PRO-KONTRA HUKUM RUKYAT
DENGAN TEKNOLOGI
DALAM
PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber utama hukum
yang menjadi pegangan
bagi umat islam. Dalam al-Qur’an disebutkan yakni “Dia-lah yang menjadikan
matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah
(tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu
melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada
orang-orang yang Mengetahui (Q.S. Yunus, ayat: 5). Berdasarkan ayat
tersebut, maka
terbentuklah paradigma berpikir bahwa penentuan
bilangan bulan dan tahun, yang akhirnya harus mengetahui awal bulan Qamariah.
Penentuan awal bulan Qamariyah
menjadi sangat signifikan untuk bulan-bulan yang berkaitan dengan ibadah dalam
agama Islam, seperti bulan Ramadlan, Syawal, dan
Dzulhijjah. inilah yang menyebabkan pertentangan mudah terjadi dalam
penentua awal bulan Qamariyah yang selama ini terjadi. Dalam
penentuan tersebut kita harus mengenal apa yang dinamakan dengan ijtima'[1],
hisab, rukyah dan mathla'.
Dalam as-Sunnah disebutkan
yakni “Berpuasalah kamu karena melihat hilal, dan berbukalah kamu karena
melihat hila, jika tertutup oleh mendung maka sempurnakanlah bilangan bulan
Sya’ban 30 hari (HR. Bukhari). Dengan dasar tersebut, maka muncullah
paradigma bahwa penentuan awal bulan harus dengan melihat hilal (bulan
baru).
BAB II
PERMASALAHAN
Dalam
menentukan kapan awal bulan itu terjadi, tidak semudah yang di bayangkan dan
tidak semudah menentukan awal bulan Masehi (kalender nasional) yang acuannya
memakai matahari. Berbeda dengan penanggalan awal bulan Hijriyah yang berpacu
kepada bulan. Atas dasar inilah mengapa dalam menentukan masuknya awal bulan Qamariyah
harus melihat hilal. Namun, ada permasalahan dalam sistem rukyat, apakah
dengan mata telanjang atau boleh dengan bantuan teknologi? Ini harus dikaji
dengan melihat apakah sebenarnya makna rukyah itu? Problem ini merupakan persoalan
yang klasik yang senantiasa aktual[2].
Bagaimana sebenarnya hukum rukyah dengan teknologi yang tidak terdapat di zaman
Rasululah, jangankan untuk alat cangih, pantulan air dan kaca pun tidak boleh?
Karena menurut sebagian dari mereka berpendapat bahwa melihat hilal
harus dengan mata telanjang dan tidak boleh terhalang oleh apapun. Dalam
hipotesis kali ini kami akan mengangkat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
A. Tujuan
1. Dapat
mengetahui hukum rukyah dengan alat canggih dalam islam.
2. Agar
dengan mudah dapat melihat hilal dengan cara dan hukum yang benar.
3. Mempersatukan
umat islam khususnya di Indonesia dalam penetapan awal bulan Qamariah.
B. Manfaat
1. Menjunjung
tinggi ajaran islam di era globalisasi.
2. Terbangunnya
suatu paradigma yang sama dalam melihat masalah dan solusi serta tantangannya.
3.
Umat islam dapat megequalisasikan
antara Iptek dengan Imtak/Ilmu agama.
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam
penentuan Awal bulan Qamariah, sebenarnya bisa dilakukan dengan Ru’yah
bil-ilmi dan Ru’yah bil-fi’li, yang biasa diistilahkan dengan metode
Hisab dan Rukyah. Kedua metode ini timbul karena perbedaan dalam interpretasi
kata “ru’yah” pada hadits-hadits tentang penentuan awal bulan Qamariyah.
A. Definisi
Rukyah
Rukyah
ditinjau dari segi epistimologi terkelompokkan menjadi tiga pendapat, yaitu :
1.
Kata ra’a yang
masdarnya ru’yatun bermakna abshara, artinya melihat dengan mata
kepala.
2.
Kata ra’a yang
masdarnya ra’yun bermakna ‘alama atau adraka, artinya
mengerti, memahami.
3. Kata ra’a
yang masdarnya ra’yun juga ada yang bermakna dzanna atau hasiba,
artinya mengira, menduga.[3]
Adapun kata Rukyah jika di
lihat dari segi terminologis mempunyai arti melihat terbitnya bulan baru dengan
cara apapun[4].
Namun, menurut Ahmad Ghazali Masroeri dalam tulisannya Rukyatul Hilal,
Pengertian dan Aplikasinya[5],
kata Rukyah hanya dapat di artikan melihat dengan mata kepala dan tidak dapat
di artikan dengan yang lain.
Dalam naskah lain, kelompok
rukyah berpendapat yang dimaksud dengan kata “ru’yah” adalah melihat
hilal secara fisik (ru’yah bil fi’li). Pendapat ini didasarkan kepada
alasan bahwa Rasulullah dan para sahabat selalu melihat hilal untuk
menentukan awal dan akhir Ramadlan. Sedangkan Pendapat kedua, yaitu kelompok
hisab menafsirkan "ru’yah" dengan ru’yah bil ‘ilmi
(melihat dengan ilmu). Pendapat kelompok ini didasarkan atas alasan Pertama,
ayat Alquran surat Yunus (10:5), Kedua, melihat hilal yang
dilakukan oleh Rasulullah dan sahabat hanyalah merupakan cara yang dilakukan
karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, umat Islam bisa
menggunakan cara lain yang diisyaratkan oleh al-Qur’an yakni Hisab.[6]
B. Rukyah dengan
Teknologi Perspektif Tokoh-Tokoh
Sistem ru’yatul hilal
dijadikan pedoman dan pengamalan para tabi’in, tabi’it tabi’in, madzhab 4
(Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) dan telah menjadi dasar hukum itsbat
para Khalifah, Sulthan dan Ulil Amri[7].
Dalam hal penggunaan alat
bantu untuk melakukan rukyah, para ulama terbagi menjadi dua pendapat. Pada
permasalahan ini, Imam Ibnu Hajar tidak memperbolehkan merukyah dengan alat
teknologi, atau merukyah dengan menggunakan pantulan air atau permukaan kaca[8].
Di sisi lain, ulama yang
membolehkan merukyah dengan alat teknologi yaitu, al-Syarwani, beliau
menjalaskan bahwa penggunaan alat yang mendekatkan atau membesarkan seperti
teleskop,air, ballur (benda yang berwarna putih seperti kaca) masih
dapat dianggap sebagai rukyah. Al-Mu’thi menegaskan bahwa penggunaan optik
sebagai penolong karena yang melakukan penilaian terhadap hilal adalah
mata perukyah sendiri.[9]
Al-’Aini di dalam kitab Umdatul
Qari juga sejalan dengan al-Asqallani, bahwa menggantungkan puasa dengan
rukyah sekedar “menghilangkan kesempitan”, tanpa bantuan dengan hisab (ketika
itu). Pendapat serupa juga dikemukakan al-Qasthalani dalam kitab Irsyadus-Sari
syarah sahih al-Bukhari (juz 3: 359). Demikian pula keterangan dari As-Sindi
dalam Hasyiyahnya terhadap Sunan an-Nasa’i (syarah as-Suyuti 4: 140). Jadi,
menurut mereka melihat hilal dengan alat itu boleh untuk memudahkan[10].
Tono Saksono mengatakan yakni
telah dibuktikan secara statistik bahwa dengan kata ra’a ini
sesungguhnya Allah SWT ternyata lebih menghendaki agar kita lebih melakukan
rukyah yang dapat memudahkan manusia sebabaimana firman Allah dalam surat
Al-Baqarah : 185[11].
BAB IV
KESIMPULAN
Dalam menentukan hilal (
bulan baru) di zaman ini, harus disertai dengan banyak pertimbangan. Mengapa
pada zaman Rasulullah melihat hilal hanya dengan mata telanjang?.
Kajian hukum ini seharusnya melihat secara flash back historitasnya.
Pada zaman Rasulullah SAW, melihat
hilal hanya dengan menggunakan mata telanjang karena belum ada debu yang
bergumpal, asap yang berkumpul seperti sekarang ini, yang dapat mempengaruhi
terlihatnya hilal. Belum lagi terhalang oleh gedung-gedung yang tinggi
seperti sekarang. Karena adanya gedung tersebut, refraksi cahaya makin
mempengaruhi terlihatnya hilal. Maka dari itu, demi kemaslahatan umat
juga agar terlihatnya hilal dengan sempurna, maka menurut kaca mata penulis,
rukyah dengan teknologi itu boleh di lakukan atau mubah hukumnya dalam islam
dengan pertimbangan-pertimbangan di atas.
Allah juga menghendaki kita
agar memakai akal dan lebih memilih kemudahan dari pada kesukaran seperti yang
tertuang dalam surat al-Baqarah: 185,“ Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur”. Dan juga tidak ada firman Allah swt
dan hadits Rasulullah yang mengharamkan kita merukyah dengan memakai alat
(teknologi), jadi menurut penulis boleh-boleh saja merukyah dengan memakai teknologi
dan dapat dianggap sebagai rukyat, karena sebenarnya yang melakukan penilaian terhadap
hilal adalah mata perukyah sendiri. Wallahu a’alam.
[1] Ijtima'
yang artinya "kumpul", atau Iqtiran artinya" bersama",
yaitu posisi matahari dan bulan berada pada satu bujur astronomi. Dalam
astronomi dikenal dengan istilah conjunction. Lihat Muhyiddin Khazin,
Kamus Ilmu Falak, Jogjakarta: Buana Pustaka, 2005, hal. 32.
[2] Ibrahim Husein, “Tinjauan
HukumIslam terhadap Penetapan Awal Bulan Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah”,
dalam Mimbar Hukum, Aktualisasi Hukum Islam, No. 6, th. III, 1992,
hal.1-3.
[3] Ahmad Ghazali Masroeri, Rukyatul
Hilal, Pengertian dan Aplikasinya, disampaikan dalam Musyawarah Kerja dan
Evaluasi Hisab Rukyah Tahun 2008 yang diselenggarakan oleh badan Hisab Rukyah
Depag RI di Ciawi Bogor 27-29 Februari 2008.
[5] Ahmad Ghazali Masroeri, Rukyatul
Hilal, Pengertian dan Aplikasinya, 2000.
[9] Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab
Rukyat, 2007, Jakarta : Penerbit Erlangga.
bagus,,cerdas.
BalasHapusmantapp, semoga bermanfaat dan menambah wawasan
Hapus