Di pagi yang cerah, dengan sinar matahari yang sedikit
malu menampakkan wajahnya. Suasana sepi, yang terlihat dari sudut Musholla al
Azhar, hanya mobil, motor, sepeda onthel, tak ketinggalan pula pejalan kaki
yang sedang lalu lalang. Para santri PP. Darun Najah. Pondok yang diasuh oleh
KH. Sirojd Khudlori dan KH. Ahmad Izzuddin merupakan salah satu pondok
pesantren yang ada di Semarang. Pondok putra-putri ini terletak di kelurahan
Jerakah, Kecamatan Tugu Semarang. Di sinilah mahasiswa yang menerima Program
Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) diasramakan.
Seperti biasa, karena pagi hari tidak ada acara
pondok, maka santri-santri pada disibukkan dengan kegiatannya sendiri-sendiri.
Ada yang masih tidur, membaca koran, di depan laptop dan sebagainya. Begitulah
suasana pondok pesantren yang didesain untuk mahasiswa.
Begitu juga aku, Wahib itulah teman-teman memanggilku.
Ibuku memberikan nama lengkap yang baik untuk, Muhamad Zainal Mawahib itulah
nama lengkapku. Aku duduk sendiri di teras Musholla, sambil ditemani Hp Nokia
tipe 1680, yang selalu menemani aku sejak duduk di bangku Aliyah hingga
sekarang ini. Tak heran apabila Hp itu hingga sekarang masih tetap ada, bahkan
inginku museumkan untuk diriku sendiri.
Di saat santri-santri yang lain diasyikkan dengan
kesibukannya, aku mulai terbawa dalam lamunanku. Dalam ingatanku masih tampak
jelas pada saat sebelum aku masuk ke bangku kuliah. Kemudian mengingatkan aku
pada detik-detik menjelang kelulusan. Akhirnya aku pun terbawa ke dalam lamunan
pagi dan membawa ke dalam teka-teki yang semu tapi nyata.
***
Kegiatan Upacara di Madrasah Aliyah Tasywiquth Thullab
Salafiyah (TBS) tidak setiap hari senin dilaksanakan. Hanya sekali dalam
sebulan pada minggu pertama atau ketika ada keperluan pengumuman kepada semua
murid Aliyah. Selain itu juga, dalam pelaksanaan upacara tidak selengkap
seperti yang ada di sekolah-sekolah yang lain, yang diutamakan adalah arahan dan
nasehat dari kepala sekolah kepada semua murid. Karena seperti menaikan bendera
tidak ada di upacara ala sekolahku. Itulah tradisi di sekolahku yang unik.
Pada hari itu, tepat hari Senin sekolahku mengadakan
upacara. Di saat-saat pelaksanaan kegiatan upacara, seperti biasa Kepala
Sekolah, KH. Musthofa Imron memberikan arahan dan nasehat. Untuk kali ini tidak
hanya itu, kepala sekolah juga pengumuman tentang adanya beasiswa kuliah S1.
Tentu ini merupakan informasi yang sangat ditunggu bagi murid kelas IX, karena
mereka sebentar lagi akan lulus.
“Bagi murid yang ingin mendaftarkan dirinya, segera
menghubungi ke Pak Qomari untuk didata nama-namanya dan kemudian dilakukan
seleksi dulu dari pihak sekolah sebelum didaftar ke Kemenag Kudus”, jelas
Beliau kepada semua murid ketika memberikan pengumuman beasiswa.
“Beasiswa ini adalah beasiswa program santri berprestasi
yang disingkat PBSB, beasiswa ini dibawah naungan Kementrian Agama, lumayan beasiswa
ini akan ditanggung selama menjalani studi S1”, lanjut Belaiu.
Dalam diriku, jujur tidak ada keinginan untuk mengikuti
beasiswa itu. Karena dalam angan-anganku yang sudah aku rencanakan, setelah
lulus dari Aliyah ini aku ingin nyatri lagi ke Rembang, tepatnya di
Pondok Pesantren Al-Anwar, yang diasuh oleh KH. Maimun Zuber.
Pada sore hari,, ketika itu menjelang akhir-akhir hari
penutupan pendaftaran beasiswa di sekolah. Setelah kegiatan Muhadatsah,
tiba-tiba Aku dipanggil oleh Pembina Pondokku, KH. Noor Chamim, LC., “Mungkin Beliau
menanyakan soal keuangan pondok bulan ini”, itulah yang ada dalam pikiranku,
karena pada saat itu Aku statusnya menjadi bendahara pondok yang harus selalu
komunikasi dengan pembina pondok. Selama aku menjalani pendidikan di Aliyah TBS
ini, aku sambil mondok di pondok pesantren Ath Thullab, pondok ini letaknya
tidak jauh dari Gedung sekolah, jaraknya kira-kira 500 meter. Dan juga Sekolah
TBS dan Pondokku Ath Thullab satu yayasan, yaitu dibawah naungan Yayasan
Arwaniyah.
Karena dipanggil oleh Pembina Pondok, langsung saja
aku menuju ke ruang Pembina Pondok dan di dalam ruangan, sudah ada Beliau yang
sedang duduk di kursi sambil membaca Kitab Fathul Wahhab.
“Assalamulaikum”
“Wa’alaikumussalam, tafadldhol ijlis ijlis Yaa
Wahib”, jawab Beliau dengan nada yang khas dari belaiu.
“Kaifa hal?”,
lanjut Beliau untuk memulai perbincangan.
“Alhamdulillah Syekh, bi khaoir”, jawabku.
Beliau kalau di pondok biasa dipanggil dengan panggilan Syekh Chamim. Panggilan
ini konon diberikan santri-santri pondok kepada Syekh Chamim karena Beliu setelah
lulus dari Aliyah TBS menerima beasiswa kuliah di Universitas Al-Azhar, Mesir.
“Lho Antum tidak ikut daftar beasiswa?”, tanya Beliau
padaku sambil tersenyum kecil.
“Mboten Syekh”, jawabku dengan singkat
“Kemarin dari pidak sekolah tanya ke saya dan meminta Antum
untuk ikut beasiswa ini, pertimbangan dari pihak sekolah karena Antum di
Jurusan MAK, ya dicoba dulu Nang, mungkin saja ini terbaik untuk Antum,
ya nanti kalau tidak lulus berarti itu bukan taqdirnya Antum”, jelasnya
dengan panjang lebar, karena memang Syekh Chamim sudah tahu sebelumnya, kalau setelah
lulu ini ingin melanjutkan mondok ke Rembang.
Keesokan harinya, di sela-sela wkatu istirahat
sekolah, aku ke kantor untuk mendaftar namaku. Di kantor ada banyak dewan guru,
aku langsung melangkah menemui Pak Qomari. Pada saat itu, yang ada dalam
benakku adalah hanya mengikuti saja atau lebih tepatnya mencoba-coba. Setelah kemarin
hari, aku mendapatkan arahan dari Pembina Pondok yang selama ini, Beliau lah
yang selalu memberikan bimbingan dan arahan selama aku di pondok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar