Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Talak - Bagian 2 (Definisi, Rukun dan Syarat Talak)

  1. Definisi Talak
Talak berasal dari kata “إطلاق” yang menurut bahasa artinya “melepaskan atau meninggal”.[1] Dalam kitab Kifayat al-Akhyar dijelasknan bahwa kata talak adalah lafadz jahiliah yang setelah islam datang menetapkan lafadz tersebut sebagai kata untuk melepaskan nikah.[2] Sedangkan menurut istilah sebagaimana yang didefinisikan Sayyid Sabiq, talak yaitu:
حل ربطة الزواج وإنهاء العلاقة الزوجية[3]
Melepaskan tali pernikahan dan mengakhiri hubungan suami isteri
Al-Jaziry mendefinisikan:
الطلاق ازالة النكاح او نقصان حله بلفظ مخصوص[4]
Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu.
Menurut Zakaria al-Anshari, talak ialah:
حل عقد النكاح بلفظ الطلاق ونحوه[5]
Melepaskan tali akad nikah dengan kata talak dan yang semacamnya.
Sedangkan Syaikh Hasan Ayyub memberikan definisi yang sangat singkat bahwa yang dimaksud dengan talak adalah pemutusan tali pernikahan.[6]
Dari beberapa definisi di atas, jadi talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan tersebut isteri tidak lagi halal baginya dan ini terjadi dalam hal talak ba’in. Sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga manjadi dua, dari dua menjadi satu dan dari satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu dalam hal ini terjadi dalam talak raj’i.
  1. Rukun dan Syarat Talak
Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak bergantung ada pada kelengkapannya unsur-unsur dimaksud. Rukum talak ada empat[7], sebagai berikut:
1.      Suami, adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya, selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Karena hal tu bersifat menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang sah. Untuk sahnya talak, suami disyaratkan.
a.      Berakal, sehingga suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak. Yang dimaksud gila dalam hal ini adalah hilang akal atau rusak akal karena sakit, termasuk sakit ingatan karena rusak syaraf otak.
b.      Baligh, dalahm hal ini ulama Hanabilah mengatakan bahwa talak oleh anak yang sudah mumayyiz kendati umur anak itu kurang dari 10 tahun asalkan ia telah mengenal arti talak dan mengetahui akibatnya, talaknya dipandang jatuh.
c.       Atas kemauan sendiri, bukan dipaksa orang lain.
2.      Isteri, maksudnya suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap isteri sendiri. Bagi isteri yang dotalak disyaratkan:
a.      Isteri tersebut masih berada dalam perlindungan kekuasaan suami.
b.      Kedudukan isteri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad pernikahan yang sah. Isteri yang menjalin masa iddah talak raj’i dari suaminya oleh hukum islam masih dipandang berada dalam kekuasaan suami, ini berbeda dengan talak ba’in.
3.      Sighat talak, ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap isterinya yang menunjukkan talak, baik sharih (jelas), maupun kinayah (sindiran), baik berupa ucapan, tulisan, isyarat bagi suami tuna wicara ataupun dengan suruhan orang lain. Talak tidak dipandang jatuh jika perbuatan suami terhadap isterinya yang menunjukkan kemarahan, seperti suami memarahi isteri, memukulnya, mengantarkannya ke rumah orang tuanya, menyerahkan barang-barangnya, tanpa disertai pernyataan talak, maka yang demikian itu bukan talak. Demikian pula niat talak atau masih berada dalam pikiran dan angan-angan, tidak diucapkan, tidak dipandang sebagai talak. Pembicaran suami tentang talak tetapi tidak ditujukkan terhadap isterinya juga tidak dipandang sebagai talak.
4.      Qashdu (sengaja),  artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk maksud lain. Oleh karena itu, salah ucap yang tidak dimaksud untuk talak dipandang tidak jatuh talak.

Selengkapnya Baca:



[1] Abdur Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2008), cet. III,  hlm. 191.
[2] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih UU no. 1/1974 samapi KHI, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2006), cet ke-3, hlm. 207. Lihat pula Taqiyuddin, Kifahat al-Akhyar, juz  II, (Bandung: al Ma’arif. t.t), hlm 84.
[3] Sayyid sabid, Fiqh al-Sunnah, jilid 2, (Beirut: Dar al-Fikr. 1983), cet. ke-4, hlm. 206.
[4] Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Qism Ahwal al-Syakhshiyyah, juz 4, (Mesir: Dar al-Irsyad. t.t.), hlm. 249.
[5] Zakaria al-Anshariy, Fath al-Wahhab, jilid 2, (Singapura: Sulaiman Mar’i. t.t.), hlm. 72.
[6] Syaikh Hasan Ayyub (ed), Fiqih Keluarga, di terjemahkan oleh M. Abdul Ghoffar dari “Fiqh al-Usrah al-Musallamah”, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 2006), cet. ke-5, hlm.207.
[7] Abdur Rahman Ghazali, op. cit. hlm. 201-205
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Archives

Makalah

Info

Opini