Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Tampilkan postingan dengan label Makalah Ijtihad. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Makalah Ijtihad. Tampilkan semua postingan

Makalah Ijtihad (10) : Pembatalan Ijtihad


Hasil ijtihad yang telah ditetapkan oleh seorang mujtahid memungkinkan akan adanya revisi bahkan pembatalan. Hal ini terjadi karena ada beberapa faktor yang seakan mengharuskan para mujtahid untuk merevisi pendapat mereka dan juga merombak ketetapan mereka. Sebelum melangkah lebih jauh tentang pembahasan ini, alangkah baiknya bila terlebih dahulu dikemukakan pendapat para ulama mengenai hukum ta’addud qaul al-mujtahid (dualisme pendapat mujtahid) dan taghoyyur al- ijtihad (revisi ijtihad). 
Dengan kata lain, bolehkah seorang mujtahid mencetuskan dua pendapat dalam satu permasalahan dalam waktu yang sama? Bolehkah pula melakukan revisi ijtihad?. Dalam permasalahan ini pemakalah mengambil pendapatnya Wahbah al-Zuhaili dalam kitab Ushul al-Fiqh al-Islami.
Share:

Makalah Ijtihad (9) : Limitasi Ruang Ijtihad


Melihat definisi tersebut terlihat batasan ruang ijtihad, karena ada pernyataan yang menunjukkan bahwa obyek ijithad hanya dalam lapangan hukum syara’, yang kemudian dispesifikkan mennjadi hukum amali (fikih). Sedangkan hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah i’tiqat (kalam) dan akhlak tidak menjadi wilayah. Pendapat ini ditegaskan oleh Ibrahim Hosen yang menyatakan bahwa tidak ada pendapat yang ijithad berlaku dalam lapangan akidah atau akhlak jelas tidak dibenarkan.
Pandangan lebih luas lagi seperti yang disampaikan oleh Harun Nasution, menurutnya ijtihad dalam arti yang luas bahwa tidak hanya terbatas dalam masalah fikih saja, melainkan juga dalam biang tasawuf dan lain sebagainya.[1] Sementara itu, Jalaludin Rahmat memperluas lagi ruang lingkup ijtihad, menurutnya ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan untuk mengeluarkan hukum syara’, baik yang amaliyat, i’tiqadiyat, dan khuluqiyat dari dalil-dalil yang rinci.[2]
Share:

Makalah Ijtihad (8) : Problematika Qath’i dan Dzanny sebagai Wilayah Ijtihad


Memperhatikan dari beberapa pandangan tersebut maka ada sekat bahwa yang kajian dalam persoalan qath’i dan dhanny ini adalah ayat-ayat yang menjelaskan tentang hukum, wilayah yang lain seperti i’tiqadiyat dan ibadat tidak masuk di dalamnya. Namun berkaitan dengan nash al-Qur’an yang qath’i dan dhanny ini ada beberapa pendangan yang lain selain pandangan yang disampaikan oleh ulama-ulama di atas.
1.     Tidak ada Nash Qath’i secara Mandiri
Berkiatan dengan nash-nash al-Qur’an, al-Syathibi dalam kitab al-Muwafaqat menulis tentang persoalan ini qath’i al-dalalah dan dhanny al-dalalah. Al-Syathibi mengatakan “Tidak atau jarang sekali ada sesuatu yang pasti (qath’i) dalam dalil-dalil syara’ yang sesuai dengan penggunaan yang populer”.[1] Menurutnya, bila dalil-dalil syara’ tersebut berdiri sendiri (bersifat ahad) maka tidak dapat memberikan kepastian, karena ahad bersifat dhanny. Apabila dalil tersebut mutawatir lafalnya, maka untuk menarik makannya yang pasti dibutuhkan muqaddimat (premis-presmis) yang tentunya harus bersifat qath’i pula. Dalam hal ini premis-presmis tersebut harus bersifat mutawatir. Padahal ini sulit ditemukan karena kenyataan membuktikan bahwa premis tersebut kesemuanya atau sebagian besarnya bersifat dhanny. Sebab sesuatu yang bersandar pada hal yang dhanny tentunya menghasilkan yang dhanny pula.
Share:

Makalah Ijtihad (7) : Wilayah Ijtihad


Wacana wilayah yang diperbolehkan melakukan ijtihad sebagaimana yang disinggung dalam definisi dalam makalah ini terlihat belum ada kesepakatan di kalangan ulama. Dalam hal ini al-Ghazali berpendapat bahwa objek ijtihad (al-mujtahid fiih) adalah setiap hukum syara’ yang tidak ada dalil qath’i-nya. Dengan demikian, menurut al-Ghazali dalam masalah ‘aqliyat dan kalam tidak bisa menjadi wilayah ijtihad, termasuk juga yang tidak bisa menjadi obyek ijtihad adalah segala permasalahan yang sudah disepakati oleh seluruh umat yang berdasarkan pada syara’ yang sudah jelas. Di mana kesepakatan itu lahir dari sebuah pemahaman dari dalil yang qath’i seperti kewajiban shalat lima waktu, kewajiban zakat dan sebagainya.[1]
Share:

Makalah Ijtihad (6) : Klafisikasi Mujtahid


Sebagaimana yang dalam ketentuan syarat-syarat ijtihad, di mana ijtihad merupakan upaya optimal seseorang ahli fiqih untuk mendapatkan solusi hukum terhadap suatu masalah yang digali dari sumber-sumbernya. Untuk dapat melakukan hal itu, sebagaimana yang sudah dijelaskan, bahwa seorang bisa disebut mujtahid harus menguasai syarat-syarat yang telah ditentukan oleh para ulama.
Apabila seseorang telah dapat memenuhi persyaratan tersebut, ia dapat melakukan ijtihad dan disebut mujtahid. Sebaliknya, orang yang tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad tersebut disebut muqallid (orang bertaqlid),[1] yakni mengikuti apa yang telah diijtihadkan oleh mujtahid.[2] Berangkat dari sini kemudian mujtahid diklasifikan oleh para ulama menjadi beberapa klasifikasi.
Share:

Makalah Ijtihad (5) : Syarat Ijtihad (Menjadi Mujtahid)


Ijtihad merupakan tugas suci keagamaan yang bukan sebagai pekerjaan mudah, tetapi pekerjaan berat yang menghendaki kemampuan dan persyaratan tersendiri. Sehingga ijtihad ini tidak dapat dilakukan oleh tiap orang. Memang Islam tidak memilah-milah para pemeluk Islam dalam kelas-kelas tertentu, dan menyangkut ijtihad pun setiap orang berhak melakukannya, tetapi masalahnya bukan di situ. Karena ijtihad suatu bentuk kerja keras yang memerlukan kemampuan tinggi. Oleh sebab itu, tidak semua orang akan dapat melakukannya, sekalipun mereka tetap memiliki hak untuk itu.
Dalam kaitannya ijtihad ini dalam kajian ushul fiqih, para ulama telah menetapkan syarat-syarat tertentu bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad. Menurut al-Ghazali, seorang mujtahid memiliki syarat sebagai berikut:[1]
Share:

Makalah Ijtihad (4) : Hukum Melakukan Ijtihad


Melihat kompleksitas pengertian dari ijtihad di atas, perlu kiranya membahas tentang hukum melakukan ijtihad. Dalam membicarakan hukum ijtihad, para ulama melihatnya dari dua sudut pandang. Pertama, dilihat dari kaca mata syari’, dan kedua, dari segi hasil ijithad yang berkaitan dengan benar dan salahnya dalam melakukan ijtihad tersebut.[1]
Hukum ijtihad apabila dilihat dari kaca mata syari’ dalam konteks ini adalah hukum melakukan ijtihad, menurut al-Syahrastasi (w. 548 H/1153 M) berpendapat bahwa hukum ijtihad termasuk fardlu kifayah, dan bukan fardlu ‘ain. Di sini, al-Syahrastani hanya menyebut satu bentuk hukum saja dan tidak membuka kemungkinan bentuk hukum yang lain. Sedangkan al-Nawawi (w. 676 H/1277 M) menambahkan ketentuan hukum lain dengan dikaitkan perbedaan kondisi. Menurutnya, pada awalnya hukum ifta’ (memberi fatwa) adalah fardlu kiyafah, namun ketika ada orang yang dimintai fatwa dan pada saat itu hanya dialah yang tahu tentang masalah yang ditanyakan, maka hukum ifta’ baginya fardlu ‘ain, apabila ada orang lain yang sama-sama hadir saat itu maka hukumnya fardlu kiyafah.[2]
Share:

Makalah Ijtihad (3) : Dasar Hukum Ijtihad


Kegiatan ijtihad merupakan hal yang paling mendasar dari dasar-dasar syari’ah. Sebab dari sinilah yang kemudian melahirkan hukum-hukum yang ada di dalam hukum Islam. Sebagaimana yang diungkapnya oleh Wahbah al-Zuhaili dalam Kitab Ushul al-Fiqh al-Islami yang menyatakan bahwa banyak sekali dalil yang menunjukkan bolehnya melakukan ijtihad, baik secara eksplisit maupun secara implisit.[1]
Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa’: 105.
Ø¥ِÙ†َّا Ø£َÙ†ْزَÙ„ْÙ†َا Ø¥ِÙ„َÙŠْÙƒَ الْÙƒِتَابَ بِالْØ­َÙ‚ِّ Ù„ِتَØ­ْÙƒُÙ…َ بَÙŠْÙ†َ النَّاسِ بِÙ…َا Ø£َرَاكَ اللَّÙ‡ُ ۚ ÙˆَÙ„َا تَÙƒُÙ†ْ Ù„ِÙ„ْØ®َائِÙ†ِينَ Ø®َصِيمًا) ١٠٥ (
Artinya     : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat” (QS. An-Nisa: 105).[2]
Share:

Makalah Ijtihad (2): Definisi Ijtihad


Menurut bahasa, kata ijtihad yang mengikuti wazan ifti’al diderivasi dari kata jahd (huruf jim­-nya dibaca fathah) dan kata juhd (huruf jim-nya dibaca dlammah). Kata jahd dan juhd merupakan isim masdar yang berasal dari kata jahada – yujahidu. Kata jahd dan juhd mempunyai arti taqah (kemampuan, kekuatan). Dari arti etimologi kata jahd dan juhd tersebut, Ibnu Mandzur mengartikan kata ijtihad dan tajahud dengan mencurahkan segala kemampuan, kekuatan dan kesanggupan.[1]
Kata ijtihad sepadan dengan kata al-wus’ (kesanggupan), al-thaqat (kekuatan) dan al-masyaqqat (berat).[2] Sedangkan secara bahasa ini, kata ijtihad diartikan berbeda oleh para ulama, seperti al-Fayumi menjelaskan bahwa ijtihad secara etimologi adalah pengerahan segala kesanggupan dan kekuatan intelektual mujtahid dalam melakukan pencarian supaya sampai pada sesuatu yang dituju dan selesai hingga ujungnya.[3]
Share:

Makalah Ijtihad (1): Urgensi Ijtihad dalam Fiqih


Al-Qur’an dan hadits merupakan dua sumber utama dalam pemikiran hukum Islam. Hukum Islam tersebut hadir untuk menjawab semua problematika yang dihadapi dan diselesaikan oleh umat Islam. Apabila di dalam al-Qur’an ditemukan ketentuan hukum yang jelas, maka hukum itu yang harus diambil. Namun apabila tidak ditemukan maka dicari dalam hadits. Jika di dalam kedua sumber hukum tidak ditemukan ketentuan hukum, atau hanya disinggung secara samar, maka pencarian hukumnya melalui ijtihad atau ra’y.[1]
Pasca Nabi Muhammad Saw. wafat wahyu yang berupa al-Qur’an dan hadits telah final dan berhenti. Namun polemik kehidupan yang terus bermunculan. Semua persoalan yang muncul banyak sekali yang belum diberikan solusi hukumnya oleh al-Qur’an dan hadits. Atau keduanya memang telah memberikan ketentuan secara jelas, namun apabila diaplikasikan ada sahabat pada saat itu menghasilkan keputusan yang kurang adil.
Share:

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Makalah

Info

Opini