Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Politik Masa Pertengahan: Pemikiran Ibnu Taimiyyah tentang Keadilan sebagai Esensi - Bagian 2

Biografi Dan Latar Belakang Sosial Politik 
Yang Mempengaruhi Pemikiran Ibnu Taimiyyah

1.    Biografi Ibnu Taimiyyah
Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Abdillah bin Muhammad bin al Hadlar bin Ali bin Abdillah bin Taimiyyah al Harrani ad Dimasyqi. Ia dilahirlkan di Harran Syiria, 5 tahun setelah jatuhnya Baghdad ke tangan Mongol atau tepatnya hari Senin, 10 Rabiul Awwal 661 H / 22 Januari 1263 M. Sewaktu Harran diserbu oleh Mongol pada tahun 1270 M keluarga besar Taimiyyah hijrah ke Damaskus dan menetap di sana. Saat itu Ibnu Taimiyyah berusia 7 Tahun.[1]
Ibnu Taimiyyah berasal dari keluarga besar Taimiyyah yang terpelajar dan terhormat. Ibnu Taimiyyah memperoleh pendidikannya di tengah lingkungan keluarganya sendiri yang secara turun temurun merupakan tokoh-tokoh yang cerdik dan pandai. Meskipun Ibnu Taimiiyyah besar dalam naungan keluarga bermazhab Hambali, beliau juga mengusai mazhab hukum lainnya.[2]
Sepanjang hidupnya Ibnu Taimiyyah banyak terlibat dalam perdebatan intelektual, polemik, dan konflik yang tak henti-hentinya akibat perbedaan pendapat dalam berbagai hal khususnya dalam hal keagamaan. Beliau berdebat tidak hanya dengan intern sunni, tetapi juga dengan golongan lain. Sumber konflik Ibnu Taimiyyah dengan lawan-lawannya itu dikarenakan pendapat Ibnu Taimiyyah yang didasarkan pada al Quran, Sunnah, dan praktik ulama salaf yang sering kali bertentangan dengan keyakinan dan praktik yang beredar luas pada masa itu. Selama lebih dari 40 tahun lamanya ia sering kali dimusuhi oleh para ulama, hakim, dan pemerintah terutama oleh golongan penganut mazhab Hanafi dan Maliki baik di Damaskus maupun di Kairo.[3]
Ibnu Taimiyyah dikenal sebagai ulama yang hebat dan seorang pejuang yang pemberani dengan kepribadian luhur. Al Hafidh Ibnu Hajar berkomentar tentang keistimewaan beliau ”Ibnu Taimiyyah merupakan ulama yang menguasai berbagai bidang keilmuan, dan aktif mengajar, serta menulis, yang kemampuannya melampaui ulama semasanya.” Adz Dzahabi pun berkomentar “saya tidak pernah melihat orang yang ibadahnya tekun dan bersungguh-sungguh seperti beliau, serta munajatnya kepada Allah sangat khusyu’.”[4]
Selama beliau hidup, banyak karangan atau karya yang ditulis olehnya, dalam bidang akidah, hadis, fikih, politik, dan tafsir. Di antaranya al Aqidah wa al Wasithiyyah, at Tafsir, as Siyasah as Syar’iyyah fi Ishlah ar Ra’i wa ar Ra’iyyah, dan lainnya. Karya beliau, sejauh yang tercatat, sebanyak 181 buku.[5]
Ibnu Taimyyah seringkali keluar masuk penjara karena sikap beliau yang kadang menguntugkan pihak penguasa. Beliau tujuh kali dijebloskan ke dalam penjara dengan beberapa tempat yang berbeda. Pertama kali beliau dipenjara di Damaskus pada tahun 693 H akibat fitnah yag dikobarka oleh seorang nasrani kepadanya. Dan yang ketujuh juga di Damaskus pada tahun 726-728 H akibat pandangan beliau tentang ziarah kubur. Dipenjara inilah beliau mengalami sakit selama 20 hari dan akhirnya beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada tengah malam senin 20 Dzul Qaidah 728 H.[6]
2.    Kondisi sosial politik pada masa kehidupan Ibnu Taimiyyah
Sepanjang abad ke-13 M adalah saat-saat dunia islam sedang dilanda krisis kekuasaan politik. Pada masa itu, dunia islam tengah dihadapkan kepada tiga buah marabahaya yaitu pasukan salib dari Eropa, tentara Mongol dari Timur dan disintegrasi politik dalam tubuh umat islam.[7]
Pasukan salib Kristen menyerbu Syiria dan Palestina, membantai kaum muslimin dan mendirikan negara kecil di pesisir pantai laut tengah di bawah proteksi kerajaan Prancis dan kerajaan-kerajaan Eropa lainnya. Di saat yang sama, dunia islam secara politis juga sedang mengalami proses disintegrasi. Khilafah Abbasyiyyah di Baghdad tak lain merupakan wayang yang di dalangi Dinasti Saljuq, sementara Dinasti Saljuq sendiri terpilah-terpilah menjadi kerajaan kecil yang tak henti-hentinya saling memerangi.
Setelah hampir tujuh abad lamanya tumbuh dan berjaya meletakan hegemoni politik global dengan wilayah yang mencakup Semenanjung Siberia (Spanyol) di sebelah barat daya hingga perbatasan Cina di sebalah timur, Islam tak berdaya menghadapi serangan tentara Mongol yang berhasil merebut Baghdad pada tahun 1258 M. bahkan selang dua tahun kemudian bangsa Tartar itu terus maju merambah ke wilayah sebelah barat dunia islam menguasai Damaskus dan Aleppo.[8]
Dapat dikatakan bahwa dunia islam pada saat itu dalam keadaan kriris kekuasaan politik. Satu-satunya pemerintahan yang dapat bertahan adalah pemerintahan Dinasti Mamluk di Mesir yang berdirisejak tahun 1250 M. Dinasti ini merupakn salah satu jenis pemerintahan yang paling unik dalam sejarah kerajaan-kerajaan islam. Bahkan boleh jadidiantara semua kerajaan yang pernah hadir di muka bumi. Hal itu karena Dinasti Mamluk adalah pemerintahan yang didirikan oleh bekas budak-budak militer yang berasala dari budak belian berbangsa Turki, Kurdi, Armenia dan sirkassia.

Selengkapnya Baca Makalah tentang Politik Masa Pertengahan: Pemikiran Ibnu Taimiyyah tentang Keadilan sebagai Esensi:





[1]M. Arskal Salim G.P. Etika Intervensi Negara Perspektif Etika Politik Ibnu Taimiyyah, Jakarta, Logos, 1999, hal.39-40
[2]M. Arskal Salim G.P. Etika Intervensi Negara … hal. 40
[3] Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah, terj:Anas Mahyudin, Bandung, Pustaka, 1983 hal.19
[4] Ibnu Taimiyyah, Fatwa-Fatwa Ibnu Taimiyyah, terj. Izzuddin Karimi, Jakarta, Pustaka Shahifa, 2008, hlm.40-41
[5]Ibnu Taimiyyah, Fatwa-Fatwa Ibnu Taimiyyah… hlm.33-39
[6] Ibnu Taimiyyah, Fatwa-Fatwa Ibnu Taimiyyah…hlm.44
[7] M. Arskal Salim G.P. Etika Intervensi Negara … hal.24
[8]M. Arskal Salim G.P. Etika Intervensi Negara … hal.24
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Archives

Makalah

Info

Opini