Zakat penghasilan
atau zakat profesi (al-mal al-mustafad) adalah zakat yang dikenakan pada setiap
pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendirian
maupun bersama dengan orang/lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang)
halal yang memenuhi nisab (batas minimum untuk wajib zakat). Contohmya adalah
pejabat, pegawai negeri atau swasta, dokter, konsultan, advokat, dosen,
makelar, seniman dan sejenisnya.
Hukum zakat
penghasilan berbeda pendapat antar ulama fiqih. Mayoritas ulama mazhab empat
tidak mewajibkan zakat penghasilan pada saat menerima kecuali sudah mencapai
nisab dan sudah sampai setahun (haul), namun para ulama mutaakhirin seperti
Syekh Abdurrahman Hasan, Syekh Muhammad Abu Zahro, Syekh Abdul Wahhab Khallaf,
Syekh Yusuf Al Qardlowi, Syekh Wahbah Az-Zuhaili, hasil kajian majma' fiqh dan
fatwa MUI nomor 3 tahun 2003 menegaskan bahwa zakat penghasilan itu hukumnya
wajib.
Hal ini mengacu pada
pendapat sebagian sahabat (Ibnu Abbas, Ibnu Masud dan Mu'awiyah), Tabiin
(Az-Zuhri, Al-Hasan Al-Bashri, dan Makhul) juga pendapat Umar bin Abdul Aziz
dan beberapa ulama fiqh lainnya. (Al-fiqh Al-Islami wa ‘Adillatuh, 2/866)
Juga berdasarkan
firman Allah SWT: "... Ambilah olehmu zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka..." (QS.
At-Taubah 9:103) dan firman Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman,
nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik..." (QS.
Al-Baqarah. 2:267)
Juga berdasarkan
sebuah hadits sahih riwayat Imam Tirmidzi bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Keluarkanlah olehmu sekalian zakat dari harta kamu sekalian," dan
hadits dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah SAW bersabda: "Sedekah hanyalah
dikelaurkan dari kelebihan/kebutuhan. tangan atas lebih baik daripada tangan
dibawah. mulailah (dalam membelanjakan harta) dengan orang yang menjadi
tanggung jawabmu." ( HR. Ahmad)
Dan juga bisa
dijadikan bahan pertimbangan apa yang dijelaskan oleh penulis terkenal dari Mesir,
Muhammad Ghazali dalam bukunya Al-Islam wal Audl' Aliqtishadiya: "Sangat
tidak logis kalau tidak mewajibkan zakat kepada kalangan profesional seperti
dokter yang penghasilannya sebulan bisa melebihi penghasilan petani
setahun."
Jika kita mengikuti
pendapat ulama yang mewajibkan zakat penghasilan, lalu bagaimana cara
mengeluarkannya? Dikeluarkan penghasilan kotor
(bruto) atau penghasilan bersih (neto)? Ada tiga wacana tentang bruto
atau neto seperti berikut ini.
Bruto atau Neto
Dalam buku fiqih
zakat karya DR Yusuf Qaradlawi. bab zakat profesi dan penghasilan, dijelaskan
tentang cara mengeluarkan zakat penghasilan. Kalau kita klasifikasi ada tiga
wacana:
1. Pengeluaran
bruto, yaitu mengeluarkan zakat penghasilan kotor. Artinya, zakat penghasilan
yang mencapai nisab 85 gr emas dalam jumlah setahun, dikeluarkan 2,5 % langsung
ketika menerima sebelum dikurangi apapun. Jadi kalau dapat gaji atau honor dan
penghasilan lainnya dalam sebulan mencapai 2 juta rupiah x 12 bulan = 24 juta,
berarti dikeluarkan langsung 2,5 dari 2 juta tiap buan = 50 ribu atau dibayar
di akhir tahun = 600 ribu.
Hal ini juga
berdasarkan pendapat Az-Zuhri dan 'Auza'i, beliau menjelaskan: "Bila
seorang memperoleh penghasilan dan ingin membelanjakannya sebelum bulan wajib
zakat datang, maka hendaknya ia segera mengeluarkan zakat itu terlebih dahulu
dari membelanjakannya" (Ibnu Abi Syaibah, Al-mushannif, 4/30). Dan juga
menqiyaskan dengan beberapa harta zakat
yang langsung dikeluarkan tanpa dikurangi apapun, seperti zakat ternak, emas
perak, ma'dzan dan rikaz.
2. Dipotong
operasional kerja, yaitu setelah menerima penghasilan gaji atau honor yang
mencapai nisab, maka dipotong dahulu dengan biaya operasional kerja. Contohnya,
seorang yang mendapat gaji 2 juta rupiah
sebulan, dikurangi biaya transport dan konsumsi harian di tempat kerja sebanyak
500 ribu, sisanya 1.500.000. maka zakatnya dikeluarkan 2,5 dari 1.500.000=
37.500,-
Hal ini dianalogikan
dengan zakat hasil bumi dan kurma serta sejenisnya. Bahwa biaya dikeluarkan
lebih dahulu baru zakat dikeluarkan dari sisanya. Itu adalah pendapat Imam
Atho' dan lain-lain dari itu zakat hasil bumi ada perbedaan persentase zakat
antara yang diairi dengan hujan yaitu 10%
dan melalui irigasi 5%.
3. Pengeluaran neto
atau zakat bersih, yaitu mengeluarkan zakat dari harta yang masih mencapai
nisab setelah dikurangi untuk kebutuhan pokok sehari-hari, baik pangan, papan,
hutang dan kebutuhan pokok lainnya untuk keperluan dirinya, keluarga dan yang
menjadi tanggungannya. Jika penghasilan setelah dikurangi kebutuhan pokok masih
mencapai nisab, maka wajib zakat, akan tetapi kalau tidak mencapai nisab ya
tidak wajib zakat, karena dia bukan termasuk muzakki (orang yang wajib zakat)
bahkan menjadi mustahiq (orang yang berhak menerima zakat)karena sudah menjadi
miskin dengan tidak cukupnya penghasilan terhadap kebutuhan pokok sehari-hari.
Hal ini berdasarkan
hadits riwayat imam Al-Bukhari dari Hakim bin Hizam bahwa Rasulullah SAW
bersabda: ".... dan paling baiknya zakat itu dikeluarkan dari kelebihan
kebutuhan...". (lihat: DR Yusuf
Al-Qaradlawi. Fiqh Zakat, 486)
Kesimpulan, seorang
yang mendapatkan penghasilan halal dan mencapai nisab (85 gr emas) wajib
mengeluarkan zakat 2,5 %, boleh dikeluarkan setiap bulan atau di akhir tahun.
Sebaiknya zakat dikeluarkan dari penghasilan kotor sebelum dikurangi kebutuhan
yang lain. Ini lebih afdlal (utama) karena khawatir ada harta yang wajib zakat
tapi tapi tidak dizakati, tentu akan mendapatkan adzab Allah baik di dunia dan
di akhirat. Juga penjelasan Ibnu Rusd bahwa zakat itu ta’bbudi (pengabdian
kepada Allah SWT) bukan hanya sekedar hak mustahiq. Tapi ada juga sebagian
pendapat ulama membolehkan sebelum dikeluarkan zakat dikurangi dahulu biaya
operasional kerja atau kebutuhan pokok sehari-hari.
Semoga dengan zakat,
harta menjadi bersih, berkembang, berkah, bermanfaat dan menyelamatkan
pemiliknya dari siksa Allah SWT. Amiin ya mujibas sa`ilin.
H Abdurrahman Navis
Lc
Wakil Katib
Syuriyah PWNU Jawa Timur
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar