Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Politik Masa Pertengahan: Pemikiran Ibnu Taimiyyah tentang Keadilan sebagai Esensi - Bagian 3

Kerangka Metodologi Pemikiran Ibnu Taymiyyah

Ibnu Taimiyyah adalah cermin pribadi yang mampu membangkitkan rasa kagum yang dalam pada sebagian masyarakat yang sekaligus juga caci maki pada sebagian yang lain. Para penyanjung memuja dan menghormatinya  sebagai seorang wali, sedang orang-orang yang menentangnya melemparkan kutukan dengan segala caci maki karena ia dianggap melanggar batas dan melakukan penyelewengan. Anggapan negatif mereka biasanya terungkap dalam bentuk makian tajam dan kadang juga deraan fisik yang memilukan.[1]
Dasar pijakan pendekatan yuridis Ibnu Taimiyyah adalah mazhab Hanbali, mahzab hukum islam yang paling ortodoks. Mazhab ini ditandai dengan ketundukan yang tegas kepada teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah, dua sumber teologi dan hukum Islambagi para pemimpinnya.[2]Metode mereka bertentangan dengan dengan metode Asy’ariyyah, aliran yang lebih dominan dan mengadopsi metode rasional dan logika dalam menjelaskan dasar-dasar keimanan yakni teologi. Ketika Ibnu Taimiyyah masih hidup, Asy’ariyyah telah lama memapankan diri sebagai penerjemah resmi mazhab Sunni dalam Islam setelah mazhab yang lain lebih berorientasi kepada filasafat Mu’tazilah.  Namun jika Asy’ariyyah banyak menolak penafsiran Mu’tazilah, maka mereka tidak menolak metode argumentasi rasional kaum Mu’tazilah bahkan seringkali justru berusaha memadukan keduanya.
Di sisi lain, Mazhab Hanbali secara konsisten  menolak untuk berpola pikir yang menyimpang dari Al-qur’an dan Sunnah. Sikap ini pula yang membedakan mereka dengan Mu’tazilah. Pada masa kejayaan Mu’tazilah atau selama dinasti Abbasiyyah dikendalaikan oleh Al-Makmun, Ahmad ibn Hanbali selalu ditekan  dan sering dipenjarakan karena pendapat-pendapatnya dalam masalah-masalah tertentu. Demikian juga Ibnu Taimiyyah yang berlatar belakang mazhab Hanbali tidak leluasa untuk mengembangkan diri dalam suasana yang didominasi oleh metodologi Asy’ariyah seperti halnya sufisme, tetapi juga metodologinya secara utuh dan pembaharuan-pembaharuan  yang ditawarkannya belum menyentuh semua mazhab hukum islam termasuk mazhab ibn Hanbali.[3]
Esensi metodologi Ibn Taimiyyah dapat diketahui dari uraiannya pada pengantar buku Ma’arij al-Wusul sebagai berikut:[4]
Nabi Muhammad telah menjelaskan agama, akar-akar dan cabang-cabangnya, baik sisi lahir maupun batin maupun sisi doktrin dan praktisnya.Mengetahui agama tersebut berarti memahami dasar-dasar pengetahuan dan keimanan. Artinya, seseorang yang berusaha mengkaji agama itu akan semakin dekat dengan kebenaran baik secara intelektual maupun praktek. Segala aspek praktis agama yang dikatakan orang sebagai cabang-cabang syari’ah atau hokum yelah dijelaskan nabi degan cara yang paling mengenai sasaran. Tidak ada perintah dan larangan Allah swt yang secara utuh tidak dijelaskan oleh nabi karena Allah swt berfirman : “Hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu”[5] dan juga firman: “Sungguh Kami telah menurunkan kitab kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu dan memberikan petunjuk, rahmat serta janji kepada orang-orang Islam”.









[1]Khalid Ibraham Jindan, Teori Pemerintahan Islam menurut Ibnu Taimiyah, terj:Mufid,  Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1994, hal. 24
[2]Qomarudin Khan, The Political Thought of Ibn Taymiyah, Delhi, Adam Publisher & Distributor, 1992, hlm. 3
[3]Khalid Ibraham Jindan, Teori Pemerintahan Islam … hal. 27
[4] Khalid Ibraham Jindan, Teori Pemerintahan Islam… hal. 27
[5]QS. Al-Maidah ayat 3
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Archives

Makalah

Info

Opini