Ia adalah putra
seorang ulama' ahli Al-Qur'an, yakni KH. Nursalim Al-Hafizh, dari Narukan,
Kragan, Rembang, Jawa Tengah, sebuah desa di pesisir utara pulau Jawa. KH.
Nursalim adalah murid dari KH. Arwani Al-Hafidz Kudus dan KH. Abdullah Salam
Al-Hafidz Pati.
Dari silsilah
keluarga ayah beliau inilah terhitung dari buyut beliau hingga generasi
ke-empat kini merupakan ulama'-ulama' ahli Al-Qur'an yang handal. Silsilah
keluarga dari garis ibu beliau merupakan silsilah keluarga besar ulama' Lasem,
Bani Mbah Abdurrahman Basyaiban atau Mbah Sambu yang pesareannya ada di area
Masjid Jami' Lasem, sekitar setengah jam perjalanan dari pusat Kota Rembang.
Gus Baha' kecil
mulai menempuh gemblengan keilmuan dan hafalan Al-Qur'an dibawah asuhan ayahnya
sendiri. Pada usia yang masih sangat belia, beliau telah mengkhatamkan
Al-Qur'an beserta Qiro'ahnya dengan lisensi yang ketat dari ayah beliau.
Memang, karakteristik bacaan dari murid-murid Mbah Arwani menerapkan keketatan
dalam tajwid dan makhorijul huruf.
Menginjak usia
remaja, Kiai Nursalim menitipkan Gus Baha' untuk mondok dan berkhidmah kepada
Syaikhina KH. Maimoen Zubair di Pondok Pesantren Al-Anwar Karangmangu, Sarang,
Rembang, sekitar 10 km arah timur Narukan. Di Al-Anwar inilah beliau terlihat
sangat menonjol dalam fan-fan ilmu syari'at seperti Fiqih, Hadits dan Tafsir.
Dalam riwayat
pendidikan beliau, semenjak kecil hingga mengasuh pesantren warisan ayahnya
sekarang, Gus Baha' hanya mengenyam pendidikan dari dua pesantren, yakni
pesantren ayahnya sendiri di desa Narukan dan PP. Al Anwar Karangmangu.
Selain di pondok
pesantren, Gus Baha' juga mengabdi di Lembaga Tafsir Al-Qur'an Universitas
Islam Indonesa (UII) Yogyakarta dan diminta mengasuh Pengajian Tafsir Al-Qur'an
di Bojonegoro, Jawa Timur. Di Yogya, Gus Baha' mengajar tiap Minggu terakhir,
sedangkan di Bojonegoro ia mengjara di Minggu kedua setiap bulannya.
Di UII beliau adalah
Ketua Tim Lajnah Mushaf UII. Timnya terdiri dari para Profesor, Doktor dan
ahli-ahli Al-Qur'an dari se-antero Indonesia seperti Prof. Dr. Quraisy Syihab,
Prof. Zaini Dahlan, Prof. Shohib dan para anggota Dewan Tafsir Nasional yang
lain.
Suatu kali Gus Baha'
ditawari gelar Doctor Honoris Causa dari UII, namun beliau tidak berkenan.
Dalam jagat Tafsir Al-Qur'an di Indonesia beliau termasuk pendatang baru dan
satu-satunya dari jajaran Dewan Tafsir Nasional yang berlatar belakang
pendidikan non formal dan non gelar.
Meski demikian,
kealiman dan penguasaan keilmuan beliau sangat diakui oleh para ahli tafsir
nasional, hingga pada suatu kesempatan pernah diungkapkan oleh Prof. Quraisy
bahwa kedudukan beliau di Dewan Tafsir Nasional selain sebagai mufassir, juga
sebagai mufassir faqih karena penguasaan beliau pada ayat-ayat ahkam yang
terkandung dalam Al-Qur'an.
Setiap kali lajnah
'menggarap' tafsir dan Mushaf Al-Qur'an, posisi Gus Baha' selalu di dua
keahlian, yakni sebagai mufassir seperti anggota lajnah yang lain dan sekaligus
sebagai Faqihul Qur'an yang mempunyai tugas khusus mengurai kandungan fiqh
dalam ayat-ayat ahkam Al-Qur'an.
Sumber: Duta Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar