Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Talak - Bagian 4 (Hukum Talak dalam Fiqih dan Orang yang Berhak Menjatuhkan Talak)

  1. Hukum Talak dalam Fiqih
Ditilik dari kemashlahatan atau kemudharatannya, maka hukum talak ada lima:[1]
1.      Wajib
Apabila terjadi perselisihan antara suami dan isteri lalu tidak ada jalan yang dapat ditempuh, kecuali dengan mendatangkan dua hakim yang mengurus perkara keduanya, jika kedua orang hakim tersebut memandang bahwa perceraian lebih baik bagi mereka, maka saat itulah talak menjadi wajib.
2.      Makruh
Talak yang dilakukan tanpa adanya tuntutan dan kebutuhan. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa mengenai talak yang makruh ini ada dua pendapat. Pertama, bahwa talak tersebut haram dilakukan karena dapat mendatangkan mudharat baginya juga bagi isterinya. Hal ini berdasarkan sbada Rasulullah
لا ضرر ولا ضرار. (رواه ابن ماجه)
Tidak boleh memberikan mudharat kedapa orang lain dan tidak boleh membalas kemudharatan dengan kemudharatan lagi.
Kedua, bahwa talak tersebut dibolehkan, ini didasarkan pada sabda Rasulullah yang diriwayatkan dari Abu Dawud: “Sesuatu hal yang halal yang paling dibenci Allah adalah talak”.
3.      Mubah
Mubah yaitu talak yang dilakukan karena ada kebutuhan. Misalnya karena buruknya akhlak isteri dan kurang baiknya pergaulannya yang hanya mendatangkan mudharat dan menjauhkan mereka dari tujuan pernikahan.
4.      Sunnah
Sunah yaitu talak yang dilakukan pada saat isteri mengabaikan hak-hak Allah yang telah diwajibkan kepadanya, atau isterinya tidak lagi menjaga kehormatan dan kesucian dirinya (berzina). Dan bisa jadi dalam kondisi seperti itu bersifat wajib. Hal itu sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits dari Ibnu Abbas, ia bercerita, “ada seorang laki-laki yang datang kedapa Nabi SAW dan mengatakan: ‘sesungguhnya isteriku tidak melarang tangan orang yang menyentuhnya’, maka Nabi bersabda, “ceraikanlah dia”, lalu orang itu berkata, ‘aku takut diriku akan mengikutinya, kemudian beliau bersabda: “bersenang-senanglah dengannya”, (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).


5.      Mahzhur (terlarang)
Yaitu talak yang dilakukan ketika isteri sedangkan haid. Para ulama di Mesir telah sepakat untuk mengharamkannya. Talak ini disebut juga talak bid’ah.
  1. Orang yang Berhak Menjatuhkan Talak
Hukum islam menetapkan hak talak bagi suami dan suamilah yang memegang kendali talak, karena suami dipandang telah mampu memelihara kelangsungan hidup bersama. Suami diberi beban membayar mahar dan memikul nafkah isteri dan anak-anaknya. Demikian pula suami diwajibkan menjamin nafkah isteri selam ia menjalani masa iddah. Hal-hal tersebut menjadi pengikat bagi suami untuk tidak menjatuhkan talak dengan sesuka hati.
Pada umumnya, suami denga pertimbangan akal dan bakat pembawaannya lebih tabah menghadapi apa yang kurang menyenangkan ketimbang isteri. Biasanya suami tidak cepat-cepat menjatuhkan talak karena sesuatu yang menimbulkan amarah emosinya, atau karena sesuatu keburukan pada diri isteri yang memberatkan tanggung jawab suami. Hal ini berbeda dengan isteri, biasanya wanita lebih menonjol sikap emosinya, kurang menonjol sikap rohaninya, cepat marah, kurang tahan menderita, mudah susah dan gelisah. Dan apabila bercerai bekas isteri tidak menanggung beban materiil terhadap bekas suaminya, tidak membayar mahar. Sehingga seandainya hak talak di tangan isteri, maka besar kemungkinan isteri aka lebih mudah menjatuhkan talak karena sesuatu sebab yang kecil.
Al-Jurjawi mengemukakan bahwa wanita itu biasanya lebih mudah goncang pendapatnya menghadapi uji coba dan kesulitan hidup, kurang teguh dalam menghadapi hal-hal yang tidak disenangi. Biasanya wanita lebih mudah gembira dan mudah menjadi susah. Menjadikan hak talak di tangan suami lebih melestarikan hidup suami isteri ketimbang hak talak itu di tangan isteri.
Meskipun demikian, isteri tidak perlu berkecil hati dan khawatir akan kesewenang-wenangan suami, karena hukum Islam memberi kesempatan kepada isteri untuk meminta talak kepada suaminya dengan mengembalikan mahar atau menyerahkan sejumlah harta tertentu kepada suami sebagai ganti rugi agar suami dapat memperoleh isteri yang lain, kemudian atas dasar itu suami menjatuhkan talak. Inilah yang nantinya disebut dengan istilah khulu’.
Juga hukum islam tidak menutup kemungkinan bagi isteri untuk menyelamatkan diri dari penderitaan yang menimpa dirinya sehingga menimbulkan madharat baginya bila perkawinan dilanjutkan, seperti suami menderita penyakit yang wajib dijauhi, suami berpengarai buruk, atau sebab-sebab yang lain semacam itu. Sehingga isteri selalu merasa tersiksa hidup bersama suaminya, maka isteri boleh mengajukan gugatan cerai kepada Pengadilan Agama, kemudian Hakim menceraikan antara keduanya melalui keputusan pengadilan.[2]
Selengkapnya Baca:






[1] Syaikh Hasan Ayyub, op. cit., hlm.208-211.
[2] lebih lengkapnya baca Abdur Rahman Ghazali, op. cit. Hlm205-207.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Archives

Makalah

Info

Opini