Kegiatan ijtihad merupakan hal
yang paling mendasar dari dasar-dasar syari’ah. Sebab dari sinilah yang
kemudian melahirkan hukum-hukum yang ada di dalam hukum Islam. Sebagaimana yang
diungkapnya oleh Wahbah al-Zuhaili dalam Kitab Ushul al-Fiqh al-Islami yang
menyatakan bahwa banyak sekali dalil yang menunjukkan bolehnya melakukan ijtihad,
baik secara eksplisit maupun secara implisit.[1]
Sebagaimana dalam firman Allah SWT
dalam Surat An-Nisa’: 105.
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ
النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ ۚ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا) ١٠٥ (
Artinya : “Sesungguhnya
Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela)
orang-orang yang khianat” (QS. An-Nisa: 105).[2]
Selain dalam surat An-Nisa’ di atas
yang dijadikan landasan kesyari’atan ijtihad, para ulama juga melandasakan
dasar hukum ijtihad dalam surat al-Rum: 21, sebagaimana dalam firman Allah SWT sebagai
berikut:
اِنَّ فِى ذَلِكَ لِاَ يَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ ) ۲١ (
Artinya : “Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berpikir”(QS.
al-Rum: 21)[3]
Kebolehan dalam melakukan ijtihad
secara jelas dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW, di antara hadits yang
menjelaskan tentang ijtihad adalah hadits yang diriwayatkan oleh Amr bin
Ash:
اَلْحَاكِمُ اِذَا
اجْتَهَدَ فَاَصَابَ فَلَهُ اَجْرَانِ وَاِنِ جْتَهَدَ فَاَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ وَاحِدٌ.
(بخارى و مسلم (
Artinya : “Hakim
apabila berijtihad kemudian dapat
mencapai kebenaran maka ia mendapat dua pahala. Apabila ia berijtihad kemudian
tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala”.(Hadits riwayat
Bukhari dan Muslim).
Selain itu juga hadist diriwayatkan
dari Mu’adz bin Jabal, sebagai berikut:
عَنْ أُناَسٍ مِّنْ اَهْلِ حَمَص مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذ بْنِ جَبَلِ إِنَّ
رَسُوْلُ اللهِ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا الِيَ الْيَمَنِ قَالَ: كَيْفَ
تَقْضِ إِذَاعَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ: أَقْضِى بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ
تَجِدْ فِي كِتَابِ الله؟ قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ
فِي سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلَا فِي كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ: اَجْتَهِدُ رَايْئِ وَلَاآلُوْ.
فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَدْرَهُ وَقَالَ: اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ وَفَّقَ رَسُوْلَ
رَسُوْلِ اللهِ لَمَّا يَرْضَي رَسُوْلُ اللهِ
(رواه ابوداود (
Artinya : “Diriwayatkan
dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa Rasulullah saw. Ketika
bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau bertanya: apabila dihadapkan
kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya
akan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu
tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya
berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak
terdapat dalam Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan
berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan
tangan beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk
kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-Nya.”(HR.Abu Dawud).
[1] Wahbah al-Zuhaili, Ushul
al-Fiqh al-Islami, Juz. II, op.cit., hlm. 328.
[2] Lihat Departemen Agama, op.cit.,
hlm. 95.
[3] Ibid., hlm. 407.
Lihat juga di QS. al-Nahl: 11, 69, QS. al-Ra’d: 3, QS. al-Zumar: 42 dan QS.
al-Jatsiyah: 13.
Baca Selengkapnya Makalah Ijtihad di sini:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar