PENDAHULUAN
Ijarah (sewa
menyewa) merupakan mekanisme syariat dalam mengelola lahan yang dimiliki oleh
negara atau milik pribadi untuk disewakan
(dikontrakkan). Perjanjian dalam kontrak
menyewa lahan ini harus ditentukan jangka waktunya dan ditentukan secara
spesifik keperluannya.
Dalam masa kontrak lahan tersebut si
pemilik kontrak tetap memiliki asset yang mereka (dia) bangun selama kontrak.
Maka apabila kontrak berakhir, pengontrak tetap diperkenankan memiliki pohon
yang telah ditanamnya atau bangunan yang dikembangkannya. Kecuali ada
perjanjian sebelumnya dimana pengontrak dapat memindahtangankan bangunan dan
pohon yang mereka tanam, si pemilik tanah dapat membongkar bangunan atau
mencabut pohon yang ditanam di lahan tersebut di akhir periode kontrak jika
pemilik tanah menghendaki, atau si pemilik tanah dapat membayar bangunan dan
pohon yang ditanam tersebut.
Inilah salah satu contoh pelaksanaan
akad Ijarah yang terkadang kita lihat di lingkungan sekitar kita.
Rumusan Masalah
Sebagaimana yang telah
disinggung sedikit tentang mekanisme Ijarah (sewa-menyewa) yang sering
dilakukan oleh masyarakat. Untuk mempermudah dalam pemahaman mekanisme akad
Ijarah, kami dalam makalah ini akan membagi-bagi ke beberapa sub-bab dalam
rumusan masalah. Adapun rumusan masalah tersebut bisa dilihat sebagai berikut:
Ø Apa itu ijarah?
Ø Apa dasar hukum ijarah ?
Ø Apa saja syarat dan rukun dalam akad ijarah?
Ø Bagaimana sifat akad
ijarah?
Ø Apa saja jenis akad ijarah?
Ø Kapan berakhirnya ijarah?
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Secara lughawi ijarah berarti
upah, sewa, jasa atau imbalan. Sedangkan secara istilahi ijarah adalah akad
pemindahan hak guna (manfaat) suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu
dengan adanya pembayaran upah (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan atas barang itu sendiri[1].
Maksud dari manfaat tersebut adalah, sebuah benda yang memiliki nilai guna, dan
setelah digunakan barang dari benda tersebut masih utuh. Maka tidak boleh
menyewakan sebuah benda yang setelah digunakan nilai guna dari benda tersebut
habis. Seperti menyewa apel untuk dimakan. Dibawah ini dikmukakan beberapa definisi ijarah menurut
pendapat beberapa ulama fiqih.
pendapat beberapa ulama fiqih.
a). Ulama hanafiah
Artinya akad atas suatu kemanfaatan
dengan pengganti.
b). Ulama Asy-Syafi’iyah
Artinya akad atas suatu kemanfaatan
yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolhan dengan penganti tertentu.
c).
Ulama Malikiah dan Hanabilah
Artinya: Menjadikan milik suatu
kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.
Ada yang menerjemahkan sebagai upah
mengupah. Ijarah
terbagi menjadi dua bagian, yaitu
ijarah atas jasa dan ijarah atas benda. Landasan syara’ Jumhr ulama berpendapat bahwa ijarah
disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, As-sunah, dan Ijma’:
§ Al-qur’an
Artinya “jika mereka menyusukan anak-
anakmu untukmu, maka berikanlah upahnya.”
§
As-sunah
Artinya “berikanlah upah pekerja
sebelum keringatnya kering” (HR. Ibu
Majah dari ibnu Umar)
§
Ijma’
Umat islam pada masa sahabat telah
berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.
Dalam konsep awalnya yang sederhana,
akad ijarah adalah akad sewa sebagaimana yang telah terjadi di masyarakat pada
umumnya. Hal yang harus diperhatikan dalam akad ijarah ini adalah bahwa
pembayaran oleh penyewa merupakan imbal balik dari manfaat yang telah ia
nikmati. Maka yang menjadi obyek dalam akad ijarah adalah manfaat itu sendiri,
bukan bendanya. Benda bukanlah obyek akad ini, meskipun akad ijarah
kadang-kadang menganggap benda sebagai obyek dan sumber manfaat. Dalam akad
ijarah tidak selamanya manfaat diperoleh dari sebuah benda, akan tetapi juga
bisa berasal dari tenaga manusia. Ijarah dalam pengertian ini bisa disamakan
dengan upah-mengupah dalam masyarakat.
Dalam perkembangan selanjutnya, akad
ijarah mengalami perluasan pemahaman. Dimana dalam akad ijarah yang terkait
dengan pemanfaatan sebuah benda, seorang penyewa pada akhirnya tidak saja dapat
mengambil manfaat atas bendanya, namun juga dapat memilikinya. Akad ini dapat
dikenal dengan nama al-ijarah muntahiya bi al-tamlik. Akad ini daat ini
banyak dipraktekkan dalam perbankan syari’ah.[2]
B. Dasar Hukum Ijarah
Beberapa ayat al-Qur’an secara tersurat
memperkenankan akad sewa ini :
÷bÎ)ur öN?ur& br& (#þqãèÅÊ÷tIó¡n@ ö/ä.y»s9÷rr& xsù yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ #sÎ) NçFôJ¯=y !$¨B Läêøs?#uä Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# $oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ×ÅÁt/ ÇËÌÌÈ
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain,
tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang
kamu kerjaan”.
÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& ( (#rãÏJs?ù&ur /ä3uZ÷t/ 7$rã÷èoÿÏ3 ( bÎ)ur ÷Län÷| $yès? ßìÅÊ÷äI|¡sù ÿ¼ã&s! 3t÷zé& ÇÏÈ
“Salah seorang dari kedua wanita itu
berkata : Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada hati), karena
sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya”.
Dari ayat di atas menunjukan adanya
pembolehan al-Qur’an terhadap orang yang diberi upah karena bekerja untuk orang
lain. Ayat pertama menggambarkan bahwa seseorang bisa dipekerjakan untuk
menyusui anak orang lain, dan baginya sah mendapatkan upah atas pekerjaan
menyusui anak orang lain tersebut. Sedangkan ayat kedua adalah merupakan
rentetan cerita tentang Nabi Musa yang sedang
mengembara keluar dari Mesir karena dimusuhi oleh para musuhnya. Singkat cerita,
atas budi baik dan keteguhan Nabi Musa, salah satu dari wanita tersebut
mengusulkan kepada ayah mereka untuk mengangkat Nabi Musa sebagai orang yang
bekerja untuknya.
Ayat-ayat tersebut secara tersurat
merupakan landasan yang jelas bahwa member upah kepada orang lainyang bekerja
untuk dirinya diperkenankan. Dan prakterk seperti ini dalam fiqh muamalah
dikenal dengan istilah Ijarah.
Di samping ayat al-Qur’an di atas,
hadist Rasulullah SAW menegaskan :
قا ل رسول الله صلى الله عليه وسلم
أعطوا الأجير أجره قبل أن يجف عرقه
“berikanlah upah kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum
kering keringat mereka”[3]
احتجم النبي صلى الله عليه وسلم وأعطى الحجام
أجره ولم علم كراهية لم يعطه
“Ibnu Abbas berkata: Rasulullah SAW
berbekam, lalu beliau membayar upahnya kepada orang yang membekamnya, jika nabi
SAW tahu bahwa berbekam adalah pekerjaan yang dibenci, tentu beliau tidak
memberikan upah (kepada tukang bekam)[4]
Hadist di atas menegaskan tentang
praktek upah mengupah kepada seseorang yang bekerja untuk orang lain.
Atas beberap ayat dan hadits yang
menerangkan tentang Ijarah, dapat disimpulkan bahwa akad Ijarah
merupakan akad yang diakui keberadaannyaoleh hukum Islam.
C.
Syarat dan Rukun Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun al-ijarah
itu hanya satu yaitu ijab (ungkapan menyewakan) dan qabul (persetujuan
terhadap sewa menyewa). Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa rukun al-ijarah
itu ada empat, yaitu :
a.
Orang yang berakad
b.
Sewa/imbalan
c.
Manfaat
d.
shighat (ijab dan
qabul)
Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa orang
yang berakad, sewa/imbalan, dan manfaat, termasuk syarat-syarat al-ijarah, bukan
rukunnya.
Syarat akad ijarah dikaitkan dengan
beberapa rukunnya diantaranya:
1.
Syarat yang terkait dengan Akid (pihak yang
berakad/Mu’jir dan Musta’jir):
a.
Menurut madzhab Syafi’i dan Hanbali kedua orang yang
berakad telah berusia akil baligh, sementara menurut madzhab Hanafi dan Maliki,
orang yang berakad cukup pada batas mumayyiz dengan syarat mendapatkan
persetujuan wali. Bahkan golongan syafi’iyah memasukkan persyaratan pada Akid
termasuk rusyd. Yaitu mereka mampu melakukan sesuatu atas dasar
rasionalitas dan kredibilitasnya. Maka, menurut imam Syafi’i dan Hanbali
seorang anak kecil yang belum baligh, bahkan imam Syafi’i menambahkan sebelum rusyd
tidak dapat melakukan ijarah. Berbeda dengan kedua imam tersebur, Imam Abu
Hanifah membolehkan asalkan dia sudah mumayyiz dan atas seizin orang
tuanya.
b.
Ada kerelaan pada kedua belah pihak atau tidak ada
paksaan. Orang yang sedang melakukan akad ijarah berada pada posisi bebas untuk
berkehendak, tanpa ada paksaan salah satu atau kedua belah pihak oleh siapapun.
2.
Syarat yang terkait dengan ma’qud alai (obyek
sewa)
- Obyek sewa
bisa diserah terimakan, artinya barang sewaan tersebut adalah milik syah mu’jir
(orang yang menyewakan) dan jika musta’jir (orang yang menyewa)
meminta barang tersebut
sewaktu-waktu mu’jir dapat menyerahkan pada waktu itu.
- Mempunyai
nilai manfaat menurut syara’, manfaat yang menjadi obyek ijarah diketaui
sempurna dengan cara menjelaskan jenis dan waktu manfaat ada di tangan
penyewa. Berkaitan dengan “waktu manfaat”, ada beberapa pandangan:
1.
Imam Syafi’i: waktu manfaat atas barang sewaan harus
jelas dan tidak menimbulkan tafsir. Ia mencontohkan: apabila seseorang menyewa
sebuah rumah satu tahun dengan akad per bulan, maka transaksi sewa tersebut
mengalami ketidak jelasan dan dipandang batal. Oleh sebab itu, untuk
keabsahannya, akad tersebut harus diulang setiap bulan.
2.
Berbeda dengan Imam Syafi’i, Jumhur Ulama berpendapat
lebih menekankan pada aspek kejadian riilnya. Maka, akad di atas dipandang sah dan mengikat untuk bulan pertama setelah
dilakukan pembayaran. Sedangkan bulan berikutnya, jika terjadi pembayaran
dianggap sah meski tanpa ada akad lagi, sebagaimana yang terjadi pada al-bay’
al-mu’athah.
- Upah
diketahui oleh kedua belah pihak (mu’jir dan musta’jir).
- Obyek ijarah
dapat diserahkan dan tidak cacat. Jika terjadi cacat, ilama fiqh sepakat
bahwa penyewa memiliki hak khiyar untuk melanjutkan atau membatalkannya.
- Obyek ijarah
adalah sesuatu yang dihalalkan syara’.
- Obyek bukan
kewajiban bagi penyewa. Misal menyewa orang untuk melaksanakan shalat.
3.
Syarat yang terkait dengan shighat (akad/ijab
qabul), pada dasarnya persyaratan yang terkait dengan ijab dan qabul sama
dengan persyaratan yang berlaku pada jual beli, kecuali persyaratan yang
menyangkut dengan waktu. Di dalam ijarah, disyaratkan adanya batasan waktu
tertentu. Maka, sewa (ijarah) dengan perjanjian untuk selamanya tidak
diperbolehkan.
D. Sifat Akad
al-ijarah
Para ulama fiqh berbeda pendapat
tentang sifat akad al-ijarah apakah bersifat mengikat kedua belah pihak
atau tidak. Ulama Hanafiyah berpendirian
bahwa akad al-ijarah itu bersifat mengikat, tetapi boleh
dibatalkan secara sepihak apabila terdapat udzur dari salah satu pihak yang
berakad, seperti salah satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan bertindak
hukum. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa akad al-ijarah itu bersifat mengikat,
kecuali ada cacat atau barang itu tidak
boleh dimanfaatkan. Akibat perbedaan pendapat ini terlihat dalam kasus apabila
salah seorang meninggal dunia. Menurut ulama Hanafiyah apabila salah seorang
yang berakad meninggal dunia, maka akad al-ijarah batal, karena manfaat
itu tidak boleh diwariskan karena termasuk harta (al-mal).[5]
E.
Jenis Akad Ijarah
Dilihat dari sisi obyeknya, akad ijarah
dibagi menjadi dua:
1.
Ijarah manfaat (Al-ijarah ala al manfa’ah), contoh
sewa menyewa rumah, kendaraan, pakaian dll. Dalam hal ini mu’jir mempunyai
benda –benda tertentu dan dan musta’jir
butuh benda tersebut dan terjadi kesepakatan antara keduanya, dimana mu’jir mendapatkan imbalan tertentu dari musta’jir dan musta’jir
mendapatkan manfaat dari benda tersebut.
2.
Ijarah yang bersifat pekerjaan (Al-ijarah ala
al-a’mal) , dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan sesuatu. Mu’jir
adalah orang yang mempunyai keahlian, tenaga, jasa dan lain-lain, kemudian musta’jir
adalah pihak yang membutuhkan keahlian, tenaga atau jasa tersebut dengan
imbalan tertentu. Mu’jir mendapatkan upah atas tenaga yang ia keluarkan
untuk musta’jir dan musta’jir mendapatkan tenaga atau jasa dari mu’jir.[6]
F.
Berakhirnya Akad al-Ijarah
Para ulama fiqh menyatakan bahwa akad
al-ijarah akan berakhir apabila :
a.
Obyek hilang atau musnah, seperti rumah terbakar atau
baju yang dijahitkan hilang.
b.
Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telahberkhir.
Apabila yang disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada
pemiliknya, dan apabila yang disewa itu adalah jasa seseorang, maka ia berhak
menerima upahnya. Kedua kesepakatan itu disepakati oleh ulama fiqh.
c.
Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang
berakad, karena akad al-ijarah, menurut mereka tidak boleh diwariskan.
Sedangkan menurut jumhur ulama, akad al-ijarah tidak batal dengan
wafatnya salah seorang yang berakad, karena manfaat menurut mereka boleh
diwariskan dan al-ijarah sama dengan jual beli yaitu mengikat kedua
belah pihak yang berakad.
d.
Menurut Ulama Hanafiyah, apabila ada udzur dari salah
satu belah pihak seperti rumah yang disewakan disita negara karena terkait utang
yang banyak, maka akad al-ijarah batal. Uzur-uzur yang dapat membatalkan
akad al-ijarah itu menurut ulama Hanafiyah adalah salah satu pihak jatuh
muflis, dan berpindah tempatnya penyewa, misalnya seseorang digaji untuk
menggali sumur disuatu desa sebelum sumur itu selesai, penduduk desa itu pindah ke desa lain. Akan tetapi menurut
jumhur ulama, uzur yang boleh membatalkan akad akad al-ijarah itu
hanyalah apabila obyeknya mengandung cacat atau manfaat yang dituju dalam akad
itu hilang, seperti kebakaran dan dilanda banjir.[7]
G. Ijarah Muntahiya
Bi al-tamlik
Dalam akad ijarah juga dikenal dengan
akad al-ijarah muntahiya bi al tamlik (sewa beli). Akad ini sekilas sama
dengan ijarah yang tanpa mengenal waktu. Musta’jir sama-sama
dapat mempergunakan obyek sewa untuk selamanya. Akan tetapi keduanya terdapat
perbedaan. Perbedaan tersebut ada dalam akad yang dilakukan diawal perjanjian.
Akad al-ijarah muntahiya bi al tamlik adalah sejenis perpaduan antara
akad jual beli dan akad sewa, atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri
dengan kepemilikan penyewa atas barang yang disewa melalui akad yang
dilaksanakan kedua belah pihak.[8]
Akad al-ijarah muntahiya bi
al-tamlik dapat dikembangkan dalam bentuk yang bermacam-macam. Pengembangan
ini misalnya terkait dengan barang yang disewa, nilai sewa, waktu pindahnya
kepemilikan, dan lain-lain. Dari pengembangan ini kemudian bank dapat
mendemonstrasikan teori ijarah untuk produk-produknya.
Bank dapat mempraktekkan akad ijarah
ini dengan model leasing. Sebagai contoh, seseorang membutuhkan
kendaraan mobil, dia datang ke bank untuk melakukan pembiayaan dalam pembelian
mobil tersebut. Nasabah dan bank dapat melakukan transaksi ijarah (sewa)
perbulan dan sekaligus mencicil harga
mobil yang harus dibayar perbulan selama beberapa tahun yang ditentukan mobil
secara otomatis sudah menjadi milik nasabah.
Dalam akad ijarah, bank harus
memperhatikan kemungkinan resiko yang akan terjadi diantaranya :
- Default,
nasabah tidak membayar cicilan dengan senjata.
- Rusak, aset
ijarah rusak sehingga menyebabkan biaya pemeliharaan bertambah, terutama
bila disebutkan dalam kontrak bahwa pemeliharaan harus dilakukan oleh
bank.
- Berhenti,
nasabah berhenti di tengah kontrak dan tidak mau membeli aset tersebut.
Akibatnya, bank harus menghitung kembali keuntungan dan mengembalikan
sebagian kepada nasabah.
Untuk mengantisipasi beberapa resiko
yang akan terjadi tersebut, dalam kontrak harus dicantumkan
kesepakatan-kesepakatan yang dapat dijadikan landasan penyelesaiannya.
Penyelesaian dari kemungkinan resiko yang akan terjadi tersebut tergantung atas
kesepakatankedua belah pihak berdasarkan asas transparansi dan berkeadilan.
Untuk membuat kontrak sebagai
antisipasi atas kemungkinan resiko yang akan terjadi dalam akad ijarah seperti
diatas, perlu dipertimbangkan beberapa pendapat ulama fiqh dibawah ini :
a. Jika terjadi kerusakan pada obyek
ditangan musta’jir bukan karena kelalaian dan kesengajaan maka ia tidak
boleh dituntut ganti rugi. Namun jika kerusakan tersebut atas kesengajaan musta’jir,
mu’jir punya hak untuk menuntut
ganti rugi. Karena pada hakikatnya harta yang ada di tangan musta’jir masih
milik mu’jir.
Berdasarkan pendapat di atas, dalam
konteks perbankan, jika kerusakan tersebut atas kesengajaan nasabah (musta’jir),
bank (berposisi sebagai mu’jir) punya hak untuk menuntut ganti rugi.
Karena pada hakekatnya harta yang ada nasabah masih milik bank. Maka dalam
kasus kemungkinan munculnya resiko seperti yang diungkapkan di muka, jika
terjadi kerusakan pada harta pihak bank dapat mengenakan ganti rugi kepada nasabah
selama kerusakan tersebut ada unsur kesengajaan dan kesembronoan. Demikian
juga, jika tiba-tiba nasabah menghentikan “cicilan” tanpa sebab, harta yang ada
di nasabah dapat dicabut oleh bank, dan masih milik bank.
b. Penjual jasa untuk orang banyak, jika melakukan
kesalahan sehingga barang yang
dikerjakan rusak, dikalangan ulama fiqh terdapat perbedaan pendapat masalah
ganti ruginya:
·
Imam Abu Hanifah, Madzhab hanbali, dan Syafi’i : apabila
kerusakan bukan karena kelalaian dan kesengajaan, maka penjual jasa tidak wajib
dituntut ganti rugi
·
Imam Abu Yususf dan Hasan Al-Syabani: bahwa penjual jasa
bertanggung jawab terhadap barang yang rusak baik disengaja maupun tidak,
kecuali kerusakan tersebut diluar batas kemampuan.
·
Madzhab Maliki : jika pekerjaan tersebut bersifat
membekas pada barang yang dikerjakan seperti pekerjaan binatu, juru masak, maka
kerusakan baik disengaja maupun tidak, penjual jasa wajib bertanggung jawab[9].
H. Kesimpulan
Pesan yang terkandung dalam beberapa
pendapat ulama fiqh di atas adalah bahwa jika terjadi resiko atas barang yang
memakai akad ijarah, maka pemilik barang (orang yang menyewakan) masih
bertanggung jawab terhadap barang tersebut karena barang tersebut masih
miliknya.
Hal ini juga berlaku pada akad ijarah
muntahiya bi al-tamlik yang dipraktekkan oleh perbankan syari’ah. Bahwa
pada hakekatnya, bank masih menjadi pemilik atas barang yang diakadkan dengan
memakai akad ijarah muntahiya bi al-tamlik. Maka jika terjadi resiko
seperti yang dijelaskan di depan, pihak bank masih memiliki hak atas barang
tersebut.
PENUTUP
Demikianlah pembahasan tentang Ijarah yang
bisa kami jelaskan. Mudah-mudahan bisa menambah wawasan dan bahan pertimbangan
untuk kita semua dalam melangkah ke depan. Dan semoga bermanfaat bagi kami
khususnya dan bagi pembaca umumnya. Kami juga sangat menyadari bahwa dalam
pembuatan makalah ini masih banyak sekali kekurangan dan kesalahan dari
berbagai segi. Oleh karena itu, kami akan selalu membuka kritik dan saran yang
bersifat konstruktif untuk kesempurnaan makalah ini. Atas perhatiannya, kami
ucapkan terima kasih.
Daftar Pustaka
Al-jaziri, Abdurrahman, al-fiqh ala
Madzahibi al-arba’ah.
Afandi, M.Yazid, 2009, Fiqh Muamalah
dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta: Logung
Printika.
Haroen, Nasrun,
2007, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama.
Djuwaini,
Dimyauddin, 2008, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dahlan , Abdul Azis, Ensiklopedi
Hukum Islam,Cet. V (Jakarta: Ikhtiyar Baru Van Hove, 2001)
Abu al-Fath, Ahmad, Kitab al-muamalat
fi Syari’ah al-Islamiyah wa al-qawanin al-Mishriyah, (Mesir : Mathba’ah
al-Busfir, 1913).
[2] M.Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasinya
dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta: Logung Printika, 2009, hal
179
[3] Hadist riwayat Ibn Majah dari al-Abbas ibn al-Walid
al-Damsyqi dari wahb ibn Sa’id Ibn Athiyah al-Salamiy dari Abd al-rahman Ibn
Zaid Ibn Aslam dari ayahnya dari Abdullah Ibn Umar. Abdullah Muhammad ibn Yazid
al-Qazwaniy, ibn Majah, Maktabah Syamilah, Hadist nomor 2434
[4] Hadist diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Musaddad dari
Yazid Ibn Zura’i dari Khalid dari ikrimah dari ibn Abbas RA. Abu Abdillah
Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn Mughirah al-Bukhari, Shahih Bukhari, Maktabah
Syamilah, Hadist nomor 2118
[7] Ahmad Abu al-Fath, Kitab al-muamalat fi Syari’ah
al-Islamiyah wa al-qawanin al-Mishriyah, (Mesir : Mathba’ah al-Busfir,
1913)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar