Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Talak - Bagian 3 (Alasan Talak dalam Fiqih dan UU)

  1. Alasan Talak dalam Fiqih dan UU
Dalam hukum islam mensyariatkan putusnya perkawinan memalui talak, tapi bukan berarti agama islam menyukai terjadinya talak dari sebuah pernikahan. Dan talak ini pun tidak boleh dilaksanakan setiap saat yang dikehendaki.  Sehingga hanya dalam keadaan tertentulah talak ini dizinkan oleh syara’.
أبغض الحلال إلى الله تعالى الطلاق. (رواه ابو دود)
Sesuatu hal yang halal yang paling dibenci Allah adalah talak.
Bagi orang-orang yang menjatuhkan talak tanpa ada alasan, dianggap telah mempermainkan hukum Allah.[1] Sehingga Rasulullah bersabda:
“Apakah yang menyebabkan salah seorang kamu mempermainkan hukum Allah, ia mengatakan: aku sesungguhnya telah mentalak (isteriku) dan sungguh aku telah merujuk (nya)”, (HR. An-Nasa’i dan Ibnu Hubban)
Sehingga talak diperbolehkan harus berdasarkan suatu alasan yang kuat dan merupakan jalan yang terakhir yang ditempuh oleh suami isteri, setelah cara-cara lain yang telah diusahakan sebelumnya tetap tidak dapat mengembalikan keutuhan kehidupan rumah tangga suami isteri tersebut. Sehingga dapat dipahami, bahwa talak merupakan jalan terakhir. Adapun alasan-alasan talak menurut fiqih secara mendetail akan dicantumkan di dalam pembahasan hukum talak.
Sedangkan dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP) tidak mengenal istilah talak, tapi perceraian. Adapun alasan-alasan perceraian ditentukan dalam pasal 39 ayat 2 UUP juncto pasal 19 huruf a Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975[2] yang berbunyi:
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a.      Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
e.      Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f.        Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukunlagi dalam rumah tangga.[3]
Berbeda dengan UUP yang tidak mengenal istilah talak, KHI menjelaskan tentang talak, sebagaimana dalam pasal 117 yang berbunyi: “Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131”.
Adapun alasan-alasan perceraian yang dijelaskan dalam KHI sama dengan yang dijelaskan dalam PP tentang Perkawinan, tapi ada penambahan 2 poin. Ini bisa dilihat di KHI pasal 116 yang berbunyi:
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a.      Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
e.      Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f.        Antara suami dan isteri terus-menerusterjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukunlagi dalam rumah tangga;
g.      Suami menlanggar taklik talak;
h.      Peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.[4]

Selengkapnya Baca:





[1] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sitem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana. 2008), hlm. 131.
[2] Dalam Undang-Undang Perkawinan hanya dijelaskan dalam pasal 39 ayat 2 yang berbunyi: “Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri”. Adapun alasan-alasan perceraian tidak dijelaskan dalam Undang-Undang Perkawainan tersebut. Untuk kelancaran UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksaan UU no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
[3] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, file berbentuk PDF yang didownload dari www.hukumonline.com pada tanggal 5 April 2012.
[4] Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan), (Bandung: CV. Nuansa Aulia. 2009), cet. ke-2, hlm. 36
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Archives

Makalah

Info

Opini