Sedih, itulah yang
dirasakan bila merenungkan keadaan "Pesawat Indonesia" sekarang ini.
Sudah setengah abad lebih terbang di udara dengan membawa setumpuk impian. Tapi
belum juga sampai ke planet impian yang dituju dan diidam-idamkan para
penumpang. Padahal potensi "modal" yang dimiliki sangat besar, bahkan
lebih jika hanya untuk terbang menuju ke "planet demokrasi".
Kegelisahan
sudah tak dapat dibendung dengan kesabaran untuk segera sampai ke planet
impian. Mungkin karena dirasa pesawat Indonesia sudah terlalu di pesawat, para
penumpang pun menyuarakan bermacam-macam komentar, baik melalui "pramugari",
maupun langsung kekediaman "pilot pesawat". Mereka menginginkan
pilotnya untuk diganti karena dinilai kurang tegas dalam mengambil keputusan. Ada
yang bilang salah salah satu anggota birokrasi yang menyulap dirinya menjadi
"tikus". Dan juga ada yang merasa "kucing" penangkap tikus
tidak mampu berkutik, karena ada dugaan "dihipnotis" dengan mantra
suap.
Mungkin
sebagai penumpang yang seharusnya dilayani ada yang percaya dan menerima segala
keputusan dari pilot pesawat dan para anggota birokrasinya, dan ada yang
melawan dengan segala cara karena mereka merasa amanah yang diyakin kepada
birokrasi telah dihianati. Mereka pun sebagai penumpang yang merasa ada
kejanggalan tak mau berdiam diri, suara rintihan hati pun bergemuruh di
mana-mana sebagai wujud demokrasi.
Seperti inilah kurang
lebih gambaran keadaan negeri kita sekarang ini. Apa kita sebagai rakyat,
khususnya bagi penyandang gelar akademik membiarkan saja negeri tanah kelahiran
kita yang berada di "zona krisis"?. Sungguh tragis bila bersikap
merasa tak tahu dan tak acuh dengan keadaan yang semakin memperhatikan.
Semestinya, rakyat yang merupakan salah satu unsur pokok berdirinya negara
harus ikut andil partisipasi sebagai wujud nasionalime. Tidak ada gunanya
keberadaan rakyat dalam negara demokrasi, jika masih jadi "patung hiasan".
Yang keberadaannya sebagai pelengkap terbentuknya sebuah negara.
Sebenarnya, semua warga
negara demokrasi mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga
perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi tersebut dibangun
berdasarkan prinsip demokrasi yakni kebebasan berkumpul dan mengungkapkan
pendapat secara konstruktif. Suara rakyat dapat bermuara dalam seluruh aspek
pembangunan, termasuk dalam sektor-sektor kehidupan sosial lainnya selain
kegiatan politik.
Salah
Kaprah
Sudah semestinya mahasiswa penyandang "kalung
"sarjana berperan sebagai "advokat" rakyat. Dengan sifat kritis
yang melekat dalam diri mereka, sehingga tak heran bila mereka disebut sebagai agent
sosial of change yang berkewajiban untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.
Dan akhirnya, tindakan demonstrasi selalu dilakukan dengan memanggul setumpuk
pesan rakyat. Akan tetapi, ketika kepentingan rakyat yang seharusnya
diperjuangkan, malah hal tersebut dikesampingkan. Maka perjuangan itu pun pada
akhirnya akan jadi sia-sia.
Tak asing lagi di telinga kita, pemberitaan terhadap
demontrasi yang berujung kerusuhan kerap kali tampil di media massa. Bahkan
tindakan anarkisme yang ditampilkan antara kubu mahasiswa dengan kubu aparat
keamanan kerap diwarnai dengan korban luka-luka. Dan lebih memalukannya lagi, sampai
nyawa pun dijadikan "tumbal". Ini terjadi karena bertindak kedua
belah kubu hanya mengedepankan ego masing-masing, tanpa mengimbanginya dengan
akal dan hati
Suara rakyat yang semestinya diperjuangkan pun pada
ujungnya terlantarkan di kolong "harapan". Seakan yang tergambar dari
wujud demokrasi adalah demonstrasi "tinju" antara aparat keamanan dan
mahasiswa. Karena itu para "wise men of greece" semacam Plato
dan Aristoteles lebih menyukai tata-politik monarki ketimbang demokrasi.
Menurutnya menyerahkan otoritas kepada rakyat sama saja dengan
"merestui" timbulnya anarkisme.
Rekonstruksi
Paradigma
Demokrasi memang bukan segala-galanya, sistem ini
hanyalah sebagian kecil jalan (tools) tata politik dalam sebuah sistem
kekuasaan. Sistem demokrasi berdiri memang bukan tanpa cacat seperti yang
dikritikan. Meskipun demikian, sistem inilah yang dinilai terbaik dari berbagai
sistem yang ada. Demokrasi baru bisa berjalan "normal" jika akal
sehat manusia juga "normal". Jika akal dan jiwa manusia sakit, maka demokrasi
pun tak akan pernah berjalan.
Ketika mahasiswa
ingin menjadi seorang pejuang agaliter dan
keadilan, sudah seharusnya
mahasiswa melakukan pembenahan paradigma dalam
menyuarakan rintihan rakyat. Akal sehat dan hati jangan pernah
dikesampingkan pada saat demonstrasi. Bila ini dipegangi kedua kubu, wujud
demokrasi akan menyertai dalam demonstrasi. Dan aparat akan menyambut mahasiswa
seperti tamu dari jauh dengan membawa setumpuk keluhan.
Sarana media cetak
jangan sampai terlupakan di pikiran para penyandang sarjana. Mereka bisa
memanfaatkan rubrik yang disediakan oleh redaktur. Dalam rubrik ini mereka bisa
menuangkan segala unek-unek dalam hatinya secara kritik-konstruktif.
Selain pesannya dapat tercurahkan tanpa harus membuang keringat, dia juga
secara tidak langsung telah melatih pikirannya dalam menanggapi keadaan secara
dengan obyektif. Dari sini, diharapkan suara rakyat pun
pada akhirnya bisa tersampaikan, tanpa
harus ada adu jotos antar mahasiswa dan aparat keamanan. Dengan ini, kekuasaan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat akan terealisasikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar