Melihat definisi tersebut terlihat
batasan ruang ijtihad, karena ada pernyataan yang menunjukkan bahwa obyek
ijithad hanya dalam lapangan hukum syara’, yang kemudian dispesifikkan mennjadi
hukum amali (fikih). Sedangkan hukum-hukum yang berhubungan dengan
masalah i’tiqat (kalam) dan akhlak tidak menjadi wilayah. Pendapat ini
ditegaskan oleh Ibrahim Hosen yang menyatakan bahwa tidak ada pendapat yang
ijithad berlaku dalam lapangan akidah atau akhlak jelas tidak dibenarkan.
Pandangan lebih luas lagi seperti
yang disampaikan oleh Harun Nasution, menurutnya ijtihad dalam arti yang luas
bahwa tidak hanya terbatas dalam masalah fikih saja, melainkan juga dalam biang
tasawuf dan lain sebagainya.[1] Sementara itu, Jalaludin
Rahmat memperluas lagi ruang lingkup ijtihad, menurutnya ijtihad adalah
pengerahan segenap kemampuan untuk mengeluarkan hukum syara’, baik yang amaliyat,
i’tiqadiyat, dan khuluqiyat dari dalil-dalil yang rinci.[2]
Hal ini dapat dijumpai dengan
lahirnya pemikiran-pemikiran yang dimunculkan oleh ulama sufi, fuqaha’
dan mutakallim yang melahirkan perdebatan sengit dan mengundang berbagai
komentar penilaian, baik yang memuji maupun yang mencela. Semuanya dalam rangka
melakukan ijtihad dalam rangka memahami ajaran agama Islam. Namun perluasan
ruang lingkup ijtihad ini akan menjadi seperti yang diharapakan manakala tidak
hanya dijadikan sebagai teoritis-konseptual semata. Apabila masih ada pembedaan
antara wilayah yang boleh untuk berijtihad dan wilayah yang tidak untu
berijtihad, ada yang boleh disentuh oleh ijtihad dan yang tidak boleh disentuh
ijtihad. Maka ambivalensi berpikir demikian ini terjadi manakala dikotomi qath’i
dan dhanny masih dipertahankan.
Berkaitan dengan ijtihad ini yang
menurut Harun Nasution sebagai sumber ketiga ajaran Islam, di mana ijtihad yang
menjadi dinamisator hukum Islam pada awal generasi Islam telah dipraktekkan
secara bebas tanpa ada aturan formal yang mengikatnya. Dalam perkembangannya,
ulama ushul al-fiqh membuat aturan-aturan yang di antaranya berupa
limitasi ruang lingkup dan syarat-syarat ijtihad.
Berdasarkan pelacakan sejarah,
benih-benih kedua aturan tersebut ternyata telah diperkenalkan oleh al-Syafi’i
sebagai the firt legal thinker. Klasifikasi ‘ilmu ‘amm dan ‘ilmu
khassah. Di mana ‘ilmu ‘amm jenis pengetahuan yang tidak ada
kemungkinan kesalahan tentang isi beritanya dan tidak mungkin di-ta’wil-kan,
selain arti tekstualnya serta tidak boleh diperselisihkan. Sedangkan ‘ilmu khassah
merupakan pengetahuan yang berkaitan dengan hal yang rinci dari kewajiban yang
tidak disebutkan secara jelas dalam al-Qur’an dan hadis. Di sinilah ruang dan
peluang ijtihad. Serta al-Syafi’i juga membagian tentang ikhtilaf (ketidaksepakatan)
menjadi diharamkan dan diperbolehkan yang dibuat oleh al-Syafi’i, oleh ulama ushul
al-fiqh dalam masa selanjutnya
dimatangkan dan dibentuk dalam sebuah konsep yang akibatnya menjadi pembatas
dalam lapangan ijtihad.[3] Pembatasan ijtihad yang
pada intinya tidak boleh menyentuh nash al-dalalah pada gilirannya
diformalkan dalam sebuah bentuk kaidah yang intinya tidak ada ijtihad dalam
sebuah nash qath’i.
Di samping itu, doktrin teologi juga
ikut memberikan kontribusi penciptaan kedua limitasi tersebut, khususnya
teologi sunni. Pertama, kelompok sunni yang menomorduakan akal dan
melarang ijtihad memasuki wilayah-wilayah yang berbicara tentang kalam, i’tiqat,
atau bahasan-bahasan teologi lainnya. Karena hal ini termasuk masalah qath’i
yang tidak ada ruang ijtihad di dalamnya. Kedua, mayoritas kelompok
sunni mengakui kemungkinan vakumnya suatu masa dari mujtahid, yang
berarti juga mengakui kepunahan mujtahid pasca mujtahid. Mereka
menjustifikasi argumentasinya dengan hadis-hadis yang bernuansa teologi, di
antara dekatnya hari kiamat itu ditandai dengan munculnya orang-orang yang
tidak qualified.[4]
Uraian tersebut semakin menjadi
jelas bahwa dengan adanya dikotomi qath’i dan dhanny berdampak
pada limitasi ruang lingkup ijtihad. Sehingga dengan adanya teori qath’i dan
dhanny yang dimuncul oleh ulama ushul
al-fiqh ada yang tidak sepakat seperti ulama ‘ulum al-qur’an dan
ulama-ulama yang lain. Karena secara tidak langsung keberadaannya membatasi
seseorang dalam memahami pesan nash. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Quraish
Shihab bahwa pembahasan tentang qath’i-dhanny
ini tidak menjadi pembahasan dalam literatur ‘ulum al-qur’an.
[1] Harun Nasution, “Ijtihad
Sumber Ketiga Ajaran Islam”, dalam Haidar Baqir dan Syafiq Basri (ed), Ijtihad
dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1996, hlm. 23.
[2] Jalaludin Rahmat, “Ijtihad
Sulit: Tapi Perlu”, dalam Ibid., hlm. 183.
[3] Selengkapnya lihat Ilyas
Supena dan M. Fauzi, op. cit., hlm. 221-223.
[4] Ibid., hlm. 290.
Baca Selengkapnya Makalah Ijtihad di sini:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar