Dalam Al-Qur’an difirmankan, "Katakanlah
(Muhammad), 'Dengan karunia Allah (Islam) dan rahmat-Nya (Al-Qur'an), hendaknya
dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan
(harta dunia)." (QS Yunus [10]:58). Melalui ayat tersebut Allah ﷻ memerintahkan manusia untuk bergembira
dengan datangnya karunia Allah berupa Islam dan rahmat-Nya berupa Al-Quran.
Perintah untuk bergembira tersebut dapat
dimengerti sebab Islam adalah petunjuk yang menunjukkan manusia jalan yang
benar, sedang Al-Qur'an adalah petunjuk yang mengajarkan manusia tentang
kebenaran. Dengan keduanya manusia akan dapat meraih kebahagiaan yang paripurna
yang tidak akan dicapai dengan mengumpulkan harta dunia seberapa pun banyaknya.
Sementara itu, Islam dan Al-Quran
tidaklah hadir di muka bumi ini melainkan lewat lisan Baginda Rasulullah ﷺ. Karenanya, kegembiraan dengan kelahiran
(maulid) Rasulullah ﷺ hakikatnya merupakan
bagian dari kegembiraan atas datangnya Islam dan turunnya al-Qur'an. Bahkan,
Imam Ibn Abbas radhiyallah 'anhu menjelaskan bahwa yang dimaksud 'rahmat' dalam
ayat tersebut adalah Rasulullah ﷺ. Ini sebagaimana yang
disebutkan pada ayat lain "Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan
untuk menjadi rahmat bagi semesta alam" (QS al-Anbiya [21]:107).
Imam Ibnu Katsir menafsiri, "Allah
Ta'ala memberitahukan bahwasanya Dia mengutus Nabi Muhammad ﷺ sebagai rahmat bagi seluruh alam dan nikmat bagi manusia, maka
barangsiapa yang menerimanya dan mensyukurinya ia akan mendapat kebahagiaan di
dunia dan akhirat, dan barangsiapa yang menolaknya serta mengingkarinya ia akan
merugi di dunia dan akhirat". Dari sini jelas kiranya kenapa kemudian
kelahiran Baginda Rasulullah ﷺ harus disyukuri,
diperingati, dan dirayakan dengan sepenuh suka cita.
Pertanyaan yang kemudian kerap muncul
terkait peringatan Maulid Nabi ialah "Apakah Rasulullah ﷺ sendiri memperingati hari kelahirannya?"
Pertanyaan tersebut dapat dijawab berikut ini.
Pertama, apabila yang dimaksud dengan
"memperingati" adalah memperingati secara mutlak, yakni tanpa
membatasi bagaimana ekspresi peringatannya, maka Rasulullah ﷺ telah mempraktikannya. Beliau adalah orang pertama yang
memperingati hari kelahirannya. Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim, ketika
Rasulullah ﷺ menyampaikan kesunahan puasa hari senin
beliau menjelaskan, "Hari itu adalah hari kelahiranku". Hadits
tersebut menginformasikan bahwa Rasulullah ﷺ
memperingati hari kelahirannya, yakni hari senin, dengan cara berpuasa.
Kemudian dalam hadits lain Imam
al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ suatu ketika mengunjungi Madinah dan menemukan orang-orang
Yahudi sedang berpuasa di hari 'Asyura. Beliau ﷺ
bertanya kepada mereka tentang puasa yang dilakukannya, mereka menjawab, "Ini
adalah hari dimana Allah telah menenggelamkan Fir'aun dan menyelamatkan Musa
darinya, sebab itulah kami berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah.".
Rasulullah ﷺ lalu berpuasa dan memerintahkan para
sahabat untuk berpuasa karena beliau dan umat Islam merasa lebih berhak untuk
memperingatinya daripada orang-orang Yahudi.
Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani mengomentari
hadits tersebut, "Dari hadits tadi dapat diambil kesimpulan bahwa
diperbolehkan mengekspresikan rasa syukur kepada Allah pada hari tertentu yang
di situ dilimpahkan nikmat atau diselamatkan dari mara bahaya, dan hal itu
dilakukan pada setiap tahun bertepatan dengan hari tersebut. Adapun rasa syukur
itu bisa diekspresikan dengan berbagai ibadah seperti sujud syukur, puasa,
sedekah, atau membaca Al-Qur'an. Lalu adakah nikmat yang lebih agung dari
kelahiran sang Nabi yang menjadi rahmat?".
Peringatan-peringatan di atas juga
sejalan dengan firman Allah ﷻ., "Dan
ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah" (QS Ibrahim [14]:5). Maksud
dari "hari-hari Allah" adalah peristiwa-peristiwa penting yang
terjadi di antara umat-umat terdahulu berupa nikmat dan siksaan yang dialami
mereka. Dan tidak ada kesangsian bahwasanya kelahiran Rasulullah ﷺ adalah termasuk "hari-hari
Allah" bahkan yang paling agung di antaranya sehingga peringatan atasnya
adalah suatu ibadah yang utama.
Kedua, apabila yang dimaksud dengan
"memperingati" adalah memperingati dalam rupa perayaan (ihtifal)
tertentu sebagaimana yang dilakukan kebanyakan umat muslim sekarang dengan
berkumpul membaca kisah hidup beliau, bersedekah, berdzikir, membaca Al-Qur'an
dan sebagainya, maka peringatan semacam itu merupakan hal baru (bid'ah) yang
tidak dilakukan di masa Nabi ﷺ bahkan di masa
generasi al-salaf al-shalih setelah beliau. Al-Hafizh Imam al-Sakhawi
mengatakan, "Perayaan Maulid baru ada setelah kurun ketiga Hijriyah.
Perayaan tersebut kemudian menyebar ke
berbagai belahan dunia dan kota-kota besar. Orang-orang bersedekah di malam
harinya dengan berbagai macam jenis sedekah dan melakukan pembacaan Maulid
Rasulullah ﷺ yang mulia. Saat itu, nampaklah bagi
mereka karunia yang sempurna dan melimpah sebab berkahnya Maulid." Namun
demikian, meski perayaan Maulid Nabi disebut sebagai bid'ah, ia masuk dalam
kategori bid'ah yang baik (bid'ah hasanah) yang tentunya akan berpahala
manakala dilakukan dengan niatan taqarrub. Perayaan Maulid dikategorikan sebagai
bid'ah hasanah berdasarkan beberapa alasan berikut:
1. Maksud dari perayaan Maulid adalah
mengingat kelahiran manusia termulia Baginda Rasulullah ﷺ, dan hal semacam itu telah dicontohkan sendiri oleh beliau ﷺ.
2. Rasulullah ﷺ
adalah rahmat yang layak untuk disyukuri dan disambut dengan kegembiraan,
sementara syariat tidak membatasi bagaimana ekspresi rasa syukur dan
kegembiraan itu asalkan tidak menimbulkan kemungkaran dan kerusakan.
3. Allah ﷻ.
memerintahkan umat Islam untuk mengingat hari-hari-Nya, dan menyelenggarakan
perayaan (ihtifal) kelahiran Rasulullah ﷺ
merupakan salah satu upaya untuk "mengingat" hari-hari-Nya.
4. Berkumpul membaca kisah kehidupan
beliau yang mulia, bersedekah, berdzikir, membaca Al Qur'an, menyelenggarakan
pengajian adalah hal baik dan mempunyai banyak sekali manfaat terlebih di zaman
sekarang. Ada banyak sekali nushus al-syari'at yang menjelaskan tentang
keutamaan bersedekah, berdzikir, membaca Al-Qur'an, dan mengaji.
5. Perayaan Maulid tidak pernah dilakukan
oleh al-salaf al-shalih sebab saat itu mereka disibukkan dengan urusan
penguatan kaedah-kaedah agama dan rukun-rukunnya, perluasan wilayah Islam
(ekspansi), dan menolak gangguan musuh-musuh Islam yang mencoba menghalang-halangi
dakwah Islam sehingga tidak terlintas dalam pikiran mereka gagasan untuk
merayakan Maulid.
Di akhir tulisan, penulis kutipkan syair
dari al-Hafizh Imam Syamsudin al-Dimasyqi di dalam kitab Maurid al-Shadi fi
Maulid al-Hadi tentang kisah Abu Lahab yang mendapatkan keringanan azab setiap
hari senin disebabkan saat Rasulullah ﷺ
lahir ia turut merasa gembira yang lalu diekspresikannya dengan memerdekakan
seorang budak. Imam al-Dimasyqi bersenandung,
إذا كان كافرا جاء ذمه * وتبّت يداه في الجحيم مخلّدا
أتى أنه في يوم الإثنين دائما * يخفّف عنه للسرور
بأحمد
فما ظنّ بالعبد الذي كان عمره * بأحمد مسرورا
ومات موحّدا
Jika ia (Abu Lahab) seorang kafir yang
layak dicela,
yang binasa kedua tangannya dan kekal di
neraka Jahim,
setiap hari senin untuk selama-lamanya,
azabnya diringankan karena gembira dengan
(kelahiran) Ahmad
Lalu bagaimana prasangkamu dengan seorang
hamba yang sepanjang umurnya,
bergembira dengan (kelahiran) Ahmad ﷺ padahal ia mati dalam keadaan bertauhid
(mukmin)?
Semoga kita semua diberi kesemangatan
dalam bermaulid, dan semoga kita mendapat keberkahan di bulan Maulid yang mulia
ini. Wallahu Ta'ala 'Ala wa A'lam.
Muhammad Habib Mustofa, Ketua Rijalul
Ansor PAC Losari Brebes & Dosen di IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Sumber rujukan :
Al-Bayan al-Qawim karya Syekh Ali Jumuah
Al-Ibda' fi Madhar al-Ibtida' karya Syekh
Ali Mahfuzh
Al-Syari'ah wa al-Hayat, hasil wawancara
dengan Syekh Wahbah al-Zuhaili
Haula al-Ihtifal karya Sayyid Muhammad
bin Alawi al-Maliki
Muhammad Rasulullah shallallah a'laihi wa
sallam karya Syekh Muhammad Ridha
Tafsir Al-Qur'an al-'Azhim karya Imam
Ibnu Katsir
Tafsir Jami' al-Bayan karya Imam
al-Thabari
Sumber artikel: www.nu.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar