HAK ASASI MANUSIA
PENDAHULUAN
Semua
manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak. Mereka dikaruniai
akal dan budi nurani dan harus bertindak tehadap sesame manusia dalam semangat
persaudaraan.[1]
Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat dalam diri manusia sejak ia
dilahirkan. Bahkan dalam perkembangannya, hak ini dianggap sudah ada sejak
manusia masih berada di dalam kandungan.[2]
Penegakan
hak asasi manusia merupakan mata rantai yang tak terputus dari prinsip
demokrasi, kedaulatan rakyat dan negara hukum. Tanpa ada perlimdungan dan
penghargaan terhadap hak asasi manusia mushtahil pelaksanaan pemerintahan yang
demokrasi dan berkedaulatan rakyat dapat terwujud.[3]
Bahkan setelah demokrasi, penegakan hak asasi manusia merupakan elemen
terpenting untuk perwujudkan sebuah Negara yang berkeadaban (civilized
nation). Demokrasi dan hak asasi manusia ibarat dua mata uang yang saling
menopang dengan yang lainnya. Jika dua unsur ini berjalan dengan baik, maka
pada akhirnya akan malahirkan sebuah tatanan masyarakat madani yang demokratis,
egaliter dan kritis terhadap pelanggaran hak asasi manusia.[4]
Dengan
demikian, hak asasi manusia menjadi penting artinya dalam kehidupan
ketatanegaraan satu Negara, karena merupakan sarana etis dan hukum untuk
melindungi individu, kelompok dan golongan lemah terhadap kekuatan-kekuatan
raksasa dalam masyarakat modern. Atau dengan kata lain, hak asasi manusia
menjadi penting, bukan karena diatur ataupun diberikan oleh suatu Negara,
melainkan karena kesadaran menusia yang memiliki harkat dan martabat sebagai
mahluk yang berbudi dan ciptaan Tuhan.
Berdasarkan
pendahuluan tersebut dalam makalah
ini kami akan berusaha untuk menguraikan dan menjelaskan segala
sesuatu yang terkait dengan Hak Asasi
Manusia.
PEMBAHASAN
- Pengertian Hak Asasi Manusia
Sebagaimana yang telah diterbitkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang
melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai
manusia. Hak hidup misalnya, klaim untuk memperoleh dan melakukan segala
sesuatu yang dapat membuat seseorang tetap hidup.[5]
Sedangkan pengertian yang tercantum
dalam pasal 1 UU No. 39 tahun 1999 dijelaskan bahwa “ hak asasi manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.[6]
Dengan demikian hak-hak asasi manusia
banyak sekali, karena itu merupakan sesuatu yang melekat pada martabat manusia
sebagai insan Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia dapat dibagi atau
dibedakan sebagai berikut:
1. Hak asasi atas pribadi “personal
rights” yang meliputi kebebasan memeluk agama, kebebasan menyatakan
pendapat dan sebagainya.
2. Hak asasi ekonomi “property
rights”, yaitu hak untuk memiliki sesuatu, membeli dan menjual serta
memanfaatkannya.
3. Hal asasi manusia untuk
mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan atau biasa disebut
“rights of legal equality”.
4. Hak asasi politik “political
rights”, yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (memilih
atau dipilih), hak mendirikan partai dan sebagainya.
5. Hak asasi sosial dan
kebudayaan “social and culture rights”, misalnya hak untuk memilih
pendidikan, mengembangkan kebudayaan dan sebagainya.
6. Hak asasi untuk mendapatkan
perakuan tata cara peradilan dan perlindungan atau “procedure rights”,
misalnya peraturan dalam penangkapan, penggeledahan, peradilan, dan sebagainya.[7]
- Sejarah Hak Asasi Manusia
Menurut sejarah asal mula hak asasi
manusia ialah dari Eropa Barat, yaitu Inggris. Tonggak pertama kemenangan hak
asasi manusia ialah pada tahun 1215 dengan lahirnya Magna Charta.[8]
Magna Charta adalah suatu dokumen yang mencatat hak yang diberikan oleh Raja
John Lackland dari Inggris kepada bangsawan di bawahnya atas tuntukan mereka.[9]
Di dalam Magna Charta itu tercantum
kemenangan para bangsawan atas raja Inggris. Di dalamnya dijelaskan bahwa raja
tidak lagi bertindak sewenang-wenang. Dalam hal-hal tertentu, raja di dalam
tindakannya harus mendapatkan persetujuan para bangsawan. Sejak lahirnya Magna
Charta, raja yang melanggar aturan kekuasaan harus diadili dan
mempertanggungjawabkan kebijakannya di hadapan bangsawan. Sekalipun hal itu
terbatas dalam hal tertentu, tetapi Magna Charta ini telah menyulut ide tentang
keterikatan penguasa kepada hukum dan pertanggungjawaban kekuasaan mereka kepada
rakyat.[10]
Kemudian berkembang dengan adanya bill
of Rights (UU Hak 1689) di Inggris, yaitu seatu Undang-Undang yang diterima
oleh Parlemen Inggris sesudah berhasil dalam tahun sebelumnya mengadakan
perlawanan terhadap Raja James II dalam suatu revolusi gemilang.[11]
Perkembangan berikutnya ialah adanya
Revolusi amerika 1776 (The American Declaration of Independence) dan
Revolusi Prancis 1789 (The French Declaration). Dua revolusi ini dalam
abad XVIII ini besar sekali pengaruhnya pada perkembangan hak asasi manusia
tersebut. Revolusi Amerika manuntut adanya hak bagi setiap orang untuk hidup
merdeka, dalam hal ini hidup bebas dari kekuasaan Inggris. Revolusi Prancis
bertujuan untuk membebaskan manusia warga negara Prancis dari kekangan
kekuasaan mutlak dari seorang raja penguasa tunggal negara (absolute
monarchi).[12]
Dan kemudian lahir Deklarasi Universal
HAM (DUHAM) yang dikukuhkan oleh Commision of Human Rights (PBB) dalam Universal
Declaration of Human Rights (UDHR) pada tanggal 10 Desember 1948.[13]
Menurut DUHAM terdapat 5 jenis hak asasi dimiliki oleh setiap individu: hak
personal, hak legal, hak sipil dan polotik, hak subsistensi dan hak ekonomi,
sosial dan budaya.[14]
Menurut pasal 3-21 DUHAM, hak personal,
hak legal, hak sipil dan poltik meliputi;
1. Hak untuk hidup,kebebasan dan keaman pribadi;
2. Hak bebas dari perbudakan
dan penghambaan;
3. Hak bebas dari penyiksaan
atau perlakuaan maupun hukuman yang kejam, tak berprikemanusiaan ataupun
merendahkan derajat kemanusiaan;
4. Hak untuk memperoleh
pengakuan hukum dimana saja secara pribadi;
5. Hak untuk pengampua hukum
secara efektif;
6. Hak bebas dari penangkapan,
penahanan, atau pembuangan yang sewenang-wenang;
7. Hak untuk peradilan yang
independen dan tidak memihak;
8. Hak untuk praduga tak
bersalah sampai terbukti bersalah
9. Hak bebas dari campur
tangan yang sewenang-wenang terhadap
kekuasaan pibadi, keluarga dan tempat tinggal maupun surat-surat;
10. Ha bebas dari serangan terhadap kehormatan dan nama baik;
11. Hak atas perlindungan hukum
terhadap serangan itu;
12. Hak bergerak;
13. Hak memperoleh suaka;
14. Hak atas satu kebangsaan;
15. Hak untuk menikah dan
membentuk keluarga;
16. Hak untuk mempunyai hak
milik;
17. Hak bebas berpikir,
berkesadaraan dan beragama;
18. Hak bebas berpikir dan
menyatakan pendapat;
19. Hak untuk berhimpun dan
berserikat;
20. Hak untuk mengambil bagian
dalam pemerintahan dan hak atas akses yang sama terhadap pelayanan masyarakat.
Adapun hak ekonomi, sosial, budaya
meliputi;
1. Hak atas jaminan sosial;
2. Hak untuk bekerja ;
3. Hak atas upah yang sama
untuk pekerjaan yang sama;
4. Hak untuk bergabung ke
dalam serikat-serikat buruh;
5. Hak atas istirahat dan
waktu senggang;
6. Hak atas standar hidup yang
pantas dibidang kesehatan dan kesejahteraan;
7. Hak atas pendidikan;
8. Hak untuk berpartisipasi
dalam kehidupan yang berkebudayaan dari masyarakat.
Hingga akhirnya sampai sekarang hak asasi
manusia masih tetap dijunjung tinggi, dihormati dan dilindungi oleh seluruh
dunia. Termasuk Indonesia yang mengalami perkembangan konsep hak asasi manusia untuk
memelihara dan melindungi hak asasi manusia.
Secara operasional, beberapa bentuk HAM
yang terdapat dalam UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM sebagai berikut;
1. Hak untuk hidup
2. Hak berkeluarga dan
melanjutkan keturunan
3. Hak mengembangkan diri
4. Hak memperoleh keadilan
5. Hak atas kebebasan pribadi
6. Hak atas rasa aman
7. Hak atas kesejahteraan
8. Hak turut serta dalam
pemerintahan
9. Hak wanita
10. Hak anak.
- Hak dan Kewajiban
Secara teoritis, keseimbangan antara
hak dan kewajiban dapat dirujuk pada pandangan A. Gewirt maupun Joel Feinberg.
Menurut mereka, hak adalah klaim yang absah atau keuntungan yang didapat dari
pelaksanaan sebuah kewajiban. Hak diperoleh bila kewajiban terkait telah
dilaksanakan. Karenanya, hak tidak bersifat absolut, tetapi selalu timbal balik
dengan kewajiban. Hak untuk hidup misalnya, akan dilanggar bila seseorang tidak
melaksanakan kewajiban untuk tidak membunuh orang lain.[15]
Dengan begitu, hak tidak bisa
dipisahkan dengan kewajiban. Seseorang berhak untuk melakukan apapun kehendak
dan cita-citanya, namun ia dibatasi oleh kewajiban untuk tidak melanggar hak
orang lain untuk memperoleh ketenangan dan rasa aman. Dengan kata lain,
kebebasan seseorang dibatasi oleh orang lain untuk mendapatkan kebebasan yang
sama. Dan keterbatasan inilah yang tercerminkan dalam keseimbangan antara hak
dan kewajiban.
Pola hubungan antara negara dan warga
negara, hak dan kewajiban tercemin pada kontrak sosial antara warga dan negara.
Seperti pajak, warga memiliki kewajiban untuk membayar pajak kepada negara
dalam rangka untuk mendapatkan hak perlindungan hukum dan keamanan dari negara.
Sebaliknya negara pun, karena berhak mendapat pajak dari warga, maka
berkewajiban untuk menjaga dan melindungi hak warga untuk mendapatkan
kenyamanan dan ketertiban. Sayangnya, sikap mendahulukan hak masih sangat
sangat dominan baik di kalangan aparatur negara maupun warga negara Indonesia.
Padahal, untuk menjamin tegaknya demokrasi dan HAM bersikap seimbang antara hak
dan kewajiban harus terus menerus dibiasakan.
- Hak Asasi Manusia: Antara
Universalitas dan Relativitas
Setiap negara sepakat dengan prinsip
universal hak asasi manusia, tetapi memiliki perbedaan pandangan dan cara
pelaksanaan hak asasi manusia, yang hal ini sering diistilahkan dengan wacana
universalitas dan lokalitas atau partikularitas HAM. Perbedaan antara
universalitas dan partikularitas HAM tercantum dalam dua teori yang saling
berlawanan yaitu teori relativitas cultural dan teori universalitas HAM.
Teori relativitas kultur berpandangan
bahwa nilai-nilai moral dan budaya bersifat universal, semua tergantung pada
kondisi sosial kemasyarakatan yang ada. Hak-hak dasar bisa diabaikan atau
disesuaikan dengan praktik-praktik sosial, oleh karena itu, ketika berbenturan
dengan nilai-nilai lokal maka HAM harus dikontekstualisasikan, karena mereka
cenderung melihat universalitas HAM sebagai imperialisasi kebudayaan barat dan
ini dipandang sebagai produk politis barat yang tidak bisa diterapkan secara
universal. Sehingga nilai-nilai moral bersifat local spesifik dan hanya berlaku
khusus pada suatu negara, tidak pada negara yang lain.
Sedangkan teori universalitas berpandangan
bahwa semua nilai termasuk nilai-nilai HAM adalah bersifat universal dan tidak
bisa dimodifikasikan untuk menyesuaikan adanya perbedaan budaya dan sejarah
suatu negara. Dan mereka menganggap bahwa hanya ada satu paket pemahaman
mengenai HAM, bahwa nilai-nilai HAM berlaku sama di manapun dan kapanpun serta
dapat diterepkan pada masyarakat yang mempunyai berlatar belakang budaya dan
sejarah yang berbeda. Dengan demikian, menurut teori ini pamahaman dan
pengakuan terhadap nila-nilai HAM berlaku secara universal.
- Pelanggaran dan Pengadilan HAM
Menurut Undang-Undang No. 26 tahun 2006
menjelaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan
seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun
tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengungari, menghalangi,
membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang
yang dijamin oleh undang-undang, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak
akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku.
Pelanggaran HAM dikelompokkan pada dua bentuk yaitu:
pelanggaran HAM yang berat dan pelanggaran HAM yang ringan. Pelanggaran HAM
berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan, sedangkan
pelanggaran HAM ringan adalah selain dari kedua bentuk pelanggara HAM berat
itu.
Kejahata genosida adalah setiap
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnakan
seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis dan kelompok agama.
Sedangkan kejahatan kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang diketahuinya
bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil
seperti dengan membunuh, memperkosa, menganiaya, dan sebagainya.
Pelanggara terhadap hak asasi manusia dapat dilakukan baik aparatur
negara maupun bukan aparatur negara. Untuk menjaga pelaksanaan hak asasi
manusia, penindakan terhadap pelanggaran HAM dilakukan melalui proses peradilan
HAM malaui tahap-tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Salah satu
upaya untuk memenuhi rasa keadilan, maka pengadilan atas pelanggaran HAM
kategori berat diberberlaku azas retroaktif dalam rangka melindungi hak asasi
manusia, sebagaimana tercantum dalam pasal 28 J ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945
yang menjelaskan tentang kewajiban untuk tunduk kepada pembatasanyang
ditetapkan oleh undang-undang.[16]
Pengadilan HAM merupakan pengadilan
khusus yang berada di lingkungan Pengadilan Umum. Pengadilan HAM berkedudukan di daerah tingkat I (propinsi)
dan daerah tingkat II (kabupaten/kota) yang daerah hukumnya meliputi daerah
hokum Pengadilan Umum yang bersangkutan. Pengadilan HAM berwenang memeriksa dan
memutuskan perkara pelanggaran hak asasi manusia oleh warga negara Indonesia
yang berda dan dilakukan di luar batas territorial wilayah negara Republik
Indonesia. Akan tetapi Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutuskan
perkara pelanggaran hak asasi manusia berat yang dilakukan oleh seseorang yang
berumur dibawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan.
- Islam dan HAM
Islam adalah agama universal yang
mengajarkan keadilan bagi semua manusia tanpa pandang bulu.[17]
Sebagai agama kemanusiaan, Islam meletakkan manusia pada posisi yang sangat
mulia. Di dalam al-qur’an, manusia digambarkan sebagai mahkluk yang paling
sempurna. Berdasarkan dari pandangan kitab suci ini, perlindungan dan
penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam islam tidak lain merupakan
tuntunan dari ajaran islam yang wajib dilaksanakan oleh semua pemeluknya.[18]
Manurut islam, hak dan kewajiban adalah
dua sisi yang mata uang yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya.[19]
Sebagai contoh, islam melindungi hak seseorang atas kepemilikan harta kekayaan,
sekalipun demikian islam juga memerintahkan untuk mengeluarkan zakat yang salah
tujuannya untuk melindungi hak hidup orang miskin.
Wacana HAM bukanlah suatu hal yang baru
dalam sejarah peradaban Islam. Bahkan para ahli mengatakan bahwa wacana tentang
HAM dalam Islam jauh lebih awal dibandingkan dengan konsep HAM yang muncul di
barat. Konsep HAM dalam islam dapat dijumpai dalam sumber utama ajaran islam
yaitu al-qur’an dan hadits. Sedangkan tonggak sejarah islam sebagai agama yang
memiliki komitmen sangat tinggi kepada hak asasi manusia secara universal
dibuktikan dengan deklarasi Nabi Muhammad di Madinah yang biasa dikenal dengan
nama Piagam Madinah. Dalam Dokumen Piagam Madinah itu berisi antara lain
pengakuan dan penegasan bahwa semua kelompok di kota Nabi itu, baik umat
yahudi, umat nasrani maupun umat Islam sendiri, adalah merupakan satu bangsa.[20]
Dari pengakuan terhadap semua pihak untuk bekerja sama sebagai satu bangsa,
didalam piagam itu terdapat pengakuan mengenai HAM bagi masing-masing pihak
yang bersepakat dalam piagam itu. Sedangkan secara internasional umat Islam
yang terlembagakan dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus 1990
mengeluarkan deklarasi tentang HAM dari perspektif Islam. Deklarasi yang juga
dikenal sebagai “Deklarasi Kairo” mengandung prinsip dan ketentuan tentang HAM
berdasarkan syari’ah.
Ketentuan-ketentuan HAM dalam Deklarasi
Kairo adala sebagai berikut;[21]
1. Hak persamaan dan kebebasan
yang bersandar pada ajaran Al-Qur’an
surat al-isra: 70; an-nisa: 58, 105, 107 135; al-mumtahanah: 8.
2. Hak hidup surat al-maidah:
45 al-isra: 33.
3. Hak perlindungan diri surat
al-balad: 12-17; at-taubah: 6.
4. Hak kehormatan pribadi
surat at-taubah: 6.
5. Hak berkeluarga surat
al-baqarah: 221; al-rum: 21; an-nisa: 1; at tahrim: 6.
6. Hak kesetaraan wanita
dengan pria surat al-baqarah: 228; al-hujrat: 13.
7. Hak anak dari orang tua
surat al-baqarah: 233, al-isra: 23-24.
8. Hak mendapatkan pendidikan
surat at-taubah: 122; al-lalq: 1-5.
9. Hak kebebasan beragama
surat al-kafirun: 1-6; al-baqarah: 156; al-kahfi 29.
10. Hak kebebasan mencari suaka
surat an-nisaa: 97; al-mumtahanah: 9.
11. Hak memperoleh pekerjaan
surat at-taubah: 105; al-baqarah: 286, al-mulk 15.
12. Hak memperoleh perlakuan
sama surat al-baqarah 275-278, an-nisa: 161, ali imran: 130.
13. Hak kepemilikan surat
al-baqarah 29, an-nisa 29.
14. Hak tahanan surat al-mumtahanah: 8.
Memang, terdapat prinsip-prinsip HAM
yang universal; sama dengan adanya perspektif Islam universal tentang HAM (huqul
al-insan), yang dalam banyak hal kompatibel dengan Deklarasi Universal HAM
(DUHAM). Tetapi juga harus diakui, terdapat upaya-upaya di kalangan sarjana
Muslim dan negara Islam di Timur Tengah untuk lebih mengkontekstualisasikan
DUHAM dengan interpretasi tertentu dalam Islam dan bahkan dengan lingkungan
sosial dan budaya masyarakat-masyarakat Muslim tertentu pula.
Islam sebagai agama universal membuka
wacana signifikan bagi HAM. tema-tema HAM dalam Islam, sesungguhnya merupakan
tema yang senantiasa muncul, terutama jika dikaitkan dengan sejarah panjang
penegakan agama Islam. Menurut Syekh Syaukat Hussain yang diambil dari bukunya
Anas Urbaningrum, HAM dikategotrikan dalam dua klasifikasi. Pertama, HAM yang
didasarkan oleh Islam bagi seseorang sebagai manusia. Dan kedua, HAM yang
diserahkan kepada seseorang atau kelompok tertentu yang berbeda. Contohnya
seperti hak-hak khusus bagi non-muslim, kaum wanita, buruh, anak-anak dan
sebagainya, merupakan kategori yang kedua ini.[22]
Wacana kesetaraan gender, Islam
memandang bahwa sebagai manusia perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama
seperti laki-laki. Tetapi, prinsip tersebut seakan sirna karena perlakuan tidak
adil terhadap perempuan yang mendapatkan
legitimasi dari penafsiran teks-teks keagamaan, dimana perempuan selalu
ditempatkan di bawah laki-laki.
Subordinasi perempuan terhadap
laki-laki bermula dari persepsi bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk
laki-laki, sebagaimana diterangkan dalam alqur’an yang berbunyi “ …rabbakum
alladzi khalaqakum min nafsin wahidaat wa khalaqa minhaa zaujahaa…”
(…Tuhanmu yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan menciptakan darinya
pasangannya…). Kata “nafs” sering di tafsirkan sebagai Adam, sedangkan
kata “zawj” (pasangan) diartikan sebagai Hawa, kemudian disimpulkan
bahwa Hawa diciptakan dari Adam. Hal tersebut dibantah oleh banyak ahli tafsir.
Di antaranya Muhammad Abduh dan Al-Thabataba’I, menurut mereka , kata “nafs”
berarti “jenis” bukan (diri) Adam. Artinya, Adanm dan Hawa sebenarnya
diciptakan dari jenis yang sama.[23]
Kemudian tentang anggapan bahwa
laki-laki lebih pantas menjadi pemimpin daripada perempuan, dengan landasan “al-rijaalu
qawwaamuuna ‘ala al-nisa’ (laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan.
Umumnya ayat ini dipahami secara
parsial dari penggalan sebuah ayat yang panjang. Jika diamati secara seksama,
terusan ayat itu menyebutkan dua alas an mengapa laki-laki dianggap pemegang
kepemimpinan. Pertama, “karena Allah melebihi sebagian mereka (laki-laki) ata
yang lain”. Kedua, “karena laki-laki memberi nafkah dari sebagian hartanya”.
Alasan pertama menunjukkan bahwa tidak semua laki-laki mempunyai kelebihan atas
perempuan, dan alasan kedua menyatakan bahwa superioritas laki-laki adalah
akibat dari nafkah yang dimiliki atau diberikan untuk menghidupi istri. Oleh
karena itu, status “qawwaamuuna” pada laki-laki menurut Fazlur Rahman
bersifat relative, fungsional dan, seperti yang dinyatakan Ali Asghar Enginer
nersifat kontestual. Sehingga status tersebut bisa hilang bila laki-laki tidak
memiliki kelebihan atau tidak mampu menghidupi istri dan keluarganya. Dengan
kata lain, status ini bisa diperoleh perempuan bila merelka memiliki kemampuan
seperti kaum laki-laki.[24]
Dari contoh penafsiran atas ayat
perempuan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa pemahaman yang cenderung
merendahkan perempuan merupakan produk yang mendapat legitimasi dari penafsiran
teks-teks al-qur’an, bukan dari teks itu sendiri. Karena pada faktanya, dalam
al-qur’an banyak teks yang menjamin persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Misalnya, redaksi al-qur’an yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan
memperoleh imbalan yang sesuai dengan
perbuatanya masing-masing. Dengan demikian, Islam tidak lain adalah agama HAM.
PENUTUP
Demikianlah pembahasan tentang Hak Asasi Manusia yang bisa kami jelaskan. Mudah-mudahan bisa menambah
wawasan dan bahan pertimbangan untuk kita semua dalam melangkah ke depan. Dan semoga
bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya. Kami juga sangat menyadari
bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak sekali kekurangan dan kesalahan
dari berbagai segi. Oleh karena itu, kami akan selalu membuka kritik dan saran
yang bersifat konstruktif untuk kesempurnaan makalah ini. Atas perhatiannya,
kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Handoyo, B. Hestu Cipto, Hukum
Tata Negara Indonesia, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya. 2009.
Ubaedillah, A., dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan
Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2007.
Kansil, C.S.T. dan
Christine S.T, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta: PT Rineka
Cipta. 2008.
Thaha, Idris, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik
Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais, Jakarta: Penerbit Teraju, 2004.
Urbaningrum, Anas, Islam-Demokrasi Pemikiran Nurcholish
Madjid, Jakarta: Penerbit Republika, 2004.
[1] Di
dalam pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
[2] B.
Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia, (Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya. 2009), hal. 385.
[3] Ibid.
hal. 383
[4] A. Ubaedillah dkk, Demokrasi, Hak Asasi
Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. 2007), hal. 251
[5] Ibid,
hal. 252.
[6] Ibid
[7]
C.S.T. Kansil dan Christine S.T, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, (
Jakarta: PT Rineka Cipta. 2008), hal. 224.
[8] Ibid,
hal. 223.
[9] B.
Hestu Cipto Handoyo. op. cit. hal. 387.
[10] A.
Ubaedillah dkk, op. cit. hal. 253.
[11] B.
Hestu Cipto Handoyo. op. cit. hal. 388.
[12] C.S.T.
Kansil dan Christine S.T, op. cit. hal. 224.
[13] A.
Ubaedillah dkk, op. cit. hal. 255.
[14] Ibid.
[15] Ibid,
hal. 271.
[16] Ibid,
hal. 275-276.
[17] A.
Ubaedillah dkk, op. cit. hal. 286.
[18] Ibid,
hal. 287.
[19] Ibid,
hal. 288.
[20] Idris
Thaha , Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien
Rais, (Jakarta: Penerbit Teraju, 2004), hal.
102.
[21] A.
Ubaedillah dkk, op. cit. hal. 290.
[22] Anas
Urbaningrum,, Islam-Demokrasi Pemikiran Nurcholish Madjid, (Jakarta:
Penerbit Republika, 2004), hal. 92.
[23]A.
Ubaedillah dkk, op. cit. hal. 290.
[24] Ibid,
hal. 291.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar