Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Makalah Ijtihad (4) : Hukum Melakukan Ijtihad


Melihat kompleksitas pengertian dari ijtihad di atas, perlu kiranya membahas tentang hukum melakukan ijtihad. Dalam membicarakan hukum ijtihad, para ulama melihatnya dari dua sudut pandang. Pertama, dilihat dari kaca mata syari’, dan kedua, dari segi hasil ijithad yang berkaitan dengan benar dan salahnya dalam melakukan ijtihad tersebut.[1]
Hukum ijtihad apabila dilihat dari kaca mata syari’ dalam konteks ini adalah hukum melakukan ijtihad, menurut al-Syahrastasi (w. 548 H/1153 M) berpendapat bahwa hukum ijtihad termasuk fardlu kifayah, dan bukan fardlu ‘ain. Di sini, al-Syahrastani hanya menyebut satu bentuk hukum saja dan tidak membuka kemungkinan bentuk hukum yang lain. Sedangkan al-Nawawi (w. 676 H/1277 M) menambahkan ketentuan hukum lain dengan dikaitkan perbedaan kondisi. Menurutnya, pada awalnya hukum ifta’ (memberi fatwa) adalah fardlu kiyafah, namun ketika ada orang yang dimintai fatwa dan pada saat itu hanya dialah yang tahu tentang masalah yang ditanyakan, maka hukum ifta’ baginya fardlu ‘ain, apabila ada orang lain yang sama-sama hadir saat itu maka hukumnya fardlu kiyafah.[2]
Lebih rinci lagi hukum ijtihad juga dibahas oleh Ibnu al-Qayyim (w. 751 H/1350 M). Menurut Ibn al-Qayyim hukum ijitihad ada tiga macam, yaitu haram, wajib dan tidak wajib. Ketentuan haram dikaitkan dengan kualitas mujtahid, apakah dia mengetahui atau tidak (bodoh), kalau tidak tahu (bodoh) maka haram memberi fatwa. Selain itu juga haram hukum ijtihad manakala bertentangan dengan nash. Sedangkan wajib ketika yang membutuhkan fatwa bener-bener butuh. Sedangkan tidak wajib manakala yang meminta fatwa berkaitan kejadian yang belum terjadi atau belum butuh.[3]
Dalam perkembangan selanjutnya, hukum ijtihad diperluas, seperti pendapat yang diungkapkan Ibnu al-Humam:[4]
1.     Ijtihad menjadi wajib ‘ain apabila seorang mujtahid dihadapkan pada persitiwa baru dan ia tidak mengetahui hukumnya. Atau apabila ditanyakan kepadanya tentang hukum persitiwa yang terjadi, dan tidak ada mujtahid selainya. Kewajiban tersebut harus dilaksanakan secepatnya, apabila khawatir tersebut berlalu tanpa menurut jalur yang dikehendaki syara’. Akan tetapi apabila dia tidak khawatir terhadap hal itu, maka kewajibannya tertunda.
2.     Ijtihad menjadi wajib kifayah, apabila di negeri tersebut terdapat lebih dari seorang mujtahid dan tidak kahwatir berlalunya persitiwa hukum yang dimaksud. Apabila sudah ada sebagian mujtahid yang memberikan ketentuan hukumnya, maka gugurlah tuntutan ijtihad bagi lainya. Jika mereka mampu namun tidak bersedia memberikan fatwa maka semunya berdosa.
3.     Ijtihad hukumnya mandub, apabila terkait dengan peristiwa yang belum pernah terjadi tetapi boleh terjadi dalam waktu dekat.
4.     Ijtihad hukumnya haram, apabila bertentangan dengan nash al-Qur’an dan sunah yang qath’i atau bertentangan dengan ijma’.
Keempat hukum tersebut juga disampaikan oleh Wahbah al-Zuhaily. Menurutnya hukum ijtihad ada empat, yaitu fadlu ‘ain, fadlu kifayah, mandub dan haram.[5]
 Sedangkan hukum ijtihad dilihat dari nilai kebenaran (tashwibah) atau kesalahan (takhthi’ah) hasilnya juga ada perdebatan di kalangan ulama.[6] Dalam konteks ijtihad ini, menurut al-Ghazali, istilah khata’ selalu berkaitan dengan itsm (dosa). Artinya setiap orang yang salah pasti berdosa, dan setiap yang berdosa pasti salah. Orang yang benar pasti tidak salah dan tidak dosa.[7]
Berkaitan dengan ketentuan tashwibah-takhthi’ah tergantung dengan pada masalah yang diijtihadi. Secara garis besar ulama membaginya menjadi dua, masalah dzanniyat dan qath’iyyat. Dalam masalah dzanniyat kesalahan dalam ijtihad tidak mendatangkan dosa. Dan orang yang akan berdosa bila salah berijtihad dalam masalah qathi’yyat. Menurut al-Ghazali yang termasuk masalah qathiyyat adalah kalamiyah, usuliyah dan fiqhiyah.[8]
Dalam hukum syara’ yang berkaitan dengan fiqhiyah yang dzanniyat, ada beda pendapat: 1) semua mujtahid benar dengan hasil ijtihadnya. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu al-Hasan al-Asy’ari, Abu Yusuf, Muhammad al-Syaybani, dan ulama lainnya. 2) Mujtahid yang benar hanya satu, yang lainnya salah, namun tidak berdosa. Pendapat ini didukung oleh al-Syayrazi. Dan 3) mujtahid yang benar hanya satu, yang lain salah, namun tetap berdosa. Pendapat ini didukung oleh al-‘Asam bin ‘Ulayyah, Basyar al-Marisi dan ulama lain.[9]



[1] Ilyas Supena dan M.Fauzi, op. cit., hlm. 185-186.
[2] Istilah bagi al-Nawawi ifta’ identik dengan ijtihad, dan mufti identik dengan mujtahid.  Selengkapnya ibid., hlm. 187. Apapun penjelasan tentang ifta’ identik dengan ijtihad akan dijelaskan dalam makalah ini dalam pembahasan tentang klasifikasi mujtahid.
[3] Dalam konteks ini, Ibn al-Qayyim juga menyamakan mufti dengan mujtahid.
[4] Ibnu al-Humam, al-Tahrir, Juz IV, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., hlm. 179-180.
[5] Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz. II.,op.cit, hlm.344-345.
[6] Selain menggunakan istilah tashwibah (kebenaran), dipakai juga istilah sawab (benar) dan orangnya disebut musib. Sedangkan kata takhthiah (kesalahan) biasanya juga dipakai khatha’ (salah) dan orangnya disebut mukhti’. Lihat Ilyas Supena dan M. Fauzi, op.cit., hlm. 191.
[7] Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, op.cit. hlm. 173.
[8] Term fiqhiyah ini yang dimaksudkan oleh al-Ghazali adalah hukum yang ada dalil qath’i-nya. Sedangkan fiqhiyah yang dzanniyat inilah yang menjadi wilayah ijtihad. Selengkapnya lihat ibid.
[9] Ilyas Supena dan M. Fauzi, op.cit., hlm. 193-194.


Baca Selengkapnya Makalah Ijtihad di sini:





Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Archives

Makalah

Info

Opini