Merenungkan Kembali Keberagamaan
Agama
merupakan sesuatu yang dianggap sakral
bagi banyak kalangan umat yang beragama, bahkan tabu apabila diutak-atik secara
mendalam. Mengkaji agama secara mendalam berarti seseorang melakukan pengkajian
secara mendetail terhadap agama itu sendiri karena dia masih merasa ada
keragu-raguan dalam keyakinannya. Bahkan menurut Tedi Khaliludin bahwa agama
itu dasarnya adalah keragu-raguan, dia mengambil pernyataan orang barat cogitu
ergo sun "aku berpikir, aku tahu". Jika agamanya sendiri yang
dikaji, maka dia seakan-akan dia melecehkan agamanya yang selama ini dianggap
sebagai way of life . Sehingga dia harus menaruhkan keyakinannya untuk
memberanikan diri meneliti agama agar mendapatkan keyakinan yang kuat.
Bila
diamati dengan cermat, kelahiran agama sangat terkait dengan konstruksi budaya
pada saat itu. Tekstualisasi agama yang ada lebih mengandung kontekstualisasi
sosial dan budaya yang ada ditengah gejolak
kehidupan pada saat itu, yaitu pada saat agama pertama kalinya
diwahyukan oleh Tuhan melalui utusan-Nya.
Salah
satu agama abrahamiah yang ada di dunia adalah agama Islam. Islam merupakan
suatu agama yang bentuk ajaran kehidupannya lebih melihat pada kenyataan social-cultul,
tidak hanya berupa wahyu yang datang dari langit tanpa ada dasarnya, tanpa
memperhatikan keadaan yang ada. Ketika Islam hadir ke muka bumi yang kemudian
menyebar hampir ke seluruh dunia ini, di sini seakan-akan tidak ada baju
kesakralitasan di dalamnya. Karena Islam lebih memahami kenyataan kehidupan
lokalitas budaya setempat dan historitas proses pergumulan antara teks dan
kontes yang mana ini bisa menghilangkan kesakralan agama itu sendiri, sehingga
agama di sini sebagai obyek permainan yang bisa di kemana-mana.
Keberadaan
agama semakin menghilangkan kesakralitasannya yang kemudian ada anggapan bahwa
agama merupakan suatu bentuk produk kebudayaan setempat Al-Manhaj Al-Tsaqafy. Sebagai pegangan yang bertujuan untuk
menciptakan suatu moral yang baik agar tersusun suatu tatanan kemasyarkatan yang
tenang dan tentram, menghilangkan kebusukan konflik yang menyertai kehidupan.
Karena agama di sini dianggap sebagai sesuatu yang harus ditaati, dengan begitu
mereka marasa takut apabila melanggar ajaran yang mereka yakini. Sehingga agama
seperti sebuah mitos yang diyakini umat, sebagaimana yang dinyatakan Tedi
Khaliludin.
Islam
salah agama yang diwahyukan oleh Tuhan dengan memberinya suatu pegangan sebagai
bahan utama dalam kehidupan yang berupa kitab Al-Qur'an. Al-Qur'an sendiri
merupakan kumpulan teks yang menjadi acuan dan pegangan keberagamaan umat
islam. Di dalamnya banyak terkandung peradaban Arab pada saat itu, sehinngga
pada saat disebut sebagai peradaban teks, di sini teks dianggap sebagai suatu
rujukan yang sangat penting dalam upaya memahami agama Islam.
Kesakralan
Isi
al-Qur'an mengandung pergolakan ilmiah dalam memahami pesan tuhan, yang
kemudian dihubungkan dengan realitas yang tengah terjadi pada saat pembentukan
teks. Karena peradaban islam adalah peradaban teks, bahkan Tedi Khaliludin menganggap
bahwa sejarah yang ada di dalam al-Qur'an hanyalah sebuah cerita fikti belaka,
yang mana itu hanya sebagai bahan renungan dalam menghadapi hidup. Maka perlu
suatu perangkat atau metodologi ilmiah untuk membongkarkan konstruksi nalar
yang menjadi bagian penting didalamnya.
Tidak
selamanya teks al-Qur'an itu adalah sesuatu yang sakral, pembacaan terhadap
teks tidak bisa terlepas dari konteks sejarah dan kebudayaan yang melingkupi
teks tersebut. Pada saat kita memahami agama yang tercemin dalam teks yang
tertulis tersebut maka akan tampak jelas keduniawian yang melekat dalam
kontruksi nalar teks tersebut. Tujuan dari penyejarahan teks dilakukan agar
bisa menyesuaikan dengan kondisi yang memang menjadi kenyataan historis umat
manusia. Sehingga dalam memahami agama tidak harus mengambil dari teks, tanpa
melihat yang tersirat dalam teks terbut.
Pada
saat memahami teks itu, kita tidak bisa mengandalkan penafsiran secara literal,
tetapi harus ada upaya untuk melakukan penafsiran secara hermeneutis atas kenyataan-kenyataan
sosial dan budaya yang mengitari teks. Berarti teks yang didiam selama ini dan dianggap sakral itu pasti
menjadi obyek penafsiran manusia. Maka teks tidak lagi menjadi sesuatu yang
didiam dan dianggap sakral, karena manusia memposisikan teks itu sebagai
sesuatu yang harus dihubungkan dengan realitas. Lalu, teks itu menjadi sesuatu
yang berhak untuk diutak-atik, bahkan tidak aneh lagi apabila kemudian teks
tersebut kita tolak dalam beberapa pengamalan syari'ahnya yang cenderung
menindas kemanusiaan dan keadilan dalam kehidupan.
Bila
lebih dicermati lagi, menurut Tedi Khaliludin bahwa keadaan al-Qur'an sendiri
sudah hilang murni kebenarannya karena ada intervensi dalam proses
pentadwinannya, bahkan ada unsur politik di dalamnya. Intervensi manusia dalam
pembukuan teks ini, dilogikan begini, jika sesuatu yang dipindahkan dengan
lisan dan kemudian dipindah dalam bentuk tulisan maka akan terjadi
ketidaksamaan, walaupun ketidaksamaannya itu cuma sedikit. Inilah logika yang
dipakai yang kemudian dijadikan sebagai dasar
bahwa keoriginilan al-qur'an mendekati kebenaran.
Lokal
dan Universal
Menurut
Iman Fadlilah bahwa al-Qur'an mempunyai dua unsur, yaitu unsur lokal dan
universal. Dari sini maka dapat dipahami bahwa yang ada di dalam teks, ada peraturan
yang hanya berlaku untuk suatu tempat tertentu atau bersifat lokal dan ada
peraturan yang berlaku untuk semua umat Islam atau sesuatu yang bersifat
universal.
Sesuatu
yang bersifat lokal di daerah tertentu itu tidak bisa diterapkan ke daerah yang
lain karena ketidaksesuaian peraturan terhadap keadaan kebudayaan sehingga
sulit untuk menerapkannya, berbeda dengan peraturan yang bersifat universal
yang berlaku untuk semua umat islam.
Harus
diakui memang sulit untuk mementukan yang mana peraturan yang bersifat lokal
dan yang mana yang bersifat universal. Untuk mengetahui harus diperlukan
ketelitian dalam menggali pesan Tuhan dengan mempertimbangkan berbagai metode
analisis teks. Karena semakin besar prosentasi peraturan yang bersifat lokal
maka semakin kecil yang universal sehingga lahan untuk ijtihad semakin luas.
Tapi sebaliknya, jika semakin sedikit prosentasi peraturan yang bersifat lokal,
maka semakin kecil pula lahan untuk berijtihad.
Berdasarkan
sedikit pemaparan tersebut, maka alangkah baiknya kita lebih mencermati agama
kita dengan lebih mendalam dalam mempelajari agama kita. Tidak cukup hanya
menerima apa adanya tanpa mengetahui dasar pengambilan. Sebagai mahasiswa yang
mempunyai sifat kritis semestinya lebih mengkritisi apa yang ada di lingkungan,
termasuk mengkritisi agamanya sendiri. Apabila mendapatkan kesulitan dalam
proses mendalami pengatahuan agama bisa bertanya kepada orang yang lebih
berkompeten dalam bidang ilmu ini.
* Tulisan ini ditulis pada tanggal 12 November
2010.