Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Politik Masa Pertengahan: Pemikiran Ibnu Taimiyyah tentang Keadilan sebagai Esensi - Bagian 4

Pokok Pikiran Keadilan Ibnu Taimiyyah dalam Konsep Politik Kenegaraan

1.      Hubungan Negara dan Agama
Al-Qur’an tidak memuat secara eksplisit perintah untuk mendirikan sebuah negara.Di dalam al-Qur’an hanyalah konsep-konsep ad hoc yang berkaitan dengan prinsip-prinsip kehidupan bermasyarakat seperti musyawarah dan konsultasi, ketaatan kepada pemimpin, menegakan keadilan, persamaan, tolong-menolong dan kebebasan/toleransi beragama. Karena itulah, dapat dimaklumi jika sebagian pemikir muslim dalam karangn politiknya mengembangkan teori kemunculan negara tidak selalu berpijak pada ayat-ayat al-Qur’an. Melainkan banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani.Tidak terkecuali juga Ibnu Taimiyyah, menurut Rosebthal Ibnu Taimiyyah juga dipengaruhi oleh filasafat Yunani.[1] Namun berbeda dengan pemikir islam lainnya sperti Ibnu Abi Rabi’, al Farabi, al Mawardi, al Ghazali dan Ibnu Khaldun yang menguraikan secara sosiologis tentang asal mula timbulnya negara. Ibnu Taimiyyah kurang tertarik dengan persoalan asal usul negara dan lebih memfokuskan kepada suatu permasalahan mengapa sebuah pemerintahan harus berdiri.[2]
Konsep Ibnu Taimiyyah mengenai kebutuhan akan negara didasarkan pada akal dan hadis. Argument rasionalnya adalah terletak pada kebutuhan universal semua manusia untuk bergabung, bekerjasama dan menikmati berbagai manfaat kepemimpinan tanpa peduli apakah mereka menganut suatu agama atau tidak. Argumen rasional tersebut juga diperkuat dengan landasan dari sunnah. Ia mengajukan sejumlah sunnah atau hadis nabi yang menekankan perlunya kepemimpinan dan pemerintahan. Ibnu Taimiyyah mengutip sabda nabi,”Apabila ada tiga orang melakukan perjalanan, maka angkatlah salah satu dari mereka sebagai pemimpin”.[3] Beliau juga mengatakan bahwa tujuh puluh tahu di bawah kepemimpinan yang zalaim lebih maslahat daripada semalam tanpa ada pemimpin.[4]
Menurut Ibnu Taimiyyah, seorang pemimpin mempunyai status ganda, sebagai duta Tuhan yang bertanggungjawab kepada yang mengutusnya dan sebagai wakil hamba yang bertanggungjawab pula dalam mengemban amanah orang-orang yang telah menunjuknya. Dalam kedudukannya sebagi duta ia tidak boleh menyimpang dari ketetapan yang telah digariskan oleh yang mengangkatnya. Begitu pula, dalam kedudukannya sebagai wakil, ia pun tidak boleh mengkhianati amanah orang-orang yang diwakilinya.[5]
Dalam kaitannya hubungan antara agama dan negara, Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa kekuasan dan pemerintahan dibutuhkan untuk mewujudkan terselenggaranya kewajiban-kewajiban keagamaan. Dengan demikian penegakan negara bukanlah merupakan tujuan tetapi tak lebih sebagai sekedar instrumen untuk melaksanakan ajaran-ajaran islam.Beliau juga mengatakan seandainya kekayaan dan kekuasaan dijadikan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, sudah barang tentu antara kehidupan agama dan duniawi akan tercipta keserasian.[6]
2.      Hakikat Negara
Ibnu Taimiyyah agaknya memilki pandangan yang berbeda tentang konsep ketatanegaraan. Beliau tidak mempersoalkan bentuk sebuah negara. Tapi yang terpenting dan fokus bagi beliau adalah pelaksanaan syariah dalam suatu negara. Hal ini menandakan bahwa kekuasaan tertinggi dalam mengatasi segala wewenang yang lain dalam negara adalah syari’ah.[7] Sikap Ibnu Taimiyyah ini menggiring kita untuk menarik sebuah kesimpulan bahwa konsep kedaulatan yang dipakai oleh Ibnu Taimiyyah adalah konsep kedaulatan hukum. Ada beberapa alasan yang menguatkan bahwa konsep kenegaraan yang dibangun oleh Ibnu Taimiyyah adalah kedaulatan hukum antara lain :[8]
a.      Syar’iah merupakan sumber hukum yang tertinggi dan berada di atas segalanya. Segala bentuk tindakan dan perbuatan manusia harus memilki landasan, atau paling tidak dijiwai oleh kesesuaian dengan Syari’ah. Maka, apabila timbul konflik ataupun perbedaan pendapat, penyelesaiannya haruslah merujuk pada ketentuan Syari’ah. Lebih dari itu, ketaatan kepada sebuah pemerintahan hanya dapat diberikan sepanjang pemerintahan itu konsisten dan tunduk pada Syari’ah yang telah digariskan oleh Allah dan Rosul-Nya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
b.      Penerapan hukum dilakukan tanpa pandang bulu, baik terhadap orang yang terhormat, orang yang hina, maupun orang yang lemah. maka, jika suatu tindak kriminal telah terbukti, tak ada seorangpun atau apapun yang dapat membatalkan hukuman atas pelanggaran itu.
c.       Untuk menindak pihak yang diduga melakukan pelanggaran, dibutuhkan suatu pembuktian yang memadai. Jadi penerapan sanksi tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang, sekalipun oleh penguasa sendiri. Dalam hal ini Ibnu Taimiyyah mengutip sebuah hadis bahwa pada zaman nabi saw ada seorang wanita yang secara sembrono menuduh orang melakukan perbutan mesum. Atas hal itu nabi berkata,”Jika sekiranya saya boleh menjatuhkan hukuman rajam pada diri seseorang tanpa pembuktian, sungguh saya akan merajam perempuan ini.’ Jelaslah syari’ah menganut asa praduga tak bersalah.
d.      Menetapkan hukum qishas dan hudud dalam rangka memelihara manusia dari ancaman jiwa dan fisik, dari penganiayaan salah satu anggota tubuhnya, dari penghinaan terhadap kehormataan pribadnya dan dari tuduhan fitnah atas dirinya.
3.      Tujuan dan Fungsi Tujuan Negara
Dari pembahasan sebelumya kita mengetahui negara bagi Ibnu Taimiyyah tak lebih sebagai sarana bukan sebagai tujuan.Negera diselenggarakan agar tujuan syari’ah dapat terwujud. Jadi dalam hal ini, mempersoalkan tujuan negara sesungguhnya secara tak langsung mempertanyakan apa yang menjadi tujuan dari syari’at itu sendiri.
Adapun fungsi negara menurut Ibnu Taimiyyah berdasarkan dua kitab politik karangannya, al-Siyasah dan al-Hisbah, sedikitnya bisa disimpulkan fungsi suatu negara dalam ranka mencapai tujuan negara yaitu:[9]
a.      Pelaksanaan dasar-dasar agama islam
b.      Penegakan hokum/keadilan dan perlindungan hak
c.       Pemeliharaan ketertiban dan keseimbangan ekonomi
d.      Penyediaan insfrastruktur sosial
e.      Pembelaan keamanan Negara
4.      Sumber Penerimaan Negara
Harta negara yang tercantum dalam al-qur’an dan as-Sunah terbagi mejadi tiga jenis yaitu ghanimah, sedekah dan fai[10]
a.      Ghanimah
Sektor penerimaan in berupa harta begerak yang diperoleh dari hasil peperangan melawan musuh (kafir). Allah telah menyebutkan hal tersebut dalam surat al-Anfal yang diturunkan ketika perang badar. Surat ini dinamakan al-Anfal (Pemberian) karena ghanimah dapat memberikan tambahan bagi kaum muslimin. Allah swt berfirman:

{يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَنْفَالِ قُلِ الْأَنْفَالُ لِلَّهِ وَالرَّسُولِ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ} [الأنفال: 1]

Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: "Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman."

Di masa awal islam, harta tak bergerak (tanah) juga digolongkan sebagai ghanimah dan dibagikan kepada mereka yang turut serta dalam peperangan. Sedangkan pada zaman khalifah Umar bin Khattab, harta tak bergerak itu tidak dipertimbangkan lagi sebagai ghanimah, sehingga tetap merupakan kepunyaan pemlik yang mengelolanya. Hanya saja, pemilik itu diwajibkan membayar pajak kepada Negara.[11]
b.      Sedekah (zakat)
Yang dimaksud sedekah disini adalah zakat.[12] Zakat merupakan salah satu kewajiban orang islam yang memilki arta berlebih. Oleh karenanya, zakat merupakan sumber yang terpenting dalam penerimaan negara. Zakat bukanlah semata-mata diperuntukan utuk memenuhi keperluan Negara semata, namun lebih sebagai aset Negara dalam melaksanakan kegiatan pembangunan, khususnya untuk mengurangi kesenjangan ekonomi diantara warga Negara sehingga dapat berperan sebagai dasar tejadinya kesetiakawan social. Adapaun orang-orang yang berhak menerima zakat adalah mereka yang telah disebutkan oleh Allah swt dalam al-Qur’anul karim.
إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَرْضَ فِي الصَّدَقَةِ بِحُكْمِ نَبِيٍّ وَلَا غَيْرِهِ، حَتَّى كَانَ هُوَ الَّذِي جَزَّأَهَا ثَمَانِيَةَ أَجْزَاءٍ، فَإِنْ كُنْتَ مِنَ الْأَجْزَاءِ أَعْطَيْتُكَ
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak ridho apabila zakat itu dibagikan berdasarkan kehendak Nabi atau selainnya, akan tetapi zakat itu diperuntukkan bagi 8 golongan, jika engkau termasuk salah satu golongan tersebut, engkau akan aku beri.
c.       Fa’i
Pada mulanya fa’i diartikan sebagai harta benda yang diperoleh darimusuh tanpa peperangan. Tapi bagi Ibnu Taimiyyah, semua jenis harta diluar ghanimah dan sedekah digologkan sebagai fa’i. jenis-jeis fa’i itu adalah:[13]
a.      Jizyah (pajak atas orang-orang Yahudi dan Nasrani)
b.      Upeti tahunan dari musuh yang ditakluka
c.       Hadiah-hadiah yang diperuntukan kepada kepala negara
d.      Bea cukai atau pajak perdagangan lintas negara
e.      Hukuman-hukuman denda
f.        Harta-harta yang tak bertuan
g.      Harta peninggalan yang tak mempunyai ahli waris
h.      Harta sitaan, piutang, ataupun harta titipan yang tidak diketahui pemiliknya
5.      Alokasi Pembelanjaan Negara
Bagi Ibnu Taimiyyah, kas negara merupakan amanah yang berada di tangan penguasa yang harus dikelola dengan baik berdasarkan syari’at untuk kepentingan masyarakat umum. Dengan kata lain, penguasa tak lebih sebagai pegawas dan pengemban amanah, dan bukan seperti halnya seorang raja yang dapat membagi-bagikan harta tersebut sekehendak hatinya.
Sehubungan denga hal itu, Ibnu Taimiyyah menyitir sabda nabi Muhammad saw,”Demi Allah, sesungguhnya aku tak akan memberikan sesuatu kepada seseorang dan tidak pula akan menghalangi seseorang dari haknya, melainkan aku ini hanyalah pelaksana yang berbuat sebagaimana yang diperintahkan kepadaku[14]
Dalam mengalokasikan anggaran anggaran belanja itu, Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa pembelanjaan wajib dilakukan berdasarkan skala prioritas, dimulai dari sektor yang paling primer hingga sekunder, dan menjangkau kepentingan umum umat seluas-luasnya. Adapun target-target alokasi pembelanjaan itu adalah sebagai berikut:[15]
a.      Biaya pertahanan dan keamanan
b.      Gaji pembesar, pegawai negara, dan pelaksana tugas yudisial dan keagamaan
c.       Pembangunan sarana dan fasilitasumum, seperti benteng, jalan, jembatan dan pelabuhan
d.      Pembangunan saranan dan fasilitas penujang pendidikan
Walaupun begitu, Ibnu Taimiyyah agaknya tidak bermaksud bahwa semua sumber penerimaan tidak hanya saja dialokasikan utuk target-target pembelanjaan di atas. Ghanimah dan sedekah misalnya dialokasikan sesuai dengan ketentuan yang telah diatur al-Qur’an. Adapaun fa’i memang disediakan untuk memenuhi semua kebutuhan belanja negara.
Hal yang terpenting perlu dicatat bahwa Ibnu Taimiyyah tidak mewajibkan semua sumber penerimaan dari pos zakat dibagikan secara merata kepada delapan golongan mustahik zakat. Menurutnya pembagian zakat didasarkan pada tingkat kebutuhan dan kepentingan. Jika salah satu golongan lebih membutuhkan ketimbang golongan yang lain, maka zakat dibagikan lebih besar kepada golongan mustahik yang membutuhkan itu. Lebih jauh Ibnu Taimiyyah merumuskan dua criteria pembagian zakat yaitu memenuhi kebutuhan umat islam dan mendukung perjuangan umat islam. Jadi jika ada calon mustahik yang tidak memenuhi salah satu criteria itu, ia tidak berhak menerima zakat.
Akan halnya sektor penerimaan negara lainnya, fa’i  haruslah dibayar sekalipun penguasa tersebut bertindak zalaim. Ibnu Taimiyyah menegaskan pernyataan ini dengan mengutip sabda nabi,”Berikanlah olehmu kepada mereka apa yang menjadi haknya,karena Allah swt akan meminta pertanggungjawaban mereka dari harta yang mereka pergunakan”.[16]

6.      Etika politik dalam berbangsa dan bernegara
a.      Amanah
Ibnu Taimiyyah memandang istilah amanah mencakup dua konsep yaitu kekuasan (politik) dan harta benda (ekonomi). Berhubung kekeuasan merupakan amanah yang harus ditunaikan, wajarkiranya jika kita melihat Ibnu Taimiyah menempatkan sifat amanah sebagai slah satu syarat menjadi seorang pemimpin. Dalam kaitannya dengan kekuasaan politik, amanah mengandung arti keharusan menunaikan amanat yang menjadi tanggung jawabnya, baik amanat dari Tuhan ataupun dari sesama manusia
Ibnu Taimiyyah juga menuliskan beberapa kezaliman-kezaliman yang dilakukan oleh seorang penguasa terhadap rakyatnya dan tindakan pencegahannya antara lain:[17]
1.   Pemerintah hendaknya menahan diri untuk tidak mengambil atau merampas harta benda rakyat ataupun harta negara yang bukan menjadi haknya. Jika terdapat harta benda milik rakyat yang diperoleh secara tidak halal, maka hatus dikembalikan oleh penguasa kepada pemiliknya
2.   Pembesar dan pejabat dalam melaksakan tugas-tugasnya seyogyanya tidak menerima hadiah dari siapapun. Sebab hadiah semacam ini akan membawa pengaruh bagi segala pelaksanaan tugas-tugasnya dan bisa pula berakibat timbulnya perbuatan kolusi dan korupsi.
3.   Apabila terdapat harta benda yag terlanjur disita oleh negara secara ilegal dan harta benda itupun sudah tidak diketahui lagi siapa pemiliknya untuk dikembalikan, maka harta semacam itu seyogyanya dipergunakan untuk kepentingan umum saja seperti sektor pertahanan kemanan dan pembayaran gajai para tentara
4.   Yang direalisasikan dalam pembanguan adalah kemaslahatan secara sempurna dan menekan seminimal mungkin timbulnya kerusakan. Dalam mempertimbangkan manfaat dan kerusakan yang mungkin muncul sebagai konsekuensi pembangunan, kiranya harus dilihat mana dianatara keduanya yang lebih dominan. Jika ternyata aspek manfaat lebih dominan, maka pembangunan dapat diteruskan. Sebalikya jika aspek kerusakan yang lebih domain, maka pembangunan sebaiknya segera dihentikan.
b.      Keadilan
Bagi Ibnu Taimiyyah, keadilan merupakan pilar fundamental bagi sebuah pemerintahan. Sedemikian pentingnya, sampai-sampai Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa pemerintahan yang adil walaupun dipimpin oleh orang kafir adalah lebih baik daripada sebuah pemerintahan yang muslim tapi berlaku zalaim.  Denga kata-katanya Ibnu Taimiyyah mengungkapkan,”Sesugguhnya Tuhan menolong pemerintahan yang zalim walaupun muslim. Keadilan walaupun dengan kekafiran memungkinkan kehidupan dunia yang terus berkesinambungan, tetapi kezaliman sungguhpun dengan keislaman tak akan mampu melestarika kehidupan dunia” dengan mengungkapkan hal itu, Ibnu Taimiyyah sesungguhnya hendak mengajukan bahwa esensi lebih penting daripada bentuk dan nilai lebih berharga daripada simbol.[18]
Bagi Ibnu Taimiyyah, negara tak lain adalah istrumen untuk mewujudkan keadilan sosial. Maka apapun label, simbol dan bentuk yang dipakai oleh negara dan pemerintaan, sejauh berguna bagi terwujudnya cita-cita keadilan adalah islami dan wajib untuk didukung. Sebaliknya, suatu negara pemerintahan dengan label, simbol dan bentuk apapun yang cenderung selalu melecehkan cita-cita keadilan dan kepentingan rakyat banyak adalah tidak islami dan tidak perlu ditaati. Bertolak dari itu semua, tidak diragukan lagi bahwa Ibnu Taimiyyah menghendaki agar pemerintah berlaku adil dalam melaksanakan tugas-tugasnya.


Selengkapnya Baca Makalah tentang Politik Masa Pertengahan: Pemikiran Ibnu Taimiyyah tentang Keadilan sebagai Esensi:





[1] M. Arskal Salim G.P.,  Etika Intervensi Negara … hal. 47
[2] M. Arskal Salim G.P.,  Etika Intervensi Negara…. hal. 48
[3] Ibnu Taimiyyah, Kebijaksanaan Politik Nabi SAW, terj:Muhammad Munawwir Az-Zahdi, Surabaya, Dunia Ilmu Offset, 1997 hal.158
[4]Ibnu Taimiyyah, Kebijaksanaan Politik… hal.159
[5]M. Arskal Salim G.P.,  Etika Intervensi… hal.50
[6]M. Arskal Salim G.P.,  Etika Intervensi… hal.51
[7]M. Arskal Salim G.P.,  Etika Intervensi… hal.53
[8]M. Arskal Salim G.P.,  Etika Intervensi… hal.54-56
[9]M. Arskal Salim G.P.,  Etika Intervensi… hal.64
[10] Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Politik Islam Ta’liq Siyasah Syar’iyyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Jakarta, Griya Ilmu, 2009, hal.88
[11]  M. Arskal Salim G.P.,  Etika Intervensi Negara … hal. 66
[12] Muhammad bin Shalih alutsaimin, Politik Islam Ta’liq Siyasah Syar’iyyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Jakarta, Griya Ilmu, 2009, hal.96
[13] M. Arshal hal. 68
[14]M. Arskal Salim G.P.,  Etika Intervensi… hal.70
[15]M. Arskal Salim G.P.,  Etika Intervensi… hal.71
[16] M. Arskal Salim G.P.,  Etika Intervensi… hal.72
[17] M. Arskal Salim G.P.,  Etika Intervensi… hal.77-78

[18] M. Arskal Salim G.P.,  Etika Intervensi… hal.80
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Archives

Makalah

Info

Opini