Ijtihad merupakan tugas suci keagamaan yang bukan sebagai pekerjaan mudah, tetapi
pekerjaan berat yang menghendaki kemampuan dan persyaratan tersendiri. Sehingga
ijtihad ini tidak dapat dilakukan oleh tiap orang. Memang Islam tidak
memilah-milah para pemeluk Islam dalam kelas-kelas tertentu, dan menyangkut
ijtihad pun setiap orang berhak melakukannya, tetapi masalahnya bukan di situ.
Karena ijtihad suatu bentuk kerja keras yang memerlukan kemampuan
tinggi. Oleh sebab itu, tidak semua orang akan dapat melakukannya, sekalipun mereka
tetap memiliki hak untuk itu.
Dalam kaitannya ijtihad ini
dalam kajian ushul fiqih, para ulama telah menetapkan syarat-syarat tertentu
bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad. Menurut al-Ghazali, seorang
mujtahid memiliki syarat sebagai berikut:[1]
1)
Mengetahui dan menguasai ilmu syara’ dan dapat melihat dzan
yang sesuai dengan syar’i dengan mendahulukan apa yang wajib didahulukan dan
sebaliknya.
2)
Hendaknya seseorang itu bersikap adil, menjauhi maksiat yang dapat
mencemarkan sifat dan sikap keadilannya karena ini menjadi landasan apakah
fatwanya dapat menjadi pandangn atau tidak.
Sedangkan menurut al-Syatiby dalam
mensyaratkan mujtahid sebagai berikut:[2]
1)
Mengerti dan faham akan tujuan-tujuannya sayriat dengan sepenuhnya,
secara keseluruhan.
2)
Mampu melakukan istinbat berdasarkan kepahaman terhadap tujuan
syariat tersebut.
Mengenai syarat-syarat ijtihad
ini, al-Syawkani berpendapat bahwa seorang mujtahid, 1) mengetahui
al-Qur’an dan hadits, 2) Mengetahui Ijma’, 3) mengetahui bahasa Arab, dan 4)
mengetahui Ushul Fiqih. Lainnya, al-Ghazali, al-Syatiby dan al-Syawkani,
sebagaimana yang dikutib oleh Wahbah al-Zuhaily dari pendapat al-Amadi dan
al-Baidlawi, berkaitan syarat mujtahid ini, mereka berdua mensyaratkan:[3]
1)
Mengtahui apa yang ada pada uhan dari sifat-sifat yang wajib,
Percaya pada rasul dan apa yang dibawa olehnya, dari mukjizat-mukjizat dan
ayat-ayat yang nyata. Sehinnga pendapat dan hukum yang ia Dia sandarkan itu
memang nyata dan benar. Dan tidak disyaratkan baginya mengetahui ilmu kalam
secara detail, cukup mengetahui perkara dengan global.
2)
Hendaknya dia seorang yang pandai (alim) dan bijaksana (arif)
tentang keseluruhan hukum syariat dan pembagiannya.
Lebih rinci lagi, Wahbah al-Zuhaili
mensyaratkan sebagai berikut:[4]
1)
Mengerti dengan makna-makna yang terkandung oleh ayat-ayat hukum
dalam al-Qur’an baik secara bahasa maupun menurut istilah syariat.
2)
Mengetahui tentang hadist-hadist hukum baik secara bahasa maupun
dalam pemakaian syariat.
3)
Mengetahui tentang mana ayat atau hadist yang telah di mansukh dan
mana yang menjadi penggantinya.
4)
Mempunyai pengetahuan tentang ijma’ dan mengetahui tempat
penerapannya.
5)
Mengetahui seluk beluk qiyas.
6)
Mengetahui ilmu-ilmu bantu yang berhubungan dengannya (Nahwu dan
Shorof).
7)
Menguasai ilmu Fiqh.
8)
Mampu menangkap tujuan syariat dalam merumuskan suatu hukum.
Persyaratan-persyaratan ijtihad di
atas merupakan usaha para ulama yang sangat penting untuk dipenuhi dan
diperhatikan oleh seseorang yang akan menetapkan hukum, karena dalam ijtihad
itu menggali hukum Allah yang terkandung di dalam nash-nash. Sehingga
mengeluarkan sebuah hukum yang atas dasar al-Qur’an dan sunnah, bukan dilakukan
atas kehendak hawa nafsu.
[1] Abu Hamid bin Muhammad
bin Muhammad al-Ghazali, op.cit., hlm. 170-171.
[2] Ibrahim bin Musa Abu
Ishaq al-Syatiby, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz. IV, Mesir:
Maktabah al-Tijariyah al-Kubro, t.th., hlm. 105-106.
[3] Wahbah al-Zuhaili, Ushul
al-Fiqh al-Islami, Juz. II.,op.cit., hlm. 332.
[4] Ibid, hlm.
333-337.
Baca Selengkapnya Makalah Ijtihad di sini:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar