Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Makalah Ijtihad (8) : Problematika Qath’i dan Dzanny sebagai Wilayah Ijtihad


Memperhatikan dari beberapa pandangan tersebut maka ada sekat bahwa yang kajian dalam persoalan qath’i dan dhanny ini adalah ayat-ayat yang menjelaskan tentang hukum, wilayah yang lain seperti i’tiqadiyat dan ibadat tidak masuk di dalamnya. Namun berkaitan dengan nash al-Qur’an yang qath’i dan dhanny ini ada beberapa pendangan yang lain selain pandangan yang disampaikan oleh ulama-ulama di atas.
1.     Tidak ada Nash Qath’i secara Mandiri
Berkiatan dengan nash-nash al-Qur’an, al-Syathibi dalam kitab al-Muwafaqat menulis tentang persoalan ini qath’i al-dalalah dan dhanny al-dalalah. Al-Syathibi mengatakan “Tidak atau jarang sekali ada sesuatu yang pasti (qath’i) dalam dalil-dalil syara’ yang sesuai dengan penggunaan yang populer”.[1] Menurutnya, bila dalil-dalil syara’ tersebut berdiri sendiri (bersifat ahad) maka tidak dapat memberikan kepastian, karena ahad bersifat dhanny. Apabila dalil tersebut mutawatir lafalnya, maka untuk menarik makannya yang pasti dibutuhkan muqaddimat (premis-presmis) yang tentunya harus bersifat qath’i pula. Dalam hal ini premis-presmis tersebut harus bersifat mutawatir. Padahal ini sulit ditemukan karena kenyataan membuktikan bahwa premis tersebut kesemuanya atau sebagian besarnya bersifat dhanny. Sebab sesuatu yang bersandar pada hal yang dhanny tentunya menghasilkan yang dhanny pula.

Muqaddimat yang dimaksud oleh al-Syathibi di atas ada sepuluh macam dikenal dengan al-ihtimalat al-‘asyrah, yakni: (1) riwayat-riwayat kebahasaan, (2) riwayat-riwayat yang berkaitan dengan gramatika (nahw), (3) riwayat-riwayat yang berkaitan dengan perubahan kata (sharaf), (4) redaksi yang dimaksud bukan kata bertimbal (ambigu, musytarak), (5) redaksi yang dimaksud bukan kata metaforis (majaz), (6) tidak mengandung peralihan makna, (7) sisipan (idhmar), (8) pendahuluan dan pengakhiran (taqdim wa ta’khir), (9) pembatalan hukum (naskh), dan (10) tidak mengandung penolakan yang logis (adam al-mu’aridh al-‘aqliy).
Dari kesepuluh premis di atas, tiga dari yang pertama bersifat dhanny, karena riwayat-riwayat yang menyangkut hal-hal tersebut kesemuanya ahad. Sedangkan tujuh sisanya hanya dapat diketahui melalui al-istiqra’ al-tam (metode induktif yang sempurna), dan dalam hal ini mustahil. Dalam hal ini dapat dilakukan hanyalah al-istiqra’ al-naqish (metode induktif yang tidak sempurna), dan ini tidak menghasilkan kepastian. Dengan kata lain, yang dihasilkan adalah sesuatu yang bersifat dhanny.
Melihat pandangan Al-Syathibi hal itu mengantarkan pada kesimpulan bahwa tidak ada yang qath’i dalam al-Quran. Hal ini memang demikian apabila ditinjau dari sudut ayat-ayat tersebut secara berdiri sendiri. Tetapi lebih jauh ia menjelaskan bagaimana proses yang dilalui oleh suatu hukum yang diangkat dari nash sehingga ia pada akhirnya dinamai qathi’i.
Lebih jauh lagi, al-Syatibi menegaskan bahwa munculnya kepastian makna (qath’i al-dalalah) suatu nash adalah dari sekumpulan dalil dhanny yang kesemuannya mengandung kemungkinan makna yang sama. Berkumpulnya makna yang sama dari dalil-dalil  yang beraneka ragam itgu menambah kekuatan tersendiri, yang pada akhirnya menjadikannya tidak dhanny lagi. Ia telah berubah menjadi semacam mutawatir ma’nawi dan dengan demikian baru dapat disebut qath’i al-dalalah.[2]
Dalam menjelaskan pendapat al-Syatibi, Quraish Shihab memberikan penjelasan bahwa apabila perhatian hanya ditujukan kepada nash al-Quran yang berbunyi aqimu al-shalah misalnya, maka nash ini tidak pasti menunjuk kepada wajibnya shalat, walaupun redaksinya berbentuk perintah, sebab, banyak ayat al-Quran yang menggunakan redaksi perintah tapi dinilai bukan sebagai perintah wajib. Kepastian tersebut datang dari pemahaman terhadap nash-nash lain yang, walaupun dengan redaksi atau konteks berbeda-beda, disepakati bahwa kesemuanya mengandung makna yang sama. Dalam contoh di atas, ditemukan sekian banyak ayat atau hadis yang menjelaskan antara lain hal-hal berikut:[3]
a)     Pujian kepada orang-orang yang shalat.
b)     Celaan dan ancaman bagi yang meremehkan atau meninggalkannya.
c)     Perintah kepada mukallaf untuk melaksanakannya dalam keadaan sehat atau sakit, damai atau perang, dalam keadaan berdiri atau -bila udzur- duduk atau berbaring atau bahkan dengan isyarat sekalipun.
d)     Pengalaman-pengalaman yang diketahui secara turun-temurun dari Nabi Saw., sahabat beliau, dan generasi sesudahnya, yang tidak pernah meninggalkannya.
Kumpulan nash yang memberikan makna-makna tersebut, yang kemudian disepakati oleh umat, melahirkan pendapat bahwa penggalan ayat aqimu al-shalah secara pasti (qath’i) mengandung makna wajibnya shalat. Juga disepakati bahwa tidak ada kemungkinan arti lain yang dapat ditarik darinya. Di sini, kewajiban shalat yang ditarik dari aqimu al-shalat, menjadi aksioma (pernyataan yg dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian). Di sini berlaku ma’lum min al-din bi al-dharurah.
Biasanya, ulama-ulama ushul al-fiqh menunjuk kepada ijma’ untuk menetapkan sesuatu yang bersifat qath’i. Sebab, jika mereka menunjuk kepada nash (dalil naqli) secara berdiri sendiri, maka akan dapat terbuka peluang -bagi mereka yang tidak mengetahui ijma' itu- untuk mengalihkan makna yang dimaksud dan telah disepakati itu ke makna yang lain. Nah, guna menghindari hal inilah mereka langsung menunjuk kepada ijma’.
Perlu ditambahkan bahwa suatu ayat atau hadis mutawatir dapat menjadi qath’i dan dhanny pada saat yang sama. Firman Allah yang berbunyi: wa imsahu bi ru'usikum adalah qath’i al-dalalah menyangkut wajibnya membasuh kepala dalam berwudhu. Tetapi ia dhanny al-dalalah dalam hal batas atau kadar kepala yang harus dibasuh. Ke-qath’i-an dan ke-dhanny-an tersebut disebabkan karena seluruh ulama bersepakat menyatakan kewajiban membasuh kepala dalam berwudhu berdasarkan berbagai argumentasi. Namun, mereka berbeda pendapat tentang arti dan kedudukan ba’ pada lafal bi ru’usikum. Dengan demikian, kedudukan ayat tersebut menjadi qath’i bi i’tibar wa dhanny bi i’tibar akhar. Melihat uraian ini, maka dalam satu sisi ia menunjuk kepada makna yang pasti, dan di sisi lain ia memberi berbagai alternatif makna.[4]
Pandangan Quraish Shihab ini membenarkan sulitnya suatu nash secara mandiri menjadi qath’i itulah, Quraish Shihab akhirnya mengembalikan qath’i  atau dhanny nash kepada argumentasi yang maknanya telah disepakati oleh ulama (mujma’ ‘alaih).
2.     Nash Qath’i Bersifat Subyektif-Relatif
Dalam penentuan suatu nash termasuk qath’i dan yang lain termasuk dhanny terjadi inkonsistensi. Hal ini terlihat dari ketidakjelasan dan ketidaksamaan klasifikasi nash qath’i yang dibuat oleh usuliyun. Di mana setiap ulama berbeda klasifikasi dari masalah-masalah yang dikategorikan masalah qath’i dan dhanny.[5] Benar apabila secara umum dapat disimpulkan bahwa nash qath’i adalah nash yang berbicara tentang masalah ‘aqa’id, ibadat, ketentuan warisan, hukum kafarat (denda), hudud (tindak pidana) dan hal-hal aksiomatik lainnya.[6] Di mana klasifikasi tersebut bersifat subyektif sehingga hukum yang dikandungnya bernilai relatif.
Dalam hal ini Ilyas Supen dan M. Fauzi membuktikannya dengan unsur historitas yang melekat pada nash. Di mana nash-nash yang subyektif dan diklaim sebagai nash qath’i ternyata dipengaruhi oleh sosio-kultur masyarakat pra-Islam dan masyarakat Arab itu sendiri. Mereka mencontohkan nash yang dikategorikan sebagai nash qath’i seperti nash tentang warisan dan hudud.[7] Ini artinya ketentuan-ketentuanya hukum yang diekspresikan Allah dan rasul-Nya ternyata sangat dipengaruhi kondisi setempat sehingga unsur budaya saat itu menjadi pertimbangan utama. Di mana setiap tempat memiliki kondisi yang berbeda-beda.
Sehingga menurut mereka, konsep qath’i al-dalalah yang dalam padangan ulama ushul al-fiqh lebih dilihat dari segi bentuk verbal suatu nash, maka harus diubah dengan lebih melihat pada nilai universal yang terkandung di dalam nash. Dengan demikian, qath’i  di sini adalah nilai universal tersebut dan bukan bentuk redaksi nash yang dianggap jelas dan pasti.[8]
Berkaitan dengan qath’i dan dhanny, menurut Masdar bahwa dikotomi qath’i-dhanny tersebut diintrodusir ulama ushul al-fiqh dari dikotomi nash-nash muhkamat-mutasyabihat. Bedanya qath’i-dhanny digunakan untuk memahami ayat-ayat hukum. Sedangkan muhkamat-mutasyabihat untuk ayat non-hukum. Pengalihan istilah ini dimaksudkan untuk membebaskan diri dari kontroversi yang tajam seputar pembahasan ayat muhkamat-mutasyabihat. Menurutnya kategorisasi itu jangan hanya sekadar dilihat dari makna sintaksisnya, tetapi lebih pada kandungan idealnya.[9]
Penciptaan dikotomi qath’i-dhanny dan dikotomi yang lainnya seperti mutlaq-muqayyad, mujmal-mubayyan, ‘am-khas dan lain-lain, sangatlah bersifat subyektif karena hanya untuk membela sudut pandang tertentu dan tergantung pada selera masing-masing orang.[10] Apabila dilacak dalam sejarah pemikiran hukum Islam yang lebih menekankan nilai universal yang dikandung dalam ayat al-Qur’an sebagainya sudah disinggung di atas, disadari atau tidak jelas terinspirasi oleh pemikiran atau ijtihad Umar bin Khaththab yang secara terang-terangan berani menyimpang dari bunyi verbal nash yang selama ini dianggap qath’i al-dalalah. Di antaranya contoh ijtihad Umar bin Khaththab adalah menghilangkan hukuman potong tangan bagi pencuri pada musim paceklik, menghilangkan bagian zakat bagi golongan mu’allaf qulubuhum (orang yang masih lemah imannya), menghilangkan bagian ghanimah (harta rampasan) bagi tentara dan lain-lain.[11]
3.     Qath’i dan Dhanny dalam Pandangan Ulama ‘Ulum al-Qur’an dan Ushul al-Fiqh
Berkaitan dengan persoalan qath’i dan dhanny ada yang perlu diketahui, Quraish Shihab memberikan catatan bahwa pembahasan ini tidak menjadi salah satu pokok pembahasan ulama-ulama tafsir. Secara mudah hal itu dapat dibuktikan dengan membuka lembaran kitab-kitab ulum al-qur’an. Misalnya kitab al-Burhan karangan al-Zarkasyi, al-Itsqan karangan al-Suyuthi, dalam kedua kitab tersebut tidak membahas soal ini, begitu juga kitab lainnya. Hal ini disebabkan ulama-ulama tafsir menekankan bahwa al-Qur’an hammalat li al-wujuh (al-Qur’an mampu mengandung banyak intertretasi). Sehingga dalam proses penggalian makna, ulama-ulama tafsir mengenal ungkapan: “seorang tidak dinamai mufasir kecuali jika ia mampu memberi interpretasi beragam terhadap ayat-ayat al-Qur’an”.[12]
Pandangan yang demikian searah dengan yang disampaikan oleh Muhammad Arkoun, seorang pemikir kontemporer kelahiran Aljazair sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab. Arkoun mengatakan
“Kitab suci al-Qur’an itu mengandung kemungkinan makna yang tidak terbatas, ia menghadirkan berbagai pemikiran dan penjelasan pada tingkat dasariah, eksistensi yang absolut, ia dengan demikian selalu terbuka, tak pernah tetap dan tertutup hanya pada satu penafsiran makna”.[13]

Pendapat di atas sejalan dengan tulisan ‘Abdullah Darraz, salah seorang ulama besar al-Azhar yang antara lain mengedit, menjelaskan dan mengkritik kitab al-Muwafaqat karya Abu Ishaq al-Syathibi. Sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab bahwa Syaikh Darraz menulis:
“Apabila Anda membaca al-Quran, maknanya akan jelas di hadapan Anda. Tetapi bila Anda membaca sekali lagi, maka Anda akan menemukan pula makna-makna lain yang berbeda dengan makna terdahulu. Demikian seterusnya, sampai-sampai Anda (dapat) menemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti bermacam-macam. Semuanya benar atau mungkin benar, ayat-ayat al-Quran bagaikan intan. Setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain. Dan tidak mustahil, jika Anda mempersilakan orang lain memandangnya, maka dia akan melihat lebih banyak dari apa yang Anda lihat”.[14]
Di sisi lain, setiap nash atau redaksi mengandung dua dalalah (kemungkinan arti). Bagi pengucapnya, redaksi tersebut hanya mengandung satu arti saja, yakni arti yang dimaksudkan olehnya. Inilah yang oleh Quraish Shihab disebut dalalah haqiqiyyah. Tetapi, bagi para pendengar atau pembaca, dalalah-nya bersifat relatif. Mereka tidak dapat memastikan maksud pembicara. Pemahaman mereka terhadap nash atau redaksi tersebut dipengaruhi oleh banyak hal. Mereka dapat berbeda pendapat dan yang kedua ini dinamai dalalah nishbiyyah.[15]
Berdasarkan pandang yang demikian inilah sepertinya yang menjadi alasan mengapa pembahasan mengenai qath’i al-dalalah tidak diuraikan secara khusus dalam kitab-kitab ‘ulum al-qur'an. Persoalan ini dibahas oleh ulama-ulama ushul al-fiqh. Para pakar disiplin ilmu ini pada umumnya menjadikan masalah-masalah ushul al-fiqh sebagai masalah yang pasti atau qath’i. Terlepas dari perbedaan pandangan yang demikian, namun perlu juga dicatat bahwa walaupun masalah yang dibicarakan di atas tidak menjadi pokok bahasan ulama tafsir, namun mereka menekankan perlunya seorang mufasiir untuk mengetahui ushul al-fiqh, khususnya dalam rangka menggali ayat-ayat hukum.



[1] Abu Ishaq Ibrahim ibn al-Syatibi, op. cit., hlm. 13. Adapun yang dimaksudkan adalah istilah yang dinukil di atas, atau yang semakna dengannya seperti dijelaskan oleh 'Ali 'Abdul Wahhab. Mereka merumuskan “definisi populer” tersebut dengan “Tidak adanya kemungkinan untuk memahami dari suatu lafal kecuali maknanya yang dasar itu”, lihat Quraish Shihab, op.cit., hlm. 139.
[2] Selengkapnya lihat Abu Ishaq Ibrahim ibn al-Syatibi, op. cit., hlm. 13-16.
[3] Quraish Shihab, op.cit., hlm. 140.
[4] Selengkapnya lihat, Ibid., hlm. 140-141.
[5] Ilyas Supena dan M. Fauzi, op.cit., hlm. 264.
[6] Selengkapnya lihat Abd Wahhab Khallaf, op. cit.,hlm. 35., lihat juga Fatiha al-Darani, al-Manahij Usuliyah fi al-Ijtihad bi al-Ra’y fi al-Tasyri’ al-Islami, Damaskus: Dar al-Kitab al-Hadits, 1975, hlm. 20., lihat pula Salam Mazkur, al-Ijtihad fi al-Tasri’ al-Islami, Beirut: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyah, 1984, hlm. 80-84.
[7] Selengkapnya lihat Ilyas Supena dan M. Fauzi, op.cit., hlm 264-269.
[8] Ibid., hlm. 269.
[9] Lebih lanjut baca Masdar F. Mas’ud, Memahami Ajaran Suci dengan Pendekatan Transformasi, dalam Iqbal Abdurrauf Saimima (penyunting), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Pustakan Panjimas, 1988, hlm. 175-191.
[10] Taufiq Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1989, hlm. 30.
[11] Pemikiran-pemikiran Umar bin Khaththab tersebut dapat dilacak dalam buku bunga rampai fikih Umar bin Khaththab lihat Muhammad Abdul Aziz al-Halawi, Fatwa dan Ijithad Umar Bin Khaththab, diterjemahkan oleh Zubeir Suryadi Abdullah dari Fatawa wa Aqdhiyah Amiril Mu’minin Umar bin al-Khaththab, Surabaya: Risalah Gusti, 2003, lihat pula Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, Mawsu’ah Fiqh Umar b. Al-Khaththab, Beirut: Dar al-Nafa’is, 1989.
[12] Quraish Shihab, op. cit., hlm. 137.
[13] Ibid., hlm. 138.
[14] Ibid.
[15] Ibid.


Baca Selengkapnya Makalah Ijtihad di sini:



Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Archives

Makalah

Info

Opini