Pada dasarnya, menyediakan pelayanan publik yang
baik bagi masyarakat merupakan tugas negara melalui pemerintah. Hal ini sebagai
pemenuhan hak-hak sipil bagi warga negara. Tugas dan kewajiban ini dilakukan
melalui aparat pemerintah dari tingkat paling atas sampai paling bawah seperti
RW dan RT. Sebagai kewajiban, maka sudah semestinya setiap aparat pemerintah
memberikan pelayanan publik yang baik, termasuk kepada seseorang atau kelompok
penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Merujuk data Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata, saat ini terdapat 1.515 organisasi penghayat kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, 245 di antaranya memiliki kepengurusan di tingkat nasional
dengan jumlah pemeluk sekitar 10 juta orang. Akibat politik pembetasan ‘enam
agama yang diakui’ negara, maka penghayat kepercayaan mengalami tindakan
diskriminatif dalam pelayanan publik, khususnya dalam pelayanan administrasi
kependudukan. Adanya tindakan diskriminatif ini menyebabkan pemenuhan hak-hak
dasar penghayat dilanggar, baik hak sipil dan politik, maupun hak ekonomi,
sosial dan budaya.
Adapaun yang dimaksudkan dengan administrasi
kependudukan sebagaimana dalam Undang-undang (UU) No. 24 Tahun 2014 tentang
Administrasi Kependudukan (Arminduk), Pasal 1, Ayat 1 yang berbunyi “Administrasi Kependudukan adalah
rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen dan Data
Kependudukan melalui Pendaftaran Penduduk, Pencatatan Sipil, pengelolaan
informasi Administrasi Kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk
pelayanan publik dan pembangunan sektor lain.”.
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan -yang sekarang direvisi menjadi UU No. 24 Tahun 2013
tentang Administrasi Kependudukan- dan Peraturan Pemerintahn No. 37 Tahun 2007
tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 menjamin hak seorang atau kelompok
penganut penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk mendapatkan
hak-hak administrasi kependudukan seperti pencantuman kepercayaan dalam KTP, akte
kelahiran, perkawinan dan dokumen kematian. Ada juga payung hukum lain, yakni
Peraturan Presiden (Perpres) No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata
Cara Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil.
Dengan adanya perundang-undangan tersebut, maka
penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak boleh didiskriminasi.
Mereka berhak mendapatkan perlindungan dan pelayanan administraasi kependudukan
tanpa diskriminatif.
Dalam UU Arminduk pada Pasal 2 disebutkan bahwa
setiap penduduk mempunyai hak untuk memperoleh:
1. Dokumen
Kependudukan
2. Pelayanan
yang sama dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil
3. Perlindungan
atas Data Pribadi
4. Kepastian
hukum atas kepemilikan dokumen
5. Informasi
mengenail data hasil Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil atas dirinya
dan/atau keluarganya
6. Ganti
rugi dan pemuliha nama baik sebagai akibar kesalahan dalam Pendaftaran Penduduk
dan Pencatatan Sipil serta penyalahgunaan Data Pribadi oleh Instansi Pelaksana
Sedangkan kewajiban warga negara sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal 3 “Setiap Penduduk wajib melaporkan peristiwa
Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana
dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran Pendudukan dan
Pencatatan Sipil”. Hal ini karena setiap kejadian atau peristiwa penting
yang terjadi seperti kelahiran, kematian dan perkawinan akan membawa akibat
terhadap penertiban atau perubahan Kartu Keluarga (KK), kartu Tanda Penduduk
(KTP) dan surat keterangan kependudukan yang lain yang meliputi pindah datang,
perubahan alamat, atau status tinggal terbatas menjadi tinggal tetap.
Pelaporan yang dilakukan oleh warga negara akan
menjadi dokumen kependudukan. Di mana dokumen kependudukan yang berhak
diperoleh semua warga negara adalah dokumen resmi yang diterbitkan oleh
Instanti Pelaksana yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti autentik yang dihadilkan dari pelayanan
pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. Adapun dokumen kependudukan pada dasarnya
meliputi: Biodata Penduduk, Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat
keterangan kependudukan dan Akta pencatatan sipil.
Sedangkan surat keterangan kependudukan meliputi
surat-surat sebagai berikut:
1. Surat
Keterangan Pindah
2. Surat
Keterangan Pindah Datang
3. Surat
Keterangan Pindah ke Luar Negeri
4. Surat
Keterangan Datang dari Luar Negeri
5. Surat
Keterangan Tempat Tinggal
6. Surat
Keterangan Kelahiran
7. Surat
Keterangan Lahir Mati
8. Surat
Keterangan Pembatalan Perkawinan
9. Surat
Keterangan Pembatalan Perceraian
10. Surat
Keterangan Kematian
11. Surat
Keterangan Pengangkatan Anak
12. Surat
Keterangan Pelepasan Kewarganegaraan Indonesia
13. Surat
Keterangan Penggantian Tanda Identitas
14. Surat
Keterangan Pencatatan Sipil
Dalam pelayanan pencatatan sipil meliputi
pencatatan peristiwa penting yaitu: Kelahiran, Kematian, Lahir mati, Perkawinan, Perceraian, Pengakuan anak,
Pengesahan anak, Pengangkatan anak, Perubahan nama, Perubahan status
kewarganegaraan, Pembatalan perkawinan, Pembatalan perceraian dan Peristiwa
penting lainnya.
Seperti halnya hak pertama anak setelah
dilahirkan adalah identitas yang meliputi nama, orang tua dan kewarganegaraan
yang dituangkan dalam bentuk akta kelahiran. Sebagaimana dalam UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 53 Ayat 2 “Setiap anak sejak
kelahirannya berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraannya”.
Hak ini akan menentukan pengakuan, pemenuhan dan
perlindungan anak yang lainnya, seperti keperdataan (waris dan nafkah). Hak
akte kelahiran dijamin dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
UU. No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan dan UU. No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Faktanya,
sekarang ini masih banyak anak Indonesia yang identitasnya tidak dicatatkan dalam
akte kelahiran. Dengan tidak dicatatkannya identitas seorang anak dalam akte
kelahiran, maka secara hukum keberadaannya dianggap tidak ada.
Di Indonesia, pencatatan kelahiran secara tidak
langsung merupakan turunan dari perkawinan. persoalannya, terdapat perkawinan
yang tidak bisa dicatatkan di catatan sipil karena interpretasi undang-undang
yang berbeda, seperti kasus yang dialami para penghayat kepercayaan. Mereka
tidak bisa memiliki dokumen perkawinan dari negara, karena kepercayaan mereka
tidak diakui oleh negara.
Akibatnya anak-anak yang lahir mengalami
kesulitan untuk mendapatkan akte kelahiran. Apabila bisa mendapatkan akte
kelahiran maka status anak dianggap bukan berasal dari perkawinan yang sah (anak
luar kawin) dan hanya memiliki nama ibu dalam akta. Walhasil, anak hanya
memiliki hubungan hukum dengan ibunya dalam hal hak waris, hak nafkah dan
lainnya. Bahkan ini akan berujung pada berbagai diskriminasi dalam kehidupan
bermasyarakat.
Dengan lahirnya UU Arminduk dengan dijaminnya
pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan, maka setiap anak yang lahir dari
pasangan penghayat kepercayaan dengan sendirinya berhak mendapatkan akta
kelahiran. Sebab perkawinan yang mereka dilakukan sesuai dengan keyakinan dan
kepercayaannya adalah suatu perkawinan yang sah. Sebagaimana dalam UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 “Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”.
Sedangkan dalam hal pengisian kolom agama
sebagaimana diatur dalam Pasal 64 Ayat 5 UU Arminduk yang berbunyi “Elemen
data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk
yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap
dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.”. Ketentuan inilah yang
menjadi dasar bagi penghayat kepercayaan untuk mendapatkan pelayanan
administrasi kependudukan, termasuk KK dan KTP dengan kolong agama tidak diisi.
uu dan perpres ini belum diterapkan di kota palembang sumsel. saya sudah berapa kali mengajukan ke RT, Lurah, Kecamatan, Dukcapil dan Kesbang. tapi sampai saat ini belum ditindak lanjuti, bahkan Pihak lurah dan Kecamatan mengatakan sama sekali tidak mengetahui dan sangat diskriminatif dan tak acuh. padahal keyakinan kami PARMALIM sudah sangat lama ada dan hidup sebelum agama besar ada di Indonesia dan diakui sebagai agama lokal Batak.
BalasHapustolong supaya masalah kami diwadahi dan dilayani semesstinya. trima kasih
data kami sbg penganut Parmalim di Kota Palembang sudah saya serahkan ke BAKESBANG Palembang, bersama foto copi KTP, KK dan biodata.
BalasHapusDUKCAPIL Palembang mengatakan Aplikasi SIAK untuk mewadahi Penganut Kepercayaan belum ada, dan harus diminta dulu ke Jakarta, apakah SIAK itu tidak Online seluruh Indonesia?
kami harap Institusi yang berwenang berkenan dan tulus membantu administrasi kependudukan kami, supaya mengubah data kependudukan kami di KTP, KK dan data-data lainnya. trims
Memang dalam hal ini kita harus melakukan dialog dan pendekatan dengan pihak terkait, selain itu juga kita harus mencari lembaga atau institusi yang dapat membantu dalam mengupayakan itu semua. membutuhkan waktu yang panjang dan kerja kolektif dengan berbagai pihak terkait.
BalasHapus