Suatu hari ketika aku dalam perjalanan menuju ke Surabaya dalam
rangka kegiatan workshop nasional di salah satu pergutuan tinggi swasta di
Malang. Aku dari Semarang naik Bus jurusan Surabaya. Di perjalanan aku duduk
dengan orang bapak-bapak yang berpenampilan rapi, umurnya sekitar 45 tahun. Ia
ingin menemui anaknya yang sedang kuliah di Surabaya.
Aku pun memulai melontarkan pertanyaan untuk mengawali percakapan
pada saat itu, “mau kemana Pak?”. Percakapan pun berlanjut dan kita semakin
kenal. Bahkan kita saling berdiskusi kecil agar suasana tidak sepi di dalam
bus. Termasuk membahas tentang sistem pendidikan dan pola pikir orang-orang
sekarang ini.
Hal yang menarik bagiku adalah ia membandingkan pola pikir belajar
antara metode menghafal dengan metode memahami. Ia memahami bahwa orang
sekarang ini lebih banyak menghafalkan segala ilmu yang ia pelajari, namun apa
yang ia hafalkan belum tentu ia pahami. Ia memberikan alasan bahwa kalau
menghafal, bahkan semua ilmu yang ia pelajari dia hafalkan semua, maka akan
semakin banyak pula yang ia harus hafalkan dan itu mengharuskan dia untuk
selalu mengingatnya. Bahkan tidak jarang ia lupa dengan apa yang ia hafalkan
karena saking banyak yang ia hafalkan.
Sedangkan bagi orang yang paham, maka tentu ia akan hafal
maksudnya. Sehingga kepahaman ini yang kemudian tersimpan dalam memori otaknya.
Bapak itu tadi memberikan contoh, aham dalam hal ini misalnya ada rumus
matematika, maka seseorang itu paham dengan adanya rumus itu dan logika
berpikir kenapa rumus itu bisa ada. Bagi yang hanya hafal rumus matematika,
namun dia tidak paham dari mana rumus itu bisa ada dan bagaimana proses
terbentuknya itu rumus. Kemudian Bapak itu menilai bahwa orang yang lebih itu
ya orang yang memahami dari pada orang yang hanya menghafal.
Dari sini bapak yang duduk di sampingku mengatakan lebih baik
belajar itu yang terpenting adalah kepahaman anak didik. Karena dari paham ini anak didik akan terus
mengingat dengan apa yang ia paham. Meskipun yang diingat itu tidak sama persis
teksnya yang seharusnya ia hafal, namun setidaknya maskudnya telah ia ingat dan
ia dapat menuliskannya.
Dalam hal ini aku ingat dengan pernyataan yang pernah aku hafalkan
yaitu “al-fahmu ba’da al-khifdhi”, namun ada pernyataan lain yang
berlawanan “al-khifdhi ba’da al-fahmu”. Kedua-duanya memang tampak
bertentangan, namun semestinya keduanya saling mendukung bahkan lebih baik lagi
apabila dipadukan. Sehingga seseorang yang hafal itu baiknya juga paham dengan
apa yang ia hafalkan. Begitu juga orang yang paham harus hafal dengan apa yang
ia pahami.
* Sebuah
Catatan Perjalanan Semata