Peringatan maulid Nabi Muhammad SAW
adalah acara rutin yang dilaksanakan oleh mayoritas kaum muslimin untuk
mengingat, mengahayati dan memuliakan kelahiran Rasulullah. Menurut catatan
Sayyid al-Bakri, pelopor pertama kegiatan maulid adalah al-Mudzhaffar Abu
Sa`id, seorang raja di daerah Irbil, Baghdad. Peringatan maulid pada saat itu
dilakukan oleh masyarakat dari berbagai kalangan dengan berkumpul di suatu
tempat.
Mereka bersama-sama membaca ayat-ayat Al-Qur’an, membaca sejarah
ringkas kehidupan dan perjuangan Rasulullah, melantuntan shalawat dan
syair-syair kepada Rasulullah serta diisi pula dengan ceramah agama. [al-Bakri
bin Muhammad Syatho, I`anah at-Thalibin, Juz II, hal 364]
Peringatan maulid Nabi seperti gambaran
di atas tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah maupun sahabat. Karena alasan
inilah, sebagian kaum muslimin tidak mau merayakan maulid Nabi, bahkan
mengklaim bid`ah pelaku perayaan maulid. Menurut kelompok ini seandainya
perayaan maulid memang termasuk amal shaleh yang dianjurkan agama, mestinya
generasi salaf lebih peka, mengerti dan juga menyelenggarakannya. [Ibn
Taimiyah, Fatawa Kubra, Juz IV, hal 414].
Oleh karena itulah, penting kiranya untuk
memperjelas hakikat perayaan maulid, dalil-dalil yang membolehkan dan tanggapan
terhadap yang membid`ahkan.
Bukan Bid`ah yang Dilarang
Telah banyak terjadi kesalahan dalam
memahami hadits Nabi tentang masalah bid`ah dengan mengatakan bahwa setiap
perbuatan yang belum pernah dilakukan pada masa Rasulullah adalah perbuatan
bid`ah yang sesat dan pelakunya akan dimasukkan ke dalam neraka dengan
berlandaskan pada hadist berikut ini,
وإيَّاكم ومحدثات الأمور؛ فإنَّ كلَّ
محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
Artinya: Berhati-hatilah kalian dari
sesuatu yang baru, karena setiap hal yang baru adalah bid`ah dan setipa bid`ah
adalah sesat”. [HR. Ahmad No 17184].
Pemahaman Hadits ini bisa salah apabila
tidak dikaitkan dengan Hadits yang lain, yaitu,
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو
رد
Artinya:Siapa saja yang membuat sesuatu
yang baru dalam masalah kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka dia
ditolak. [HR al-Bukhori No 2697]
Ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan أمرنا dalam hadits di atas adalah urusan agama, bukan urusan duniawi,
karena kreasi dalam masalah dunia diperbolehkan selama tidak bertentangan
dengan syariat. Sedangkan kreasi apapun dalam masalah agama adalah tidak
diperbolehkan. [Yusuf al-Qaradhawi, Bid`ah dalam Agama, hal 177]
Dengan demikian, maka makna hadits di
atas adalah sebagai berikut,
“Barang siapa berkereasi dengan
memasukkan sesuatu yang sesungguhnya bukan agama, lalu diagamakan, maka sesuatu
itu merupakan hal yang ditolak”
Dapat dipahami bahwa bid`ah yang dhalalah
(sesat) dan yang mardudah (yang tertolak) adalah bid`ah diniyah. Namun banyak
orang yang tidak bisa membedakan antara amaliyah keagamaan dan instrumen
keagamaan. Sama halnya dengan orang yang tidak memahami format dan isi, sarana
dan tujuan. Akibat ketidakpahamannya, maka dikatakan bahwa perayaan maulid Nabi
sesat, membaca Al-Qur’an bersama-sama sesat dan seterusnya. Padahal perayaan maulid
hanyalah merupakan format, sedangkan hakikatnya adalah bershalawat, membaca
sejarah perjuangan Rasulullah, melantunkan ayat Al-Qur’an, berdoa bersama dan
kadang diisi dengan ceramah agama yang mana perbuatan-perbuatan semacam ini
sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an maupun Hadits.
Dan lafadz كل
pada hadits tentang bid`ah di atas adalah lafadz umum yang ditakhsis. Dalam
Al-Qur’an juga ditemukan beberapa lafadz كل
yang keumumannya di takhsis. Salah satu contohnya adalah ayat 30 Surat
al-Anbiya`:
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ
شَيْءٍ حَي
Artinya:
Dan kami jadikan segala sesuatu yang hidup itu dari air. (QS al-Anbiya':
30)
Kata segala sesuatu pada ayat ini tidak
dapat diartikan bahwa semua benda yang ada di dunia ini tecipta dari air,
tetapi harus diartikan sebagian benda yang ada di bumi ini tercipta dari air.
Sebab ada benda-benda lain yang diciptakan tidak dari air, namun dari api,
sebagaimana firman Allah dalam Surat ar-Rahman ayat 15:
وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ
مِنْ نَار
Artinya: Dan Allah menciptakan jin dari
percikan api yang menyala.
Oleh karena itulah, tidak semua bid`ah
dihukumi sesat dan pelakunya masuk neraka. Bid`ah yang sesat adalah bid`ah
diniyah, yaitu meng-agamakan sesuatu yang bukan agama. Adapun perayaan maulid
Nabi tidaklah termasuk bid`ah yang sesat dan dilarang karena yang baru hanyalah
format dan instrumennya.
Berkenaan dengan hukum perayaan maulid,
As-Suyuthi dalam al-Hawi lil Fatawi menyebutkan redaksi sebagai berikut:
أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ
لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ،
وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ
تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً
حَسَنَةً" وَقَالَ: "وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ
ثَابِتٍ.
“Hukum Asal peringatan maulid adalah
bid’ah yang belum pernah dinukil dari kaum Salaf saleh yang hidup pada tiga
abad pertama, tetapi demikian peringatan maulid mengandung kebaikan dan
lawannya, jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal
yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah
bid’ah hasanah”. Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata bagiku
dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang tsabit (Shahih)”.
Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki
Al-Hasani, mengatakan:
وَالْحَاصِلُ اَنّ الْاِجْتِمَاعَ
لِاَجْلِ الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ اَمْرٌ عَادِيٌّ وَلَكِنَّهُ مِنَ الْعَادَاتِ
الْخَيْرَةِ الصَّالِحَةِ الَّتِي تَشْتَمِلُ عَلَي مَنَافِعَ كَثِيْرَةٍ
وَفَوَائِدَ تَعُوْدُ عَلَي النَّاسِ بِفَضْلٍ وَفِيْرٍ لِاَنَّهَا مَطْلُوْبَةٌ
شَرْعًا بِاَفْرِادِهَا.
Artinya: Bahwa sesungguhnya mengadakan
Maulid Nabi Saw merupakan suatu tradisi dari tradisi-tradisi yang baik, yang
mengandung banyak manfaat dan faidah yang kembali kepada manusia, sebab adanya
karunia yang besar. Oleh karena itu dianjurkan dalam syara’ dengan serangkaian
pelaksanaannya. [Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, Mafahim Yajibu
An-Tushahha, hal. 340]
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan
bahwa perayaan maulid Nabi hanya formatnya yang baru, sedangkan isinya
merupakan ibadah-ibadah yang telah diatur dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Oleh
karena itulah, banyak ulama yang mengatakan bahwa perayaan maulid Nabi adalah
bid`ah hasanah dan pelakunya mendapatkan pahala.
Dalil-dalil Syar`i Perayaan Maulid Nabi
Di antara dalil perayaan maulid Nabi
Muhammad menurut sebagian Ulama` adalah firman Allah:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ
وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Artinya: “Katakanlah, dengan anugerah
Allah dan rahmatNya (Nabi Muhammad Saw) hendaklah mereka menyambut dengan
senang gembira.” (QS.Yunus: 58)
Ayat ini menganjurkan kepada umat Islam
agar menyambut gembira anugerah dan rahmat Allah. Terjadi perbedaan pendapat
diantara ulama dalam menafsiri الفضل
dan الرحمة. Ada yang menafsiri kedua lafadz itu dengan Al-Qur’an dan ada
pula yang memberikan penafsiran yang berbeda.
Abu Syaikh meriwayatkan dari Ibnu Abbas
RA bahwa yang dimaksud dengan الفضل
adalah ilmu, sedangkan الرحمة
adalah Nabi Muhammad SAW. Pendapat yang masyhur yang menerangkan arti الرحمة dengan Nabi SAW ialah karena adanya isyarat firman Allah SWT
yaitu,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً
لِلْعَالَمِينَ
Artinya: “Kami tidak mengutus engkau
melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Ambiya’:107).”[Abil Fadhol
Syihabuddin Al-Alusy, Ruhul Ma’ani, Juz 11, hal. 186]
Menurut Sayyid Muhammad bin Alawi
Al-Maliki Al-Hasani Bergembira dengan adanya Nabi Muhammad SAW ialah dianjurkan
berdasarkan firman Allah SWT pada surat Yunus ayat 58 di atas. [Sayyid Muhammad
Al-Maliki Al-Hasani, Ikhraj wa Ta’liq Fi Mukhtashar Sirah An-Nabawiyah, hal 6-7]
Dalam kitab Fathul Bari karangan al-
Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani diceritakan bahwa Abu Lahab mendapatkan
keringanan siksa tiap hari senin karena dia gembira atas kelahiran Rasulullah.
Ini membuktikan bahwa bergembira dengan kelahiran Rasulullah memberikan manfaat
yang sangat besar, bahkan orang kafirpun dapat merasakannya. [Ibnu hajar,
Fathul Bari, Juz 11, hal 431]
Riwayat senada juga ditulis dalam
beberapa kitab hadits di antaranya Shohih Bukhori, Sunan Baihaqi al-Kubra dan
Syi`bul Iman. [Maktabah Syamilah, Shahih Bukhari, Juz 7, hal 9, Sunan Baihaqi
al-Kubra, Juz 7, hal 9, Syi`bul Iman, Juz 1, hal 443].
Ahmad Muzakki, Santri Mahad Aly Pondok
Pesantren Salafiyah Syafi`iyyah Situbondo
Sumber artikel: www.nu.or.id.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar