"Beban Masa Lalu" Dalam Teori Sosial
Setidaknya, eksistensi para tokoh besar meninggalkan beban bagi generasi mereka.
Akibatnya, generasi seakan menghadapi dilema, antara menjadi sekedar pelestari
karya yang diwariskan oleh para tokoh sebeblumnya, ataukah berbekal hasrat akan
kemandirian. Selain itu, para peniru (epigone) dapat menjadi peneliti dan
penafsir teks-teks klasik. Sebagai alternatif agar terhindar dari pembandingan
dengan para pendahulu, mereka menekuni spesialisasi dengan resiko terjerumus ke
dalam semacam minoritas intelektual permanen.
Nama-nama seperti Marx, Durkheim, dan
Weber, paling banyak mendapat sorotan. Pemikiran sosial setelah mereka,
dibedakan antara ulasan mengenai doktrin-doktrin mereka atau spesialisasi
menurut tradisi-tradisi yang mereka bangun. Lambat laun, bidang-bidang yang di
spesialisasikan ini kian jauh dari cita-cita para pendirinya semula. Semakin
bidang-bidang tersebut diupayakan berdalih sebagai kebebasan ilmiah, semakin
sedikit pencerahan yang diberikan.
Meskipun demikian, Marx, Durkheim, dan
Weber terlihat sebagai tokoh klasik dan memandang karya-karya mereka sebagai
teori sosial klasik yang sangat berbeda dengan tradisi panjang filsafat politik
yang sudah ada sebelumnya.
B.
Teori Sosial dan Filsafat Politik
Teori sosial adalah kajian tentang
masyarakat yang ciri-ciri khasnya mulai muncul dalam tulisan-tulisan
Montesquieu, tokoh-tokoh sezamannya, tokoh-tokoh sesudahnya, dan mencapai
semacam puncak pada karya Marx, Durkheim, dan Weber. Awalnya teori sosial
membangun identitas dengan cara membuat kontras dengan pemikiran politik
tokoh-tokoh dimanapun tempatnya dalam sejarah. Sedangkan, sejarah tak bisa
dilepaskan dengan watak dasar manusia. Dan memiliki hubungan sangat erat dengan
penekanan pada perbedaan antara pemahaman dan evaluasi. Dan ini lah kesatuan
dan krisis dalam Teori Sosial.
Ada dua pandangan dalam pemikiran
kontemporer tentang ilmu-ilmu sosial, dan keduanya saling melengkapi. Pandangan
pertama menyatakan, kajian-kajian kita di masa sekarang tentang masyarakat,
yang dilakukan dicabang-cabang khusus ilmu sosial, berpijak pada konsep,
metode, teori, dan asumsi tersirat yang diwariskan kepada kita oleh
teoritisi-teoritisi sosial terkemuka dari akhir abad ke 19 dan awal abad ke-20.
Inilah yang menyebabkan karya-karya mereka tampak klasik bagi kita. Perspektif
kedua bahwa pemikiran adanya sesuatu yang penting yang telah keliru pada karya-karya
klasik dan generasi sesudahnya.
Dari sini, muncullah tiga masalah
utama, Pertama, masalah metode: bagaimana seharusnya hubungan antara
fakta-fakta sosial dalam pemikiran dan dalam bahasa? Kedua, masalah tatanan
sosial (sosial order): apa yang menjadi pemersatu masyarakat? Ketiga, masalah
kemodernan: apa bedanya masyarakat modern yang muncul di Eropa dengan semua
masyarakat lainnya, dan sebagaimana hubungan antara citra-diri (self-imagine)
dan realitas, antara apa yang terlihat dan apa yang sesungguhnya berlangsung?
Ketiga pertanyaan tersebut saling berhubungan, walaupun pola hubungannya sangat
kabur dan kompleks.
1.
Masalah Metode
Pendekatan teoritisi sosial terhadap
masalah metode yang senantiasa kita hadapi itu sebagian besar ditentukan oleh
keterbatasan dalam pola-pola dasar penjelasan yang ada bagi pemikiran Barat
Modern. Bahkan, boleh dibilang semua prosedur yang ada merupakan variasi dari
dua jenis prosedur dasar: analisis logika dan penjelasan kausal (sebab-akibat).
Baik logika maupun kausalitas tidak mencapai maknanya yang sekarang ini.
Sebaliknya, keduanya mengalami sejarah yang panjang dan berliku-liku; keduanya
muncul di saat-saat tertentu, dan keduanya mengalami berbagai perubahan.
Hubungan logika berbeda dengan
hubungan kausal dalam hal hubungan kausal membutuhkan durasi untuk urutan
selanjutnya, sedangkan hubungan logika hanya menampilkan urutan saja. Gabungan
antara urutan dan durasi disebut waktu. Penjelasan kausal selalu berupa uraian
tentang hubungan diantara peristiwa-peristiwa menurut waktu. Analisis logika
menerangkan hubungan antara konsep-konsep diluar waktu. Hubungan logika selalu
bersifat normal, cirinya adalah pembedaan antara isi dan bentuk. Sebaliknya
penjelasan kausal selalu dimulai sebagai upaya untuk memperjelas hubungan diantara
peristiwa-peristiwa khusus.
Metode logika dan metode kausal
berfungsi sebagai titik tolak untuk dua cara penanganan masalah penjelasan
dalam kajian sosial. Dalam beberapa hal, teori sosial klasik merupakan upaya
untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan dua cara berpikir tersebut. Salah
satu kelemahannya yang fatal terletak pada kegagalan teori ini dalam
menyelesaikan tugas itu. Kedua tipe yang lah yang disebut rasionalisme dan
historisme.
Untuk menghindari lubang-lubang dalam
pendekatan tersebut, muncullah Berbagai macam pencarian metode telah mendasari
banyak konsepsi yang berbeda, tetapi saling melengkapi, yang telah mendominasi
doktrin dan praktek metodologis teori sosial. Konsepsi tersebut antara lain
“dialektika”,”tipe-ideal”, dan “struktur”. Masing-masing konsepsi memiliki
makna sendiri dan terkait dengan tradisi intelektual tersendiri. Namun, semua
konsepsi itu sama-sama memiliki sifat-sifat yang paling penting. Metode
dialektika yang dikembangkan oleh Marx, tipe-ideal yang digunakan oleh Weber, dan
“strukturalisme” kontemporer, semuanya berpotensi menjadi jalan keluar dari
dilema rasionalisme dan historisme.
- Tatanan sosial (Sosial Order)
Diskursus tentang tatanan sosial dalam teori sosial klasik,
tercetus dari persaingan antara dua tradisi pemikiran, yaitu doktrin
instrumentalisme atau kepentingan pribadi dan doktrin legitimasi atau
konsensus.
Doktrin kepentingan pribadi dicirikan oleh hubungannya dengan
konsepsi tertentu ikatan sosial dan pandangan tentang bentuk kaidah-kaidah yang
menentukan kehidupan sosial yang teratur. Doktrin ini berpendapat bahwa manusia
diatur oleh kepentingan pribadi dan dituntun oleh pertimbangan cara yang paling
efisien untuk mencapai tujuannya yang dipilih secara pribadi.
Gagasan kepentingan pribadi dapat diperluas hingga mencakup
perhatian altruistis bagi kesejahteraan manusia lain selama pilihan ini
didasarkan pada kehendak bebas manusia itu sendiri, juga jika yang diinginkan
adalah agar manusia lain mendapatkan apa yang mereka inginkan. Adapun kelemahan
doktrin ini adalah:
a.
Kegagalan dalam
menjelaskan bagaimana perilaku manusia dapat memiliki cukup kesinambungan atas
waktu dan kesamaan antar-individu
b.
Memiliki
implikasi kontradiktif terhadap pandangan seseorang terkait kedudukan peraturan
dalam masyarakat.
c.
Konsepsi kehidupan
sosial dalam wujud doktrin ini tidak memasukkan nilai-nilai solidaritas.
Sedangkan, teori legitimasi atau konsensus berawal dari masyarakat
atau kelompok berikut nilai-nilai dan pemahaman yang dianut bersama. Menurut
penganut doktrin legitimasi, peraturan menjadi perwujudan nilai-nilai bersama
yang dianut kelompok. Peraturan melakukan tugas-tugas penunjang yang vital:
memperjelas implikasi dan batasan tujuan-tujuan tersebut terhadap calon-calon
pelanggar peraturan. Namun, semakin luas cakupan, kekonkretan, intensitas dan
koherensi konsensus, peraturan menjadi semakin tidak diperlukan. Dengan begitu,
penyebab utama hukum ditaati adalah karena anggota-anggota kelompok mempercayai
nilai-nilai yang dinyatakan hukum dan mewujudkannya dalam perilaku.
Keberatan terhadap doktrin legitimasi dan konsepsi peraturannya
sangat berlawanan dengan kritik yang dialamatkan pada teori instrumentalisme,
sebab kedua pandangan mengenai masyarakat tersebut saling melengkapi. Keberatan
tersebut adalah:
a.
Kecenderungan
inheren yang terlalu berlebihan sekaligus terlalu terbatas dalam memberikan
penjelasan.
b.
Implikasi-implikasi
terhadap pemahaman peraturan.
c.
Bias yang tidak
dapat dilenyapkan terhadap kolektivisme
Terkait dengan solusi atas masalah teori sosial ini, penulis
mengajukan solusi solusi yang diajukan ini akan berakibat pada adanya pengakuan
terhadap arti penting peraturan-peraturan instrumental, yaitu norma-norma yang
meringkas pertimbangan efisiensi. Namun, pada saat yang sama, pandangan ini
menegaskan adanya peraturan-peraturan yang artinya lebih dari sekedar
instrumental sebab peraturan-peraturan itu dirasakan dan dipakai sebagai
pengungkapan nilai-nilai kelompok. Dalam penerapannya, solusi ini belum dapat
disebut sebagai solusi utama penyatuan doktrin. Hal ini disebabkan tidak adanya
kesinambungan antara sarana dan tujuan masyarakat ketika diterapkan dalam corak
masyarakat yang berbeda-beda.
- Kemodernan
Bagi teoritisi sosial klasik, upaya untuk menetapkan pandangan
yang komprehensif tentang manusia dan masyarakat tidak dapat dipisahkan dari
minat untuk memahami kondisi dan prospek-prospek zaman mereka. Hal ini yang mengantarkan
mereka pada perbedaan cara pendekatan, hingga pada perumusan konsepsi
kemodernan.
Hubungan antara ideologi dan aktualitas dalam kehidupan modern
membutuhkan kejelian tersendiri. Sikap para teoritisi sosial klasik terhadap
hubungan ini tercermin pada reaksi mereka terhadap garis pemikiran doktrin
kontrak sosial. Dan sebenarnya, masalah utama dalam kemodernan sebenarnya
adalah hal metode dan tatanan sosial, yang perlu ada bagian yang dapat
mengkombinasikan keduanya dalam membentuk masyarakat tersebut.
- Watak Dasar Manusia dan Sejarah
Untuk menyelesaikan resolusi masalah metode, tatanan sosial dan
kemodernan, akhirnya dibutuhkan sebuah pandangan mengenai watak dasar manusia.
Teori tentang watak dasar manusia tidak boleh langsung membatasi diri pada
deskripsi. Gambaran umum tentang manusia yang mencirikan keadaannya di dunia
menyiratkan manusia bisa menjadi apa dan seharusnya menjadi apa. Sebaliknya,
pilihan di antara pandangan-pandangan yang mungkin tentang kemanusiaan
cenderung terpengaruh perspektif moral dan politik yang tidak mungkin
seluruhnya didukung oleh pandangan yang dipilih seseorang.
Berdasar hal tersebut, hal yang patut menjadi tugas bersama bahwa
masalah-masalah teori sosial tidak dapat diselesaikan kecuali jika
kebenaran-kebenaran dalam teori tersebut dipertemukan dengan
kebenaran-kebenaran filsafat politik zaman kuno agar terbentuk pengetahuan yang lebih inklusif.
- Hukum
1. Hukum terlibat dalam masalah metode.
2. Kajian terhadap hukum berhubungan erat dengan
masalah tatanan sosial.
3. Resolusi untuk masalah kemodernan mengharuskan
kita menemukan hubungan antara ideologi dominan yang menempatkan hukum
impersonal sebagai pusat masyarakat dan pengalaman keseharian tatkala hukum
tersebut hanya berdiri di pinggiran kehidupan sosial.
Hukum
Dan Bentuk-Bentuk Masyarakat
A.
Tiga Konsep Hukum
1.
Hukum Adat (hukum
sebagai interaksi)
Dalam pengertian hukum ini adalah
setiap pola interaksi yang muncul berulang-ulang diantara banyak
individu dan kelompok, diikuti pengakuan eksplisit kelompok dan individu
tersebut bahwa pola-pola interaksi demikian memunculkan ekspektasi perilaku
timbal balik yang harus dipenuhi. Hukum adat tidak punya sifat positif, namun
lebih bersifat tersirat daripada terungkap secara lisan. Sehingga
mengkodifikasinya berarti merubahnya. Hukum adat terdiri dari standar dari
implisit perilaku, bukan standar peraturan yang dirumuskan.
2.
Hukum Birokrasi
Hukum birokratis terdiri dari peraturan eksplisit yang ditetapkan
oleh pemerintah yang sah. Terdiri dari peraturan dengan lingkup luas atau
perintah-perintah yang ditujukan untuk situasi-situasi yang ditentukan secara
sempit menurut ruang dan waktu. Peraturan birokratis birokratis senantiasa
diikuti hukum jenis lain yang boleh jadi membatasi ruang lingkupnya secara
drastis. Disuatu sisi, ada adat yang senantiasa mengatur sebagian besar
kahidupan sehari-sehari. Disisi lain, ada hukum agama yang kerap kali dipegang
badan agama indepnden.
Sehingga hukum adat dan hukum agama disatu sisi, dan hukum
birokratis disisi yang lain, dan ini membagi wilayah sosial menjadi dua.
Wilayah pertama relatif diluar jangkauan kekuasaan raja. Wilayah kedua tunduk
pada kebijaksanaan raja yang nyaris tak terbatas.
a.
Tatanan hukum
Hukum ketiga ini tidak begitu dikenal oleh semua jenis masyarakat.
Karena muncul dan bertahan hanya dalam keadaan-keadaan tertentu. Tatanan hukum
(legal order) atau sistem hukum (legal sistem) diyakini bersifat general dan
otonom, sekaligus publik dan positif. Hukum ketiga ini tidak begitu dikenal
oleh semua jenis masyarakat. Karena muncul dan bertahan hanya dalam
keadaan-keadaan tertentu.
b.
Munculnya Hukum
Birokratis
Kodisi yang menonjolkan peraturan publik dan peraturan positif
dalam tatanan normatif masyarakat dapat dibagi menjadi dua kategori. Yaitu
pemisahan negara dengan masyarakat, dan disintegrasi komunitas. Kategori yang
pertama bertanggung jawab atas sifat publik hukum birokratis, sedangkan yang
kedua bertanggung jawab atas sifat positif.
c.
Pemisahan Negara
dan Masyarakat
Pemisahan
negara dan masyarakat mengisyaratkan konsepsi yang sangat berbeda terkait
tatanan normatif dan keteraturan perilaku. Hanya satu
entitas yang dapat membatasi kekuasaan semua kelompok sekaligus bersikap
seakan-akan tidak memihak, adil, atau ditakdirkan selaras yang mengesahkan
tuntutannya untuk memperoleh kesetiaan dari mereka.
d.
Disintegrasi
Komunitas
Dari
perspektif kesadaran sosial, disintegrasi komunitas berarti perkembangan
situasi ketika orang semakin merasa mampu mempertanyakan kebenaran
praktik-praktik yang sudah mapan sekaligus melanggarnya. Sehingga peraturan
positif harus diterapkan untuk memperjelas apa yang telah dikaburkan oleh
disintegrasi manusia.
e.
Pembagian Kerja
dan Hierarki Sosial
Pemunculan
negara dan disintegritas komunitas merupakan dasar bagi hukum birokratis.
Keduanya sama-sama bergantung pada perubahan pengorganisasian sosial. Perubahan
ini didefinisikan pengarang sebagai kemajuan yang menonjol dalam pembagian
kerja seairing dengan meluasnya spektrum pelapisan dan pembedaan status sosial.
f.
Ketegangan di
dalam Hukum Birokratis
Perkembangan
peraturan publik dan peraturan positif, hukum birokratis mengalami konflik
intern. Pengarang menyimpulkan, bahwa hukum publik bertindak sebagai alat
Negara untuk memanipulasi relasi-relasi sosial. Hukum menjadi alat kepentingan kekuasaan
kelompok-kelompok yang mengendalikan negara. Jika tatanan normatif ditafsirkan
sebagai sekumpulan alat untuk memenuhi kepentingen-kepentingan penguasa, maka
tatanan itu tidak akan bisa menuntut untuk ditaati, kecuali dengan terror yang
digunakan untuk memaksanya.
g.
Munculnya Tatanan
Hukum
Terdapat
dua kondisi sejarah yang memunculkan rule of law. Kondisi pertama menjabarkan
pengalaman dan pandangan relasi kelompok. Agar tatanan hukum dapat berkembang,
tidak boleh ada satu pun kelompok yang memegang posisi dominan secara permanen
atau dipercayai memiliki hak inheren untuk memerintah.hubungan antar kelompok
seperti tiu disebut masyarakat liberal atau dalam bahasa ilmu politik amerika,
pluralisme kelompok kepentingan. Kondisi yang kedua adalah kepercayaan pada
hukum universal yang “lebih tinggi” atau hukum Tuhan sebagai standar untuk
menilai dan meninjau hukum positif negara.
h.
Pluralisme
Kelompok
Pluralisme kelompok atau masyarakat
liberal adalah sebentuk kehidupan yang tidak ada satu kelompok didalamnya yang
mampu menuntut loyalitas dan ketaatan seluruh kelompok lain dalam waktu lama. Maka,
menjadi penting untuk menemukan sistem hukum yang muatannya sanggup
mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang bertantangan dan prosedurnya
sedemikian rupa sehingga sebagian besar orang merasakan, kepentingan mereka
untuk mentaati peraturan tersebut.
3.
Hukum Alam
Faktor
utama kedua bagi munculnya tatnan hukum adalah kepercayaan luas pada sesuatu
yang umumnya disebut hukum alam. Pendukung gagasan hukum alam adalah
religiositas transenden. Inti agama transedensi adalah keyakinan bahwa dunia
diciptakan satu Tuhan sesuai kehendakNya. Karena dunia diciptakan bukan
dihasilkan, maka dunia tidak sepenuhnya memiliki sifat-sifat sakral dan illahi
yang sama dengan Penciptanya. Meskipun demikian, alam yang taat hukum ini
memperlihatkan kekuasaan Sang Pembuat Hukum Yang Maha Agung. Sehingga agama
transenden merupakan pandangan sekaligus kumpulan dari kelompok yang
berbeda-beda, pranata, dan ritual.
B.
Masyarakat
Liberal Dan Hukum Yang Lebih Tinggi
Pluralisme
kelompok saja atau kepercayaan pada hukum yang lebih tinggi saja, tidak akan
sanggup menciptakan tatanan hukum. Negara liberal member isyarat bahwa tidak
ada satu golongan dalam masyarakat yang memiliki akses istimewa terhadap
kebenaran norma dan agama.
Kasus China: Sebuah Analisis Komparatif
Hipotesis
Peradaban
China, terutama pada era yang berlangsung sejak awal periode Musim Semi dan
Musim Gugur sampai penyatuan di zaman Ch’in dan berdirinya Negara kaisar pada
221 SM. Masyarakat disini tumbuh dan mengandalkan peraturan publik dan
peraturan positif sebagai alat kontrol politik. Pembandingan dengan China
sebagai kasus yang bertolak belakang, menjanjikan akan memperdalam wawasan kita
tentang hubungan kompleks antara cara-cara pengaturan sosial, jenis-jenis
kesadaran, dan bentuk-bentuk tatanan normatif
Pembandingan ini berlangsung dalam tiga tahap
analisis. Pertama, telaah ciri-ciri khusus salah satu periode dalam sejarah
China. Kedua, hubungan antara penekanan keduanya sebagai telaah absennya
kondisi-kondisi bagi sebuah tatanan hukum otentik di China. Ketiga, bagaimana
isu-isu perkiraan sosial dan cultural dalam berbagai jenis hukum telah diangkat
dalam perdebatan antara dua aliran pemikiran selama periode dalam sejarah Cina
ini – aliran Konfusianis dan aliran Legalis.
Sesuai
kesepakatan, periode dalam sejarah Cina kuno dibagi dua. Pertama, periode feudal yang meliputi sebagian
besar masa Chou Barat (1122-771 SM) dan sebagian dari masa Musim Semi dan Musim
Gugur sesudahnya (722-464 SM). Periode
kedua, periode transformasi dimulai pertengahan masa Musim Semi dan Musim
Gugur, termasuk masa Chan Kuo (463-222 SM) sampai penyatuan Ch’in pada 221 SM.
Adat Istiadat dan “Foedalisme” pada Cina Awal
Aspek-aspek
terpenting dalam periode feudal untuk memahami jenis tipikal hukumnya adalah
pengaturan politiknya, hubungan antar status sosial yang mencirikan periode
itu, serta visi religious yang
mendominasi. Pengorganisasian feudal berhadapan dengan latar belakang ekonomi
pertanian penghasil bahan baku, yang sudah mulai menggunakan pengaruh
sentralisasi. Berhadapan juga dengan perang yang relatif sengaja diciptakan
oleh para bangsawan utama dan para shih
pengikutnya.
Gambaran
singkat tentang masyarakat feudal Cina ini ditutup dengan menambahkan cara-cara
khas kepercayaan religiusnya. Kesatuan ketuhanan ditegaskan sebagai hail
persatuan roh-roh fungsional yang mewujudkan kekuatan alam yang menjadi
penopang masyarakat.
Periode Transformasi : Dari Hukum Adat
Menuju Hukum Birokratis
Sejarah politik periode transformasi merupakan sejarah runtuhnya sistem
feudal secara terus menerus. Pada lingkup antar Negara, kecenderungan dasarnya
mengarah pada sentralisasi politik. Konflik dalam masyarakat feudal menyebabkan
jumlah Negara yang berperang menyusut dengan cepat dan tiap-tiap Negara
mengalami pemekaran wilayah. Perang membawa akibat penting bagi peraturan dalam
negeri negara-negara yang bermusuhan. Disamping itu, pemisahan yang tiba-tiba
serta berbaliknya peruntungan yang tidak disangka-sangka akibat situasi
pergolakan memunculkan kader diplomat, sarjana dan sofis yang cekatan.
Rakyat jelata maupun bangsawan tidak luput dari sapu gelombang
perubahan sosial. Dengan terbentuknya pemerintahan terpusat dan penataan ulang sistem
perpajakan, “budak-budak” dari masyarakat feudal beralih menjadi penyewa tanah
yang membayar upeti. Secara keseluruhan, dampak dari segala peristiwa politik
dan sosial ini memisahkan Negara dari masyarakat. Ada dugaan bahwa semua
peristiwa itu juga turut berperan dalam meruntuhkan kesatuan nilai dan persepsi
yang sangat kuat, yang menjadi landasan tatanan feudal dan hukum adatnya.
Menjelang abad ke-7 SM, kitab undang-undang hukum tertulis mulai bermunculan di
negeri-negeri Cina.
·
Kaum Konfusianis dan Legalis
Pengalaman Cina kuno mengungkapkan hubungan diantara tipe-tipe hukum,
struktur sosial, dan kesadaran serta memajukan pemahaman akan kondisi-kondisi
tatanan hukum di masyarakat kita sendiri. Konflik doktrinal utama pada periode
transformasi adalah pertentangan antara murid-murid Konfusius dan Fa Chia, begitulah sebutan bagi kaum
legalis. Legalisme dan Konfusianisme punya inti pandangan sendiri-sendiri yang
mencampuradukan deskripsi dan preskripsi. Inti pandangan Legalisme dan
Konfusianisme juga mencakup penjelasan tentang watak dasar manusia, pandangan
tentang manusia yang sepatutnya antara pemerintah dan kelompok-kelompok sosial
serta doktrin tatanan normatif.
Batas-Batas Perbandingan Dengan Cina
(Pengalaman Peradaban-Peradaban Yang Lain)
Perbandingan
antara pengalaman hokum Cina kuno dengan Eropa modern menyisakan banyak
pertanyaan yang belum terjawab. Kedua tradisi mewakili akstrem dari spectrum
ada atau tidak adanya rule of law.
Ada
dua situasi utama
yang dalam hal-hal tertentu mendekati rule of law, situasi pertama
meliputi hukum agama di India kuno, Islam, dan Yudaisme. Kedua adalah sejarah hukum Yunani-Romawi.
Hukum Agama di India kuno, Islam, dan
Yudaisme
Sistem hukum agama ini dipercaya memiliki otoritas yang mengatasi
manusia sebagai kehendak dari Tuhan Yang Maha Esa atau sebagai refleksi tatanan
impersonal. Dharmarasta Hindu
menerangkan implikasi terhadap pelaksanaan dharma manusia. Hukum Syari’ah menetapkan perintah-perintah
Allah bagi umat manusia. Demikian pula halakhah
Yahudi menunjukan tatanan komprehensif bagi kehidupan manusia. Sumber utama
adalah Taurat, wahyu Tuhan diatas Gunung Sinai kepada manusia pilihan-Nya.
Agama India (Hinduisme) turut berperan terhadap konsepsi
karakteristik dewa tertinggi selalu ambivalen. Dalam Islam, Syari’ah adalah hukum universal yang
mencerminkan kehendak Tuhan dan menetapkan kesetaraan diantara umat manusia. Halakhah Yahudi lebih mendekati bentuk
tatanan hukum daripada kumpulan hukum agama lainnya. Asal usul ilahi kitab
Taurat memperkuat kepercayaan akan universalisme hukum agama dan doktrin kitab
Injil menekankan kesetaraan hakiki semua bangsa.
·
Varian Yunani-Romawi
Sentralisasi di Yunani tidak pernah cukup kuat untuk
mengendalikan, apalagi menekan konflik kelompok. Menjelang abad ke-7, kekuasaan
raja-raja di sebagian besar wilayah Hellas sudah lama surut ke tangan oligarki
aristokratis. Dari abad ke-7 sampai awal ke-5 SM, perekonomian semakin
melibatkan uang.
“Tirani” menjadi tahap menentukan dalam evolusi tatanan sosial
yang relatif pluralistis. Demikianlah rezim Peisis-tradid di Athena mengadu
domba komunitas pedagang asing dengan golongan Eupatrid. Kadar pluralisme
kelompok dan konflik kelompok yang dicapai tidak pernah cukup memadai untuk
mentransformasi masyarakat itu menjadi masyarakat liberal.
Hukum Sebagai Respon Terhadap Merosotnya
Ketertiban
Situasi yang digambarkan oleh pandangan konsensus terhadap tatanan
sosial merupakan dasar bagi hukum interaksional. Adat istiadat tumbuh subur
sampai mencapai tahap ada kesatuan pemahaman dan ideal yang berpadu erat,
menyebar luas, saling berkaitan secara koheren, dengan norma-norma yang konkret
dan dipegang teguh. Dalam situasi yang memunculkan hukum birokratis, penguasa
atau kelompok yang berkuasa bisa melihat masyarakat dari sudut pandang doktrin
instrumentalis.
Hukum publik dan hukum
positif menjadi sarana untuk memanipulasi relasi sosial atas nama
kebijakan-kebijakan yang sengaja dipilih oleh kelompok yang berkuasa. Pemisahan
Negara dari masyarakat menciptakan wahana institusional untuk kontrol tersebut.
Selama ribuan tahun manusia memandang alam dan masyarakat sebagai perlambang
tatanan suci yang sifatnya hidup sendiri. Bentuk eksistensi dan kesadaran yang
benar-benar berbeda hanya muncul di dalam lingkup sejarah yang relative modern.
Setiap upaya solusi terhadap krisis tatanan tersebut terbatas kemampuannya
dalam mengesahkan kesepakatan sosial.
Baca juga:Problematika Teori Sosial
Hukum dan Modernitas
Meninjau Kembali Problematika Teori Sosial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar