Melihat kompleksitas pengertian dari
ijtihad di atas, perlu kiranya membahas tentang hukum melakukan ijtihad.
Dalam membicarakan hukum ijtihad, para ulama melihatnya dari dua sudut
pandang. Pertama, dilihat dari kaca mata syari’, dan kedua,
dari segi hasil ijithad yang berkaitan dengan benar dan salahnya dalam
melakukan ijtihad tersebut.[1]
Hukum ijtihad apabila dilihat
dari kaca mata syari’ dalam konteks ini adalah hukum melakukan ijtihad,
menurut al-Syahrastasi (w. 548 H/1153 M) berpendapat bahwa hukum ijtihad
termasuk fardlu kifayah, dan bukan fardlu ‘ain. Di sini,
al-Syahrastani hanya menyebut satu bentuk hukum saja dan tidak membuka
kemungkinan bentuk hukum yang lain. Sedangkan al-Nawawi (w. 676 H/1277 M)
menambahkan ketentuan hukum lain dengan dikaitkan perbedaan kondisi.
Menurutnya, pada awalnya hukum ifta’ (memberi fatwa) adalah fardlu
kiyafah, namun ketika ada orang yang dimintai fatwa dan pada saat itu hanya
dialah yang tahu tentang masalah yang ditanyakan, maka hukum ifta’
baginya fardlu ‘ain, apabila ada orang lain yang sama-sama hadir saat
itu maka hukumnya fardlu kiyafah.[2]
Lebih rinci lagi hukum ijtihad juga
dibahas oleh Ibnu al-Qayyim (w. 751 H/1350 M). Menurut Ibn al-Qayyim hukum ijitihad
ada tiga macam, yaitu haram, wajib dan tidak wajib. Ketentuan haram dikaitkan
dengan kualitas mujtahid, apakah dia mengetahui atau tidak (bodoh),
kalau tidak tahu (bodoh) maka haram memberi fatwa. Selain itu juga haram hukum ijtihad
manakala bertentangan dengan nash. Sedangkan wajib ketika yang
membutuhkan fatwa bener-bener butuh. Sedangkan tidak wajib manakala yang
meminta fatwa berkaitan kejadian yang belum terjadi atau belum butuh.[3]
Dalam perkembangan selanjutnya,
hukum ijtihad diperluas, seperti pendapat yang diungkapkan Ibnu
al-Humam:[4]
1.
Ijtihad menjadi wajib
‘ain apabila seorang mujtahid dihadapkan pada persitiwa baru dan ia tidak
mengetahui hukumnya. Atau apabila ditanyakan kepadanya tentang hukum persitiwa
yang terjadi, dan tidak ada mujtahid selainya. Kewajiban tersebut harus
dilaksanakan secepatnya, apabila khawatir tersebut berlalu tanpa menurut jalur
yang dikehendaki syara’. Akan tetapi apabila dia tidak khawatir terhadap hal
itu, maka kewajibannya tertunda.
2.
Ijtihad menjadi wajib
kifayah, apabila di negeri tersebut terdapat lebih dari seorang mujtahid
dan tidak kahwatir berlalunya persitiwa hukum yang dimaksud. Apabila sudah ada
sebagian mujtahid yang memberikan ketentuan hukumnya, maka gugurlah tuntutan
ijtihad bagi lainya. Jika mereka mampu namun tidak bersedia memberikan
fatwa maka semunya berdosa.
3.
Ijtihad hukumnya mandub,
apabila terkait dengan peristiwa yang belum pernah terjadi tetapi boleh terjadi
dalam waktu dekat.
4.
Ijtihad hukumnya haram,
apabila bertentangan dengan nash al-Qur’an dan sunah yang qath’i atau
bertentangan dengan ijma’.
Keempat hukum tersebut juga
disampaikan oleh Wahbah al-Zuhaily. Menurutnya hukum ijtihad ada empat, yaitu fadlu
‘ain, fadlu kifayah, mandub dan haram.[5]
Sedangkan hukum ijtihad dilihat dari
nilai kebenaran (tashwibah) atau kesalahan (takhthi’ah) hasilnya
juga ada perdebatan di kalangan ulama.[6] Dalam konteks ijtihad ini,
menurut al-Ghazali, istilah khata’ selalu berkaitan dengan itsm (dosa).
Artinya setiap orang yang salah pasti berdosa, dan setiap yang berdosa pasti
salah. Orang yang benar pasti tidak salah dan tidak dosa.[7]
Berkaitan dengan ketentuan tashwibah-takhthi’ah
tergantung dengan pada masalah yang diijtihadi. Secara garis besar ulama
membaginya menjadi dua, masalah dzanniyat dan qath’iyyat. Dalam masalah
dzanniyat kesalahan dalam ijtihad tidak mendatangkan dosa. Dan
orang yang akan berdosa bila salah berijtihad dalam masalah qathi’yyat. Menurut
al-Ghazali yang termasuk masalah qathiyyat adalah kalamiyah, usuliyah
dan fiqhiyah.[8]
Dalam hukum syara’ yang berkaitan
dengan fiqhiyah yang dzanniyat, ada beda pendapat: 1) semua
mujtahid benar dengan hasil ijtihadnya. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu
al-Hasan al-Asy’ari, Abu Yusuf, Muhammad al-Syaybani, dan ulama lainnya. 2)
Mujtahid yang benar hanya satu, yang lainnya salah, namun tidak berdosa.
Pendapat ini didukung oleh al-Syayrazi. Dan 3) mujtahid yang benar hanya satu,
yang lain salah, namun tetap berdosa. Pendapat ini didukung oleh al-‘Asam bin
‘Ulayyah, Basyar al-Marisi dan ulama lain.[9]
[1] Ilyas Supena dan
M.Fauzi, op. cit., hlm. 185-186.
[2] Istilah bagi al-Nawawi ifta’
identik dengan ijtihad, dan mufti identik dengan mujtahid.
Selengkapnya ibid., hlm. 187.
Apapun penjelasan tentang ifta’ identik dengan ijtihad akan
dijelaskan dalam makalah ini dalam pembahasan tentang klasifikasi mujtahid.
[3] Dalam konteks ini, Ibn
al-Qayyim juga menyamakan mufti dengan mujtahid.
[4] Ibnu al-Humam, al-Tahrir,
Juz IV, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., hlm. 179-180.
[5] Wahbah al-Zuhaili, Ushul
al-Fiqh al-Islami, Juz. II.,op.cit, hlm.344-345.
[6] Selain menggunakan
istilah tashwibah (kebenaran), dipakai juga istilah sawab (benar)
dan orangnya disebut musib. Sedangkan kata takhthiah (kesalahan)
biasanya juga dipakai khatha’ (salah) dan orangnya disebut mukhti’.
Lihat Ilyas Supena dan M. Fauzi, op.cit., hlm. 191.
[7] Abu Hamid bin Muhammad
bin Muhammad al-Ghazali, op.cit. hlm. 173.
[8] Term fiqhiyah ini
yang dimaksudkan oleh al-Ghazali adalah hukum yang ada dalil qath’i-nya.
Sedangkan fiqhiyah yang dzanniyat inilah yang menjadi wilayah
ijtihad. Selengkapnya lihat ibid.
[9] Ilyas Supena dan M.
Fauzi, op.cit., hlm. 193-194.
Baca Selengkapnya Makalah Ijtihad di sini:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar