Hukum shalat id sunnah
muakkadah (sangat dianjurkan). Sejak disyariatkan pada tahun kedua hijriah,
Rasulullah tidak meninggalkannya hingga beliau wafat, kemudian ritual serupa
dilanjutkan para sahabat beliau.
Secara global syarat dan rukun
shalat id tidak berbeda dari shalat lima waktu, termasuk soal hal-hal yang
membatalkan. Tapi, ada beberapa aktivitas teknis yang agak berbeda dari shalat
pada umumnya. Aktivitas teknis tersebut berstatus sunnah.
Waktu shalat Idul Fitri
dimulai sejak matahari terbit hingga masuk waktu dhuhur. Berbeda dari shalat
Idul Adha yang dianjurkan mengawalkan waktu demi memberi kesempatan yang luas
kepada masyarakat yang hendak berkurban selepas rangkaian shalat id, shalat
Idul Fitri disunnahkan memperlambatnya. Hal demikian untuk memberi kesempatan
mereka yang belum berzakat fitrah.
Shalat id dilaksanakan dua
rakaat secara berjamaah dan terdapat khutbah setelahnya. Namun, bila terlambat
datang atau mengalami halangan lain, boleh dilakukan secara sendiri-sendiri
(munfarid) di rumah ketimbang tidak sama sekali.
Berikut tata cara shalat id
secara tertib. Penjelasan ini bisa dijumpai antara lain di kitab Fashalatan
karya Syekh KHR Asnawi, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama asal Kudus; atau
al-Fiqh al-Manhajî ‘ala Madzhabil Imâm asy-Syâfi‘î (juz I) karya Musthafa
al-Khin, Musthafa al-Bugha, dan 'Ali asy-Asyarbaji.
Pertama, shalat id didahului
niat yang jika dilafalkan akan berbunyi “ushallî rak‘ataini sunnata li ‘îdil
fithri” kalau dilaksanakan sendirian. Ditambah “imâman” kalau menjadi imam, dan
“makmûman” kalau menjadi makmum.
أُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ سُنَّةً لعِيْدِ اْلفِطْرِ)مَأْمُوْمًا\إِمَامًا(
لِلهِ تَعَــــالَى
Artinya:
“Aku berniat shalat sunnah Idul Adha dua
rakaat (menjadi makmum/imam) karena Allah ta’ala.”
Hukum pelafalan niat ini
sunnah. Yang wajib adalah ada maksud secara sadar dan sengaja dalam batin bahwa
seseorang akan menunaikan shalat sunnah Idul Fitri.Sebelumnya shalat dimulai
tanpa adzan dan iqamah (karena tidak disunnahkan), melainkan cukup dengan
menyeru "ash-shalâtu jâmi‘ah".
Kedua, takbiratul ihram
sebagaimana shalat biasa. Setelah membaca doa iftitah, disunnahkan takbir lagi
hingga tujuh kali untuk rakaat pertama. Di antara takbir-takbir itu dianjurkan
membaca:
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ
اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
Artinya:
“Allah Maha Besar dengan segala
kebesaran, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, Maha Suci Allah,
baik waktu pagi dan petang.”
Atau boleh juga membaca:
سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
وَاللهُ أَكْبَرُ
Artinya:
“Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah,
tiada tuhan selain Allah, Allah maha besar.”
Ketiga, membaca Surat
al-Fatihah. Setelah melaksanakan rukun ini, dianjurkan membaca Surat
al-Ghâsyiyah. Berlanjut ke ruku’, sujud, duduk di antara dua sujud, dan
seterusnya hingga berdiri lagi seperti shalat biasa.
Keempat, dalam posisi berdiri
kembali pada rakaat kedua, takbir lagi sebanyak lima kali seraya mengangkat
tangan dan melafalkan “allâhu akbar” seperti sebelumnya. Di antara
takbir-takbir itu, lafalkan kembali bacaan sebagaimana dijelaskan pada poin
kedua. Berlanjut ke ruku’, sujud, dan seterusnya hingga salam.
Sekali lagi, hukum takbir
tambahan ini sunnah sehingga apabila terjadi kelupaan mengerjakannya, disampai
menggugurkan keabsahan shalat id.
Kelima, setelah salam, jamaah
tak disarankan buru-buru pulang, melainkan mendengarkan khutbah Idul Fitri
terlebih dahulu hingga rampung. Kecuali bila shalat id ditunaikan tidak secara
berjamaah.Hadits Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah mengungkapkan:
السنة أن يخطب الإمام في العيدين خطبتين يفصل بينهما بجلوس
“Sunnah seorang Imam berkhutbah dua kali pada
shalat hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), dan memisahkan kedua khutbah
dengan duduk.” (HR Asy-Syafi’i)
Pada khutbah pertama khatib
disunnahkan memulainya dengan takbir hingga sembilan kali, sedangkan pada
khutbah kedua membukanya dengan takbir tujuh kali. Wallâhu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar