Memperhatikan dari beberapa
pandangan tersebut maka ada sekat bahwa yang kajian dalam persoalan qath’i dan
dhanny ini adalah ayat-ayat yang menjelaskan tentang hukum, wilayah yang
lain seperti i’tiqadiyat dan ibadat tidak masuk di dalamnya.
Namun berkaitan dengan nash al-Qur’an yang qath’i dan dhanny ini
ada beberapa pendangan yang lain selain pandangan yang disampaikan oleh
ulama-ulama di atas.
1.
Tidak ada Nash Qath’i secara Mandiri
Berkiatan dengan nash-nash
al-Qur’an, al-Syathibi dalam kitab al-Muwafaqat menulis tentang
persoalan ini qath’i al-dalalah dan dhanny al-dalalah.
Al-Syathibi mengatakan “Tidak atau jarang sekali ada sesuatu yang pasti (qath’i)
dalam dalil-dalil syara’ yang sesuai dengan penggunaan yang populer”.[1] Menurutnya, bila
dalil-dalil syara’ tersebut berdiri sendiri (bersifat ahad) maka tidak
dapat memberikan kepastian, karena ahad bersifat dhanny. Apabila
dalil tersebut mutawatir lafalnya, maka untuk menarik makannya yang
pasti dibutuhkan muqaddimat (premis-presmis) yang tentunya harus
bersifat qath’i pula. Dalam hal ini premis-presmis tersebut harus
bersifat mutawatir. Padahal ini sulit ditemukan karena kenyataan
membuktikan bahwa premis tersebut kesemuanya atau sebagian besarnya bersifat dhanny.
Sebab sesuatu yang bersandar pada hal yang dhanny tentunya menghasilkan
yang dhanny pula.
Muqaddimat yang dimaksud oleh al-Syathibi di atas ada sepuluh macam dikenal
dengan al-ihtimalat al-‘asyrah, yakni: (1) riwayat-riwayat kebahasaan,
(2) riwayat-riwayat yang berkaitan dengan gramatika (nahw), (3) riwayat-riwayat
yang berkaitan dengan perubahan kata (sharaf), (4) redaksi yang dimaksud
bukan kata bertimbal (ambigu, musytarak), (5) redaksi yang dimaksud
bukan kata metaforis (majaz), (6) tidak mengandung peralihan makna, (7)
sisipan (idhmar), (8) pendahuluan dan pengakhiran (taqdim wa ta’khir),
(9) pembatalan hukum (naskh), dan (10) tidak mengandung penolakan yang
logis (adam al-mu’aridh al-‘aqliy).
Dari kesepuluh premis di atas, tiga
dari yang pertama bersifat dhanny, karena riwayat-riwayat yang
menyangkut hal-hal tersebut kesemuanya ahad. Sedangkan tujuh sisanya
hanya dapat diketahui melalui al-istiqra’ al-tam (metode induktif yang
sempurna), dan dalam hal ini mustahil. Dalam hal ini dapat dilakukan hanyalah al-istiqra’
al-naqish (metode induktif yang tidak sempurna), dan ini tidak menghasilkan
kepastian. Dengan kata lain, yang dihasilkan adalah sesuatu yang bersifat dhanny.
Melihat pandangan Al-Syathibi hal
itu mengantarkan pada kesimpulan bahwa tidak ada yang qath’i dalam al-Quran.
Hal ini memang demikian apabila ditinjau dari sudut ayat-ayat tersebut secara
berdiri sendiri. Tetapi lebih jauh ia menjelaskan bagaimana proses yang dilalui
oleh suatu hukum yang diangkat dari nash sehingga ia pada akhirnya dinamai qathi’i.
Lebih jauh lagi, al-Syatibi
menegaskan bahwa munculnya kepastian makna (qath’i al-dalalah) suatu
nash adalah dari sekumpulan dalil dhanny yang kesemuannya mengandung
kemungkinan makna yang sama. Berkumpulnya makna yang sama dari dalil-dalil yang beraneka ragam itgu menambah kekuatan
tersendiri, yang pada akhirnya menjadikannya tidak dhanny lagi. Ia telah
berubah menjadi semacam mutawatir ma’nawi dan dengan demikian baru dapat
disebut qath’i al-dalalah.[2]
Dalam menjelaskan pendapat
al-Syatibi, Quraish Shihab memberikan penjelasan bahwa apabila perhatian hanya
ditujukan kepada nash al-Quran yang berbunyi aqimu al-shalah misalnya,
maka nash ini tidak pasti menunjuk kepada wajibnya shalat, walaupun redaksinya
berbentuk perintah, sebab, banyak ayat al-Quran yang menggunakan redaksi
perintah tapi dinilai bukan sebagai perintah wajib. Kepastian tersebut datang
dari pemahaman terhadap nash-nash lain yang, walaupun dengan redaksi atau
konteks berbeda-beda, disepakati bahwa kesemuanya mengandung makna yang sama.
Dalam contoh di atas, ditemukan sekian banyak ayat atau hadis yang menjelaskan
antara lain hal-hal berikut:[3]
a)
Pujian kepada orang-orang yang shalat.
b)
Celaan dan ancaman bagi yang meremehkan atau meninggalkannya.
c)
Perintah kepada mukallaf untuk melaksanakannya dalam keadaan sehat
atau sakit, damai atau perang, dalam keadaan berdiri atau -bila udzur- duduk
atau berbaring atau bahkan dengan isyarat sekalipun.
d)
Pengalaman-pengalaman yang diketahui secara turun-temurun dari Nabi
Saw., sahabat beliau, dan generasi sesudahnya, yang tidak pernah
meninggalkannya.
Kumpulan nash yang memberikan
makna-makna tersebut, yang kemudian disepakati oleh umat, melahirkan pendapat
bahwa penggalan ayat aqimu al-shalah secara pasti (qath’i)
mengandung makna wajibnya shalat. Juga disepakati bahwa tidak ada kemungkinan
arti lain yang dapat ditarik darinya. Di sini, kewajiban shalat yang ditarik
dari aqimu al-shalat, menjadi aksioma (pernyataan yg dapat diterima sebagai
kebenaran tanpa pembuktian). Di sini
berlaku ma’lum min al-din bi al-dharurah.
Biasanya, ulama-ulama ushul
al-fiqh menunjuk kepada ijma’ untuk menetapkan sesuatu yang bersifat
qath’i. Sebab, jika mereka menunjuk kepada nash (dalil naqli)
secara berdiri sendiri, maka akan dapat terbuka peluang -bagi mereka yang tidak
mengetahui ijma' itu- untuk mengalihkan makna yang dimaksud dan telah
disepakati itu ke makna yang lain. Nah, guna menghindari hal inilah mereka
langsung menunjuk kepada ijma’.
Perlu ditambahkan bahwa suatu ayat
atau hadis mutawatir dapat menjadi qath’i dan dhanny pada
saat yang sama. Firman Allah yang berbunyi: wa imsahu bi ru'usikum
adalah qath’i al-dalalah menyangkut wajibnya membasuh kepala dalam
berwudhu. Tetapi ia dhanny al-dalalah dalam hal batas atau kadar kepala
yang harus dibasuh. Ke-qath’i-an dan ke-dhanny-an tersebut disebabkan
karena seluruh ulama bersepakat menyatakan kewajiban membasuh kepala dalam
berwudhu berdasarkan berbagai argumentasi. Namun, mereka berbeda pendapat
tentang arti dan kedudukan ba’ pada lafal bi ru’usikum. Dengan
demikian, kedudukan ayat tersebut menjadi qath’i bi i’tibar wa dhanny bi i’tibar
akhar. Melihat uraian ini, maka dalam satu sisi ia menunjuk kepada makna
yang pasti, dan di sisi lain ia memberi berbagai alternatif makna.[4]
Pandangan Quraish Shihab ini
membenarkan sulitnya suatu nash secara mandiri menjadi qath’i itulah,
Quraish Shihab akhirnya mengembalikan qath’i atau dhanny nash kepada argumentasi
yang maknanya telah disepakati oleh ulama (mujma’ ‘alaih).
2.
Nash Qath’i Bersifat Subyektif-Relatif
Dalam penentuan suatu nash termasuk qath’i
dan yang lain termasuk dhanny terjadi inkonsistensi. Hal ini
terlihat dari ketidakjelasan dan ketidaksamaan klasifikasi nash qath’i yang
dibuat oleh usuliyun. Di mana setiap ulama berbeda klasifikasi dari
masalah-masalah yang dikategorikan masalah qath’i dan dhanny.[5] Benar apabila secara umum
dapat disimpulkan bahwa nash qath’i adalah nash yang berbicara tentang
masalah ‘aqa’id, ibadat, ketentuan warisan, hukum kafarat
(denda), hudud (tindak pidana) dan hal-hal aksiomatik lainnya.[6] Di mana klasifikasi
tersebut bersifat subyektif sehingga hukum yang dikandungnya bernilai relatif.
Dalam hal ini Ilyas Supen dan M.
Fauzi membuktikannya dengan unsur historitas yang melekat pada nash. Di mana
nash-nash yang subyektif dan diklaim sebagai nash qath’i ternyata
dipengaruhi oleh sosio-kultur masyarakat pra-Islam dan masyarakat Arab itu
sendiri. Mereka mencontohkan nash yang dikategorikan sebagai nash qath’i seperti
nash tentang warisan dan hudud.[7] Ini artinya
ketentuan-ketentuanya hukum yang diekspresikan Allah dan rasul-Nya ternyata
sangat dipengaruhi kondisi setempat sehingga unsur budaya saat itu menjadi
pertimbangan utama. Di mana setiap tempat memiliki kondisi yang berbeda-beda.
Sehingga menurut mereka, konsep qath’i
al-dalalah yang dalam padangan ulama ushul al-fiqh lebih dilihat
dari segi bentuk verbal suatu nash, maka harus diubah dengan lebih melihat pada
nilai universal yang terkandung di dalam nash. Dengan demikian, qath’i di sini adalah nilai universal tersebut dan
bukan bentuk redaksi nash yang dianggap jelas dan pasti.[8]
Berkaitan dengan qath’i dan dhanny,
menurut Masdar bahwa dikotomi qath’i-dhanny tersebut diintrodusir ulama ushul
al-fiqh dari dikotomi nash-nash muhkamat-mutasyabihat. Bedanya qath’i-dhanny
digunakan untuk memahami ayat-ayat hukum. Sedangkan muhkamat-mutasyabihat
untuk ayat non-hukum. Pengalihan istilah ini dimaksudkan untuk membebaskan diri
dari kontroversi yang tajam seputar pembahasan ayat muhkamat-mutasyabihat.
Menurutnya kategorisasi itu jangan hanya sekadar dilihat dari makna
sintaksisnya, tetapi lebih pada kandungan idealnya.[9]
Penciptaan dikotomi qath’i-dhanny
dan dikotomi yang lainnya seperti mutlaq-muqayyad, mujmal-mubayyan,
‘am-khas dan lain-lain, sangatlah bersifat subyektif karena hanya untuk
membela sudut pandang tertentu dan tergantung pada selera masing-masing orang.[10] Apabila dilacak dalam
sejarah pemikiran hukum Islam yang lebih menekankan nilai universal yang
dikandung dalam ayat al-Qur’an sebagainya sudah disinggung di atas, disadari
atau tidak jelas terinspirasi oleh pemikiran atau ijtihad Umar bin Khaththab
yang secara terang-terangan berani menyimpang dari bunyi verbal nash yang
selama ini dianggap qath’i al-dalalah. Di antaranya contoh ijtihad Umar
bin Khaththab adalah menghilangkan hukuman potong tangan bagi pencuri pada
musim paceklik, menghilangkan bagian zakat bagi golongan mu’allaf
qulubuhum (orang yang masih lemah imannya), menghilangkan bagian ghanimah
(harta rampasan) bagi tentara dan lain-lain.[11]
3.
Qath’i dan Dhanny
dalam Pandangan Ulama ‘Ulum al-Qur’an dan Ushul al-Fiqh
Berkaitan dengan persoalan qath’i
dan dhanny ada yang perlu diketahui, Quraish Shihab memberikan
catatan bahwa pembahasan ini tidak menjadi salah satu pokok pembahasan
ulama-ulama tafsir. Secara mudah hal itu dapat dibuktikan dengan membuka
lembaran kitab-kitab ulum al-qur’an. Misalnya kitab al-Burhan
karangan al-Zarkasyi, al-Itsqan karangan al-Suyuthi, dalam kedua kitab
tersebut tidak membahas soal ini, begitu juga kitab lainnya. Hal ini disebabkan
ulama-ulama tafsir menekankan bahwa al-Qur’an hammalat li al-wujuh (al-Qur’an
mampu mengandung banyak intertretasi). Sehingga dalam proses penggalian makna,
ulama-ulama tafsir mengenal ungkapan: “seorang tidak dinamai mufasir kecuali
jika ia mampu memberi interpretasi beragam terhadap ayat-ayat al-Qur’an”.[12]
Pandangan yang demikian searah dengan
yang disampaikan oleh Muhammad Arkoun, seorang pemikir kontemporer kelahiran
Aljazair sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab. Arkoun mengatakan
“Kitab suci al-Qur’an itu mengandung kemungkinan makna yang tidak
terbatas, ia menghadirkan berbagai pemikiran dan penjelasan pada tingkat
dasariah, eksistensi yang absolut, ia dengan demikian selalu terbuka, tak
pernah tetap dan tertutup hanya pada satu penafsiran makna”.[13]
Pendapat di atas sejalan dengan
tulisan ‘Abdullah Darraz, salah seorang ulama besar al-Azhar yang antara lain
mengedit, menjelaskan dan mengkritik kitab al-Muwafaqat karya Abu Ishaq al-Syathibi.
Sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab bahwa Syaikh Darraz menulis:
“Apabila
Anda membaca al-Quran, maknanya akan jelas di hadapan Anda. Tetapi bila Anda
membaca sekali lagi, maka Anda akan menemukan pula makna-makna lain yang
berbeda dengan makna terdahulu. Demikian seterusnya, sampai-sampai Anda (dapat)
menemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti bermacam-macam. Semuanya benar
atau mungkin benar, ayat-ayat al-Quran bagaikan intan. Setiap sudutnya
memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut
lain. Dan tidak mustahil, jika Anda mempersilakan orang lain memandangnya, maka
dia akan melihat lebih banyak dari apa yang Anda lihat”.[14]
Di sisi lain, setiap nash atau
redaksi mengandung dua dalalah (kemungkinan arti). Bagi pengucapnya,
redaksi tersebut hanya mengandung satu arti saja, yakni arti yang dimaksudkan
olehnya. Inilah yang oleh Quraish Shihab disebut dalalah haqiqiyyah.
Tetapi, bagi para pendengar atau pembaca, dalalah-nya bersifat relatif.
Mereka tidak dapat memastikan maksud pembicara. Pemahaman mereka terhadap nash
atau redaksi tersebut dipengaruhi oleh banyak hal. Mereka dapat berbeda
pendapat dan yang kedua ini dinamai dalalah nishbiyyah.[15]
Berdasarkan pandang yang demikian
inilah sepertinya yang menjadi alasan mengapa pembahasan mengenai qath’i
al-dalalah tidak diuraikan secara khusus dalam kitab-kitab ‘ulum al-qur'an.
Persoalan ini dibahas oleh ulama-ulama ushul al-fiqh. Para pakar
disiplin ilmu ini pada umumnya menjadikan masalah-masalah ushul al-fiqh
sebagai masalah yang pasti atau qath’i. Terlepas dari perbedaan
pandangan yang demikian, namun perlu juga dicatat bahwa walaupun masalah yang
dibicarakan di atas tidak menjadi pokok bahasan ulama tafsir, namun mereka
menekankan perlunya seorang mufasiir untuk mengetahui ushul al-fiqh,
khususnya dalam rangka menggali ayat-ayat hukum.
[1] Abu Ishaq Ibrahim ibn
al-Syatibi, op. cit., hlm. 13. Adapun yang dimaksudkan adalah istilah
yang dinukil di atas, atau yang semakna dengannya seperti dijelaskan oleh 'Ali
'Abdul Wahhab. Mereka merumuskan “definisi populer” tersebut dengan “Tidak
adanya kemungkinan untuk memahami dari suatu lafal kecuali maknanya yang dasar
itu”, lihat Quraish Shihab, op.cit., hlm. 139.
[2] Selengkapnya lihat Abu
Ishaq Ibrahim ibn al-Syatibi, op. cit., hlm. 13-16.
[3] Quraish Shihab, op.cit.,
hlm. 140.
[4] Selengkapnya lihat,
Ibid., hlm. 140-141.
[5] Ilyas Supena dan M.
Fauzi, op.cit., hlm. 264.
[6] Selengkapnya lihat Abd
Wahhab Khallaf, op. cit.,hlm. 35., lihat juga Fatiha al-Darani, al-Manahij
Usuliyah fi al-Ijtihad bi al-Ra’y fi al-Tasyri’ al-Islami, Damaskus: Dar
al-Kitab al-Hadits, 1975, hlm. 20., lihat pula Salam Mazkur, al-Ijtihad fi
al-Tasri’ al-Islami, Beirut: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyah, 1984, hlm. 80-84.
[7] Selengkapnya lihat Ilyas
Supena dan M. Fauzi, op.cit., hlm 264-269.
[8] Ibid., hlm. 269.
[9] Lebih lanjut baca Masdar
F. Mas’ud, Memahami Ajaran Suci dengan Pendekatan Transformasi, dalam
Iqbal Abdurrauf Saimima (penyunting), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam,
Jakarta: Pustakan Panjimas, 1988, hlm. 175-191.
[10] Taufiq Adnan Amal dan
Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual al-Qur’an, Bandung: Mizan,
1989, hlm. 30.
[11] Pemikiran-pemikiran Umar
bin Khaththab tersebut dapat dilacak dalam buku bunga rampai fikih Umar bin
Khaththab lihat Muhammad Abdul Aziz al-Halawi, Fatwa dan Ijithad Umar Bin
Khaththab, diterjemahkan oleh Zubeir Suryadi Abdullah dari Fatawa wa
Aqdhiyah Amiril Mu’minin Umar bin al-Khaththab, Surabaya: Risalah Gusti,
2003, lihat pula Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, Mawsu’ah Fiqh Umar b.
Al-Khaththab, Beirut: Dar al-Nafa’is, 1989.
[12] Quraish Shihab, op.
cit., hlm. 137.
[13] Ibid., hlm. 138.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
Baca Selengkapnya Makalah Ijtihad di sini:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar