Menurut bahasa, kata ijtihad yang
mengikuti wazan ifti’al diderivasi dari kata jahd (huruf jim-nya
dibaca fathah) dan kata juhd (huruf jim-nya dibaca dlammah).
Kata jahd dan juhd merupakan isim masdar yang berasal dari
kata jahada – yujahidu. Kata jahd dan juhd mempunyai arti taqah
(kemampuan, kekuatan). Dari arti etimologi kata jahd dan juhd
tersebut, Ibnu Mandzur mengartikan kata ijtihad dan tajahud
dengan mencurahkan segala kemampuan, kekuatan dan kesanggupan.[1]
Kata ijtihad sepadan dengan
kata al-wus’ (kesanggupan), al-thaqat (kekuatan) dan al-masyaqqat
(berat).[2] Sedangkan secara bahasa
ini, kata ijtihad diartikan berbeda oleh para ulama, seperti al-Fayumi
menjelaskan bahwa ijtihad secara etimologi adalah pengerahan segala
kesanggupan dan kekuatan intelektual mujtahid dalam melakukan pencarian
supaya sampai pada sesuatu yang dituju dan selesai hingga ujungnya.[3]
Senada dengan al-Fayumi, al-Syawkani
menjelaskan bahwa secara etimologi ijtihad adalah istilah mengenai
pengerahan dalam mengerjakan pekerjaan apa saja.[4] Definisi ini, lebih jelas
disampaikan oleh Muhammad Salam Madkur bahwa ijtihad secara etimologi
adalah pengerahan kemampuan dalam menyelesaikan sesuatu yang berat.[5]
Dengan melihat dari beberapa arti secara
etimologi tersebut dapat dikatakan bahwa ijtihad secara etimologi adalah
suatu kemampuan, kesanggupan dan kerja keras untuk mendapatkan sesuatu.
Pernyataan ini menunjukkan adanya pekerjaan yang sangat sulit dan berat untuk
dilakukan. Menurut al-Ghazali (w. 505 H./1111 M.) menyatakan bahwa kata ijtihad
hanya dapat dipakai dalam konteks perbuatan yang di dalamnya mengandung
kesulitan dan hal yang berat. Oleh karena itu dapat dibenarkan apabila
dikatakan “ijtahada fi haml hajar al-raha” (seseorang berusaha keras
untuk membawa batu penggiling). Namun tidak dibenarkan apabila dikatakan “ijtihada
fi haml khardalah” (seseorang berusaha keras untuk membawa biji-bijian).[6]
Pandangan tentang arti ijtihad yang
demikian ini juga disampaikan oleh al-Razi. Menurutnya, kata ijtihad hanya
dapat dihubungkan dengan sesuatu yang berat. Sehingga dikatakan “istafragha
wus’ahu fi haml al-saqil” (seseorang daya upaya untuk membawa sesuatu yang
berat), dan tidak dibenarkan apabila dikatakan “istafragha wu’ahu fi haml
al-nawah” (seseorang mencurahkan kemampuannya untuk membawa biji-bijian).[7]
Dalam pengertian seperti inilah, kata
itjihad dan yang se-musytaq dengannya dipakai dalam hadits Nabi,
yang diantaranya adalah:
عن ابن عباس
قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: واما السجود فاجتهدوا فى الدعاء فقمن ان
يستجاب لكم (رواه مسلم) [8]
Artinya : Dari Ibnu Abbas berkata,
Rasulullah Saw bersabda: dan pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah kalian
dalam berdoa, karena dengan demikian doa kalian layak untuk dikabulkan (HR.
Muslim).
Adapun
pengertian ijtihad secara
terminologi telah banyak disampaikan pada ulama. Dari
berbagai pengertian yang ada, menurut Nadiyah al-Imari dapat diketahui
karakteristik perbedaanya melalui dua sudut pandang. Pertama, dari segi
pemakaian kata dan kedua, dari segi ada dan tidaknya kata yang dijadikan
qayyid (batasan) dalam definisi.[9]
Dari sudut
pandang pertama ada dua bentuk titik tekan yang berbeda. Kelompok pertama
memandang ijtihad dengan lebih menitiktekankan
pada perbuatan mujtahid. Hal ini terlihat dari kata yang digunakan yaitu
kata badzal (بذل)
dan istifragh (استفراغ), atau kata yang semakna dengannya, yang memiliki arti pencurahan. Dalam
pemakaiannya, ada yang memilih salah satu dan ada yang menggabungkan kedua kata
tersebut.
Kata badzal ini dipakai oleh
al-Ghazali dalam mendefinikan ijtihad. Menurut al-Ghazali, ijtihad adalah
badzal al-mujtahid wus’ahu fi thalab al-‘ilm bi al-ahkam al-syar’iyah
(pencurahan segala kemampuan seorang mujtahid untuk mencari pengetahuan tentang
hukum-hukum syara’).[10] Pemakaian kata badzal ini
juga diikuti oleh ulama lain, seperti Ibn Qudamah, al-Zarkasyi, dan ulama
lainnya. Sedangkan yang ulama yang memilih menggunakan kata istifragh
dalam mendefinisikan ijtihad seperti al-Razi (w.606 H./1209 M.),
al-Amidi (w.631 H./1233 M.), al-Baydlawi (w.685 H/1286 M). Adapun yang
menggabungkan kedua kata tersebut al-Syayrazi (w. 476 H./1083 M.) Sementara Ibn
Hazm (w. 456 H./1063 M.) memilih kata istinfad (استنفاد) dan bulugh (بلوغ), artinya menggapai. [11]
Kelompok kedua memandang ijtihad bukan
sebagai perbuatan mujtahid, melainkan sebagai suatu malakah (sifat
yang melekat dalam jiwa mujtahid). Pemahaman terhadap definisi semacam
ini dapat ditemukan dalam kitab ahli hadis dan golongan Syiah. Mereka
mendefinisikan ijtihad dengan suatu makalah yang dapat
menghasilkan hujjah untuk menggali hukum-hukum syara’ atau tugas-tugas
yang bersifat praktis, baik yang berhubungan dengan syara’ secara
langsung atau hanya bersifat amaliah belaka.[12]
Ada juga sebagian ulama yang
menyatakan bahwa ijtihad itu disejajarkan dengan qiyas. Sehingga
ulama tersebut mendefinisikan ijtihad adalah qiyas. Namun
pendapat ini ditolak oleh al-Ghazali, sebab itu bisa mempersempit makna ijtihad,
karena ijtihad lebih umum dari pada qiyas dan qiyas bagian
dari ijtihad.[13]
Adapun pengertian terminologi yang
dilihat dari segi ada dan tidaknya qayyid (batasan), maka dapat
ditemukan beberapa model definisi. Di antaranya definisi ada yang dikaitkan
dengan pelakunya seperti mujtahid dan faqih. Dan ada yang tidak
dihubungkan dengan pelakunya. Sedangkan bila dilihat dari tujuan pelaksanaan ijtihad,
ada yang dikaitkan dengan kata ilm, dzann dan ada yang tidak
dikaitkan dengan kedua kata tersebut, serta ada yang dikaitkan dengan keduanya.[14]
Berdasarkan penelitian terhadap
bebagai definisi ijtihad, al-Imari lebih setuju dengan definisi yang
dikemukakan oleh Ibnu al-Humam dengan catatan menghilangkan kata faqih
yang terdapat di dalamnya. Sehingga definisi ijtihad menurunya adalah
mencurahkan kemampuan untuk menghasilkan hukum syara’, baik yang ‘aqli
maupun naqli, qath’i maupun dzanny. Definisi ini
menunjukkan kejelasan dan lebih luas wilayah ijtihad. Karena disamping
mencakup ijtihad terhadap nash yang qath’i dan lainnya, juga
memasukkan ijtihad kolektif dan individual.
Memperhatikan pengertian yang
diungkapkan oleh ulama usuliyun, terlihat ada sebuah batasan. Karena ada
pernyataan obyek ijtihad hanyalah dalam lapangan hukum syara’, yang
kemudian dispesifikasikan menjadi hukum fiqih. Sedangkan hukum-hukum yang
berhubungan dengan masalah i’tiqadiyat atau kalam dan akhlak
tidak menjadi wilayah ijtihad. Pendapat ini didukung oleh Ibrahim Hosen
yang menegaskan bahwa jika ada pendapat yang menyatakan ijtihad secara
istilah juga berlaku dalam lapangan akidah atau akhlak jelas tidak dapat
dibenarkan.[15]
Berbeda dengan Ibrahim Hosen, Harun
Nasution memaknai ijtihad dalam arti yang lebih luas lagi, tidak
terbatas hanya dalam masalah fiqih saja, melain juga dalam bidang tasawuf, dan
lainnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Taymiyah. Dia menjelaskan bahwa
pemikiran yang dimunculkan oleh para sufi, fuqaha’, dan mutakallimin
yang melahirkan perdebatan sengit dan mengundang berbagai komentar penilaian,
baik memuji maupun mencela, semuanya termasuk ijtihad dalam rangka taat
kepada Allah. Meskipun ada yang salah, ada yang berdosa kemudian bertaubat, dan
ada yang tidak mau bertaubat, serta ada yang mendzalimi diri sendiri.[16]
Pendapat senada juga dikemukakan
oleh Muhammad al-Ruwayh yang menjelaskan bahwa akhir-akhir ini timbul berbagai
pendapat tentang Islam, di barat maupun di timur yang terjadi pada orang Arab
dan orang Islam sendiri. Pendapat orang Islam ijtihad merupakan, baik
secara perorangan maupun koletif, yang akan mendapatkan pahala sesuai dengan
benar dan salahnya ijtihad.[17]
Menanggapi dua kubu yang memaknai ijtihad
secara sempit dan luas tersebut, Jalaluddin Rahmat cenderung memperluas arti ijtihad.
Menurutnya ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan untuk
mengeluarkan hukum syara’, baik yang amaliyat, i’tiqadiyat dan khuluqiyat
dari dalil-dalil yang terperinci.[18]
Memperhatikan pengertian yang telah
dijelaskan oleh para ulama yang telah dipaparkan di atas terlihat bahwa para
ulama memiliki perbedaan dalam definisi dan batasan ijtihad. Dampak dari
perbedaan pengertian dan definisi ini akan berujung pada syarat-syarat ijtihad
yang melekat pada seorang mujtahid, hukum melakukan ijtihad dan wilayah
kebolehan melakukan ijtihad serta hal-hal yang lain berkaitan dengan ijtihad.
[1] Selengkapnya baca Ibnu
Mandzur, Lisan al-Arab, Juz IV, Mesir: al-Dar al-Misriyah, t.th., hlm.
107-109. Bandingkan juga di Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997, hlm. 217.
[2] Ahmad Ibn Ahmad Ibn Ali
al-Muqri al-Fayumi, al-Mishbah al-Munir fi Gharib al-Syarah al-Kabir li
al-Rafi’i, Beirut: al-Maktab al-Ilmiyah, t.th., Juz I, hlm. 112. Lihat pula
Nadiyah al-Imari, al-Ijtihad fi al-Islam, Beirut: Muassasah al-Risalah,
1981, hlm. 18. Arti ijtihad yang
diambilkan dari kata al-jahd atau al-juhd yang berarti al-masyaqqat sebagaimana
dalam ayat “وأقسموا
بالله جهد أيمانهم”, lihat QS. An-Nahl: 38, QS.
An-Nur: 53, QS. Fathir: 42., selengkapnya lihat Departemen Agama RI, op.cit.,
hlm. 271, 356, dan 439.
[3] Ibid.
[4] Muhammad Ibn Ali Ibn
Muhammad sl-Syawkani, Irsyad al-Fukhul ila Tahqiq al-Haqq min Ilm al-Ushul,
Riyadh: Dar al-Fadhilah, 2000, hlm. 1070.
[5] Muhammad Salam Madkur, al-Ijtihad fi al-Tasyri’ al-Islami, Kairo: Dar
al-Nahdlah al-‘Arabiyah, 1984, hlm. 28. Lihat pula Jaih Mubarok, Ijtihad
Kemanusiaan di Indonesia, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005, hlm. 2-3.
[6] Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Mustasyfa min Ilm al-Usul,
Juz II, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-Arabi, 1997, hlm. 170.
[7] Al-Razi, al-Mahsul fi
Ushul al-Fiqh, Juz II, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th., hlm. 489.
[8] Abi
al-Husayn Muslim bin
Al-Hajjaj al-Naysaburi, Shahih Muslim, Juz I, Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1992, hlm. 348.
[10] Selengkapnya lihat Abu
Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, op.cit., hlm. 170.
[11] Ilyas Supena dan M Fauzi, Dekonstruksi
dan Rekontruksi Hukum Islam, Yogyakarta: Gama Media, 2002, hlm. 179.
[12] Ibid, hlm. 180.
[13] Lihat di Abu Hamid bin
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, op.cit., hlm. 96. Lihat pula dalam
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz. II, Damaskus: Dar
al-Fikr, 2005, hlm. 340.
[15] Ibrahim Hosen,
“Mencerahkan Permasalahan Hukum Baru”, dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri
(ed), Ijtihad dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1996, hlm. 23.
[16] Ilyas Supena dan M.
Fauzi, op.cit., hlm. 181.
[17] Ilyas Supena dan M.
Fauzi, op.cit., hlm. 182.
[18] Jalaluddin Rahmat,
“Ijtihad Sulit: Tapi Perlu”, dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri (ed), op.cit.,
hlm. 183.
Baca Selengkapnya Makalah Ijtihad di sini:
Why a casino is a game changer - DrmCD
BalasHapusAnd what's the key 경주 출장샵 to a casino? The rise of 광주광역 출장안마 online gaming in recent years has given 문경 출장안마 us a new way to bet on the casino 당진 출장마사지 games. 논산 출장마사지