Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Makalah Ijtihad (10) : Pembatalan Ijtihad


Hasil ijtihad yang telah ditetapkan oleh seorang mujtahid memungkinkan akan adanya revisi bahkan pembatalan. Hal ini terjadi karena ada beberapa faktor yang seakan mengharuskan para mujtahid untuk merevisi pendapat mereka dan juga merombak ketetapan mereka. Sebelum melangkah lebih jauh tentang pembahasan ini, alangkah baiknya bila terlebih dahulu dikemukakan pendapat para ulama mengenai hukum ta’addud qaul al-mujtahid (dualisme pendapat mujtahid) dan taghoyyur al- ijtihad (revisi ijtihad). 
Dengan kata lain, bolehkah seorang mujtahid mencetuskan dua pendapat dalam satu permasalahan dalam waktu yang sama? Bolehkah pula melakukan revisi ijtihad?. Dalam permasalahan ini pemakalah mengambil pendapatnya Wahbah al-Zuhaili dalam kitab Ushul al-Fiqh al-Islami.

1.     Ta’addudu Qaul Al-Mujtahid (Dualisme Pendapat Mujtahid)
Para ulama sepakat bahwa seorang mujtahid tidak diperbolehkan mencetuskan dua hukum yang berbeda pada satu permasalahan dalam waktu yang sama, karena satu sama lain akan terjadi pertentangan dan pembatalan. Di samping itu, seandainya dalil-dalil yang dijadikan pijakan memiliki kekuatan yang sama dan tidak ada jalan untuk kompromi, juga tidak mungkin untuk dilakukan tarjih, maka mujtahid tidak diperbolehkan memberikan fatwa dengan dalil-dalil tersebut, karena dalil-dalil yang ada saling kontradiktif dan berkekuatan hukum yang sama. Jika ia mampu mengkompromikan dalil-dalil yang kontradiktif tersebut maka itulah yang harus dilakukan. Apabila salah satunya lebih akurat daripada yang lain, maka pendapat itulah yang harus diadopsi sebagai penetapan hukumnya.[1]
Berkaitan dengan permasalahan ini, bagaimana dengan Imam al-Syafi’i, seorang Imam mujtahid ternama yang telah disepakati kapasitas keilmuannya yang ternyata juga berpendapat ganda dalam menyikapi lebih dari 17 permasalahan. Berkaitan dengan ini Wahbah al-Zuhaili mengambil pendapatnya al-Amidi bahwa dualisme pendapat imam pendiri madzhab ini bisa diarahkan pada beberapa kemungkinan. Pertama, ada kemungkinan beliau hanya menyampaikan pendapat-pendapat ulama terdahulu untuk menunjukkan bahwa dalam permasalahan tersebut tidak terjadi ijma’.  Dengan demikian, sebenarnya al-Syafi’i tidaklah mengeluarkan pendapat ganda. Kedua, barangkali pendapat ganda yang dikeluarkan Imam al-Syafi’i hanyalah sekedar menjelaskan  adanya kebebasan untuk memilih di antara dua hukum dalam sebagian kasus, atau barangkali menjelaskan keraguan al-Syafi’i terhadap hukum-hukum yang telah ia cetuskan. Seperti keraguan al-Syafi’i dalam permasalahan basmalah, apakah termasuk awal setiap surat atau bukan? Berdasarkan kemungkinan-kemungkinan tersebut tidak diperbolehkan menisbatkan pendapat ganda tersebut kepada Imam al-Syafi’i.[2]
Jika demikian, yang harus dilakukan adalah tashhih, semisal ungkapan al-Syafi’i “fi al-mas’alah qaulani” (dalam masalah ini terdapat dua pendapat) diarahkan pada suatu kondisi bahwa dalam suatu permasalahan, beliau menemukan dua dalil yang saling bertentangan dan tidak mungkin untuk dilakukan tarjih. Karenanya, maksud dari pendapat ganda yang dikeluarkan mujaddid abad kedua ini adalah adanya dua ihtimal (kemungkinan untuk diarahkan pada penyelesaian dengan salah satu dalil).
Pembahasan mengenai pendapat ganda yang dilakukan seorang mujtahid ini, hanya berlaku ketika terjadi di waktu yang sama. Jika dualisme pendapat tersebut muncul dalam waktu yang berbeda, maka penyelesaiannya mudah, artinya pendapat kedua diposisikan sebagai pembantah atas pendapat yang pertama. Dan pendapat kedua inilah yang dijadikan acuan hukumnya. Dan pendapat pertama dianggap telah dicabut. Ketentuan ini tentunya jika di antara dua pendapat telah diketahui mana yang lebih dahulu, maka tindakan yang harus diambil ialah menisbatkan salah satu pendapat tersebut kepada seorang mujtahid dan menganggap pendapat yang lain telah dicabut.
Namun apabila tidak diketaui dalam keadaan seperti ini kedua pendapat tersebut tidak boleh untuk diamalkan, karena ada kemungkinan pendapat yang diamalkan justru merupakan pendapat yang telah dicabut.[3]
2.     Taghayyur al-Ijtihad (Revisi Ijtihad)
Kemungkinan mengenai taghayyur al-ijtihad, bolehkah ini terjadi pada diri seorang mujtahid. Dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa aktivitas ijtihad tidak dapat terlepaskan dari argumentasi dan dalil dan ketika seorang mujtahid menemukan bukti-bukti baru yang lebih akurat, semestinya bukti baru itulah yang harus dijadikan sebagai acuan pemutusan hukumnya. Maka revisi ijtihad adalah hal yang lumrah terjadi pada diri seorang mujtahid. 
Pandangan ini diperkuat oleh surat Umar bin Al-Khattab kepada penguasa Kufah, Abu Musa al-‘Asy’ari.  Dalam surat tersebut Umar berpesan, “Janganlah keputusanmu saat ini menghalangimu untuk melakukan peninjauan ulang. semoga engkau mendapatkan tuntutan pada sebuah petunjuk kebenaran. Sesungguhnya kebenaran telah ada terlebih dahulu, dan kembali kepada kebenaran adalah lebih baik dari pada melanggar kebatilan”. Dari sini, jelaslah bahwa revisi ijtihad adalah hal yang diperbolehkan bagi seorang mujtahid.[4]
3.     Naqdl al-Ijtihad (Pembatalan Ijtihad)
Pemaparan di atas adalah revisi ijtihad dalam tataran wacana. Jika hal itu terjadi dalam tataran praktik, ada beberapa konsekuensi dari revisi ijtihad seorang mujtahid ini, berkaitan dengan amaliyah keseharian, aktivitas fatwa dan putusan peradilan. Misalnya, seorang mujtahid yang memberikan fatwa dengan suatu hukum atau menjatuhkan putusan tertentu di antara dua pihak yang bersengketa, kemudian setelah menemukan dalil-dalil lain yang menurutnya lebih argumentatif, mujtahid atau hakim tersebut berubah pikiran, berbeda dengan pendapat sebelumnya. Akankah pendapat terakhir harus dijadikan pegangan, ataukah pendapat awal? Ada pemilahan mengenai hal ini, antara statusnya sebagai hakim atau sekedar sebagai mujtahid.[5]
Bila ia hanya seorang mujtahid, bukan hakim, yang harus dijadikan pegangan adalah pendapat terbarunya, karena adanya perubahan pendapat tentu berdasarkan dalil yang dianggap lebih argumentatif atau metode penyimpulan yang dirasanya lebih akurat. Karenanya, kesimpulan hukum terbarulah yang diamalkan. Misalnya, seorang mujtahid yang memiliki pendapat keabsahan nikah tanpa wali, menikah dengan seorang perempuan tanpa wali. Selang beberapa waktu kemudian, ia berubah pendapat bahwa akad nikah tidak sah tanpa menyertakan wali. Maka dia harus segera berpisah dengan isterinya tersebut, karena menurut anggapan terbarunya, akad nikah yang pernah dilakukannya tidak sah.  Hal ini bila tidak ada sangkut-pautnya dengan putusan hakim. Artinya, bila hakim telah memutuskan keabsahan nikah sebelum mujtahid berubah pendapat, maka perubahan pendapat mujtahid tidak berpengaruh apapun.  Karena putusan hakim tidak dapat diganngu gugat.
Kemudian jika status mujtahid adalah sebagai hakim, bagaimana jika pendapatnya berubah, berbeda dengan pendapat pertama?  Mengingat adanya keterkaitan putusan hakim pertama yang tidak sedikit konsekuensinya, maka putusan hakim dalam menyelesaikan sebuah persengketaan dengan acuan hasil ijtihad pertama tidak dapat dibatalkan dengan munculnya pendapat terbaru.  Karena dengan pembatalan putusan hakim stabilitas hukum syara’ akan terganggu, dan akan menimbulkan ketidakpercayaan publik akan putusan-putusan hakim. Dan ini bertentangan dengan kemaslahatan dan tujuan ditegakkannya peradilan. Karena peradilan ditegakkan untuk menyelesaikan segala persengketaan. Jika sebuah putusan dibatalkan, maka pembatalan putusan itu bisa jadi dibatalkan dengan putusan yang lain, dan demikian seterusnya. Akibatnya, timbullah instabilitas hukum, tidak adanya kepastian hukum dan tentunya persengketaan akan terus berlangsung, pertikaian senantiasa terjadi.[6]



[1] Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz. II., op.cit., hlm. 394. Lihat pula di Muhammad Ali al-Syaukani, op.cit., hlm. 1075.
[2] Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz. II., loc.cit. lihat juga Muhammad Ali al-Syaukani, loc.cit.
[3] Selengkapnya baca Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz. II, op.cit. hlm. 394-395. Lihat pula Forum Karya Ilmiah PP. Lirboyo, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, Kediri: Purna Siswa Aliyah MHM. PP. Lirboyo, 2004, hlm. 359.
[4] Selengkapnya baca Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz. II., op.cit. hlm. 395.
[5] Selengkapnya baca Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz. II, op.cit. hlm. 396., baca juga Muhammad Ali al-Syaukani, op.cit. hlm. 1076.
[6] Selengkapnya baca Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz. II, op.cit. hlm. 396.-397. Lihat pula Forum Karya Ilmiah PP. Lirboyo, op.cit., hlm. 360.


Baca Selengkapnya Makalah Ijtihad di sini:


Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Archives

Makalah

Info

Opini