupun pentinganya. Lain halnya dalam garis keturunan unilateral (patrilineal atapun matrilineal) adalah tidak sama eratnya, , derajatnya ataupun pentinganya.
D.    Memelihara Anak Yatim Piatu
Apabila dalam suatu keluarga, salah satu dari orang tuanya bapak atau ibunya sudah tidak ada lagi, maka anak-anak yang belum dewasa dipelihara oleh salah satu orang tuanya yang masih hidup.
Jika kedua orang tuanya tidak ada, maka yang memelihara anak-anak yang ditinggalkan adalah salah satu dari kelurga yang terdekat dan yang paling memungkinkan untuk keperluan itu. Dalam keadaan demikian biasanya tergantung pada anak diasuh dimana pada waktu ibu dan bapaknya masih ada, kalau biasanya diasuh dikeluarga ibu, maka anak akan diasuh oleh keluarga ibu dan sebaliknya.
Dalam keluarga matrilineal, jika bapaknya meninggal dunia, maka ibunya meneruskan kekuasannya terhadap anak-anak yang belum dewasa. Jika ibunya yang meninggal dunia, maka anak-anak yang belum dewasa berada pada kerabat ibunya serta dipelihara terus oleh kerabat ibunya yang bersangkutan, sedangkan hubungan antara anak dengan bapaknya dapat terus dipelihara.
Dalam keluarga yang patrilineal jika bapaknya meninggal dunia, maka ibunya terus memelihara anak-anak yang belum dewasa, jika ibunya meninggalkan rumah dan pulang kerumah lingkungan keluarganya atau kawin lagi, maka anak-anak tetap pada kekuasaan keluarga almarhum suaminya.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas, makin hari atau lambat laun mengalami perubahan dan penyimpangan-penyimpangan menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan cara berfikir masyarakat yang modern.
E.     Mengangkat atau Pengambilan Anak (Adopsi)
Mengangkat anak (adopsi) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sehingga timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandung sendiri. Dilihat dari sudut anak yang dipungut, maka dapat dibedakan beberapa macam, sebagai berikut:
1.      Mengangkat Anak bukan Warga Keluarga
Lazimnya tindakan ini disertai dengan penyerahan barang-barang magis atau sejumlah uang kepada keluarga anak semula. Alasan adopsi pada umumnya takut tidak ada keturunan. Kedudukan hukum anak adopsi ini adalah sama dengan anak kandung suami istri yang mengangkatnya, sedangkan kekeluargaan dengan orang tua sendiri secara adat menjadi putus.
Adopsi harus terang artinya wajib dilakukan dengan upacara adat serta dengan bantuan kepala adat. Hal demikian terdapat di daerah Gayo, Lampung, Pulau Nias dan Kalimantan.
2.      Mengangkat Anak dari Kalangan Keluarga
Alasan mengadopsi anak ini sama dengan yang di atas, yaitu karena takut tidak mempunyai keturunan.
Di Bali perbuatan ini disebut nyentanayang, adapun dalam keluarga dengan selir-selir, maka apabila isterinya tidak mepunyai anak, biasanya anak-anak dari selir-selir itu diangkat untuk dijadikan anak istrinya.
Prosedur pengambilan anak di Bali sebagai berikut:
a.       Wajib membicarakan kehendak untuk mengangkat anak dengan keluarganya secara matang
b.      Dilakukan sesuai dengan adat yaitu dengan jalan membakar  benang yang melangbangkan hubungan anak dengan keluarganya putus
c.       Memasukkan anak tersebut dalam hubungan kekeluargaan yang memungut, istilahnya diperas.
d.      Pengumuman kepada warga, pada zaman kerajaan dahulu dibutuhkan surat izin raja terkait dengan adopsi ini yang berupa surat peras (akta).
3.      Mengangkat Anak dari Kalangan Keponakan-Keponakan
Perbuatan ini terdapat di Jawa, Sulawesi dan beberapa daerah lain. Sebab pengankatan keponakan sebagai anak karena;
a.       Tidak punya anak sendiri
b.      Belum dikaruniai anak
c.       Terdorong oleh rasa kasihan
Sesungguhnya perbuatan ini merupakan pergeseran kekeluargaan  dalam lingkungan keluarga. Lazimnya ini tidak disertai dengan pembayaran atau penyerahan barang. Tetapi di Jawa Timur sekedar sebagai tanda bahwa hubungan anak dengan orang tuanya terputus (pedot), orang tua kadung anak tersebut diberi uang sejunlah rongwang segobang (=17 ½ sen ) sebagai syarat. Sedangkan di Minahasa diberi tanda yang disebut parade sebagai pengakuan.
Selain itu dikenal juga dengan istilah pemungutan anak yang maksud serta tujuannya buakn semata karena untuk memperoleh keturunan melainkan lebih untuk memberikan kedudukan hukum kepada anak yang dipungut agar lebih baik dan menguntungkan dari semula. Misalnya mengangkat anak laki-laki dari selir (Lampung, Bali) dan mengangkat anak tiri menjadi anak sendiri.
Perlu ditegaskan, bahwa nak yang diangkat itu pada umumnya mereka yang belum kawin dan kebanyakan anak yang belum dewasa. Sedangkan yang mengangkat biasanya orang yang sudah menikah serta yang berumur jauh lebih tua dari pada anak angkatnya, sehingga anak tersebut memang pantas diangkat menjadi anaknya.
Mungkinkah adopsi dicabut atau digugurkan? Adopsi pada asasnya dapat digugurkan atau dicabut dalam hal-hal yang dapat juga menjadi alasan untuk membuang anak kandung sendiri dari lingkungan keluarga.
Share:

3 komentar:

  1. Terimakasih atas informasinya. Silahkan mampir ke blog saya dan baca artikel yang berjudul hukum kekeluargaan adat

    BalasHapus
    Balasan
    1. sama-sama, saling melengkapi artikelnya, biar semakin luar cara pandang dalam memahami hukum adat

      Hapus

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Makalah

Info

Opini