Filsafat,
secara garis besar mempunyai tiga cabang besar, salah satunya adalah teori
hakikat, yang sering disebut dengan istilah ontologi. Objek-objek pengetahuan
itu dipikirkan secara mendalam sampai pada hakikat objek tersebut. Inilah
sebabnya pada bagian ini dinamak teori hakikat.
Ruang lingkup
pembicaraan teori hakikat sangat luas sekali, segala yang ada yang mungkin ada,
yang boleh juga mencakup pengatahuan dan nilai, untuk mencari sebuah hakikat
pengetahuan dan hakikat nilai. Sebenarnya apa hakikat itu sendiri? Hakikat
adalah sebuah realitas, maksudnya sebuah kenyataan yang sebenarnya. Jadi
hakikat adalah kenyataan sebenarnya, keadaan sebenarnya sesuatu, bukan keadaan
yang sementara atau keadaan yang menipu, bukan pula keadaan yang berubah-ubah.
Sebagaimana
realitas sebuah benda, apakah hakikat dari benda itu sesuai dengan
penampakannya atau sesuatu yang bersembunyi dibalik penampakan yang ditangkap
oleh indera itu? Dari sebuah pertanyaan ini muncul beberapa aliran dengan
berabagai pemikirannya.
Aliran
materialisme, atau yang sering disebut juga aliran naturalisme. Menurut aliran
ini bahwa hakikat dari benda itu adalah materi, benda itu sendiri. Adapun
rohani, spirit, jiwa, dan sebangsanya itu muncul karena adanya benda tersbut.
Rohani dan sebangsanya itu tidak akan ada seandainya tidak ada benda itu. Bagi
aliran ini roh, jiwa, dan sebangsanya termasuk Tuhan tidak diakui adannya.
Sebenarnya materialisme tidak menyangkal dengan adanya roh, jiwa termasuk juga
Tuhan, tetapi itu semuanya muncul dari benda tersebut, sehingga tidak dianggap
sebagai hakikat.
Sebaliknya
idealisme menurut aliran ini hakikat benda adalah rohani, spirit atau
sebagainya, jelas pendapat ini bersebrangan dengan materialisme. Aliran ini
memberikan alasan bahwa materi ialah kumpulan energy yang menempatiruang, benda
tidak ada yang adan energy itu saja. Ini salah satu alasan yang menjadi
landasan mereka.
Berbeda lagi
dengan aliran dualisme, sesuai dengan nama aliran ini bahwa yang merupakan
hakikat dari benda itu ada dua, material dan immaterial, benda dan roh, jasad
da spirit. Materi muncul bukan dari roh, begitu juga sebaliknya roh bukan
muncul dari materi, sehingga keduanya sama-sama hakikat. Akan tetapi, kesulitan
yang dihadapi aliran ini ialah menjawab pertanyaan: bagaimana kesesuian
kedua-duanya seperti manusia? Menurut dualisme, itu sudah distel seperti tenaga
dan jarum pada jam. Persoalannya yaitu, siapa yang menyetelnya? Bagaimana
menyetelnya?
Dari
kelemahan dualisme ini, mungkin para penganut aliran skeptisisme berpendapat
bahwa manusia diragukan apakah manusia mampu mengetahui hakikat benda? Jawabnya
mungkin dapat, mungkin tidak. Sedangkan aliran agnostisisme berpendapat manusia
tidak dapat mengetahui hakikat benda, mungkin karena keterbatan manusia itu
sendiri.
Inilah awal
dari sebuah pencarian hakikat sesuatu, dari berbagai pendekatan yang telah
diuraikan, semuanya itu bisa dikatakan benar karena masing-masing dari mereka
memberikan sebuah alasan yang bisa dikatakan sama-sama kuat. Akan tetapi, ada
dua aliran yang lebih bisa diterima alasannya, yaitu materialisme dan
idealisme.
Sebagaimana
hakikat manusia, menurut materialisme, hakikat adalah materi, jasad itulah.
Maka manusia hakikatnya ialah yang kelihatan itu. Rohani manusia memang ada, tetapi bukan
hakikat. Kepuasan dan kebahagian terletak pada badan, jika badan hancur, maka
selesailah manusia itu. Dan rohnya hilang bersaman dengan badan, tentu saja
dari pernyataan ini tidak ada soal surge dan neraka. Idealisme sebaliknya, yang
hakikat adalah rohnya, dan ini berujung pada pembenaran terhada adanya Tuhan.
Mengenai
asal manusia, materialisme menyatakan material itulah, sedang manurut idealisme
hidup manusia berasal dari Yang Hidup. Sehingga menurut materialisme mengenai
tujuan manusia, menyatakan bahwa mati adalah hal yang amat sederhana, tetapi
tidak demikian pada idealisme bahwa mati adalah sebuah lanjutan hidup di dunia
ini.
Dengan
demikian, dari aliran-aliran ini tidak ada titik temunya, mereka saling
menguatkan pendapatnya dan merasa aliaran merekalah yang paling benar. Sebab
manusia memiliki indera, akal dan hati. Dengan apa yang dimilikinya dia bisa
melakukan pemikiran terhadap sesuatu yang ada dan yang tidak ada untuk
menemukan sebuah kebenaran yang hakikat. Akan tetapi, perlu adanya keseimbangan
dalam penggunaan indera, akal dan hati supaya bisa menemukan sebuah pengetahuan
yang hakikat. Apabila tidak ada keseimbangan, maka akan menghasilkan sebuah
pengetahuan yang salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar