Para ulama sepakat
bahwa shalat sunnat yang di lakukan setelah shalat jum'at adalah sunnah dan
termasuk rawatib ba'diyah Jum'at. seperti yang di riwayatkan oleh Imam Muslim
dan Imam Bukhari:
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ الجُمْعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا
أَرْبَعاً
”Diriwayatkan dari
Abi Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw bersabda: ”Jika salah seorang di
antara kalian shalat Jum’at hendaklah shalat empat rakaat setelahnya”. (HR.
Bukhari dan Muslim).
Sedangkan shalat
sunnah sebelum shalat Jum'at terdapat dua kemungkinan. Pertama, shalat sunnah
mutlak, hukumnya sunnah. Waktu pelaksanannya berakhir pada saat imam memulai
khutbah.
Kedua, shalat sunnah
qabliyyah Jum'at. Para ulama berbeda pendapat tentang shalat sunnah qabliyyah
Jum’at. Pertama, shalat qabliyyah Jum’ah dianjurkan untuk dilaksanakan (sunnah).
Pendapat ini di kemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Syafi'iyyah (menurut pendapat
yang dalilnya lebih tegas) dan pendapat Hanabilah dalam riwayat yang tidak
masyhur. Kedua, shalat qabliyyah Jum’at tidak disunnahkan menurut pendapat Imam
Malik, sebagian Hanabilah dalam riwayat yang masyhur
Adapun dalil yang
menyatakan dianjurkannya shalat sunnah qabliyah Jum'at: Hadist Rasulullah SAW
مَا صَحَّحَهُ
ابْنُ حِبَّانٍ مِنْ حَدِيْثِ عَبْدِاللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ "مَا مِنْ
صَلاَةٍ مَفْرُوْضَةٍ إِلاَّ وَبَيْنَ يَدَيْهَا رَكْعَتَانِ
"Semua shalat
fardlu itu pasti diikuti oleh shalat sunnat qabliyah dua rakaat". (HR.Ibnu
Hibban yang telah dianggap shahih dari hadist Abdullah bin Zubair). Hadist ini
secara umum menerangkan adanya shalat sunnah qabliyah tanpa terkecuali shalat
Jum'at.
Hadist Rasulullah
SAW
وَعَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ سُلَيْكٌ الغَطَفَانِيُّ وَرَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى
الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تَجِيْءَ؟ قاَلَ
لاَ. قَالَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيْهِمَا. سنن ابن ماجه
"Diriwayatkan
dari Abi Hurairah r.a. berkata: Sulayk al Ghathafani datang (ke masjid),
sedangkan Rasulullah saw sedang berkhutbah. Lalu Nabi SAW bertanya: Apakah kamu
sudah shalat sebelum datang ke sini? Sulayk menjawab: Belum. Nabi SAW bersabda:
Shalatlah dua raka’at dan ringankan saja (jangan membaca surat
panjang-panjang)” (Sunan Ibn Majah: 1104).
Berdasar dalil-dalin
tersebut, Imam al Nawawi menegaskan dalam kitab al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab:
فَرْعٌ فِيْ
سُنَّةِ الجُمْعَةِ بَعْدَهَا وَقَبْلَهَا. تُسَنُّ قَبْلَهَا وَبَعْدَهَا صَلاَةٌ
وَأَقَلُّهَا رَكْعَتَانِ قَبْلَهَا وَرَكْعَتَانِ بَعْدَهَا. وَالأَكْمَلُ
أَرْبَعٌ قَبْلَهَا وَأَرْبَعٌ بَعْدَهَا
“(Cabang).
Menerangkan tentang sunnah shalat Jum’at sebelumnya dan sesudahnya. Disunnahkan
shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat jum’at. Paling sedikit dua raka’at
sebelum dan sesudah shalat jum’at. Namun yang paling sempurna adalah shalat
sunnah empat raka’at sebelum dan sesudah shalat Jum’at”. (Al Majmu’, Juz 4: 9)
Adapun dalil yang
menerangkan tidak dianjurkannya shalat sunnat qabliyah Jum'at adalah sbb.:
Hadist dari Saib Bin
Yazid: "Pada awalnya, adzan Jum'at dilakukan pada saat imam berada di atas
mimbar yaitu pada masa Nabi SAW, Abu bakar dan Umar, tetapi setelah zaman
Ustman dan manusia semakin banyak maka Sahabat Utsman menambah adzan menjadi tiga
kali (memasukkan iqamat), menurut riwayat Imam Bukhari menambah adzan menjadi
dua kali (tanpa memasukkan iqamat). (H.R. riwayat Jama'ah kecuali Imam Muslim).
Dengan hadist di
atas Ibnu al-Qoyyim berpendapat, "Ketika Nabi keluar dari rumahnya
langsung naik mimbar kemudian Bilal mengumandangkan adzan. Setelah adzan
selesai Nabi SAW langsung berkhutbah tanpa adanya pemisah antara adzan dan
khutbah, lantas kapan Nabi SAW dan jama’ah itu melaksanakan shalat sunnat
qabliyah Jum'at?
Dari dua pendapat
dan dalilnya di atas jelas bahwa pendapat kedua adalah interpretasi dari tidak
shalatnya Nabi SAW sebelum naik ke mimbar untuk membaca khuthbah. Sedangkan
pendapat pertama berlandaskan dalil yang sudah sharih (argumen tegas dan
jelas). Maka pendapat pertama yang mensunnahkan shalat qabliyyah jum’ah tentu
lebih kuat dan lebih unggul (rajih).
Permasalahan ini
semua adalah khilafiyah furu'iyyah (perbedaan dalam cabang hukum agama) maka
tidak boleh menyudutkan di antara dua pendapat di atas. Dalam kaidah fiqih
mengatakan “la yunkaru al-mukhtalaf fih wa innama yunkaru al- mujma' alaih”
(Seseorang boleh mengikuti salah satu pendapat yang diperselisihkan ulama dan
tidak boleh mencegahnya untuk melakukan hal itu, kecuali permasalahan yang
telah disepakati). Wallahua’lam bish shawab.
HM Cholil Nafis MA
Wakil
Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar