Wacana wilayah yang diperbolehkan
melakukan ijtihad sebagaimana yang disinggung dalam definisi dalam
makalah ini terlihat belum ada kesepakatan di kalangan ulama. Dalam hal ini
al-Ghazali berpendapat bahwa objek ijtihad (al-mujtahid fiih) adalah
setiap hukum syara’ yang tidak ada dalil qath’i-nya. Dengan demikian,
menurut al-Ghazali dalam masalah ‘aqliyat dan kalam tidak bisa
menjadi wilayah ijtihad, termasuk juga yang tidak bisa menjadi obyek ijtihad
adalah segala permasalahan yang sudah disepakati oleh seluruh umat yang berdasarkan
pada syara’ yang sudah jelas. Di mana kesepakatan itu lahir dari sebuah
pemahaman dari dalil yang qath’i seperti kewajiban shalat lima waktu,
kewajiban zakat dan sebagainya.[1]
Dalam permasalahan wilayah ijtihad
ini lebih mendetail dijelaskan oleh Wahbah al-Zuhaili. Dalam wilayah ijtihad
ini, Wahbah al-Zuhaili mengklasifikasikan wilayah yang tidak boleh menjadi
lahan ijtihad dan wilayah yang boleh menjadi lahan ijtihad. Di mana yang tidak boleh menjadi lahan ijtihad adalah
segala sesuatu yang telah ditetapkan hukumnya dengan sebuah dalil yang jelas
ketetapan (qath’i al-tsubut) dan jelas dalalah (qath’i
al-dalalah)[2]
hukumnya.[3] Sebagai contoh dalil nash
yang menjelaskan tentang kewajiban melakasanakn ibadah shalat, hukuman bagi
pelaku zina, hukuman bagi pencuri, dan sebagainya. Dengan demikian
hadits-hadits yang mutawatir tidak bisa menjadi lahan untuk berijtihad.[4] Karena hukum hadits
mutawatir adalah qath’i al-tsubut.[5] Sedangkan -ini terlepas
dari perdebatan jumlah ayat yang ada di dalam al-Qur’an- seluruh ayat yang ada
di dalam al-Qur’an semuanya qath’i al-tsubut.
Adapun wilayah yang boleh menjadi
lahan ijtihad adalah segala sesuatu yang dalil hukumnya berupa ketetapan
yang dugaan (dzanny al-tsubut) dan petunjuk yang dugaan (dzanny
al-dalalah) atau segala sesuatu yang belum ada dalil nashnya dan ijma’.[6] Apabila ada sebuah nash
hadits yang dzanny al-tsubut maka hal itu juga bisa menjadi lahan
berijtihad dengan melakukan kajian terhadap sanad, perawi dan matan-nya.
Dengan demikian, secara garis besar
wilayah ijtihad meliputi dua hal, yakni pertama, hukum-hukum yang tidak ada
petunjuk nashnya sama sekali, dan kedua, hukum-hukum yang ditunjukkan oleh nash
dhanny, baik dzanny al-tsubut, maupun dzanny al-dalalah.
Sedangkan hukum-hukum yang telah ditunjukkan oleh nash qath’i, baik qath’i
al-tsubut, maupun qath’i al-dalalah maka tidak ada sedikit pun ruang
bagi ijtihad. Larangan berijtihad terhadap hukum yang ditunjukkan nash qath’i
tersebut pada perkembangannya dikristalkan menjadi sebuah kaidah: “Laa
masaagha li al-ijtihad fimaa fih nash sharih qath’i”.[7] Tentu pandangan yang
disampaikan oleh ulama ushuliyun tersebut memberikan dampak limitasi ruang
lingkup ijtihad dalam kajian hukum Islam.
[1] Abu Hamid bin Muhammad
bin Muhammad al-Ghazali, op.cit., hlm. 173.
[2] Dalam kajian teori
qath’i dan dhanny dalam tataran pembahasan stresingnya menyangkut persoalan al-tsubut
(ketetapan) atau al-wurud (kedatangan) dan al-dalalah
(penunjukan kandungan makna). Dalam hal ini, seluruh nash yang ada di dalam
al-Qur’an tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat Islam mengenai
kebenaran sumber al-Qur’an sebagai sumber hukum (qath’i al-tsubut atau
ketetapan yang pasti). al-Qur’an yang terdokumentasikan dalam mushaf Utsmani
dan dibaca seluruh umat Islam merupakan wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad
Saw. dari Allah Swt. melalui malaikat Jibril As. (qath’i al-wurud atau
kedatangan yang pasti).
Adapun nash al-Qur’an apabila
ditinjau dari segi penunjukan (al-dalalah) yang terkandung di dalam nash
tersebut yang berkaitan tentang hukum. Nash-nash al-Qur’an tersebut dibagi
menjadi dua, yakni qath’i al-dalalah (penunjukan kandungan makna yang
pasti) dan dhanny al-dalalah (penunjukan kandungan makna yang
nisbi). Baca Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan ,
1994, hlm. 137. Abd al-Wahhab al-Khalaf, op.cit. hlm. 34-35. Wahbah al-Zuhaili, Ushul
al-Fiqh al-Islami, Juz. I, Damaskus: Dar al-Fikr, 2005, hlm. 423. Hasrun
Haroen, Ushul Fiqh 1, Cet. II, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm.
32.
Dalam makalah ini menganggap
bahwa persoalan al-tsubut dan al-wurud sudah jelas, dalam artian
keduanya bersifat pasti (qath’i). Sebagaimana yang dikatakan oleh
Quraish Shihab bahwa qath’i al-tsubut hakikatnya merupakan salah satu
dari apa yang dikenal dengan istilah ma’lum min al-din bi al-dharurah
(sesuatu yang sudah sangat jelas, aksiomatik dalam ajaran agama). Baca Quraish
Shihab, op.cit., hlm. 137.
Berkaitan dengan makna qath’i
al-dalalah dan dhanny al-dalalah
pemakalah mengambil pendapatkannya Wahabh al-Zuhaili, bahwa qath’i
al-dalalah adalah lafal yang terdapat di dalam al-Qur’an yang menunjukkan
sebuah pemahaman dan tidak mengandung makna kecuali satu makna, seperti
ayat-ayat tentang mawaris, hudud dan kafarat. Sedangkan dhanny
al-dalalah adalah lafal yang terdapat di dalam al-Qur’an yang mengandung
makna lebih dari satu yang menjadikan sebagai ruang ta’wil, seperti
lafal yang mengandung makna lebih dari satu, misalnya kata al-quru’ (QS.
al-Baqarah: 228) yang dalam bahasa arab memiliki dua makna, al-haid (haid)
dan al-thahr (suci). Selengkapnya baca Wahbah al-Zuhaili, Ushul
al-Fiqh al-Islami, Juz. I, op.cit., hlm. 423-424.
[3] Wahbah al-Zuhaili, Ushul
al-Fiqh al-Islami, Juz. II,op.cit., hlm. 340.
[4] Lihat Abd al-Wahhab al-Khalaf,
op.cit., hlm. 216. Lihat pula Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh
al-Islami, Juz. II, loc.cit.
[5] Wahbah al-Zuhaili, Ushul
al-Fiqh al-Islami, Juz. I., op.cit., hlm. 434.
[6] Wahbah al-Zuhaili, Ushul
al-Fiqh al-Islami, Juz. II.,op.cit., hlm. 340-341.
[7] Lihat pula di Abd al-Wahhab
al-Khalaf, op.cit., hlm. 216. Adapun kaidah yang sama dengan redaksi
yang berbeda sebagai berikut: “ la masagha li al-ijtihad fi mawrid al-nash”,
“la ijtihad ma al-nash”, “la masagha li al-ijtihad fi mawdi al-nash
al-sharih”, “la masagha fi marad al-nash”, lihat Ilyas Supena dan M.
Fauzi, op. cit., hlm. 220-221.
Baca Selengkapnya Makalah Ijtihad di sini:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar