Al-Qur’an dan hadits merupakan dua
sumber utama dalam pemikiran hukum Islam. Hukum Islam tersebut hadir untuk
menjawab semua problematika yang dihadapi dan diselesaikan oleh umat Islam.
Apabila di dalam al-Qur’an ditemukan ketentuan hukum yang jelas, maka hukum itu
yang harus diambil. Namun apabila tidak ditemukan maka dicari dalam hadits.
Jika di dalam kedua sumber hukum tidak ditemukan ketentuan hukum, atau hanya
disinggung secara samar, maka pencarian hukumnya melalui ijtihad atau ra’y.[1]
Pasca Nabi Muhammad Saw. wafat wahyu
yang berupa al-Qur’an dan hadits telah final dan berhenti. Namun polemik
kehidupan yang terus bermunculan. Semua persoalan yang muncul banyak sekali
yang belum diberikan solusi hukumnya oleh al-Qur’an dan hadits. Atau keduanya
memang telah memberikan ketentuan secara jelas, namun apabila diaplikasikan ada
sahabat pada saat itu menghasilkan keputusan yang kurang adil.
Salah satu contohnya ijtihad Umar
bin Khaththab yang berani mengambil keputusan yang bertentangan ketentuan hukum
yang secara jelas digariskan oleh al-Qur’an dan hadits. Meskipun al-Qur’an
secara tegas (qath’i) menentukan bahwa hukuman bagi pencuri adalah
potong tangan[2],
namun Umar meniadakan hukuman ini dalam kondisi paceklik yang pernah
terjadi pada masanya.[3]
Melihat langkah Umar tersebut,
berarti ijtihad bukanlah hanya menggali hukum yang ada ketentuan nashnya sama
sekali, atau nasnya masih dhanny (samar) saja, melainkan hukum-hukum
yang sudah ditentukan secara jelas dan tegas (qath’i) tetap memerlukan
ijtihad.
Namun pada sisi yang lain, ada
sebuah kaidah “Laa masaagha li al-ijtihad fimaa fih nash sharih qath’i”
(Tidak ada peluang berijtihad dalam hukum-hukum yang telah ada nashnya secara
jelas dan qath’i).[4] Kaidah tersebut merupakan
larangan berijtihad terhadap hukum yang ditunjukkan oleh nash qath’i.
Sedangkan hukum Islam dituntut untuk selalu hadir dan mampu menjawab tantang
zaman dan shalih li kull zaman wa makan.
[1] Sumber hukum Islam
secara global diklasifikasikan menjadi dua, (1) Nash atau wahyu yang meliputi
al-Qur’an dan sunah, (2) Ijithad (ra’y atau akal) yang meliputi ijma’,
qiyas, istihsan, maslahah mursalah, ‘urf, istishhab,
mazhab sahabi dan syar’ man qablana. Sumber ijithad dipilah lagi menjadi yang
disepakati yakni ijma’ dan qiyas, sedangkan yang lain sumber
hukum yang diperselisihkan yakni istihsan, maslahah mursalah,
‘urf, istishhab, mazhab sahabi dan syar’ man
qablana. Selengkapnya lihat Abd al-Wahhab al-Khallaf, ‘Ilmu Usul
al-Fiqh, Indonesia: al-Haramain, 2004, hlm. 21-22.
[2] QS. al-Ma’idah: 38,
Lihat Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Syaamil
Cipta Media, 2005, hlm. 114.
[3] Selengkapnya lihat
Muhammad Abdul Aziz al-Halawi, Fatwa dan Ijithad Umar Bin Khaththab,
diterjemahkan oleh Zubeir Suryadi Abdullah dari Fatawa wa Aqdhiyah Amiril
Mu’minin Umar bin al-Khaththab, Surabaya: Risalah Gusti, 2003, hlm.
260-261.
Baca Selengkapnya Makalah Ijtihad di sini:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar