Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Makalah Ijtihad (9) : Limitasi Ruang Ijtihad


Melihat definisi tersebut terlihat batasan ruang ijtihad, karena ada pernyataan yang menunjukkan bahwa obyek ijithad hanya dalam lapangan hukum syara’, yang kemudian dispesifikkan mennjadi hukum amali (fikih). Sedangkan hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah i’tiqat (kalam) dan akhlak tidak menjadi wilayah. Pendapat ini ditegaskan oleh Ibrahim Hosen yang menyatakan bahwa tidak ada pendapat yang ijithad berlaku dalam lapangan akidah atau akhlak jelas tidak dibenarkan.
Pandangan lebih luas lagi seperti yang disampaikan oleh Harun Nasution, menurutnya ijtihad dalam arti yang luas bahwa tidak hanya terbatas dalam masalah fikih saja, melainkan juga dalam biang tasawuf dan lain sebagainya.[1] Sementara itu, Jalaludin Rahmat memperluas lagi ruang lingkup ijtihad, menurutnya ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan untuk mengeluarkan hukum syara’, baik yang amaliyat, i’tiqadiyat, dan khuluqiyat dari dalil-dalil yang rinci.[2]

Hal ini dapat dijumpai dengan lahirnya pemikiran-pemikiran yang dimunculkan oleh ulama sufi, fuqaha’ dan mutakallim yang melahirkan perdebatan sengit dan mengundang berbagai komentar penilaian, baik yang memuji maupun yang mencela. Semuanya dalam rangka melakukan ijtihad dalam rangka memahami ajaran agama Islam. Namun perluasan ruang lingkup ijtihad ini akan menjadi seperti yang diharapakan manakala tidak hanya dijadikan sebagai teoritis-konseptual semata. Apabila masih ada pembedaan antara wilayah yang boleh untuk berijtihad dan wilayah yang tidak untu berijtihad, ada yang boleh disentuh oleh ijtihad dan yang tidak boleh disentuh ijtihad. Maka ambivalensi berpikir demikian ini terjadi manakala dikotomi qath’i dan dhanny masih dipertahankan.
Berkaitan dengan ijtihad ini yang menurut Harun Nasution sebagai sumber ketiga ajaran Islam, di mana ijtihad yang menjadi dinamisator hukum Islam pada awal generasi Islam telah dipraktekkan secara bebas tanpa ada aturan formal yang mengikatnya. Dalam perkembangannya, ulama ushul al-fiqh membuat aturan-aturan yang di antaranya berupa limitasi ruang lingkup dan syarat-syarat ijtihad.
Berdasarkan pelacakan sejarah, benih-benih kedua aturan tersebut ternyata telah diperkenalkan oleh al-Syafi’i sebagai the firt legal thinker. Klasifikasi ‘ilmu ‘amm dan ‘ilmu khassah. Di mana ‘ilmu ‘amm jenis pengetahuan yang tidak ada kemungkinan kesalahan tentang isi beritanya dan tidak mungkin di-ta’wil-kan, selain arti tekstualnya serta tidak boleh diperselisihkan. Sedangkan ‘ilmu khassah merupakan pengetahuan yang berkaitan dengan hal yang rinci dari kewajiban yang tidak disebutkan secara jelas dalam al-Qur’an dan hadis. Di sinilah ruang dan peluang ijtihad. Serta al-Syafi’i juga membagian tentang ikhtilaf (ketidaksepakatan) menjadi diharamkan dan diperbolehkan yang dibuat oleh al-Syafi’i, oleh ulama ushul al-fiqh  dalam masa selanjutnya dimatangkan dan dibentuk dalam sebuah konsep yang akibatnya menjadi pembatas dalam lapangan ijtihad.[3] Pembatasan ijtihad yang pada intinya tidak boleh menyentuh nash al-dalalah pada gilirannya diformalkan dalam sebuah bentuk kaidah yang intinya tidak ada ijtihad dalam sebuah nash qath’i.
Di samping itu, doktrin teologi juga ikut memberikan kontribusi penciptaan kedua limitasi tersebut, khususnya teologi sunni. Pertama, kelompok sunni yang menomorduakan akal dan melarang ijtihad memasuki wilayah-wilayah yang berbicara tentang kalam, i’tiqat, atau bahasan-bahasan teologi lainnya. Karena hal ini termasuk masalah qath’i yang tidak ada ruang ijtihad di dalamnya. Kedua, mayoritas kelompok sunni mengakui kemungkinan vakumnya suatu masa dari mujtahid, yang berarti juga mengakui kepunahan mujtahid pasca mujtahid. Mereka menjustifikasi argumentasinya dengan hadis-hadis yang bernuansa teologi, di antara dekatnya hari kiamat itu ditandai dengan munculnya orang-orang yang tidak qualified.[4] 
Uraian tersebut semakin menjadi jelas bahwa dengan adanya dikotomi qath’i dan dhanny berdampak pada limitasi ruang lingkup ijtihad. Sehingga dengan adanya teori qath’i dan dhanny  yang dimuncul oleh ulama ushul al-fiqh ada yang tidak sepakat seperti ulama ‘ulum al-qur’an dan ulama-ulama yang lain. Karena secara tidak langsung keberadaannya membatasi seseorang dalam memahami pesan nash. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Quraish Shihab bahwa pembahasan tentang  qath’i-dhanny ini tidak menjadi pembahasan dalam literatur ‘ulum al-qur’an.



[1] Harun Nasution, “Ijtihad Sumber Ketiga Ajaran Islam”, dalam Haidar Baqir dan Syafiq Basri (ed), Ijtihad dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1996, hlm. 23.
[2] Jalaludin Rahmat, “Ijtihad Sulit: Tapi Perlu”, dalam Ibid., hlm. 183.
[3] Selengkapnya lihat Ilyas Supena dan M. Fauzi, op. cit., hlm. 221-223.
[4] Ibid., hlm. 290.


Baca Selengkapnya Makalah Ijtihad di sini:



Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Archives

Makalah

Info

Opini