Menjelang
Pemilihan Gubernur (Pilgub) Daerah khusus Ibukota (DKI) Jakarta, isu pemimpin
non-muslim menjadi isu yang hangat diperbincangkan. Ada kemungkinan isu ini
digulirkan oleh kelompok politik yang tidak menginginkan calon gubernur yang
berlatar belakang non-muslim. Tak heran apabila, di beberapa media, baik media
cetak, media tv maupun media online beramai-ramai menghangatkan isu ini.
Isu ini seakan-akan digulirkan oleh para politikus dari partai yang berbasis Islam. Padahal mungkin juga isu ini digulirkan oleh partai yang basisnya tidak partai Islam. Sebab setiap partai menginginkan kadernya berada di puncak kepemimpinan di Jakarta. Maka dari itu, harus dicermati dengan betul adanya isu ini.
Berkaitan dengan isu pemimpin non-muslim, Nahdlatul Ulama (NU) pernah mengadakan bahtsul masail tentang bagaimana hukum orang Islam menguasakan urusan kenegaraan kepada non-muslim, termasuk memilih anggota DPR non-muslim?
Bahtsul masail ini diadakan pada saat Muktamar ke-30 Tahun 1999 di Lirboyo Kediri, Jawa Timur. Dari hasil bahtsul masail ini menghasilkan jawaban bahwa "hukum orang Islam menguasakan urusan kenegaraan kepada non-muslim, termasuk memilih anggota DPR non-muslim adalah tidak boleh. Kecuali dalam keadaan darurat:
1. Dalam
bidang-bidang yang tidak bisa ditangani sendiri oleh orang Islam secara langsng
karena faktor kemampuan.
2. Dalam
bidang-bidang yang ada orang Islam berkemampuan untuk menangani, tetapi
terhadap indikasi kuat bahwa yang bersangkutan khianat.
3. Sepanjang
penguasaan urusan kenegaraan kepada non-muslim itu nyata membawa manfaat."
Itulah hasil kajian NU tentang hukum memilih pemimpin non-muslim. Secara umum memang, menurut kajian NU, memilij pemimpin non-muslim tidak boleh. Akan tetapi, secara eksplisit jawaban tersebut masih memberikan ruang bagi non-musliam untuk memimpin. Ruang tersebut terdapat dalam keadaan pertama dan keadaan yang kedua. Bahkan dalam keadaan yang ketiga secara tidak langsung membolehkan pemimpin itu dari non-muslim, dengan catatan dapat memberikan manfaat dengan nyata.
Kata "nyata membawa manfaat" kalau tidak ada kesempatan buat nonton muslim untuk memimpin, maka kata "nyata membawa manfaat" ini akan sulit dibuktikan. Hal itu baru dapat dibuktikan manakala non-muslim diberikan kesempatan untuk memimpin. Sehingga bisa diketahui apakah pemimpin non-muslim ini memberikan manfaat atau tidak.
Dalam konteks ini maka, yang terpenting pemimpin adalah orang yang mampu memberikan manfaat dan memimpin yang baik seluruh rakyatnya. Meski pemimpinnya berbeda agama.
Tak ada manfaatnya manakala pemimpinnya dari muslim, akan tetapi pemimpinnya melakukan khianat. Bahkan pemimpin demikian dapat menghilangkan kesejahteraan bagi suatu bangsa. Padahal tujuan adanya pemimpin tidak lain hanya untuk menjadikan seluruh rakyatnya hidup damai dan sejahtera, gemar lepah loh jinawe.
Wallahu a'lam bishshowab
25 April
2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar