Sebagaimana yang dalam ketentuan
syarat-syarat ijtihad, di mana ijtihad merupakan upaya optimal
seseorang ahli fiqih untuk mendapatkan solusi hukum terhadap suatu masalah yang
digali dari sumber-sumbernya. Untuk dapat melakukan hal itu, sebagaimana yang
sudah dijelaskan, bahwa seorang bisa disebut mujtahid harus menguasai
syarat-syarat yang telah ditentukan oleh para ulama.
Apabila seseorang telah dapat
memenuhi persyaratan tersebut, ia dapat melakukan ijtihad dan disebut mujtahid.
Sebaliknya, orang yang tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad tersebut
disebut muqallid (orang bertaqlid),[1] yakni mengikuti apa yang
telah diijtihadkan oleh mujtahid.[2] Berangkat dari sini
kemudian mujtahid diklasifikan oleh para ulama menjadi beberapa klasifikasi.
Mengenai klafisikasi mujtahid
ini, al-Ghazali dalam al-Mushtasyfa belum mengklasifikasikan secara
tegas, al-Ghazali hanya menyebutkan syarat-syarat ijtihad hanya
diperuntukkan untuk mujtahid mutlaq, yaitu yang memberikan fatwa tentang
seluruh hukum syara’. Meskipun mengakui ada bentuk mujtahid lain, namun
tidak tegas namanya. Mujtahid model kedua ini adalah orang yang hanya
mengetahui sebagian hukum syara’.[3] Sementara al-Amidi
menyebut dua macam nama mujtahid: mujtahid mutlaq dan mujtahid
fi al-madzhab.[4]
Dalam perkembangan selanjutnya, al-Nawawi
dan Ibnu Shalah sebagaimana yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaily, memperkenalkan
dua macam mujtahid: mujtahid mustaqil (sering disebut mujtahid
mutlaq mustaqil) dan mujtahid ghiru mustaqil.[5] Di mana mujtahid
mustaqil adalah orang yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu dan dapat
mandiri dalam mempergunakan dalil tanpa bertaqlid dan terikat dengan madzhab
apapun.
Menurut al-Nawawi sosok mujtahid
model ini telah lama punah.[6] Pendapat kepunahan mujtahid
mutaqil didukung al-Suyuti.[7] Sedangkan mujtahid
ghiru mustaqil dibagi menjadi empat klasifikasi. Rinciannya sebagaimana yang dikutip oleh Wahbah
al-Zuhaili.
1)
Al-mujtahid al-mustaqil,
yaitu mujtahid yang membangun fiqih atas dasar metode dan kaidah yang
ditetapkannya sendiri.
2)
Al-mujtahid al-muthlaq ghairu al-mustaqil, yaitu seseorang yang telah memenuhi syarat-syarat untuk
berijtihad, tetapi tidak memiliki metode sendiri dalam melakukan ijtihad, ia
melakukan ijtihad sesusi dengan metode yang telah digariskan oleh salah seorang
imam dari imam-imam madzhab. Kendati mengikuti metode salah satu imam madzhab,
dalam melakukan ijtihad, mujtahid dalam peringkat ini tidak dipengaruhi oleh
imam madzhab tersebut.
3)
Al-mujtahid al-muqayyad atau
al-mujtahid al-takhrij, yaitu seseorang yang telah memiliki
syarat-syarat berijtihad, mampu menggali hukum dari sumber-sumbernya, tetapi
tidak mau keluar dari dalil-dalil dan pandangan imamnya. Kendati demikian, dalam
masalah-masalah yang tidak dibicarakan oleh imamnya, ia tampi untuk meng-istinbath-kan
hukumnya.
4)
Al-mujtahid al-tarjih,
yaitu ahli fiqih yang berupaya mempertahankan madzahab imamnya, mengetahui
seluk beluk pandangan imamnya, dan mampu men-tarjih-kan pendapat yang
kuat dari imam dan pendapat-pendapat yang terdapat dalam madzhabnya.
5)
Al-mujtahid al-fatya, yaitu ahli
fiqih yang berupaya menjaga madzhabnya, mengembangkannya dan mengetahui
seluk-beluknya serta mampu memberikan datwa dalam garis yang telah ditentukan
oleh imam madzhabnya, tetapi tidak mampu ber-istidlal.
Melihat klasifikasi yang dijelaskan
oleh para ulama tersebut, maka adanya klasifikasi tersebut tergantung pada
dipenuhi dan tidaknya syarat-syarat ijitihad yang ditentukan para ulama.
Semakin banyak syarat ijtihad yang dipenuhi seorang mujtahid,
maka semakin tinggi statusnya sebagaim mujtahid, demikian juga
sebaliknya.
Berangkat dari berbagai syarat yang
telah dipaparkan oleh para ulama yang kemudian melahirkan pengelompokkan para
mujtahid itu sendiri, sehingga dalam hal ini para ulama berbeda pendapat
tentang mujtahid dalam bidang tertentu (tajazzu’ al-ijtihad).
Dalam hal ini Abd al-Wahhab
al-Khallaf tidak membolehkan, di mana seorang mujtahid itu tidak boleh
hanya di bidang tertentu. Karena ijtihad sebagaimana dalam pengertian
dan syarat-syarat yang harus dimilikinya, apabila seorang mujtahid itu telah
memenuhi syarat mujtahid, maka tentu seorang mujtahid tersebut tidak
hanya mampu memahami dalam satu bidang dan tidak mampu dalam bidang yang lain.[8] Sebab pada dasarnya
seorang mujtahid dalam ijtihad adalah memahami dasar-dasar yang
umum, dasar-dasar yang umum ini yang menjadi landasan dalam mengeluarkan sebuah
hukum tertentu, namun hukum yang lain.
Berkaitan dengan tajazzu’
al-ijtihad memang para ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan dan
yang tidak membolehkan. Bagi yang tidak membolehkan sebagaimana yang dijelaskan
oleh Abd al-Wahhab al-Khalaf.[9] Sedangkan bagi yang
membolehkan beralasan bahwa apabila ijtihad itu tidak boleh dalam hal tertentu
maka mujtahid tersebut harus mengetahui segala hukum dan dalilnya, padahal
syarat seorang mufti (termasuk kelompok mujtahid) tidak harus mengetahui
semua hukum suatu masalah. Seperti halnya Imam Malik –seorang mujtahid yang
diakui secara ijma’- pernah diberi pertanyaan 40 masalah dan Imam Malik
hanya menjawab 36 dan sisanya dia menjawab laa adri (saya belum tahu).[10]
[1] Pembahasan tentang taqlid
dan muqallid secara rinci akan disampaikan oleh pemakalah selanjutnya
yang akan membahas tentang taqlid.
[2] Nasrun Rusli, Konsep
Ijtihad al-Syaukani; Relevansinya dalam Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia,
Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm. 105.
[3] Abu Hamid bin Muhammad
bin Muhammad al-Ghazali, op.cit., hlm. 173.
[4] Ilyas Supen dan M.
Fauzi, op.cit. hlm. 195.
[5] Wahbah al-Zuhaili, Ushul
al-Fiqh al-Islami, Juz. II., op.cit., hlm. 365.
[6] Ilyas Supena dan M.
Fauzi, opc.it., hlm. 195.
[7] Wahbah al-Zuhaili, Ushul
al-Fiqh al-Islami, Juz. II.,, loc.it.
[8] Abd al-Wahhab al-Khalaf,
op.cit., hlm. 220
[9] Wahbah
al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz. II., 361. Bandingkan dengan Abd
al-Wahhab al-Khalaf, loc.cit.
Baca Selengkapnya Makalah Ijtihad di sini:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar