Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Politik Masa Pertengahan: Pemikiran Ibnu Taimiyyah tentang Keadilan sebagai Esensi - Bagian 5

Implikasi Dan Relevansi Pemikiran Ibnu Taimiyyah 
Dalam Kehidupan Politik Bernegara Dewasa Ini

Sungguhpun pemikiran Ibnu Taimiyyah tersebut merupakan hasil dialog kritis dengan fenomena sosial ekonomi politik pada zamannya, ataupun hasil pergumalan pemikiran dengan para pemikir pendahulu dan sezamannya, kiranya sebagian pemikiran Ibnu Taimiyyah tentang politik dan pemerintahan jelas masih mempunyai relevansi dan implikasi dengan kehidupan bermasyarakay, berbangsa dan bernegara dewasa ini.
Konsep Ibnu Taimiyyah tentang pentingnya seorang pemimpin dalam suatu perkumpulan walaupun hanya terdiri dari tiga orang sangat diperlukan saat ini. Apalagi jika perkumpulan itu lebih dari tiga orang, maka kebutuhan akan seorang pemimpin adalah suatu keniscayaan yang tentunya lebih membutuhka keberadaan pemimpin tersebut.
Namun tidak sembarang orang bisa menjadi pemimpin. Seseorang layak menjadi seorang pemimpin jika memilki sifat amanah dan adil. Jika sifat ini tidak dimiliki oleh seorang pemimpin maka kepemimpinannya akan mengalami pergolakan dengan yang dipimpinnya dan sekitarnya karena tidak berpegang teguh sifat amanah dan adil. Sifat ini sangat diperlukan demi terwujudnya tujuan syar’iyyah. Dalam konteks Negara Indonesia, maka tujuan tersebut tercantum dalam UUD 1945 alinea keempat.
Dalam masalah penegakan hokum, konsep Ibnu Taimiyyah kiranya masih sangat relevan dengan kehidupan sekarang ini. Karena konsep hukum tersebut hampir sama dengan konsep hukum yang berlaku sekarang ini dengan menganut asas praduga tak bersalah sebelum dibuktikan di depan pengadilan disertai dengan saksi-saksi.
Adapun tentang penerimaan kas negara, maka ghanimah yang saat ini tidak mungkin untuk dilakukan mengingat hamper semua Negara di dunia telah memilki kedaultan sendiri dan merdeka. Oleh karena itu tidak dibenarkan saat ini untuk menginvasi suatu Negara demi menguasai sumber daya alam negara tersebut.
Adapun yang berkenaan dengan sedekah dalam arti zakat, saat ini merupakan salah satu pendapatan bagi umat islam yang sangat potensial bagi kemajuan islam itu sendiri apabila digali dan dikelola dengan baik. Hanya saja saat ini pengumpulan dan pengelolaan zakat masih kurang optimal sehingga fungsi zakat untuk pemberdayaan umat dan perjuangan islam kurang berjalan dengan baik. Pengelolaan zakat saat ini masih terkesan terkotak pada lembaga tertentu dan daerah tertentu saja. Selain itu kuranya kesadaran mereka yang telah terkena kewajiban membayar zakat untuk membayarkan zakatnya tersebut. Oleh karena itu diperlukan satu pengorgaisasian masalah zakat dari tingkat nasional hingga daerah dan akuntabilitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga hal ini akan memupuk dan menambah kepercayaan orang islam terhadap pengelola zakat tersebut.
Adapaun untuk sektor fa’i, maka untuk saat ini telah mengalami perkembangan dengan cakupan yang lebih luas lagi. Banyak sektor pendapatan yang dulu belum dimasukan dalam kriteria tersebut, maka di zaman yang modern banyak sektor-sektor yang masuk dalam penerimaan negara. Adapun untuk penamaan saat ini tidaklah degan faiI mengingta terlalu umumnya makna tersebut sehingga cakupannya terlalu luas. Saat ini sektor-sektor penerimaan negara memilki spesifikasi tersendiri sehingga manajemennya menjadi lebih teratur dan terstruktur.

B.      KESIMPULAN
Sepanjang abad ke-13 M adalah saat-saat dunia islam sedang dilanda krisis kekuasaan politik. Pada masa itu, dunia islam tengah dihadapkan kepada tiga buah marabahaya yaitu pasukan salib dari Eropa, tentara Mongol dari Timur dan disintegrasi politik dalam tubuh umat islam.
Dasar pijakan pendekatan yuridis Ibnu Taimiyyah adalah mazhab Hanbali, mahzab hukum islam yang paling ortodoks. Mazhab ini ditandai dengan ketundukan yang tegas kepada teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah, dua sumber teologi dan hukum Islam bagi para pemimpinnya. seorang pemimpin mempunyai status ganda, sebagai duta Tuhan yang bertanggungjawab kepada yang mengutusnya dan sebagai wakil hamba yang bertanggungjawab pula dalam mengemban amanah orang-orang yang telah menunjuknya.
Dalam kedudukannya sebagi duta ia tidak boleh menyimpang dari ketetapan yang telah digariskan oleh yang mengangkatnya. Begitu pula, dalam kedudukannya sebagai wakil, ia pun tidak boleh mengkhianati amanah orang-orang yang diwakilinya Pemikian-pemikiran Ibnu Taimiyyah saat ini masi ada implikasi dan relevansinya dengan kehidupan modern.




Daftar Kepustakaan

al-Utsaimin ,Muhammad bin Shalih, Politik Islam Ta’liq Siyasah Syar’iyyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Jakarta, Griya Ilmu, 2009
Jindan, Khalid Ibraham, Teori Pemerintahan Islam menurut Ibnu Taimiyah, terj:Mufid,  Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1994
Khan, Qamaruddin, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah, terj:Anas Mahyudin, Bandung, Pustaka, 1983
Khan, Qomarudin, The Political Thought of Ibn Taymiyah, Delhi, Adam Publisher & Distributor, 1992
Salim, M. Arskal G.P.,  Etika Intervensi Negara Perspektif Etika Politik Ibnu Taimiyah, Jakarta, PT. Logos Wacana Ilmu, 1999
Taimiyyah, Ibnu,  Fatwa-Fatwa Ibnu Taimiyyah, terj. Izzuddin Karimi, Jakarta, Pustaka Shahifa, 2008



Share:

Politik Masa Pertengahan: Pemikiran Ibnu Taimiyyah tentang Keadilan sebagai Esensi - Bagian 4

Pokok Pikiran Keadilan Ibnu Taimiyyah dalam Konsep Politik Kenegaraan

1.      Hubungan Negara dan Agama
Al-Qur’an tidak memuat secara eksplisit perintah untuk mendirikan sebuah negara.Di dalam al-Qur’an hanyalah konsep-konsep ad hoc yang berkaitan dengan prinsip-prinsip kehidupan bermasyarakat seperti musyawarah dan konsultasi, ketaatan kepada pemimpin, menegakan keadilan, persamaan, tolong-menolong dan kebebasan/toleransi beragama. Karena itulah, dapat dimaklumi jika sebagian pemikir muslim dalam karangn politiknya mengembangkan teori kemunculan negara tidak selalu berpijak pada ayat-ayat al-Qur’an. Melainkan banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani.Tidak terkecuali juga Ibnu Taimiyyah, menurut Rosebthal Ibnu Taimiyyah juga dipengaruhi oleh filasafat Yunani.[1] Namun berbeda dengan pemikir islam lainnya sperti Ibnu Abi Rabi’, al Farabi, al Mawardi, al Ghazali dan Ibnu Khaldun yang menguraikan secara sosiologis tentang asal mula timbulnya negara. Ibnu Taimiyyah kurang tertarik dengan persoalan asal usul negara dan lebih memfokuskan kepada suatu permasalahan mengapa sebuah pemerintahan harus berdiri.[2]
Konsep Ibnu Taimiyyah mengenai kebutuhan akan negara didasarkan pada akal dan hadis. Argument rasionalnya adalah terletak pada kebutuhan universal semua manusia untuk bergabung, bekerjasama dan menikmati berbagai manfaat kepemimpinan tanpa peduli apakah mereka menganut suatu agama atau tidak. Argumen rasional tersebut juga diperkuat dengan landasan dari sunnah. Ia mengajukan sejumlah sunnah atau hadis nabi yang menekankan perlunya kepemimpinan dan pemerintahan. Ibnu Taimiyyah mengutip sabda nabi,”Apabila ada tiga orang melakukan perjalanan, maka angkatlah salah satu dari mereka sebagai pemimpin”.[3] Beliau juga mengatakan bahwa tujuh puluh tahu di bawah kepemimpinan yang zalaim lebih maslahat daripada semalam tanpa ada pemimpin.[4]
Menurut Ibnu Taimiyyah, seorang pemimpin mempunyai status ganda, sebagai duta Tuhan yang bertanggungjawab kepada yang mengutusnya dan sebagai wakil hamba yang bertanggungjawab pula dalam mengemban amanah orang-orang yang telah menunjuknya. Dalam kedudukannya sebagi duta ia tidak boleh menyimpang dari ketetapan yang telah digariskan oleh yang mengangkatnya. Begitu pula, dalam kedudukannya sebagai wakil, ia pun tidak boleh mengkhianati amanah orang-orang yang diwakilinya.[5]
Dalam kaitannya hubungan antara agama dan negara, Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa kekuasan dan pemerintahan dibutuhkan untuk mewujudkan terselenggaranya kewajiban-kewajiban keagamaan. Dengan demikian penegakan negara bukanlah merupakan tujuan tetapi tak lebih sebagai sekedar instrumen untuk melaksanakan ajaran-ajaran islam.Beliau juga mengatakan seandainya kekayaan dan kekuasaan dijadikan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, sudah barang tentu antara kehidupan agama dan duniawi akan tercipta keserasian.[6]
2.      Hakikat Negara
Ibnu Taimiyyah agaknya memilki pandangan yang berbeda tentang konsep ketatanegaraan. Beliau tidak mempersoalkan bentuk sebuah negara. Tapi yang terpenting dan fokus bagi beliau adalah pelaksanaan syariah dalam suatu negara. Hal ini menandakan bahwa kekuasaan tertinggi dalam mengatasi segala wewenang yang lain dalam negara adalah syari’ah.[7] Sikap Ibnu Taimiyyah ini menggiring kita untuk menarik sebuah kesimpulan bahwa konsep kedaulatan yang dipakai oleh Ibnu Taimiyyah adalah konsep kedaulatan hukum. Ada beberapa alasan yang menguatkan bahwa konsep kenegaraan yang dibangun oleh Ibnu Taimiyyah adalah kedaulatan hukum antara lain :[8]
a.      Syar’iah merupakan sumber hukum yang tertinggi dan berada di atas segalanya. Segala bentuk tindakan dan perbuatan manusia harus memilki landasan, atau paling tidak dijiwai oleh kesesuaian dengan Syari’ah. Maka, apabila timbul konflik ataupun perbedaan pendapat, penyelesaiannya haruslah merujuk pada ketentuan Syari’ah. Lebih dari itu, ketaatan kepada sebuah pemerintahan hanya dapat diberikan sepanjang pemerintahan itu konsisten dan tunduk pada Syari’ah yang telah digariskan oleh Allah dan Rosul-Nya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
b.      Penerapan hukum dilakukan tanpa pandang bulu, baik terhadap orang yang terhormat, orang yang hina, maupun orang yang lemah. maka, jika suatu tindak kriminal telah terbukti, tak ada seorangpun atau apapun yang dapat membatalkan hukuman atas pelanggaran itu.
c.       Untuk menindak pihak yang diduga melakukan pelanggaran, dibutuhkan suatu pembuktian yang memadai. Jadi penerapan sanksi tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang, sekalipun oleh penguasa sendiri. Dalam hal ini Ibnu Taimiyyah mengutip sebuah hadis bahwa pada zaman nabi saw ada seorang wanita yang secara sembrono menuduh orang melakukan perbutan mesum. Atas hal itu nabi berkata,”Jika sekiranya saya boleh menjatuhkan hukuman rajam pada diri seseorang tanpa pembuktian, sungguh saya akan merajam perempuan ini.’ Jelaslah syari’ah menganut asa praduga tak bersalah.
d.      Menetapkan hukum qishas dan hudud dalam rangka memelihara manusia dari ancaman jiwa dan fisik, dari penganiayaan salah satu anggota tubuhnya, dari penghinaan terhadap kehormataan pribadnya dan dari tuduhan fitnah atas dirinya.
3.      Tujuan dan Fungsi Tujuan Negara
Dari pembahasan sebelumya kita mengetahui negara bagi Ibnu Taimiyyah tak lebih sebagai sarana bukan sebagai tujuan.Negera diselenggarakan agar tujuan syari’ah dapat terwujud. Jadi dalam hal ini, mempersoalkan tujuan negara sesungguhnya secara tak langsung mempertanyakan apa yang menjadi tujuan dari syari’at itu sendiri.
Adapun fungsi negara menurut Ibnu Taimiyyah berdasarkan dua kitab politik karangannya, al-Siyasah dan al-Hisbah, sedikitnya bisa disimpulkan fungsi suatu negara dalam ranka mencapai tujuan negara yaitu:[9]
a.      Pelaksanaan dasar-dasar agama islam
b.      Penegakan hokum/keadilan dan perlindungan hak
c.       Pemeliharaan ketertiban dan keseimbangan ekonomi
d.      Penyediaan insfrastruktur sosial
e.      Pembelaan keamanan Negara
4.      Sumber Penerimaan Negara
Harta negara yang tercantum dalam al-qur’an dan as-Sunah terbagi mejadi tiga jenis yaitu ghanimah, sedekah dan fai[10]
a.      Ghanimah
Sektor penerimaan in berupa harta begerak yang diperoleh dari hasil peperangan melawan musuh (kafir). Allah telah menyebutkan hal tersebut dalam surat al-Anfal yang diturunkan ketika perang badar. Surat ini dinamakan al-Anfal (Pemberian) karena ghanimah dapat memberikan tambahan bagi kaum muslimin. Allah swt berfirman:

{يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَنْفَالِ قُلِ الْأَنْفَالُ لِلَّهِ وَالرَّسُولِ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ} [الأنفال: 1]

Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: "Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman."

Di masa awal islam, harta tak bergerak (tanah) juga digolongkan sebagai ghanimah dan dibagikan kepada mereka yang turut serta dalam peperangan. Sedangkan pada zaman khalifah Umar bin Khattab, harta tak bergerak itu tidak dipertimbangkan lagi sebagai ghanimah, sehingga tetap merupakan kepunyaan pemlik yang mengelolanya. Hanya saja, pemilik itu diwajibkan membayar pajak kepada Negara.[11]
b.      Sedekah (zakat)
Yang dimaksud sedekah disini adalah zakat.[12] Zakat merupakan salah satu kewajiban orang islam yang memilki arta berlebih. Oleh karenanya, zakat merupakan sumber yang terpenting dalam penerimaan negara. Zakat bukanlah semata-mata diperuntukan utuk memenuhi keperluan Negara semata, namun lebih sebagai aset Negara dalam melaksanakan kegiatan pembangunan, khususnya untuk mengurangi kesenjangan ekonomi diantara warga Negara sehingga dapat berperan sebagai dasar tejadinya kesetiakawan social. Adapaun orang-orang yang berhak menerima zakat adalah mereka yang telah disebutkan oleh Allah swt dalam al-Qur’anul karim.
إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَرْضَ فِي الصَّدَقَةِ بِحُكْمِ نَبِيٍّ وَلَا غَيْرِهِ، حَتَّى كَانَ هُوَ الَّذِي جَزَّأَهَا ثَمَانِيَةَ أَجْزَاءٍ، فَإِنْ كُنْتَ مِنَ الْأَجْزَاءِ أَعْطَيْتُكَ
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak ridho apabila zakat itu dibagikan berdasarkan kehendak Nabi atau selainnya, akan tetapi zakat itu diperuntukkan bagi 8 golongan, jika engkau termasuk salah satu golongan tersebut, engkau akan aku beri.
c.       Fa’i
Pada mulanya fa’i diartikan sebagai harta benda yang diperoleh darimusuh tanpa peperangan. Tapi bagi Ibnu Taimiyyah, semua jenis harta diluar ghanimah dan sedekah digologkan sebagai fa’i. jenis-jeis fa’i itu adalah:[13]
a.      Jizyah (pajak atas orang-orang Yahudi dan Nasrani)
b.      Upeti tahunan dari musuh yang ditakluka
c.       Hadiah-hadiah yang diperuntukan kepada kepala negara
d.      Bea cukai atau pajak perdagangan lintas negara
e.      Hukuman-hukuman denda
f.        Harta-harta yang tak bertuan
g.      Harta peninggalan yang tak mempunyai ahli waris
h.      Harta sitaan, piutang, ataupun harta titipan yang tidak diketahui pemiliknya
5.      Alokasi Pembelanjaan Negara
Bagi Ibnu Taimiyyah, kas negara merupakan amanah yang berada di tangan penguasa yang harus dikelola dengan baik berdasarkan syari’at untuk kepentingan masyarakat umum. Dengan kata lain, penguasa tak lebih sebagai pegawas dan pengemban amanah, dan bukan seperti halnya seorang raja yang dapat membagi-bagikan harta tersebut sekehendak hatinya.
Sehubungan denga hal itu, Ibnu Taimiyyah menyitir sabda nabi Muhammad saw,”Demi Allah, sesungguhnya aku tak akan memberikan sesuatu kepada seseorang dan tidak pula akan menghalangi seseorang dari haknya, melainkan aku ini hanyalah pelaksana yang berbuat sebagaimana yang diperintahkan kepadaku[14]
Dalam mengalokasikan anggaran anggaran belanja itu, Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa pembelanjaan wajib dilakukan berdasarkan skala prioritas, dimulai dari sektor yang paling primer hingga sekunder, dan menjangkau kepentingan umum umat seluas-luasnya. Adapun target-target alokasi pembelanjaan itu adalah sebagai berikut:[15]
a.      Biaya pertahanan dan keamanan
b.      Gaji pembesar, pegawai negara, dan pelaksana tugas yudisial dan keagamaan
c.       Pembangunan sarana dan fasilitasumum, seperti benteng, jalan, jembatan dan pelabuhan
d.      Pembangunan saranan dan fasilitas penujang pendidikan
Walaupun begitu, Ibnu Taimiyyah agaknya tidak bermaksud bahwa semua sumber penerimaan tidak hanya saja dialokasikan utuk target-target pembelanjaan di atas. Ghanimah dan sedekah misalnya dialokasikan sesuai dengan ketentuan yang telah diatur al-Qur’an. Adapaun fa’i memang disediakan untuk memenuhi semua kebutuhan belanja negara.
Hal yang terpenting perlu dicatat bahwa Ibnu Taimiyyah tidak mewajibkan semua sumber penerimaan dari pos zakat dibagikan secara merata kepada delapan golongan mustahik zakat. Menurutnya pembagian zakat didasarkan pada tingkat kebutuhan dan kepentingan. Jika salah satu golongan lebih membutuhkan ketimbang golongan yang lain, maka zakat dibagikan lebih besar kepada golongan mustahik yang membutuhkan itu. Lebih jauh Ibnu Taimiyyah merumuskan dua criteria pembagian zakat yaitu memenuhi kebutuhan umat islam dan mendukung perjuangan umat islam. Jadi jika ada calon mustahik yang tidak memenuhi salah satu criteria itu, ia tidak berhak menerima zakat.
Akan halnya sektor penerimaan negara lainnya, fa’i  haruslah dibayar sekalipun penguasa tersebut bertindak zalaim. Ibnu Taimiyyah menegaskan pernyataan ini dengan mengutip sabda nabi,”Berikanlah olehmu kepada mereka apa yang menjadi haknya,karena Allah swt akan meminta pertanggungjawaban mereka dari harta yang mereka pergunakan”.[16]

6.      Etika politik dalam berbangsa dan bernegara
a.      Amanah
Ibnu Taimiyyah memandang istilah amanah mencakup dua konsep yaitu kekuasan (politik) dan harta benda (ekonomi). Berhubung kekeuasan merupakan amanah yang harus ditunaikan, wajarkiranya jika kita melihat Ibnu Taimiyah menempatkan sifat amanah sebagai slah satu syarat menjadi seorang pemimpin. Dalam kaitannya dengan kekuasaan politik, amanah mengandung arti keharusan menunaikan amanat yang menjadi tanggung jawabnya, baik amanat dari Tuhan ataupun dari sesama manusia
Ibnu Taimiyyah juga menuliskan beberapa kezaliman-kezaliman yang dilakukan oleh seorang penguasa terhadap rakyatnya dan tindakan pencegahannya antara lain:[17]
1.   Pemerintah hendaknya menahan diri untuk tidak mengambil atau merampas harta benda rakyat ataupun harta negara yang bukan menjadi haknya. Jika terdapat harta benda milik rakyat yang diperoleh secara tidak halal, maka hatus dikembalikan oleh penguasa kepada pemiliknya
2.   Pembesar dan pejabat dalam melaksakan tugas-tugasnya seyogyanya tidak menerima hadiah dari siapapun. Sebab hadiah semacam ini akan membawa pengaruh bagi segala pelaksanaan tugas-tugasnya dan bisa pula berakibat timbulnya perbuatan kolusi dan korupsi.
3.   Apabila terdapat harta benda yag terlanjur disita oleh negara secara ilegal dan harta benda itupun sudah tidak diketahui lagi siapa pemiliknya untuk dikembalikan, maka harta semacam itu seyogyanya dipergunakan untuk kepentingan umum saja seperti sektor pertahanan kemanan dan pembayaran gajai para tentara
4.   Yang direalisasikan dalam pembanguan adalah kemaslahatan secara sempurna dan menekan seminimal mungkin timbulnya kerusakan. Dalam mempertimbangkan manfaat dan kerusakan yang mungkin muncul sebagai konsekuensi pembangunan, kiranya harus dilihat mana dianatara keduanya yang lebih dominan. Jika ternyata aspek manfaat lebih dominan, maka pembangunan dapat diteruskan. Sebalikya jika aspek kerusakan yang lebih domain, maka pembangunan sebaiknya segera dihentikan.
b.      Keadilan
Bagi Ibnu Taimiyyah, keadilan merupakan pilar fundamental bagi sebuah pemerintahan. Sedemikian pentingnya, sampai-sampai Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa pemerintahan yang adil walaupun dipimpin oleh orang kafir adalah lebih baik daripada sebuah pemerintahan yang muslim tapi berlaku zalaim.  Denga kata-katanya Ibnu Taimiyyah mengungkapkan,”Sesugguhnya Tuhan menolong pemerintahan yang zalim walaupun muslim. Keadilan walaupun dengan kekafiran memungkinkan kehidupan dunia yang terus berkesinambungan, tetapi kezaliman sungguhpun dengan keislaman tak akan mampu melestarika kehidupan dunia” dengan mengungkapkan hal itu, Ibnu Taimiyyah sesungguhnya hendak mengajukan bahwa esensi lebih penting daripada bentuk dan nilai lebih berharga daripada simbol.[18]
Bagi Ibnu Taimiyyah, negara tak lain adalah istrumen untuk mewujudkan keadilan sosial. Maka apapun label, simbol dan bentuk yang dipakai oleh negara dan pemerintaan, sejauh berguna bagi terwujudnya cita-cita keadilan adalah islami dan wajib untuk didukung. Sebaliknya, suatu negara pemerintahan dengan label, simbol dan bentuk apapun yang cenderung selalu melecehkan cita-cita keadilan dan kepentingan rakyat banyak adalah tidak islami dan tidak perlu ditaati. Bertolak dari itu semua, tidak diragukan lagi bahwa Ibnu Taimiyyah menghendaki agar pemerintah berlaku adil dalam melaksanakan tugas-tugasnya.


Selengkapnya Baca Makalah tentang Politik Masa Pertengahan: Pemikiran Ibnu Taimiyyah tentang Keadilan sebagai Esensi:





[1] M. Arskal Salim G.P.,  Etika Intervensi Negara … hal. 47
[2] M. Arskal Salim G.P.,  Etika Intervensi Negara…. hal. 48
[3] Ibnu Taimiyyah, Kebijaksanaan Politik Nabi SAW, terj:Muhammad Munawwir Az-Zahdi, Surabaya, Dunia Ilmu Offset, 1997 hal.158
[4]Ibnu Taimiyyah, Kebijaksanaan Politik… hal.159
[5]M. Arskal Salim G.P.,  Etika Intervensi… hal.50
[6]M. Arskal Salim G.P.,  Etika Intervensi… hal.51
[7]M. Arskal Salim G.P.,  Etika Intervensi… hal.53
[8]M. Arskal Salim G.P.,  Etika Intervensi… hal.54-56
[9]M. Arskal Salim G.P.,  Etika Intervensi… hal.64
[10] Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Politik Islam Ta’liq Siyasah Syar’iyyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Jakarta, Griya Ilmu, 2009, hal.88
[11]  M. Arskal Salim G.P.,  Etika Intervensi Negara … hal. 66
[12] Muhammad bin Shalih alutsaimin, Politik Islam Ta’liq Siyasah Syar’iyyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Jakarta, Griya Ilmu, 2009, hal.96
[13] M. Arshal hal. 68
[14]M. Arskal Salim G.P.,  Etika Intervensi… hal.70
[15]M. Arskal Salim G.P.,  Etika Intervensi… hal.71
[16] M. Arskal Salim G.P.,  Etika Intervensi… hal.72
[17] M. Arskal Salim G.P.,  Etika Intervensi… hal.77-78

[18] M. Arskal Salim G.P.,  Etika Intervensi… hal.80
Share:

Politik Masa Pertengahan: Pemikiran Ibnu Taimiyyah tentang Keadilan sebagai Esensi - Bagian 3

Kerangka Metodologi Pemikiran Ibnu Taymiyyah

Ibnu Taimiyyah adalah cermin pribadi yang mampu membangkitkan rasa kagum yang dalam pada sebagian masyarakat yang sekaligus juga caci maki pada sebagian yang lain. Para penyanjung memuja dan menghormatinya  sebagai seorang wali, sedang orang-orang yang menentangnya melemparkan kutukan dengan segala caci maki karena ia dianggap melanggar batas dan melakukan penyelewengan. Anggapan negatif mereka biasanya terungkap dalam bentuk makian tajam dan kadang juga deraan fisik yang memilukan.[1]
Dasar pijakan pendekatan yuridis Ibnu Taimiyyah adalah mazhab Hanbali, mahzab hukum islam yang paling ortodoks. Mazhab ini ditandai dengan ketundukan yang tegas kepada teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah, dua sumber teologi dan hukum Islambagi para pemimpinnya.[2]Metode mereka bertentangan dengan dengan metode Asy’ariyyah, aliran yang lebih dominan dan mengadopsi metode rasional dan logika dalam menjelaskan dasar-dasar keimanan yakni teologi. Ketika Ibnu Taimiyyah masih hidup, Asy’ariyyah telah lama memapankan diri sebagai penerjemah resmi mazhab Sunni dalam Islam setelah mazhab yang lain lebih berorientasi kepada filasafat Mu’tazilah.  Namun jika Asy’ariyyah banyak menolak penafsiran Mu’tazilah, maka mereka tidak menolak metode argumentasi rasional kaum Mu’tazilah bahkan seringkali justru berusaha memadukan keduanya.
Di sisi lain, Mazhab Hanbali secara konsisten  menolak untuk berpola pikir yang menyimpang dari Al-qur’an dan Sunnah. Sikap ini pula yang membedakan mereka dengan Mu’tazilah. Pada masa kejayaan Mu’tazilah atau selama dinasti Abbasiyyah dikendalaikan oleh Al-Makmun, Ahmad ibn Hanbali selalu ditekan  dan sering dipenjarakan karena pendapat-pendapatnya dalam masalah-masalah tertentu. Demikian juga Ibnu Taimiyyah yang berlatar belakang mazhab Hanbali tidak leluasa untuk mengembangkan diri dalam suasana yang didominasi oleh metodologi Asy’ariyah seperti halnya sufisme, tetapi juga metodologinya secara utuh dan pembaharuan-pembaharuan  yang ditawarkannya belum menyentuh semua mazhab hukum islam termasuk mazhab ibn Hanbali.[3]
Esensi metodologi Ibn Taimiyyah dapat diketahui dari uraiannya pada pengantar buku Ma’arij al-Wusul sebagai berikut:[4]
Nabi Muhammad telah menjelaskan agama, akar-akar dan cabang-cabangnya, baik sisi lahir maupun batin maupun sisi doktrin dan praktisnya.Mengetahui agama tersebut berarti memahami dasar-dasar pengetahuan dan keimanan. Artinya, seseorang yang berusaha mengkaji agama itu akan semakin dekat dengan kebenaran baik secara intelektual maupun praktek. Segala aspek praktis agama yang dikatakan orang sebagai cabang-cabang syari’ah atau hokum yelah dijelaskan nabi degan cara yang paling mengenai sasaran. Tidak ada perintah dan larangan Allah swt yang secara utuh tidak dijelaskan oleh nabi karena Allah swt berfirman : “Hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu”[5] dan juga firman: “Sungguh Kami telah menurunkan kitab kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu dan memberikan petunjuk, rahmat serta janji kepada orang-orang Islam”.









[1]Khalid Ibraham Jindan, Teori Pemerintahan Islam menurut Ibnu Taimiyah, terj:Mufid,  Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1994, hal. 24
[2]Qomarudin Khan, The Political Thought of Ibn Taymiyah, Delhi, Adam Publisher & Distributor, 1992, hlm. 3
[3]Khalid Ibraham Jindan, Teori Pemerintahan Islam … hal. 27
[4] Khalid Ibraham Jindan, Teori Pemerintahan Islam… hal. 27
[5]QS. Al-Maidah ayat 3
Share:

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Archives

Makalah

Info

Opini